Tanya : Saya tergolong orang beruntung, dikaruniai rezeki lebih dan cukup. Hanva saja saya bingung bagaimana cara menggunakannya? (Syamsul B, Pati)
Jawab : Bekerja adalah tindakan mulia. Mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga sebagai upaya sehat untuk mempertahankan dan melestarikan hidup. Hal ini wajib hukumnya. Dalam satu hadis, Rasulullah bersabda:
Jawab : Bekerja adalah tindakan mulia. Mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga sebagai upaya sehat untuk mempertahankan dan melestarikan hidup. Hal ini wajib hukumnya. Dalam satu hadis, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Mencari pekenjaan nyang halal hukumnya fardhu”
Memperbanyak harta tidaklah dilarang, asalkan dilakukan dengan cara yang benar dan tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban yang lain. Selain itu harus pula disadari, harta benda bukanlah tujuan (al-ghayah), melainkan sekedar sarana atau alat (al-washiiah).
Sebagai alat dan sarana, harta yang kita miliki seharusnya digunakan sesuai dengan fungsinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah sebagai berikut :
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.“(QS. At-Taubah: 34)
Dalam masyarakat, sering kita menjumpai orang pandai sekali mencari uang sehingga menjadi kaya, tetapi tidak mengerti cara menggunakannya. Akibatnya, harta itu sering dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak atau kurang bermanfaat. Bahkan kadang-kadang membawa dampak negatif yang menurut agama tidak dibenarkan. Orang demikian berarti tidak bersyukur. Hakikat syukur adalah tidak menggunakan nikmat Allah untuk melakukan hal-hal yang justru dibenci-Nya.
Padahal menurut ajaran Islam, seseorang kaitannya dengan harta dituntut untuk benar dalam mencari dan mengunakanny sekaligus. Harta kita sebenarnya titipan dan anugerah dari Allah SWT. sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar “(QS. Al-Hadid: 7)
Manusia di sampmg diberikan hak untuk memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, juga dituntut menunaikan kewajiban-kewajiban atas hartanya yang menjadi hak orang lain. Allah mengingatkan manusia akan keberadaan harta yang dimilikinya dalam firman-Nya sebagai herikut :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. A1-Baqarah: 29)
Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. A1-Ma’arij: 24-25)
Pertanyaan selanjutnya, apakah kewajiban-kewajiban harta yang harus kita penuhi itu?
Kewajiban yang pertama adalah mengeluarkan zakatnya. Kebenaran akan eksistensi kewajiban ini sebagaimana ditegaskan Allah sebagai berikut :
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku “(QS. A1Baqarah: 43)
Kita semua telah mengerti dan meyakini bahwasanya zakat adalah termasuk kewajiban yang paling penting bagi kaum muslimin karena manjadi rukun Islam. Tetapi dalam kenyataannya masih banyak yang belum menunaikannya secara konsekuen dan disiplin.
Barangkali salah satu penyebabnya adalah sempitnya pemahaman mereka tentang zakat. Banyak yang memahami zakat sebatas zakat fitrah pada Idul Fitri. Padahal selain zakat fitrah, masih ada zakat emas/perak/uang, binatang temak, hasil pertanian, dan perdagangan yang secara hukum sama dengan zakat fitrah. (Al-Bajury. I, 261-262).
Tidak tertutup kemungkman ada orang yang ingin berzakat, tetapi tidak tahu bagaimana caranya dan kepada siapa zakat itu diberikan. Hal ini tentunya memerlukan perhatian serius dari kalangan tokoh agama dan lembaga-lembaga pengelola zakat untuk lebih mengintensifkan sosialisasi zakat kepada masyarakat.
Kedua, memberikan nafkah kepada istri, anak, maupun orang tua. Lewat perantara orang tua, kita lahir ke dunia ini. Karena jerih payah dan jasa-jasa beliau berdua, agama mewajibkan anak-anak berbakti kepada dua orang tua yang populer dengan sebutan birr al-walidain. Manifestasi dari perintah ini bisa bermacam-macam seperti menghormati, menyayangi dan mencukupi kebutuhan hidup (nafkah) bila memerlukan. Anak yang belum dewasa menjadi tanggungan orang tuanya karena belum mampu menghidupi dirinya sendiri. (Fath Al-Mum, 124).
Ketiga, mencukupi kebutuhan pokok fakir miskin berupa sandang pangan dan papan (SPP) supaya dapat hidup secara manusiawi. Menurut para ulama, hal itu hukumnya fardhu kifayah atas orang-orang kaya (al-aghnya) yang mempunyai kekayaan melebihi jumlah yang mencukupi untuk hidup selama satu tahun beserta seluruh anggota keluarga dan kerabat yang wajib dinafkahi. (Nihayah Al-Muhtaj VII, 194). Demikian pula diterangkan dalam Fiqh Az-Zakah: II, 989).
Kewajiban ketiga ini dengan asumsi dana dari zakat belum mencukupi kebutuhan mereka. Ini semua sebagai wujud dari solidaritas sosial dan Ukthuwwah Islamiah. Hal ini seperti telah disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujarat: 10)
Pada dasarnya, menurut pandangan Islam, setiap manusia yang kuat dan sehat diwajibkan mencukupi kebutuhannya (al i’timad ‘ala an-nafs), tidak boleh menggantungkan diri kepada pihak lain. Karena itu, dilarang mengemis (as-su’al) kecuali betul-betul terpaksa.
Mengemis adalah alternatif terakhir (as su’alalthfral-Iflakasib). Meski begitu, karena berbagai faktor yang bersifat internal atau eksternal, tidak semua orang mampu bekerja. Tidak sedikit pula yang telah membanting-tulang sekuat tenaga tetapi kebutuhan dasarnya masih belum terpenuhi juga secara minimal dan wajar.
Terhadap kaum dhuafa’ yang kurang beruntung itulah kaum aghniy’ dituntut berbagi rasa. Kalau tidak, terjadi disharmoni dan kerawanan sosial berupa kemerebakan berbagai tindak kriminal yang justru akan merugikan semua pihak. Setiap individu memiliki naluri untuk mempertahankan hidup. Ketika cara-cara yang sehat telah tertutup, pada gilirannya mereka akan menempuh cara-cara ilegal.
Selain ketiga hal di atas, seyogyanya harta yang kita miliki dibelanjakan untuk membiayai kepentingan-kepentingan umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti masjid, madrasah, rumah sakit dan lain-lain sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berkembang.
Dalam perkara yang bersifat fardhu kifayah seperti penyelenggaraan pendidikan, setiap anggota masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi sesuai dengan kemampuan atau potensi masing-masig. Jangan sampai fardhu kifayah kita sikapi dengan menyerahkan suatu urusan kepada orang tertentu, sedangkan kita acuh tak acuh.
Dianjurkan pula memperbanyak sedekah sunnah dengan mengutamakan kerabat, tetangga dan pihak-pihak yang lebih membutuhkan. Karena sikap dermawan sangat dianjurkan dalam Al-Quran sebagaimana termaktub dalam ayat ini :
Artinya : “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr 9)
Dan sebaliknya, kebakhilan merupakan perilaku yang dicela. Perhatikan ayat yang melarang akan perilaku itu :
Artinya : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dan karunia-Nya menyangka hahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “(QS. Ali Imran: 180)
Semua ini harus dilakukan dengan ikhlas serta didasari keyakinan bahwa perjalanan hidup manusia tidak selesai dengan kedatangan kematian. Justru dengan kedatangan ajal, manusia memulai kehidupan lain yang kekal dan abadi.
0 komentar:
Post a Comment