Monday, 21 September 2015

Apa Hukum Jika Suami Minta “Dilayani” Di Saat Puasa

Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?

Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)

Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.

Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.

Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.

Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)

Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).

Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.

Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.

Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.

Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.

Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun

Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.

Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bagaimana Hukum Akad Nikah Dengan Internet (Alat Komunikasi)

Tanya : Kami ingin menanyakan satu permasalahan yang berkaitan dengan akad nikah. Yang selama in kami ketahui adalah akad nikah harus dengan adanya seorang wali dari pihak perempuan secara langsung (dalam satu tempat). Ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman, sempat menemukan satu permasalahan yaitu “bolehkah akad nikah dilakukan melalui internet atau alat komunikasi lainnya?” (M. Hadafi, International University of Afrika-Khartum-Sudan)

Jawab : Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu ia adalah syari’atun azhimatun (syariat yang agung) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah Swt. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.

Pernikahan merupakan bentuk ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanaannya diikat dan diatur oleh ketentuan syarat dan rukun.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut jurnhur Al-Ulama (mayoritas pendapat ulama) ada empat macam meliputi, shighat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali, ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al-ulama memandang keduanya sebagai Syarat. (Al-Fiqh Al-Islami: IX, 6521-6522. Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, 4).

Dan ketentuan di atas kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka sepakat hal itu, namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur al-ulama memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan aqad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al-ulama, ijab memiliki pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau dari seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al-ulama yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.

Di masa dulu, akad nikah (ijab qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke majlis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telephone, faks dan lain-lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad nikah dalam hal ini ijab qabul.

Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah dengan menu e-mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangakan email atau chating menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.

Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khithab min al-gha‘ib bi manzilah al-khithab min al-h adhir) dengan syarat dihadiri oleh dua orang saksi. Atau bisa juga mengirim seorang utusan untuk melakukan akad nikah dengan syarat yang sama, yaitu dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga sah asal disaksikan oleh dua orang saksi.

Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan akad nikah melaui komunikasi jarak jauh, namun pendapat itu ditentang oleh jumhur al-ulama. ini mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kukuh), yang bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, rahmah bahkan tatanan sosial yang kukuh pula. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi. (Tanwir Al-Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyai)

Pengertian dihadiri di sini mengharuskan mereka secara fisik berada dalam satu majlis untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak memiliki peluang untuk mengingkarinya.

Dengan demikian, akad nikah melalui media komunikasi (internet, faks, telephone dan lain-lain) tidaklah sah, karena tidak satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping atu sesuai dengan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah. (Al-Fiqh Al-Islami : IX, 2531).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Friday, 18 September 2015

Apa Hukum Suntik Dan Infus Saat Puasa ?

Tanya : Apa hukumnya disuntik atau diinfus kala berpuasa?

Jawab : Suntik dan infus, sama-sama memasukkan cairan ke dalam tubuh dengan alat bantu jarum. Bedanya, suntik berisi cairan obat-obatan, sedangkan infus biasanya berupa nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan, atau karena pertimbangan tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut cara normal. Di sini, infus menjadi sebuah solusi.

Karena perbedaan zat yang dikandung, suntik dan infus memiliki efek yang tidak sama. Setelah diinfus, tubuh akan terasa relatif segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara suntik murni obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan mmuman.

Suntik dan infus dengan fungsi yang berbeda, pada hakikatnya saling melengkapi. Penyakit susah disembuhkan jika tubuh kekurangan vitamin dan zat-zat lain yang sangat dibutuhkan. Sementara terpenuhinya kebutuhan gizi, tidak secara otomatis melenyapkan penyakit, tanpa ditunjang obat-obatan.

Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan makan/minum dan berhubungan s*ksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung.

Melihat ketentuan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suntik tidak membatalkan puasa. Sebab proses masuknya obat tidak melalui organ berlubang terbuka, tetapi jarum khusus yang ditancapkan ke dalam tubuh. Lagi pula, suntik tidak menghilangkan lapar dan dahaga sama sekali.

Adapun infus, menurut penuturan Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatawi Mu’ashirah, 324, merupakan penemuan baru, sehingga tidak diketemukan keterangan hukumnya dari hadis, shahabat, tabiin dan para ulama terdahulu. Oleh karena itu, ulama kontemporer berbeda pendapat, antara membatalkan dan tidak. Dr. Yusuf Qardhawi, meskipun cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan, menyarankan agar penggunaan infus dihindari pada saat berpuasa. Alasannya, meskipun infus tidak mengenyangkan, tetapi cukup menjadikan tubuh terasa relatif segar.

Intinya, infus dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk dan efek yang ditimbulkan. Ditinjau dari sisi pertama, infus tidak membatalkan puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui organ tubuh yang berlubang terbuka. Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan infus tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai wahana latihan mengendalikan nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadh‘afin?

Untuk menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya). ini artinya, pendapat infus membatalkan puasa lebih mencerminkan sikap berhati-hati (al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi berbuka pada bulan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bagaimana Puasa Ramadhan Bagi Pengantin Baru ?

Tanya : Sebagai pengantin buru, datangnya bulan puasa bagi kami merupakan siksaan tersendiri. Kalau kami berdua tidak mampu lagi menahàn nafsu, apakah boleh kami mokel (berbuka) lalu berkumpul? Bagaimana cara yang benar agar teihindar dari ancaman puasa dua bulan berturut-turut? (NN Arjasa, Jember)

Jawab : Ada macam-macam hal yang membatalkan puasa Ramadhan dan beragam pula konsekuensinya. Ada yang sekedar harus meng-qadha’(mengganti di hari lain), tetapi ada pula yang mengakibatkan sanksi berat. Terhitung yang berat adalah hubungan s*ks (Jima).

Dasar hukum sanksi ini hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang lelaki yang mengaku telah melakukan pelanggaran ini. Rasulullah lalu mengurutkan tiga sanksi untuk menjadi kaffarah (penebus): pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin.

Tiga kaffarah itu tidak dapat dipilih begitu saja, tetapi berlaku urut. Karena di zaman ini sanksi pertama tidak berlaku lagi, dengan sendirinya pelakunya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika karena sebab yang dibenarkan syariat hukuman itu tidak mungkin dilakukan, baru dapat ditempuh sanksi terakhir berupa pemberian paket kepada 60 fakir-miskin, masing-masing 1 mud (± 6 ons) bahan makanan pokok.

Kaffarah ini berlaku antara lain jika hubungan s*ks itulah yang mengakibatkan batalnya puasa. Jika sebelumnya puasanya sudah batal atau dibatalkan, maka kaffarah di atas tidak berlaku.

Tetapi itu tidak berarti sanksinya menjadi lebih ringan. Meninggalkan atau membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah sebuah dosa yang sangat besar. Diriwayatkan At-Turmudzi, Rasulullah bersabda, yang artmya:
“Barangsiapa meninggalkan/membatalkan sehari puasa Ramadhan tanpa alasan yang meringankan dan tidak pula karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup sebagai gantinya.”

Membatalkan puasa sebelum berhubungan s*ks bukan hanya berarti memangkas sanksi. Setidaknya ada dua alasan moral untuk tidak melakukannya.

Pertama, puasa dua bulan berturut-turut adalah hukum yang secara spesifik telah ditetapkan Allah. Apakah Anda ingin lari dari hukum-Nya?

Kedua, dengan membatalkan puasa untuk menghindarkan kaffarah, maka sesungguhnya seseorang telah melakukan akal-akalan, bermain siasat atas hukum Allah. Pertanyaannya, secerdik itukah Anda?

Bagaimanapun beratnya, begitulah hukum telah ditetapkan. Jika tidak ingin tertimpa beratnya hukum, sebaiknya Anda berhati-hati. Tidak ada salahnya untuk mengurangi tindakan-tindakan lahiriah yang lazim digunakan untuk mengekspresikan rasa sayang, cinta, dan kemesraan suami-istri. Jika dianggap perlu, ciptakan jarak (sementara). Ikuti kegiatan-kegiatan kerohanian yang banyak diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Prinsipnya, hindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan Anda jatuh dalam pelanggaran ini.

Inilah sesungguhnya makna puasa : menahan diri dari godaan nafsu, tidak untuk menghancurkannya tetapi untuk mampu mengendalikannya. Bukankah akan sampai juga waktu di mana dorongan nafsu itu dapat dipenuhi tanpa ancaman murka Tuhan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mencium Istri Membatalkan Puasa ?

Tanya : Selama bulan Ramadhan tepatnya di siang hari. apakah kami sebagai pasangan suami-istri tidak diperkenankan berciuman seperti biasa kami lakukan saat pergi kerja misalnya. Apakah ketika terlanjur berciuman kemudian dapat membatalkan puasa?

Jawab : Puasa itu menghindari segala hal yang membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ej*kulasi (inzal) akibat persentuhan kulit, dan bersenggama walaupun tanpa ej*kulasi.
Pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, dapat mengakibatkan ej*kulasi, dan menyeret seseorang menuju interaksi s*ksual, maka pembahasan hukumnya tidak bisa sesederhana itu lagi.

Para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam berpuasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak menimbulkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. VI, 354, Mughni Al-Muhtaj. I, 431-436). Tentu hukum ini berlaku untuk ciuman kepada istri. Selain istri, jelas hukuninya haram.

Menurut pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku atas mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun makruh (yang definisi dasarnya adalah tak mengapa jika dilakukan) jika dilakukan juga maka si pelaku mendapat dosa. Untuk sekedar diketahui, selain makruh tahrim terdapat juga kategori hukum makruh tanzih, di mana melakukannya tidak mengkonsekuensikan apa pun (baik dosa atau pahala). Seperti halnya haram, hal-hal yang berhukum makruh tahrim harus dihindari. Sementara pada makruh tanzih, penghindaran itu hanya bersifat anjuran.

Hukum tersebut di-istinbath-kan para ulama dari hadis riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melarang kaum muda mencium (pada saat berpuasa), dan memperbolehkan itu pada orang yang telah berusia lanjut (tua).

Mengapa Rasulullah membedakan orang tua dan pemuda? Para ulama merasionalisasi pembedaan ini dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan s*ksualnya. Sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi s*ksualnya telah banyak menurun. Secara praktis, ciuman pada usia muda dikhawatirkan mengakibatkan ej*kulasi, atau menggoda pelakunya untuk menindaklanjutinya dengan interaksi s*ksual langsung karena kekurangmarnpuan orang muda untuk mengendalikan nafsu.

Dalam pengertian itu, maka batasan tua atau muda hanya merujuk pada kondisi umum saja. Jika ada pemuda yang sepenuhnya mampu mengendalikan diri atau orang tua yang masih sangat tinggi hasrat dan kemampuan s*ksualnya, maka hukum yang berlaku bagi keduanya berbanding terbalik dengan keterangan di atas. Ini karena masalah utamanya memang bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak.

Hukum ini sesuai dengan kaidah fikih “li al-wasa-il hukm al-ma qashid”, terhadap hal-hal yang mendukung atau mendorong atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama dengan hasil akhirnya. Ketika ditentukan bahwa interaksi s*ksual langsung dan ej*kulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada keduanya harus pula dihindari jauh-jauh.

Pelukan, genggaman, dan yang sejenisnya, dengan nalar dan pertimbangan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.

Tetapi hukum ini tidak serta-merta mempengaruhi sah tidaknya puasa. Jika Anda suatu saat di siang hari bulan Ramadhan mencium istri, dan tak terjadi suatu akibat atau tindak lanjut apa-apa, maka puasa Anda tetap sah, tidak batal tetapi tingkat kesempurnaannya berkurang. (Al-Majmu’ Syarh A1-Muhadzdzah VI, 355).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mandi Keramas Boleh Saat Puasa ?

Tanya : Saat siang hari bulan Ramadhan adalah kondisi dimana tubuh dalam keadaan lemas. Bolehkan dalam keadaan seperti itu melakukan mandi keramas agar badan kembali segar?

Jawab : Dalam kitab Nihayah Az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa‘ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua di antara beberapa hal yang membatalkan puasa (mubthilat ash-shaum).

Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan berbagai perkecualian, termasuk di antaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.

Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan mandi wajib (bik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunah (karena mau shalat Jumat, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-I ridha bi ma yatawalladu minhu” menerima atau membenarkan sesuatu berarti menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunan adalah tuntutan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensi wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.

Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi untuk menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas). Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.

Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Ej*kulasi Karena Film Porno Batal Puasa ?

Tanya : Menonton film porno sehingga mengeluarkan mani (ej*kulasi) apakah bisa membatalkan puasa?

Jawab : Puasa sah jika telah memenuhi syarat dan rukunnya serta meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkannya (mubthilat. Di antara yang membatalkan puasa adalah inzal (ej*kulasi, keluar mani), dengan catatan hal itu terjadi ‘an mubasyarah atau akibat persentuhan fisik, seperti mencium, saling menggenggam tangan, dan lain-lain. Jika ej*kulasi terjadi bukan karena persentuhan (‘an ghair mubasyarah) semisal karena pandangan atau lamunan, maka hal itu tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga jika ejakulasi diperoleh sebagai akibat mimpi basah (ihtilam).

Dan keterangan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa puasa tidak batal karena menonton film porno meskipun sampai terjadi ej*kulasi. Tetapi batalnya puasa hanyalah satu aspek saja dari pertanyaan ini. Dua aspek lainnya, yaitu menonton film porno dan puasa, memiliki aspek hukum dan moral yang terpisah dari masalah sah-tidaknya puasa.

Pornografi tidak mungkin dilepaskan dari perzinaan, baik dalam proses produksinya, maupun sebagai akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan zina itu sendiri adalah perbuatan yang sangat dikutuk dan dilarang oleh agama. Sedemikian terlarangnya zina, sehingga Allah tidak hanya melarang melakukannya, tetapi bahkan melarang mendekatinya. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Itupun masih ditambah dengan keterangan, “sungguh, zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” Maka sempurnalah keharaman perbuatan nista ini.

Termasuk dalam larangan ini adalah pornografi, karena pornografi adalah titik potensial yang menghubungkan seseorang dengan perzinaan. Ini mengikuti kaidah “ma adda ila al-haram fa huwa haram” (segala sesuatu yang bisa mengantar kepada hal yang haram maka hukumnya juga haram) dan kaidah lain yang bermakna serupa yaitu: “li al-wasa-il hukm al-maqashid” (terhadap pendukung, pendorong, penyebab suatu perkara diberlakukan hukum yang sama dengan perkara yang dihasilkannya). Tetapi, tidakkah berlebihan kalau menganggap pornografi sebagai pendorong perzinaan.

Tentu saja tidak semua perzinaan diakibatkan oleh pornografi sebagaimana tidak semua pornografi mengakibatkan (secara langsung) perzinaan. Tetapi barangkali kita dapat mengambil kasus-kasus kejahatan s*ksual sebagai indikator. Sepuluh tahun lalu, misalnya, pornografi tentu telah ada tetapi tidak semudah, sebebas dan seluas peredaraannya saat ini. Sejalan dengan itu, dalam waktu yang sama kejahatan s*ksual juga sangat meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di sisi lain, tidak pantas rasanya berpuasa tetapi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, apalagi hal itu juga mempunyai potensi mer*ngsang serta membangkitkan gairah s*ksual. Sedangkan gairah s*ksual tu sendiri adalah perwakilan absolut nafsu, sesuatu yang seharusnya justru menjadi sasaran ibadah puasa untuk ditaklukkan dan dikendalikan.

Lagi pula, ada sebagian ulama yang menganggap puasa tidak hanya sekedar pengekangan diri terhadap hal-hal fisik/ biologis (makan, minum, s*ks) semata. Lebih daripada itu, dalam berpuasa seseorang dituntut untuk bisa menjaga pancaindera serta segenap anggota badan lainnya untuk tidak terjatuh dalam segala bentuk maksiat dan perbuatan rendah.

Kita tentu,tidak ingin seperti orang-oiang yang digambarkan Rasulullah dalam hadisnya tentang mereka yang melakukan puasa tetapi tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan puasa kecuali dalam hal tidak makan dan minum.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita