Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?
Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)
Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.
Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.
Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.
Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)
Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).
Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.
Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.
Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.
Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.
Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun
Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.
Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)
Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.
Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.
Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.
Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)
Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).
Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.
Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.
Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.
Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.
Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun
Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.
Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)