Pada permulaan bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H, Rasulullah saw. mulai sakit. Akan tetapi, pada saat fajar menyingsing hari Senin tanggal 12 Rabi’uI Awwal Rasulullah saw. merasa bahwa kesehatannya membaik, kendati belum pulih seluruhnya. Beliau keluar dari kamar Aisyah untuk menemui kaum muslimin di masjid. Beliau ingin mengutarakan sesuatu kepada mereka.
Dipanggillah Usamah bin Zaid. Beliau memberikan perintah kepadanya untuk memimpin pasukan berangkat ke Negeri Romawi. Abu Bakar Ash-Shiddiq juga diminta untuk menggantikannya mengimami shalat berjamaah.
Selepas itu, beliau kembali memasuki kamar Aisyah untuk istirahat kembali, Jamaah shalat telah selesai, Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian datang untuk menjenguk Rasulullah saw. Melihat keadaan Rasulullah saw. yang sudah tidak separah kemarin, Abu Bakar AshS hiddiq merasa tenang. Dia pun kembali ke rumahnya di daerah As-Sakh, di luar kota Madinah.
Pada hari itu juga Rasulullah saw. wafat. Sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq berada jauh darinya. Datanglah utusan yang mengabarinya bahwa Rasulullah saw. telah kembali ke sisi Allah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq datang ke Madinah. Dia menyaksikan para sahabat di masjid sedang menundukkan kepala karena berduka. Sedangkan Umar bin Khaththab menyampaikan khutbah kepada mereka dan mencela siapa saja yang berkeyakinan bahwa Rasulullah saw. telah meninggal dunia.
Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk ke dalam kamar putrinya, Aisyah, Rasulullah saw. sudah dikafani dan masih terbujur di sana. Dia menyingkap tirai kain kafan itu dan menatapnya dalam-dalam. Tidak terasa air matanya menetes. Dia bergumam lirih, “Alangkah indahnya engkau di waktu masih hidup dan alangkah indahnya engkau di waktu wafat.”
Kemudian, dia keluar dari kamar untuk menemui semua orang yang sedang tenggelam dalam duka. Dia berdiri di hadapan mereka. Dengan ketabahan hati yang mendalam. dia berkata kepada mereka, “Wahai manusia, dengarkanlah! Siapa saja yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah hahwa Muhammad telah wafat. Tetapi, siapa saja yang menyembah Allah, maka Allah masih hidup dan tidak akan pernah mati.”
Kemudian dia membaca ayat A1-Qur’an :
Artinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh, telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran 31: 144)
Dalam pernyataan yang mantap dan tegas itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil menguasai dan menarik kembali jiwa para sahabat yang telah melayang-layang. Sedikit demi sedikit, para sahabat tergugah kesadarannya untuk menghadapi kenyataan yang terjadi. Kemudian, Abu Bakar memasuki kamar Aisyah bersama Ali bin Abu Thalib untuk mempersiapkan prosesi pemakaman jenazah Rasulullah saw.
Prosesi pemakaman selesai. Abu Ubaidah bin Jarrah bersama kaum muslirnin masih mengobrol tentang wafamya Rasulullah saw., sementara Umar bin Khaththab masih berdiam dan larut dalarn lamunannya sendiri.
“Siapa yang akan menjadi pemimpin setelah wafatnya Rasulullah saw.?” tanyanya dalam hati.
Pada saat itu, kaum Anshar menyerukan kaum muslimin untuk berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Di antara mereka, ada Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj. Dia hadir dalam pertemuan itu untuk dilantik sebagai khalifah oleh kaumnya sendiri. Dia berpidato di hadapan kaum Anshar.
“Wahai kaum Anshar, sesungguhnya, sebelum kalian sudah ada yang telah masuk agama ini. Mereka sangat mulia keislamannya. Tidak ada satu pun kabilah Arab yang seperti mereka ini. Muhammad telah menghabiskan waktu sepuluh tahun lebih di tengah-tengah kaumnya untuk men yerukan mereka guna menyembah Allah dan menjauhi perilaku syirik.
Hanya saja, sedikit sekali kaumnya yang mau mengimaninya. Mereka pun tidak mampu melindungi Rasulullah saw. Mereka tidak sanggup membela agamanya. Mereka tidak berdaya tuk menangkis segala macam penganiayaan yang menimpa.
Ketika Allah sudah menginginkan keutamaan bagi kalian, maka Ia mencurahkan kemuliaan bagi kalian. Dia telah melimpahkan nikmat kepada kalian. Allah telah mengucurkan nikmat berupa iman kepada kaum dan rasul-Nya. Kalian mampu melindungi beliau dan para sahabatnya. Kalian juga sanggup membela agama Allah dan berjihad memerangi musuh-musuh Allah.
Kalian adalah manusia yang paling keras kepada musuh Allah daripada golongan lainnya. Selanjutnya, bangsa Arab pun sudah mulai matang untuk mematuhi perintah Allah dengan penuh ketaatan. Banyak sudah bangsa- bangsa jauh lainnya yang telah tertaklukkan.
Melalui Rasulullah saw., Allah telah menganugerahi kalian bimi ini. Dengan pedang, kilian hampir menguasai segenap bangsa Arab. Allah telah mewafatkan Muhammad dan beliau telah ridha kepada kalian dan kalian pun bersukacita mendapatkan keridhaan itu. Mengingat itu semua, maka genggamlah kekuasaan ini untuk memerintah semua orang. Karena sesungguhnya, kekuasaan itu berada di tangan, kalian bukan orang lain.”
Demikianlah pidato panjang dari Sa’ad bin Ubadah untuk membakar semangat kaum Anshar. Dia berkeinginan agar kaum Ansharlah yang menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah saw.
Kemudian, datanglah seseorang menemui Umar bin Khaththab dan mengabarkan tentang kejadian di Saqifah Bani Sa’idah. Umar bin Khaththab memerintahkan orang itu untuk pergi ke kamar Aisyah dan memanggil Abu Bakar Ash-Shiddiq agar keluar karena ada urusan penting.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah keluar, Umar bin Khaththab mengabarinya tentang peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah. Umar berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu? Kaum Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka ingin menyerahkan tampuk kekhalifahan ini ke tangan Sa’ad bin Ubadah. Hal yang paling perlu dicermati adalah ucapan mereka, ‘Kami punya pemimpin, kalian juga berhak punya pemimpin.’ ini sangat berbahaya, karena bisa memecah persatuan kaum muslimin.
Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak menjawab. Dia hanya bersiap-siap untuk berangkat ke tempat perkumpulan itu.
Akhinya, tiga orang sahabat senior: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat ke Saqifah. Di sana, mereka menenangkan massa supaya menangguhkan bai’at (sumpah setia atau pelantikan) yang mereka berikan kepada Sa’ad bin Ubadah. Mereka diminta agar tidak terpengaruh dengan pidato Sa’ad.
Untung saja, mereka bersedia menuruti permintaan tiga sahabat senior itu. Padahal, sebelumnya mereka sudah bertekad bulat untuk merebut kursi kekhalifahan sebagai milik mereka dan menjadi penguasa atas seluruh bangsa Arab. Mereka bakal mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai calon khalifahnya.
Setelah semua anggota persidangan tenang, tiga orang sahabat itu duduk di majelis Saqifah Bani Sa’idah dengan dikelilingi kaum Anshar. Hanya tiga orang itulah yang berasal dan kaum Muhajirin. Abu Bakar Ash-Shiddiq segera berpidato kepada kaum Anshar dengan bahasa yang penuh kelembutan dan sarat intisari keagamaan karena persoalan itu sangat penting.
“Memang, sangat berat bagi bangsa Arab untuk bisa meninggalkan agama nenek moyang mereka yang sudah mendarah daging. Dengan inilah, maka Allah memberikan keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang pertama kali masuk Islam. Mereka adalah kaum Rasululkth saw. yang membenarkan ajaran beliau. Mereka menanggung segala penderitaan bersama beliau dan tetap bersabar walaupun siksaan datang bertubi-tubi menghempas mereka.
Mereka juga tetap gigih walaupun pihak lawan mendustakan. Setiap lawan Islam pasti akan melecehkan kaum muslimin Muhajirin ini. Tetapi kaum Muhajirin tidak pernah merasa gentar dan surut ke belakang walaupun jumlahnya sedikit. Padahal, semua orang sudah gusar dan marah kepada mereka.
Kaum Muhajirin inilah yang pertama kali menyembah Allah di muka bumi dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka adalah sahabat Rasulullah saw. dan kerabatnya.
Mereka pastinya lebih berhak menduduki kursi kekhalifalian ini sepeninggal Rasulullah saw. Tidak ada seorang pun yang berhak melawan mereka kecuali orang-orang yang zalim. Sedangkan kalian, wahai orang-orang Anshar. Tidak ada seorang pun yang bisa membantah keagungan kalian. Tidak pula kaum Muhajirin yang telah lebih dahulu masuk Islam. Allah telah meridhai kalian untuk menjadi penolong agama Allah dan Rasulullah saw. Menuju kampung halaman kalianlah Rasulullah saw. berhijrah. Di antara kalian, terdapat istri Rasulullah saw. dan sahabat beliau. Tidak ada yang lebih berhak setelah kami, kaum Muhajirin yang lebih dahulu masuk Islam, kecuali kalian, wahai kaum Anshar. Kami adalah pemimpin dan kalian menterinya.
Janganlah kalian menyelesaikan persoalan ini sendiri tanpa musyawarah. Kedudukan khalifah ini bukan menjadi hak kalian.”
Ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq itu menyisakan kebingungan dan kebimbangan di hati kaum Anshar. Mereka mulai berbisik-bisik untuk meninjau kembali urusan itu dengan jernih, karena ucapan dari Abu Bakar Ash Shiddiq benar adanya.
Hanya saja, ada sebagian kaum Anshar yang sudah memiliki hasrat terhadap jabatan khalifah. Mereka kasak-kusuk di belakang untuk membahas masalah itu. Kemudian mereka menunjuk seseorang untuk menjadi juru bicara untuk mematahkan argumentasi Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Dengan lantang dia bersuara, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya, kami adalah penolong (Anshar) Allah dan pasukan Islam. Sedangkan kalian, wahai kaum Muhajirin, adalah bagian dari kami. Kalian telah berhijrah dari kampung halaman dengan meninggalkan kaum kalian. Dan kemudian apakah dengan begitu enaknya kalian (kaum Muhajirin) mau mencabut akar kami dan merampas hak kami untuk menduduki khalifah ini.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq segera angkat bicara untuk meruntuhkan pendapat kalangan Anshar itu. Sambil berdiri dia berseru lantang, “Para hadirin sekalian yang terhormat, sesungguhnya, kami kaum Muhajirin adalah orang yang pertama kali masuk Islam. Kaum Muhajirin mempunyai kedudukan yang begitu mulia, wajah yang rupawan dan keturunan yang paling banyak di antara bangsa Arab. Mereka juga kelompok yang paling sayang kepada Rasulullah saw. Kami telah masuk Islam sebeluni kalian. Kalau kalian tidak percaya, silakan baca Al-Qur’an. :
Artinya :“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama- lamanya. ltulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah [9]: 100)
Kami adalah kaum Muhajinn, sedangkan kalian adalah Anshar yang merupakan saudara seagama kami. Kalian adalah sekutu kami dalam mendapatkan harta rampasan perang. Kalian adalah penolong kami melawan musuh. Semua kelebihan yang kalian klaim tersebut memang sudah semestinya seperti itu. Kalian adalah kelompok orang yang paling berhak mendapatkan pujian di antara semua orang di dunia ini. Bangsa Arab tidak mengenal orang yang memegang tampuk kekhalifahan ini kecuali dari kalangan Quraisy. Baiklah kami menjadi pemimpinnya dan kalian menjadi menterinya.”
Al-Habbab bin Mundzir bin A1-Jamuh Al Anshari panas mendengar ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut. Dia marah besar dan mencaci-maki Abu Bakar Ash-Shiddiq. Umar bin Khaththab memperingatkannya agar tidak mengeluarkan kata-kata ancaman dan ucapan kotor kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Namun, Al-Habbab tidak mau menerima peringatan tersebut, sehingga nyaris saja antara Al-Habbab dan Umar bin Khaththab terjadi baku hantam. Untung saja, Abu Ubaidah bin Jarrah dengan sigap berdiri dan menengahi pertikaian itu.
Dia berkata kepada kaum Anshar, “Wahai kaum Anshar, kalianlah pihak yang pertama kali mengulurkan tangan untuk menolong. Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali mengubah hal itu menjadi permusuhan.”
Ucapan Abu Ubaidah tersebut berpengaruh kuat di hati para pendengar, terutama kaum Anshar. Basyir bin Sa’ad akhirnya berdiri dan berpidato di hadapan kaumnya, “Demi Allah, memang harus diakui bahwa kita termasuk golongan yang memiliki banyak kelebihan dalam niemerangi orang-orang musyrik dan kita masuk pertama kali ke dalam agama ini. Namun, sama sekali tidak ada keinginan di benak kita kecuali mengharapkan ridha Allah dan ketaatan kepada Rasulullah saw. serta jalan hidup yang lurus. Hendaknya kita tidak memperpanjang urusan ini.
Kita sama sekali tidak mengejar pamrih duniawi. Karena sesungguhnya, hanya Allah-lah yang mempunyai karunia dan nikmat. Ingatlah, sesungguhnya, Muhammad berasal dari Quraisy. Sudah selayaknya kaumnya itu yang menduduki jabatan khalifah. Demi Allah, aku tidak akan melawan me’reka dalam masalah ini, selamanya. Takutlah kepada Allah. Janganlah kalian menentang dan bermusuhan dengan mereka.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq pun hendak menyudahi perebutan kekuasaan itu. Dia menunggu sampai Basyir bin Sa’ad menyelesaikan ucapannya. Dia kemudian berdiri dan mengangkat tangan Umar bin Khaththab, sementara tangan lainnya mengangkat tangan Abu Ubaidah. Dia meminta kepada semua orang untuk membal’at salah satu dan dua sahabat itu.
Tetapi, dengan sigap Umar bin Khaththab melepaskan pegangan tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada tangannya dan tangan Abu Ubaidah. Dia justru mengangkat tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan membai’atnya di hadapan hadirin. Para hadirin pun diminta untuk memberikan bai’atnya.
Dari kalangan Anshar yang pertama kali menyatakan bai’atnya adalah Basyir bin Sa’ad. Dia menepukkan tangannya ke tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai tanda bai’at. Langkah itu diikuti oleh Usaid bin Hadhir, pemimpin suku Aus, yang mewakili sukunya. Semua hadirin lalu memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah Rasulullah saw., kecuali Sa’ad bin Ubadah.
Selesai pembai’atan di Saqifah, harus ada pembai’atan selanjutnya dari kaum muslimin. Abu Bakar Ash-Shiddiq dan para sahabatnya kemudian bertolak ke masjid di mana kaum muslimin masih berkumpul di sana. Mereka semuanya membai’atnya menjadi khalifah.
Kemudian dia berdiri dan menatap mereka. Dia menyampaikan khutbah pertamanya yang sarat kebijaksanaan dan penuh dengan agenda kerja untuk kepentingan kaum muslimin.
“Wahai umat Islam, dengarkanlah! Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Kalau aku berbuat kebaikan, maka dukunglah aku. Akan tetapi, kalau aku melenceng, maka luruskanlah jalan dan tindakanku, karena kejujuran merupakan sebuah amanah. Kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat bagiku sehingga aku harus memberikan haknya, Insya Allah. Orang yang kuat di antara kalian adalah lemah bagiku. Aku akan mengambil hak darinya, Insya Allah. Jika ada kaum yang tidak melaksanakan jihad, maka hanya kenistaan yang akan menimpa mereka. Sebuah kaum yang gemar melakukan perbuatan keji di mana-mana, maka malapetaka akan menerpa mereka. Taatlah kepadaku sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasulullah saw. Kalau aku bermaksiat kepada Allah dan Rasulullah saw., maka tidak ada kewajiban taat atas kalian. Marilah mendirikan shalat, mudah-mudahan kalian diranmati Allah.