Wednesday, 26 October 2016

Nama Dan Nasab Umar Bin Khattab (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra., bilik islam
Dia adalah Abu Hanifah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qarth bin Razzah bin Adi bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib A1-Qurasyi. Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin A1-Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b. 

Menurut sebuah riwayat, Umar dilahirkan 13 tahun setelah Tahun Gajah. Dari Sa’id bin A1-Musayyab ia mengatakan, “Umar masuk Islam setelah 40 pria dan 10 wanita. Sesudah dia masuk Islam, maka Islam tampak mulai bersinar di kota Mekah.” 

Umar memiliki kedudukan yang mulia di tengah kaum Quraisy di masa Jahiliah, sehingga dia diangkat menjadi duta mereka, yaitu ketika terjadi peperangan dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dia juga ditampilkan untuk unjuk kebanggaan, ketika mereka hendak bermegah-megahan. 

Dia masuk Islam pada tahun keenam dari masa kenabian. Kulitnya putih kemerah-merahan dan perawakannya tinggi. Disebutkan dalam sejarah bahwa warna kulitnya menjadi cokelat setelah dilanda tahun-tahun kelabu (yaitu ketika terjadi masa paceklik di masa pemerintahannya, hal ini akan dikupas lebih lanjut dalam biografi selanjutnya berikutnya). 

Dia wafat karena ditikam (sewaktu mengimami shalat subuh) saat berusia 63 tahun. Dia dikuburkan di ruangan yang mulia bersama Rasulullah saw. dan sahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Semoga Allah meridhai Al-Faruq Umar. 

Persaksian Semuanya
Setelah Al-Faruq Umar ra. masuk Islam, dia bertemu seorang penggembala, lalu penggembala tersebut berkata kepadanya, “Aku merasa bahwa orang yang bekerja dengan kedua tangannya itu (yakni, Umar) telah masuk Islam.” Maka, dia menimpali, “Apakah dia orang yang menang dalam pertandingan gulat di pasar Ukazh?! 

Ia menjawab, “Ya.” 

Ia melanjutkan, “Demi Allah, sungguh, dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” 

Dialah Al-Faruq yang tidak lunak dalam urusan kebenaran dan pelaksanaannya. Badui ini telah merangkum tentang perbuatannya. 

“Sungguh dia akan melapangkan kepada mereka, baik berupa kebaikan maupun keburukan.” Ya, Umar meluaskan kebajikan pada ahli kebajikan dan keburukan pada ahli keburukan; karena dia tidak menghiraukan celaan orang lain dalam urusan kebenaran.

Biografi Umar selanjutnya bisa dilihat pada postingan yang berjudul : Setan Takut Ketegasan Al-Faruq ra. (Biografi Lengkap Umar Bin Khattab ra.)

Tuesday, 25 October 2016

Hukum Mengucapkan "Sayyidina" Dalam Shalawat (Sebelum Nama Muhammad)

mengucapkan sayyidina sebelum nama nabi
Sepatutnya bagi orang-orang besar, terutama sekali bagi sayyidul anbiya’ wal mursalin yakni Nabi Muhammad Saw. diberikan laqab atau gelar dengan “Sayyidina” yang berarti penghulu atau junjungan kita. Hal ini dikarenakan Nabi kita Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin dan junjungan ummat, melainkan juga sebagai penghulu sekalian nabi.
 
Kalau terhadap Nabiullah Yahya bin Zakaria Al-Qur’an memberikan gelar sayyid sebagaimana tersebut dalam surat Ali lmran ayat 39 :
“Dan beliau adalah sayyid, mampu menahan diri (dari hawa nafsu) dan juga seorang nabi dari keturunan orang-orang saleh”
 
Maka tentulah bahwa gelar itu lebih utama lagi diberikan kepada Rasulullah Saw.
 
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 67 Allah Swt. Berfirman :
“Mereka (para penghuni neraka) berkata Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi para pemimpin dan pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dan jalan yang benar”.
 
Dan dalam surat Yusuf ayat 25 :
“Wanita itu menarik baju Yusuf dari belakang hingga robek dan kedua-duanya menjumpai suami wanita itu secara tiba-tiba ada di depan pintu”.
 
Sedangkan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw. Bersabda :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya”.

Dalam tiga penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadits diatas diterangkan bahwa pemimpin, suami dan bahkan semua anak Adam (manusia) dapat juga dikatakan sayyid. Kalau demikian keadaannya, maka apakah manusia yang paling tinggi harkat dan martabatnya di sisi Allah Swt. yakni junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. tidak boleh disebut sayyid ? Maha benarlah Allah Swt. yang telah berfirman :
“Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang tersembunyi dalam dada”. (QS.Al-Haj : 46) 

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw. memberitahu para sahabatnya dimana pada hari kiamat nanti Allah Swt. akan menggugat para hamba-Nya dengan ucapan : “alam ukrimka wa usawwidka (Bukankah engkau telah Aku muliakan dan telah Aku jadikan sayyid ?)“ . Makna hadits ini bahwa Allah Swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi kepada setiap manusia. Dan kau kenyataannya memang demikian, maka apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada yang lain ? Kalau manusia biasa saja dapat disebut sayyid, apakah Rasulullah Saw. tidak boleh disebut sayyid.?
 
Demikian juga terhadap ahli baitnya, semua adalah sayyidina. Al-Bukhari meriwayatkan .bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata kepada puteri beliau Siti Fatimah r.a :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah para wanita ummat ini?”.
 
Dalam shahih Muslim terdapat hadits senada yang berbunyi :
“Wahai Fatimah, tidakkah engkau berpuas hati menjadi sayyidah wanita-wanita mukmin atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?.

Berdasarkan dua hadits riwayat Bukhari dan Mushm diatas, maka kita terbiasa menyebut puteri Rasulullah Saw., Siti Fatimah az-Zahra dengan sebutan sayyidatuna atau sayyidati yang dalam bahasa Indonesia telah berubah lafaz (diringankan) menjadi “Siti” yang maknanya sama dengan “sayyidati”.
 
Demikian pula halnya terhadap cucu Rasuullah Saw. yaitu Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari dan At Turmuzi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad yang sahih bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. Bersabda :
“Hasan dan Husein adalah dua orang yang akan menjadi sayyid para pemuda ahli surga”.
 
Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al-Khattab radhiyallahu‘anhuma, kedua-duanya juga disebut sayyid oleh Rasulullah Saw.
 
Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Abu Bakar dan Umar adalah dua sayyid para sesepuh ahli surga baik dari kalangan terdahulu maupun terkemudian kecuali para Nabi dan Rasul”.

Ketika Sa’ad bin Mu’az diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraizhah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memanggilnya. Sa’ad-pun datang sambil berkendaraan yakni menunggang keledai. Melihat hal itu Rasulullah Saw. berkata kepada orang-orang yang hadir :
“Berdirilah untuk menghormati sayyid kalian atau orang yang terbaik diantara kalian”. 

Setelah dikemukakan sekian banyak hadits Nabi yang mengindikasikan tentang bolehnya menggunakan sayyid ketika menyebut nama Rasulullah Saw., apakah mereka yang tidak setuju masih tetap bersikeras menentang penggunaan sayyidina ketika menyebut nama beliau ? Apakah mereka itu tidak khawatir akan dikesankan sebagai orang yang mengingkari martabat Rasulullah Saw. sebagai Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin (Penghulu sekalian Nabi dan Rasul)? 

Kalau diketengahkan sebuah hadits riwayat Ka’ab bin Ajroh yang berkata :
“Pernah Nabi Saw. keluar menuju kami lalu kami berkata ‘‘Sesungguhnya kami telah mengetahui bagaimana mengucap salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami akan menghaturkan shalawat untukmu ? Nabi Saw. menjawab : Ucapkanlah “Alloohumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad hingga akhirnya” dimana dalam hadits ini tidak disebutkan lafaz sayyidina, lalu berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa mengucap sayyidina adalah bid’ah dhalalah, maka kesimpulan ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat dan tergesa-gesa. 

Pada hadits tersebut Nabi Saw. ditanya oleh sahabatnya bagaimana cara mengucap shalawat kepada beliau ? Dan karena shalawat yang ditanyakan itu adalah berkenaan dengan diri beliau sendiri, maka sebagai orang yang tawaadhu’ dan tidak suka menyombongkan diri akan terasa berat bagi beliau untuk mencantumkan sayyidina pada nama beliau karena sayyidina itu adalah gelar kebesaran; Oleh karena itu, maka Nabi Saw. tidak menjawab pertanyaan sahabat itu dengan :
Jangankan Nabi Muhammad Saw. yang berdasarkan penuturan para ulama adalah syadiidal hayaa’ wat tawaadhu’ (sangat pemalu dan suka merendahkan diri), kita saja akan merasa berat dan merasa tidak enak menyebut-nyebut gelar pada nama kita. 

Cobalah kita bertanya pada seseorang siapa namanya ? Walaupun pada hakekatnya dia telah bergelar professor atau doctor tetapi tentu dia tidak akan merasa enak untuk menyebut-nyebut gelarnya itu. Dia pasti hanya mencukupkan diri dengan menyebut namanya saja. 

Tetapi walaupun ia tidak mau menyebutkan gelarnya itu kepada kita, namun apabila kita sendiri yang akan menyebut namanya, maka sebagai tanda kita menghormati dia, tentunya akan lebih baik kalau gelarnya itu kita cantumkan. 

Nah, Begitu jugalah halnya dengan Nabi kita Muhammad Saw., walaupun beliau tidak menyebutkan gelar sayyidina diketika beliau mengajarkan tata-cara bershalawat namun sebagai adab dan penghormatan kita kepada beliau, sepatutnyalah kita cantumkan gelar sayyidina itu apabila kita menyebut-nyebut nama beliau atau mengucapkan shalawat untuk beliau. 

Oleh karena itulah, maka Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan di dalam kitab beliau Hasiyatul Bajuri jilid I/156 :
“Yang lebih utama adalah menyebut sayyidina karena yang afdhal adalah menerapkan sikap adab”.
 
Demikian pula pendapat Syaikh Sihabuddin al-Qalyubi di dalam kitabnya jilid I/167 :
“Bahkan menyebut sayyidina yang afdhal karena di dalamnya terdapat pelaksanaan perintah beserta penerapan adab”.

Dan juga penjelasan Syaikh Ibnu Qasim al-Ubbadi di dalam Hasiyah kitab Tuhfatul Muhtaj jilid I/268:
“Dan telah masyhur fatwa ulama tentang tambahan sayyidina sebelum Muhammad”.
 
Sedangkan dalam kitab Hasiyah Sanusi halaman 8 ditegaskan bahwa fatwa yang rojih (kuat) adalah : “Menjalankan adab didahulukan daripada menjalankan perintah”.

Selanjutnya mari kita perhatikan sebuah penjelasan yang tersebut dalam kitab Nailul Authar oleh Imam Syaukani jilid II/302 :
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Abdissalam bahwa beliau menjadikan penggunaan “sayyidina” itu sebagian daripada bab “Menjalankan Adab” yaitu didasarkan kepada kaidah bahwa menempuh jalan adab lebih disukai daripada menjalankan perintah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Abu Bakar ketika Nabi Saw. memberikan perintah kepada beliau agar tetap ditempatnya (untuk menjadi imam shalat) lalu beliau tidak melaksanakan perintah itu dan berkata : “Tidak sepatutnya bagi anak Abi Quhafah untuk maju dan berdiri dihadapan Rasululah Saw.”. Dan begitu juga keengganan Ali bin Abi Thalib untuk menmghapus nama Nabi Saw. dan surat perjanjian pada perdamaian Hudaibiyah sesudah Nabi memberi perintah untuk melakukannya. Ketika itu Ali berkata “Aku tidak mau meughapus namamu selama-lamanya”. Kedua hadits ini terdapat dalam sahih Bukhari. Maka pengakuan Nabi Saw. terhadap sikap Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib perihal keengganan menjalankan perintah dengan tujuan menjalankan adab adalah menunjukkan keutamaan hal tersebut”.
 
Demikianlah beberapa penjelasan seputar kemusykilan yang diajukan berkaitan dengan sabda Nabi Saw. dalam riwayat Ka’ab bin Ajroh yang hanya memerintahkan para sahabat untuk mengucapkan shalawat dengan menyebut nama beliau tanpa kata “sayyidina”. 

Sebenarnya, meski terdapat riwayat yang tidak menyebutkan kata sayyidina dalam pengajaran beliau tentang tata cara mengucapkan shalawat -dan untuk hal tersebut telah dijelaskan maksud yang terkandung di dalamnya- namun dalam beberapa riwayat lainnya yang bersifat pengkhabaran (informasi) justru terdapat pengakuan yang jelas bahwa Nabi Saw. adalah seorang sayyid. Bukhari dan Muslim, masing-masing di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam” 

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
 
Dalam hadits riwayat Ahmad, lbnu Majah dan Turmuzi terdapat sebuah hadits dimana Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid anak Adam di hari kiamat nanti”.
 
Riwayat lain yang disampaikan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
“Saya adalah sayyid semua manusia di hari kiamat”.
 
Hadits ini oleh Rasulullah Saw. sendiri diberikan makna sebagai berikut : -
“Pada hari kiamat nanti, Adam dan para nabi lainnya akan berada dibawah benderaku”.
 
Riwayat dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum dalam kitab “Dalaa’ilun Nubuwwah” menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah sayyid kaum mukminin jika mereka telah dibangkitkan nanti”.

Sedangkan hadits riwayat al-Khatib mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
“Saya adalah imam kaum muslimin dan sayyid orang-orang yang bertakwa”.

Semua hadits yang tersebut diatas adalah mutawatir dan itu menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. adalah sayyid. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Saw. adalah satu hal yang tepat dan sangat pantas dilakukan oleh setiap muslim yang mencintai beliau. 

Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan terang menunjukkan bahwa beliau lebih suka dipanggil dengan sayyidina. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak dengan isnad shahih berasal dari Jabir bin Abdullah yang mengatakan sebagai berikut :
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah Saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt. beliau bertanya “Siapakah aku ini ?” . Kami menjawab “Rasulullah!”. Beliau berkata : “Ya benar, tetapi siapakah aku ini ?”.Kami menjawab : “Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hisyam bin Abdi Manaf!”. Beliau kemudian berkata “Aku adalah sayyid anak Adam”.

Ada sementara orang yang tidak setuju penggunaan kata sayyidina diketika menyebut nama Rasulullah Saw. mengajukan sebuah hadits yang berbunyi :
“Jangan kalian menyebutku sayyid di dalam shalat”. 

Tampaknya orang tersebut sudah kepayahan mencari dalil untuk menolak penggunaan kata sayyidina sehingga hadits itulah yang terpaksa diajukannya. Padahal hadits tersebut sudah dinyatakan oleh para ulama sebagai hadits palsu (maudhu). Dalam kitab Al-Hawi, Jalaluddin as-Suyuthi ketika menjawab pertanyaan tentang hadits itu berkata dengan tegas bahwa hadits itu tidak pernah ada alias batil. Al-Hafiz as-Sakhawi dalam kitab “Al-Maqashidul Hasanah” mengaskan bahwa hadits itu tidak karuan sumbernya. Jalaluddin al-Mahalli, Syamsur Ramli, lbnu Hajar al-Haitsami, Imam al-Qari serta para ahli fiqh madzhab Syafi”i dan Maliki mengatakan bahwa hadits itu sama sekali tidak benar. 

Kecuali itu terdapat indikasi lain yang betul-betul memastikan hahwa hadits itu adalah hadits palsu yakni penggunaan kata tusayyidu. Hal ini karena dalam bahasa arab tidak terdapat kata kerja (fi’il) yang berakar kata “sayyada” kemudian menjadi “yusayyidu”. Yang ada hanyalah "sawwada” menjadi “yusawwidu” yang berarti memuliakan. Tidaklah mungkin sama sekali bahwa Rasulullah Saw, yang digelari oleh para pujangga arab dengan afshahu naathiqin bid dhad yakni orang yang paling fasih mengucapkan kata-kata arab justru malah menggunakan kata-kata yang tidak dikenal oleh orang arab sendiri. Karenanya penggunaan kata yang tidak tepat dalam hadits itu termasuk satu indikasi yang menguatkan kepalsuan hadits tersebut.

Abu Bakar Masuk Islam (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra. bilik islam
Abu Bakar Ash-Shiddiq bisa dinilai sukses dalam dunia perdagangan. Dia memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil bisnis itu. Dia mempunyai sekian banyak unta dan domba layaknya para hartawan Mekah lainnya di waktu itu. 

Abu Bakar Ash-Shiddiq menjalani hidup yang diliputi kemudahan dan kemewahan seperti kebanyakan pedagang dan hartawan Mekah. Dia hidup terhormat layaknya Khadijah binti Khuwailid istri Rasulullah saw. yang juga “ibu” kaum muslimin.


Dari jalur perdagangan itulah dia mulai mengenal Muhammad bin Abdullah. Dia juga mengetahui sifat-sifat Muhammad yang terpuji, berbudi luhur dan bersih. Jalan hidup dan perilaku beliau sungguh patut diteladani. 

Keakraban terjalin antara Abu Bakar dengan Muhammad. Usia keduanya tidak terpaut jauh. Usia Abu Bakar Ash-Shiddiq lebih muda dua tahun beberapa bulan dari usia Rasulullah saw. 

Wahyu turun kepada Muhammad bin Abdullah. Beliau diutus menjadi Nabi untuk memberikan petunjuk kepada semua manusia dan dipilih menjadi rasul yang menyebarkan risalah ketuhanan. Dan sini, Rasulullah saw. teringat akan sahabat karibnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau tahu bahwa sahabatnya itu adalah sosok orang yang cerdas dan berwawasan luas. 

Rasulullah saw. menjelaskan tentang Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak sedikit pun Abu Bakar Ash-Shiddiq mengalami kebimbangan saat dia menerima Islam. Dia menerima ajakan menuju kebenaran itu dan beriman dengan semua ajaran Muhammad bin Abdullah tanpa berpikir panjang. 

Abu Ja’far bin As-Samin menyitir dari Yunus bin Abu Bakar, dari Ibn Ishaq, dan Muhammad bin Abdur-Rahman bin Abdullah bin Al-Hushain At-Taimi bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“Setiap kali aku berdakwah kepada seseorang. pasti dia akan mengalami kebimbangan dan berpikir seribu kali sebelum menyatakan mau masuk Islam atau tidak. Ini tidak berlaku bagi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia tidak diterpa kebimbangan atau harus menunggu untuk berpikir beribu kali. Dia langsung menerima ajaran Islam.”

Biografi Abu Bakar selanutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Sahabat Dekat Rasulullah (Biografi Lengkap Abu Bakar Ash Shiddiq ra.)

Perjanjian Hudaibiyah (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Biografi Lengkap Rasulullah SAW, bilik islam
Setahun setelah Perang Ahzab berlalu, Nabi Muhammad mengumumkan kepada kaum muslimin agar mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 Hijriah, Nabi beserta 1.400 orang pengikutnya berangkat menuju kota Mekah tanpa membawa senjata kecuali pedang yang disarungkan, yang menurut adat bangsa Arab merupakan hiasan yang khas. Hal tersebut dimaksudkan agar orang-orang mengetahui bahwa mereka datang bukan untuk berperang, tetapi untuk berhaji ke Baitullah. 

Setelah melakukan perjalanan selama beberapa hari, sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah. Sebuah tempat yang terletak beberapa kilometer dari Mekah. Di sini, mereka berkemah dan menyembelih binatang kurban seraya mengucap talbiah. 


Untuk mengetaui kekuatan dan untuk merintangi kaum muslimin agar jangan sampai masuk Mekah, diutuslah Budail bin Warqa’, pimpinan suku Khuza’ah. Setelah mengadakan pembicaraan dengan Nabi, Nabi meminta kepada Budail. agar ia memberitahukan kepada kaum Quraisy, bahwa kedatangan kaum muslimin bukan untuk berperang melainkan hendak menunaikan ibadah haji dan hendak memuliakan Baitullah. 

Mereka pun kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy supaya kaum muslimin dibiarkan saja mengunjungi Ka’bah. Akan tetapi, mereka justru dituduh dan tidak diterima dengan baik oleh Quraisy. 

Mengenai rombongan kaum muslimin yang segera memasuki kota Mekah, menjadi dilema tersendiri bagi kaum Quraisy. Sebab, masuknya kaum muslimin ke Mekah bisa diartikan 

sebagai takluknya Quraisy tanpa syarat. Tetapi sebaliknya, mereka pun tidak bisa mentah-mentah menolak niat kaum muslimin yang datang untuk menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang karena bulan itu adalah bulan suci, di mana berlaku larangan perang. 

Kaum Quraisy kembali mengirimkan utusan lagi. Kali ini, orang yang diutus adalah Hulais pimpinan Ahabisy. Ketika Nabi melihat ia datang, beliau meminta supaya ternak kurban itu dilepaskan di depan matanya, agar Hulais melihat sendiri adanya bukti yang jelas bahwa kedatangan kaum muslimin hanyalah untuk berhaji ke Baitullah. 

Hulais terharu melihat pemandangan itu. Kembalilah ia kepada kaum Quraisy. ia menceritakan. apa yang telah dilihatnya kepada kaum Quraisy. Namun, begitu mendengar ceritanya itu, pemimpin Quraisy marah kepadanya. 

Dua kali sudah kaum Quraisy mengirimkan utusan kepada Nabi, namun keduanya tidak membawa hasil apa-apa. Akhirnya, diutuslah Urwah bin Ma’ud Ath-Thaqafi. Namun demikian, Urwah tidak berhasil mengadakan perjanjian. 

Terpikir oleh Nabi Muhammad, bahwa mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang dapat mewakili pihak Quraisy. Oleh karena itu, Nabi berganti mengirimkan utusannya kepada kaum Quraisy. Namun, utusan tersebut justru dianiaya dan untanya dibunuh. 

Sementara mereka sedang berusaha untuk mencapai perdamaian dengan jalan tukar-menukar utusan datanglah pasukan bersenjata musuh yang mengintai kaum muslimin. Pasukan tersebut segera ditangkap. Karena kaum muslimin datang bukan untuk berperang, pasukan itu pun segera dibebaskan, sebagai suatu tanda bahwa kaum muslimin ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci. Jangan sampai ada pertumpahan darah di Hudaibiyah yang juga masuk dalam wilayah suci kota Mekah. 

Nabi saw. sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Nabi mengirim Utsman bin Affan. ia pun berangkat menemui pimpinan-pimpinan Quraisy itu. Pembicaraan Utsman dengan kaum Quraisy terjadi begitu lama. Kaum muslimin menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum Quraisy. 

Tersiar kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu, Nabi menganjurkan agar kaum muslimin melakukan bai’at kepada beliau. Mereka pun berbai’at kepada Nabi dan akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian tersebut terjadi di bawah pohon yang terkenal dalam sejarah sebagai Bai’atur Ridhwan. 

Perjanjian setia ini telah mendapat ridha Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya, Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath [48]: 18) 

Bai’atur Ridhwan rnenggetarkan hati kaum Quraisy sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Karena perjanjian itu terjadi di Hudaibiyah, maka peranjian tersebut terkenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. 

Adapun perjanjian ini berlaku untuk masa 10 tahun. Isinya antara lain meliputi :
  1. Kaum muslimin belum diperbolehkan untuk menunaikan haji di tahun ini, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan;
  2. Di tahun depan, kaum muslimin diperbolehkan berhaji, tetapi tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari tiga hari;
  3. Kaum muslimin Madinah tidak diperbolehkan mengajak orang-orang Islam yang tinggal di Mekah untuk tinggal di Madinah. Demikian juga kaum muslimin, tidak diperbolehkan menghalangi umat Islam Madinah yang ingin tinggal di Mekah;
  4. Apabila di antara orang-orang Islam Mekah ada yang melarikan diri ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekah dan tidak demikian sebaliknya; dan
  5. Seluruh suku bangsa Arab, bebas menjalin hubungan dengan siapa saja. 

Demikian isi perjanjian tersebut, yang secara lahiriah dipandang sangat merugikan kaum muslimin. Para sahabat hampir seluruhnya merasa keberatan terhadap isi perjanjian tersebut. Namun demikian, pada hakikatnya peranjian itu merupakan suatu kemenangan yang besar bagi kaum muslimin, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah swt., :
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu pada jalan yang lurus.” (Al-Fath [48]: 1-2) 

Isi perjanjian Hudaibiyah itu juga merupakan bukti nyata bahwa Nabi adalah seorang yang mencintai perdamaian dan membenci peperangan. Demikian juga memperlihatkan kecerdikan dan keunggulan Nabi saw. Adanya ketentuan bahwa Perjanjian Hudaibiyah berlaku untuk masa 10 tahun, ini memberi kesempatan kepada kaum muslimin untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka terhadap kaum Quraisy. Sebagai akibat dari perjanjian ini, kaum muslimin dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada dakwah secara damai.

Selama dua tahun pertama, jumlah orang yang masuk Islam telah melebihi jumlah kaum muslimin selama dua windu sebelumnya. Ketika di Hudaibiyah, jumlah mereka sebanyak 1.400 orang, tetapi dua tahun kemudian, sewaktu mendatangi kota Mekah, beliau diikuti oleh 10.000 orang. 

Begitulah sukses yang diperoleh kaum muslimin sebagai akibat dari Perjanjian Hudaibiyah. Bila seseorang semakin memikirkan prinsip-prinsip Islam, ia akan semakin yakin padanya. Prajurit-prajurit besar seperti Khalid bin Walid -panglirna perang dan ahli strategi Quraisy yang ulung- dan Amru bin Ash memeluk Islam dalam masa Perjanjian Hudaibiyah.

Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Seruan Kepada Raja-raja untuk Memeluk Islam (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)

Perpecahan Golongan Khawarij (Sempalan Khawarij)

pecahan-pecahan golongan khawarij, bilik islam
Golongan khawarij mengalami kejayaan kurang lebih selama dua abad, akhirnya rapuh dan tercabik-cabik, ikatan tali persatuan yang mereka bangun begitu kokoh akhirnya pudar, akibat perpecahan yang menggerogoti tubuh aliran khawarij, yang akhimya hancur berantakan dan kini tinggal sebuah nama yang terukir dalam sejarah dan tertulis dalam buku. 

Sungguh sangat dahsyat perpecahan ditubuh aliran yang sempat merepotkan dan membuat puyeng khalifah Ali bin Abu Thalib dan Mu’awiyah. 


Namun Allah telah berfirman bahwa “setiap kebatilan akan sirna” maka sirna pulalah setiap aliran yang menyalahi aturan Islam. Kaum khawarij pecah menjadi 20 golongan diantaranya adalah :
 
AL-AZARIQAH
Yaitu sempalan khawarij yang dikomandoi oleh Abu Rasyid Nafi’ bin Al-Azraq, mereka keluar dari Bashrah bersama Nafi’ menuju A1-Ahwaz, dan pemimpin-pemimpin yang bersama Nafi’ adalah : 

Athiyah bin Aswad al-Hanafi, Abdullah bin Mahuz dan kedua saudaranya yaitu Ustman dan Zubair. Zubair bin Umair Al Ambari, Qathariy Ibnu Faja’ah al-Mazini, Ubaidah bin Hilal al Yaskari, Muharriz bin HiIal, Shakar bin Habib at-Tamimi dan shaleh bin Mukharak al-Abdi. Diantara faham-faham aliran ini adalah :
1. Mengkafirkan Ali bin Abu Thalib dan semua orang yang mau berperang bersama mereka serta orang-orang yang tidak mau bergabung dengan mereka. 

2. Menghalalkan membunuh orang yang beda pendapat dan menentang faham mereka. 

3. Tidak merajam orang yang berbuat zina dan tidak menjadikan hukuman Qadzaf (menuduh berbuat zina) terhadap laki-laki yang mukhshan. 

4. Mereka menghukumi anak-anak orang musyrik masuk Neraka bersama induknya sekalipun mati sebelum baligh. 

5. Mereka tidak membolehkan Taqiyah di dalam perkataan dan perbuatan (beda dengan syi’ah yang mengahalalkan taqiyah). 

6. Ada kemungkinan Allah mengutus nabi yang muslim kemudian menjadi kafir atau sebaliknya. 

7. Orang yang berbuat dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam (murtad). 

AN NAJADAT AL ADZIRIYAH
Yaitu aliran sempalan khawarij di bawah komando Najdah bin Amir Al-Hanafi. Mereka keluar dari Al-Yamamah bersama balat entaranya untuk menemui dan bergabung dengan Al-Adzaniqah, namun ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan Abu Fudaik dan Athiyah bin Asl-Aswad (termasuk bagian dari kelompok yang menyelisihi Nafi’) kemudian keduanya mengkhabarkan apa saja yang dilakukan oleh Nafi’. Yaitu mengkafirkan orang-orang yang tidak berperang bersamanya. Ahirnya mereka membai’at Najdat dan menyebutnya sebagai Amirul mukminin. Najdah akhirnya terbunuh pada tahun 69 H. 

AL BAIHASIYAH
Yaitu kelompok sempalan dan khawarij yang dikomandoi oleh Abu Baihas Al-Hashimi bin Jabir. Pada pemerintahan Walid, Hajjaj minta untuk menangkapnya, namun ia kabur ke Madinah. Dan Ustman bin Hayyan al-Mazny dipernitah untuk menangkapnya ia pun berhasil ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian Walid menetapkan agar dipotong kedua tangan dan kakinya setelah itu kemudian dibunuh, maka Ustman pun melaksanakannya. 

Abu Baihas Al-Hasbimi berpendapat bahwa : ” Iman adalah orang yang mengetahui setiap yang haq dan yang bathil. Dan sesungguhnya iman adalah ilmu dengan hati tanpa perkataan dan perbuatan”. Dalam arti orang yang beriman itu tidak perlu shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. (al-Milal wan-Nihal 1/125-128) 

AL AJARIDAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung dibawah kepemimpinan Abdul Karim bin Ajarid. Kelompok ini sama saja dengan Najdad dalam kebid’ahanya. Kelompok ini juga berpecah menjadi beberapa kelompok diantaranya adalah :
1. As-Salthiyyah. Mereka adalah para pengikut Utsman bin Abu As-Shalt. Mereka berpendapat bahwa : “Bila seseorang telah masuk Islam maka kita ber wala’ kepadanya dan Bara’ kepada anaknya sampai anaknya baligh dan mau menerima Islam” 

2. AI-Maimuniyah. Mereka adalah para pengikut Maimun bin Khalid, Husain al-Karaabisy di dalam Kitabnya mengatakan :
“Para pengikut Maimun memperbolehkan menikahi cucu dan anak perempuan, serta anak perempuan dari anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan”.

3. AI-Hamziyah. Mereka adalah para pengikut Hamzah bin Adrak, sedangkan Hamzah memperbolehkan ada dua imam dalam satu masa, mana kala tidak bisa berkumpul dalam satu atap atau kesepakatan. 

4. AI-Khalafiyah. Mereka adalah para pengikut Khalaf al Khorijiy, dan mereka menetapkan bahwa anak-anak orang musyrik berada dalam Neraka. 

5. Al-Tharafiyah. Adalah kelompok sempalan yang dipimpin oleh Ghalib bin Syadaak dan Sajastan. 

6. As-Su’aibiyyah. Mereka adalah para pengikut Syu’aib bin Muhammad. Syu’aib berkata : ”Allah menciptakan perbuatan-perbuatan hamba dan hamba mempunyai qudrat dan iradat, yang bertanggungjawab atas kebaikan dan kejekan darinya, serta tidak akan terjadi sesuatu terhadap apa yang ada keculi atas kehendak Allah”.

7. Al-Hamimiyah. Mereka adalah para pengikut Hazm bin Ali. (Al-Milal wan-Nihal 1/128-131)

AL TSA’ALIBAH
Yaitu kelompok khawarij dibawah pimpinan Tsa’labah bin Amir, Ia mengatakan: “Sesungguhnya kita berwala’ kepada anak-anak kecil dan orang besar sampai kita mengetahui mereka mengingkari al-haq dan ridha kepada kebatila”. 


Diantara pecaha-pecahan kelompok ini adalah:
1. A1-Khanasiyah. Mereka para pengikut Akhnas bin Qais, dan berfaham boleh bagi muslimah untuk menikah dengan orang musyrik dan kaum mereka dan pelaku dosa besar. 

2. Al-Ma’badgyyah Mereka adalah para pengikut Ma’bad bin Abdurrahman ia sependapat dengan Akhnaf, yaitu boleh seorang muslimah menikah dengan orang musyrik, serta berbeda pendapat dengan Tsa’labah dalam menghukumi orang yang mengambil zakat dari hambanya.

3. As-Saibaniyyah. Mereka adalah para shahabat Syaiban bin Maslamah dan mereka sama dengan Jahm bin Shafwan dalam masalah Jabr (manusia seperti wayang), mereka menafikan Qudrat. 

4. Al-Mukramiyyah Mereka adalah para pengikut Mukram bin Abdullah A1-Ajliy, mereka berpendapat bahwa :“orang yang meninggalkan shalat adalah kafir selama niatnya bukan untuk mengingkarinya, tetapi karena kebodohannya kepada tuhannya”.

5. Al-Ma’lumiyyah. Mereka berpendapat bahwa: “Siapa yang tidak mengetahui Allah dengan segala nama dan sifat-sifatnya, maka dia adalah orang bodoh terhadap Allah. Dia baru bisa dikatakan sdebagai seorang mukmin apabila dia telah mengetahui itu semua dan mereka berkata:”Taat itu bersamaan dengan perbuatan dan perbuatan mahluk itu milik hamba”. 

6. Al-Mahjuliyyah. Mereka berpendapat bahwa : “ siapa yang mengetahui sebagian nama dan sifat-sifat Allah serta bodoh terhadap sebagian yang lainnya, maka dia telah mengetahui Allah”. mereka berpendapat pula bahwa “perbuatan manusia atau adalah mahluk”. 

7. Al-Bid’ahiyyah. Adalah pengikut yahya bin Asdam, mereka mengatakan :“Barangsiapa berkeyakinan seperti keyakinannya, maka dia adalah Ahlul Jannah, dan tidak mengatakan “Insya’ Allah” kerena itu adalah keraguan di dalam aqidah dan barangsiapa berkata: Saya seorang mukmin Insya’ Allah’ maka adalah orang yang ragu, sedangkan kita mutlak Ahiul Jannah” .A1-Milal wan-Nihal 1/131-134) 

AL IBADLIYAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung di bawah kepemimpinan Abdullah bin Ibadl Al-Maqaisi dan kalangan Bani Murrah bin Ubaid bin Tamim. Mereka merupakan kelompok khawarij moderat, mereka tidak mau disebut alirannya sebagai khawarij karena mereka mengganggap bahwa diri mereka sebagai sebuah Madzhab Fiqih yang sunny. Mereka menilai bahwa dirinya adalah sejajar dengan para madzab terkemuka seperti Madzhab Empat. 

Salah seorang tokohnya yang paling terkenal adalah Jabir bin Zaid (21-96 H) dia dipandang sebagai pengumpul dan penulis hadist, ia menimba ilmu dari Abdullah bin Abbas, Aisah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar dan para shahabat lainnya. 

Abu Ubaidah Maslamah bin Abu Karimah adalah salah seorang muridnya yang merupakan marja’ kedua dari Firqah ibadhiyah, yang terkenal dengan Al-Qaffa’. 

Sedangkan imam-imamnya yang berada di Afrika Utara pada masa daulah Abbasiyyah, diantaranya adalah : Harist bin Talid, Abdullah bin Khattab bin Abdul A’la bin Samih Al-Ma’anifiyyi, Abu Hatim Ya’kub bin Habib dan Hatim al-Malzuzi. Adapun yang termasuk ulama-ulama mereka diantananya adalah :
1. Salman bin Sa’ad. Yaitu orang yang menyebarkan Faham Ibadhiyah di Afrika pada awal Abad ke II Hijriyyah.

2. Ibnu Muqthir Al-Janawini. Yaitu orang yang menuntut ilmu di Bashrah dan kembali ke kampungnya Jabal Nufus Libiya kemudian menyebarkan fahamnya di sana. 

3. Abdul Jabar bin Qais al-Mahdhi. Yaitu salah seorang hakim di saat Harits bin Talid menjadi imam.
4. Samih Abu Thalib. Yaitu salah seorang ulama’ Ibadhiyyah yang hidup pada pertengahan Abad ke II Hijriyyah, tinggal di Jabal Nufus. 

5. Abu Dzar Aban bin Nasim. adalah salah seorang ulama’ ibadhiyah yang hidup pada pertengahan abad ke III Hijriyah dan bertempat tinggal di Tripoli. (Lihat Al-Milal wan-Nihal
1/134-136) 

AS-SHUFRIYAH AL-ZIYADIYYAH
Yaitu kelompok sempalan khawarij yang bernaung dibawah payung Ziyad bin Al-Ashfar dan lain-lain.

Sebab Timbulnya Golongan Khawarij, Ciri Dan Pokok Ajaran Khawarij

ciri-ciri khawarij, bilik islam
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KHAWARIJ
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang sebab-sebab yang mendasari timbulnya golongan khawanij. Diantara sebab yang paling dominan adalah :
  1. Perbedaan pendapat masalah khilafah, merupakan sebab yang dominan, sebab seseorang tidak berhak menjadi khalifah sebelum memenuhi kreteria yang mereka tentukan.
  2. Permasalah tahkim
  3. Para penguasa yang dinilai kolusi dan nepotisme serta dhalim.
  4. Fanatisme terhadap kelompok atau golongannya sendiri.
  5. Masalah perekonomian seperti kisahnya Dzul Khuwaisirah yang menuduh nabi , tidak berbuat adil dalam membagi harta ghanimah atau rampasan perang.
  6. Semangat keagamaan. (Firaqun Mu’ashirah: 1174-75) 
Melihat pendapat-pendapat tersebut secara umum, berarti bahwa akibat munculnya golongan khawarij adalah sejak terjadinya perang Siffi, yaitu perang saudara yang terjadi antara pengikut Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah yang sah, dengan pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyah.


Peperangan itu diakhiri dengan gencatan senjata, guna untuk mengadakan perundingan antara kedua belah pihak, namun diantara sebagian pengikut Khalifah Ali, tidak setuju dengan gencatan senjata. Mereka keluar dari kelompok Ali bin Abu Thalib dan membuat kelompok sendiri yang disebut KHAWARIJ yaitu orang-orang yang tidak puas dengan kebijakan khalifah Ali bin Abu Thalib . Kelompok khawarij ini ahirnya menentang kelompok Ali dan Mu’awiyah. 

Kaum khawarij menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib adalah pemimpin yang tidak tegas dalam mengambil sikap dan keputusan dalam membela kebenaran. Golongan khawanij cepat berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah Islam, oposisi dan pengaruhnya mampu meruntuhkan Daulah Umawiyah bagian Timur dan pengaruh Abu Muslim M-Khurasany mampu menggulingkan pemerintahan Mu’awiyah di Persi. 

Golongan khawanj berkembang dan melalang buana kurang lebih selama dua abad lamanya, kemudian pecah menjadi 20 golongan sebelum akhirnya sirna tinggal namanya ditelan zaman dan sampai saat ini golongan tersebut sudah tidak ada lagi.

(baca juga :  Perpecahan Golongan Khawarij - Sempalan Khawarij)

CIRI-CIRI DAN POKOK POKOK AJARAN KIIAWARIJ

Diantara ciri-ciri dan pokok-pokok ajaran khawarij adalah :
  1. Ali bin Abu Thalib, Utsman dan para pengikut perang Jamal dan juga mereka yang setuju dengan adanya perundingan antara Ali dan Mu’awiyah berhukum KAFIR.
  2. Setiap ummat Muhammad yang berbuat dosa besar dan sampai meninggal belum juga bertaubat, mereka mati Kafir dan kekal di dalam Neraka.
  3. Diperbolehkan tidak mengikuti dan tidak mentaati aturan kepala negara (khalifah) yang dhalim dan pengkhianat.
  4. Tidak ada hukum selain yang bersumber dari A1-Qur’an (mereka menolak hadits Nabi saw).
  5. Anak-anak orang kafir yang mati sebelum baligh masuk neraka, karena dihukumi kafir seperti induknya.
  6. Semua dosa adalah besar, tidak ada dosa kecil.
  7. Ibadah termasuk Rukun Iman.
  8. Siti Aisah (istri Rasulullah saw) terkutuk karena ikut perang Jamal melawan Ali bin Abu Thalib.
  9. Ali bin Abu Thalib tidak sah menjadi khalifah setelah tahkim dan lain-lain.

Awal Mula Munculnya Golongan Khawarij Dan Tokoh Khawarij

tokoh-tokoh golongan khawarij, bilik islam
DEFINISI KHAWARIJ
Di tinjau dari segi bahasa kata kawarij berasal dari suku kata Arab “Khoroja” yang artinya keluar atau hengkang dan yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan atau kelompok yang pada mulanya setia dan mendukung kepada khalifah Ali bin Abu Thalib kemudian keluar dan tidak mendukung Ali bin Abu Thalib kemudian bergabung dengan kelompok lain karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Definisi inilah yang paling rajih dibanding dengan lainnya. 

AWAL TIMBULNYA KHAWARIJ
Para ahli sejarah mencatat bahwa awal mula munculnya golongan Khawanj adalah : 

IBNU KATSIR
Ibnu Katsir dan Ibnu Abil Izz, mengatakan bahwa golongan khawarij muncul pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan Dan yang dimaksud khawarij disini adalah para pemberontak yang hendak membunuh khalifah ustman bin Affan dan ingin mengambil harta bendanya. Khawarij menuruf fersi ini adalah pemberontak yang keluar dari ketaatan pada khalifah dan bukan khawarij yang mempunyai faham tertentu yang disebut firqah atau aliran.

SEBAGIAN PENDAPAT
Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa khawarij muncul sejak pemerintahan khalifah Ali bin Abu Thalib, yaitu ketika Thalhah dan Zubair keluar dari pemerintahan Ali, sebagian kalangan menilai bahwa pendapat ini kurang pas, sebab mereka adalah termasuk orang-orang yang dijamin masuk Surga, maka tidak mungkin mempunyai faham dan aqidah seperti kelompok khawarij atau aliran khawarij yang berkembang.

PENDAPAT LAIN
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kelompok khawarij muncul ketika mereka keluar dari peristiwa tahkim antara Ali dan Mu’awiyah. Pendapat ini yang dinilai paling pas diantara pendapat lainnya. (Firaqun Mu’ashirah hal.70-71 dan Talbis Iblis hal. 104-105 Al-Milal wan-Nihal 1/114)

(baca juga : Sebab Timbulnya Golongan Khawarij, Ciri Dan Pokok Ajaran Khawarij)
TOKOH TOKOH GOLONGAN KHAWARIJ
Diantara tokoh-tokoh golongan khawarij yang terkenal adalah :
1. Ikrimah
2. Abu Sya’tsa’
3. Abu Haris Al-Abadi
4. Isma’il bin Sami’. 

Keempat tokoh ini adalah para pendahulu kaum khawanij. Adapun pentolan khawarij Muta’akhiriin diantaranya adalah : 
1. Al-Yaman bin Rabab
2. Tsa’by
3. Baihaqi
4. Abdullah bin Yazid
5. Muhammad bin Harb
6. Yahya bin Kamil
7. Ibadliyah dan lain-lain. 

Adapun para Penya’ir kaum khawarij yang terkenal diantaranya adalah :
1. Imran bin Khattam
2. Hubaib bin Murrah
3. Jahm bin Shafwan
4. Abu Marwan Ghailam bin Muslim.

(baca juga :  Perpecahan Golongan Khawarij - Sempalan Khawarij)

Monday, 24 October 2016

Apa Hukum Menjawab Salam Dari Televisi Menurut Fikih Islam ?

hukum menjawab salam
Tanya : Ketika menonton televisi seringkali pembawa acara, narasumber dan lainnya mengucapkan salam kepada para pemirsa. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukumnya menjawab salam tersebut ? (Abdul Khaliq, Jepara) 

Jawab : Mengucapkan salam, sebenarnya bukan sekedar salah satu bentuk sopan santun atau tuntutan etika pergaulan saja, juga bukan budaya adat istiadat semata. Lebih dari itu, mengucapkan salam merupakan sunah Nabi Muhammad Saw. yang bernilai ibadah, dalam arti pihak yang mengucapkan dan yang menjawab, memperoleh pahala dan Allah Swt.

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintah umat mengucapkan salam ketika seorang memasuki rumah (An-Nur : 61). Sebaliknya, melarang memasukinya sebelum meminta izin dan memberi salam terlebih dahulu (An-Nur : 27).

Al-Qur’an juga menginformasikan, tradisi salam juga telah berlaku pada zaman Nabi Ibrahim as. yaitu ketika beliau kedatangan tamu (Adz-Dzariyat: 24).

Rasulullah Saw. sendiri dalam banyak hadis memberikan motivasi kepada umatnya agar mengucapkan salam sekaligus membiasakannya sebagai salah satu syiar Islam : Misalnya sebuah hadis yang bersumber dari riwayat Abdullah Ibn Amr ra. Beliau bercerita tentang seorang lelaki bertanya kepada baginda Rasulullah tentang perbuatan/amal yang terbaik dalam agama Islam. Lalu beliau menjawab :
Artinya : “Berikanlah makanan dan ucapan salam kepada orang yang kau kenal dan tidak kau kenal“ (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dalam hadis lain, beliau bersabda : “Wahai manusia, ucapkanlah salam, berilah makanan, sambunglah ikatan kekerabatan (silaturrrahim), salatlah pada saat orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan selamat” (Al-A dzkar: 202).

Berangkat dari dalil-dalil tersebut dan lainnya, para ulama berkesimpulan mengucapkan salam di luar salat hukumnya sunah. Ketetapan itu telah menjadi konsensus (ijma) di antara mereka (Al-Adzkar: 206). Tetapi menjawabnya, justru wajib hukumnya. Meskipun begitu, mengucapkan salam tetap lebih utama daripada menjawabnya. 

Jadi, dalam konteks itu terdapat klausul bahwa perbuatan sunah lebih utama daripada perkara yang berstatus hukum wajib. Hal itu merupakan pengecualian salah satu kaidah dalam fikih yang menyatakan, perkara wajib itu lebih utama daripada sunah. Sebenarnya yang demikian itu adalah sangat logis, mengingat jawaban merupakan akibat dari ucapan salam (Al Asybah wa An-Nazhair: 161-162). 

Seperti saya katakan, menjawab salam hukumnya wajib atau fardhu. Perlu diketahui, fardhu kaitannya dengan menjawab salam adakalanya bersifat fardhu ain dan adakalanya fardhu kifayah. Tergantung pada jumlah pihak yang diberi salam (musallam- alaih). 

Kalau hanya satu orang, menjawab adalah fardlu ain baginya. Tetapi jika jumlahnya banyak, hukumnya fardhu kifayah. Sehingga, kalau salah satu dari kelompok itu telah menjawab salam, maka telah gugur kewajiban yang lain, meskipun yang lebih baik adalah menjawab semuanya (Al-A dzkar.)
Karena itu menjawab Salam yang disampaikan orang lewat televisi hukumnya fardhu kifayah, karena pemirsa jumlahnya banyak, meskipun kedua belah pihak tidak berada dalam satu tempat (Al-Fatwa Al-Kubra: 4/246. Asy-Syarqawi: I/161-162). Jika salah satu pemirsa telah menjawab, maka itu sudah cukup. Tapi kalau semua menjawab, itu lebih baik lagi. Apa bila tidak seorangpun menjawab, maka berdosa semua. 

Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis riwayat dan Ali ra.:
Artinya :“Telah mencukupi bagi sekelompok orang yang lewat, ucapan salam salah satu dari mereka. Dan telah mencukupi bagi orang-orang yang duduk jawaban salah satunya.” (HR. Abu Dawud)

Hadis itu menjelaskan dalam sebuah kelompok, ucapan dan jawaban salam satu orang dari mereka sudah cukup. Ucapan salam sebagai sunah Nabi yang bernilai ibadah tersebut, ternyata membawa pengaruh sosial yang sangat besar, dalam rangka mewujudkan hubungan anggota masyarakat yang penuh kedamaian dan keramahan.

Mengucapkan assalamu’alaikum itu sendiri, pada hakikatnya sebuah upaya menyebarkan keselamatan dan kedamaian lewat doa. Sebab, artinya kurang lebih adalah “semoga keselamatan/kedamaia atas kamu” atau “semoga kamu mendapatka keselamatan dan kedamaian”.

Jika nilai salam itu dihayati betul-betul, pada gilirannya diharapkan segala aktivitasnya juga akan mendatangkan kedamaian dan ketenteraman, paling tidak segala tindakannya tidak merugikan orang lain. Dan itulah salah satu karakteristik muslim yang sejati. 

Dalam hal itu Rasulullah bersabda :
Artinya : “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad) 

Sangatlah naif, bila lisan kita mendoakan orang lain supaya selamat dan damai, sedangkan tangan kita justru melakukan hal-hal yang mengganggu keselamatan dan kedamaiannya. Itu berarti, tidak satunya kata dan perbuatan.

Tabir Wanita