Tanya : Menggunakan obat untuk mempercepat, menghentikan atau memperlambat datangnya haid untuk kepentingan haji bagi perempuan, bagaimana hukumnya ?
Jawab : Sebentar lagi musim haji tiba. ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam. Berhaji wajib ditunaikan oleh setiap Muslim lelaki dan perempuan yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu melaksanakan). Seseorang dianggap telah mampu menunaikan haji bila telah memenuhi segala persyaratan kewajibannya. Di antaranya sehat, mempunyai bekal, dan keamanan terjamin.
Haji memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Haji tidak sah bila salah satu dari rukun itu ditinggalkan. Kelima rukun itu adalah ihram (niat), wuquf di Arafah, thawaf ifadhah, sa’i dan mencukur rambut. Setiap rukun memiliki aturan pelaksanaan. Misalnya thawaf yang harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar.
Permasalahannya,jika seorang perempuan di tengah-tengah menunaikan ibadah haji menjalani haid. Padahal perempuan haid tidak diperkenankan melakukan thawaf.
Karena itu, timbul pemikiran untuk mempercepat atau memperlambat kedatangan haid supaya tepat selama menunaikan ibadah haji dalam keadaan suci. Atau menghentikannya untuk sementara waktu.
Menurut para ulama, sebagai termaktub dalam kitab-kitab fikih, pada dasarnya menggunakan obat untuk kedatangan menstruasi hukumnya diperbolehkan. Imam Ramli dan kalangan Syafi’iyah menyatakan hal itu dalam kitab Nihayah A1-Muhtaj Syarah Al-Minhaj.
Pendapat ini tidak hanya dijumpai di kalangan Syafi’iyah. Imam Ahmad, pendiri Madzhab Hanbalj, dalam kitab Al Mughni berkata: “Tidak apa-apa seorang perempuan minum obat untuk menghentikan haid.” Demikian halnya dalam Madzhab Maliki.
Sudah barang tentu dalam rangka pemakaian obat tersebut, penting untuk dipertimbangkan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Untuk itu konsultasi dan rekomendasi dokter ahli diperlukan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dimginkan.
Sudah barang tentu, haji perempuan pemakai obat tersebut hukumnya sah. Yang penting dia pada saat menjalankan thawaf dalam keadaan suci. Apakah kesuciannya terjadi secara alamiah atau akibat rekayasa dengan meminum obat, tidak dipermasalahkan.
Di sini perlu juga dicamkan, bahwa thawaf merupakan satu-satunya rukun haji yang menuntut kesucian. Dengan demikian, rukun-rukun selain thawaf bisa dilaksanakan dalam kondisi haid. Sebenarnya ada alternatif lain untuk menghadapi masalah tersebut. Yang sangat sederhana adalah menunda thawaf sampai haid berhenti mengalir. Hal ini sangat dimungkinkan karena thawaf waktunya sangat longgar, tidak seperti wuquf di Arafah. Lagi pula, pada umumnya haid rata-rata berlangsung berkisar 6 (enam) sampai 7 (tujuh) hari. Bahkan ada yang hanya sehari semalam.
Selain itu kadang-kadang darah haid tidak mengalir terus-menerus. Ada perempuan yang haidnya terputus-putus. Misalnya sehari mengeluarkan lalu sehari berhenti, kemudian keluar lagi. Perempuan yang demikian dapat menjalankan thawaf ketika darahnya berhenti.
Karena untuk melakukan thawaf tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti dimaklumi, thawaf adalah mengitari Ka’bah 7 (tujuh) kali. Sebab, menurut pendapat Imam Syafi’i, ketika darah tidak mengalir (al-naqa) status perempuan adalah suci.
Alternatif lain, sebagaimana dikatakan Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq dalam kitab Ahkam As-Syan’ah Al-Islamiyah fi Masail Thibbiyah ‘an Al-Amrad An-Nisafiyah halaman 20. Dengan menunjuk pada kitab Fath Al-Aziz karangan Imam Rafi’i bahwa thawaf perempuan yang haid dapat digantikan orang lain yang telah selesai melakukan thawaf untuk dirinya. ini dilakukan bila tidak dimungkinkan bagi perempuan tersebut berada di Makah sampai haidnya berhenti.