Tanya : Kiai Sahal, kami ingin tanya masalah najis. Kalau saya pergi ke kota-kota besar, terus terang saya yang santri ini jadi repot. Seperti di Tunjungan Plaza, kalau kita pergi ke toilet,. di WC-nya tidak disediakan air untuk cebok. Hanya ada tissue. Bisakah tissue yang memang kasar itu, diqiyaskan dengan batu ? (Munir, Pasuruan).
Jawab : Seperti sering saya ungkapkan pada edisi-edisi dialog sebelumnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan pernyataan an-nazhafatu min al-iman, kebersihan merupakan bagian dari iman, atau ath-thuhuru syatr al-Iman, kesucian merupakan separuh dari keimanan. Namun demikian, sering kali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian mereka.
Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja‘ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja‘ terlebih dahulu, selain wudhu kalau sedang dalam keadaan hadas kecil, dan mandi jika dalam kondisi berhadas besar.
Meski istinja’ pada hakikatnya adalah menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Berbeda pula dari wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan nyaman dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah (‘ibadatullah) dalam hal ini shalat.
Seperti saya sebut di atas, shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini, menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan, kurang lebih 85% dan sisanya daratan.
Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dapat dikerjakan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam ilat (alasan terjadinya hukum).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinjaa’.
Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak menggunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air di toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering.
Orang yang kesadaran agamanya tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar jika kemudian bertanya apakah tissue memang telah mencukupi untuk istinja’ ?
Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan buang air dan batu, baik hakiki maupun syar‘i. Tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat untuk istinja’ ?
Jawabannya, mesti dicari pada pertanyaan : apakah tissue termasuk hajar syar’I ? Merujuk pada bagian literatur fikih Madzhab Syafi’i, seperti Al-Majmu syarah A1-Muhadzdzab, Syarqawi syarah Tuhfah Ath- Thullab, Bujairami syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan sebagai berikut :
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta muhtaram. Namun jika kita amati, tissue sering digunakan.
Akan kita jumpai kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis dan tidak muhtaram.
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’. Alasannya bukan karena buku tersebut terbuat dari kertas, melainkan lebih dilandasi pertimbangan kemuliaannya, yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas itu.
Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu, boleh-boleh saja dipakai istinja’ Dalam kitab Bughyah Al- Mustarsyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri.
Satu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i diisyaratkan 3 (tiga) kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap 3 (tiga) kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.