Saturday, 24 September 2016

Apa Hukum Istinja' Dengan Tisu (Hukum Cebok Dengan Tisu) Menurut Fikih Islam ?

hukum cebok dengan tisu, hukum istinja dengan tisu
Tanya : Kiai Sahal, kami ingin tanya masalah najis. Kalau saya pergi ke kota-kota besar, terus terang saya yang santri ini jadi repot. Seperti di Tunjungan Plaza, kalau kita pergi ke toilet,. di WC-nya tidak disediakan air untuk cebok. Hanya ada tissue. Bisakah tissue yang memang kasar itu, diqiyaskan dengan batu ? (Munir, Pasuruan). 

Jawab : Seperti sering saya ungkapkan pada edisi-edisi dialog sebelumnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan pernyataan an-nazhafatu min al-iman, kebersihan merupakan bagian dari iman, atau ath-thuhuru syatr al-Iman, kesucian merupakan separuh dari keimanan. Namun demikian, sering kali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian mereka. 

Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja‘ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja‘ terlebih dahulu, selain wudhu kalau sedang dalam keadaan hadas kecil, dan mandi jika dalam kondisi berhadas besar. 

Meski istinja’ pada hakikatnya adalah menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak. 

Berbeda pula dari wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan nyaman dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah (‘ibadatullah) dalam hal ini shalat.

Seperti saya sebut di atas, shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini, menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan, kurang lebih 85% dan sisanya daratan. 

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dapat dikerjakan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus. 

Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus. 

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar dan kulit hewan. Semua  itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam ilat (alasan terjadinya hukum). 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinjaa’.

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak menggunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air di toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering. 

Orang yang kesadaran agamanya tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar jika kemudian bertanya apakah tissue memang telah mencukupi untuk istinja’ ? 

Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan buang air dan batu, baik hakiki maupun syar‘i. Tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat untuk istinja’ ? 

Jawabannya, mesti dicari pada pertanyaan : apakah tissue termasuk hajar syar’I ? Merujuk pada bagian literatur fikih Madzhab Syafi’i, seperti Al-Majmu syarah A1-Muhadzdzab, Syarqawi syarah Tuhfah Ath- Thullab, Bujairami syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan sebagai berikut :
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta muhtaram. Namun jika kita amati, tissue sering digunakan. 

Akan kita jumpai kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis dan tidak muhtaram.
 
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’. Alasannya bukan karena buku tersebut terbuat dari kertas, melainkan lebih dilandasi pertimbangan kemuliaannya, yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas itu. 

Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu, boleh-boleh saja dipakai istinja’ Dalam kitab Bughyah Al- Mustarsyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri. 

Satu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i diisyaratkan 3 (tiga) kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap 3 (tiga) kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Apa Hukum Mempercepat Haid Dengan Obat Menurut Fikih Islam ?

mempercepat haid dengan obat
Tanya : Bagaimana hukumnya mempercepat haid dengan obat-obatan atau ramuan ? Kalau darah yang keluar kurang dari minimal haid, yaitu sehari semalam (24 jam) karena pengaruh obat apakah disebut darah fasad (bukan haid)? Dan apakah orang yang menggunakan obat tersehut dianggap mengubah sunnatullah? 

Jawab :
Para ulama fikih (fuqaha) telah mengelompokkan darah yang keluar dari kemaluan perempuan menjadi tiga jenis, yaitu darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah atau juga darah fasad (rusak). 

Mereka juga telah menerangkan definisi masing-masing jenis beserta dampak hukumnya (fikih). Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah berusia 9 (sembilan) tahun, minimal selama sehari-semalam (24 jam) dan maksimal 15 (lima belas) hari, tidak karena penyakit dan tidak pula akibat melahirkan. 

Keluarnya darah itu semata-mata karena sudah menjadi watak atau kodrat. Dalam sejarah, barangkali hanya putri Rasulullth Saw. Sayyidah Fatimah saja yang tidak pernah haid selama hidupnya sehingga dijuluki az-zahra. Selain Fatimah, semua perempuan pernah mengalaminya. Lama haid serta jaraknya antara satu perempuan dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang lama, ada yang sebentar. Ada yang sering, ada pula yang jarang. 

Adapun darah nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran bayi. Maksimal darah nifas 60 (enam puluh) hari. Galibnya 40 (empat puluh) hari dan paling sedikit setetes saja. 

Selain keduanya termasuk dalam ketegori darah yang ketiga, yaitu istthadhah atau fasad. Sebenarnya, permasalahan tersebut tidak sesederhana itu. Untuk lebih jelasnya, saya sarankan menelaah buku-buku tentang haid yang banyak disusun kalangan pesantren dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. 

Pemahaman pembagian tersebut sangat penting, karena menimbulkan hukum yang berbeda. Haid dan nifas memiliki konsekuensi hukum-hukum tertentu, yang tidak terdapat pada darah istthadhah. 

Perempuan yang sedang menstruasi, dilarang menjalankan shalat, puasa, thawaf, menyentuh dan membawa mushaf, membaca Al-Quran, menyentuh anggota badan antara pusat dan lutut, lebih-lebih persetubuhan. Namun hal itu tidak berlaku pada darah istihadhah. 

Seperti dimaklumi, keluarnya haid mempengaruhi kondisi psikologis perempuan. Ada semacam rasa sakit, nyeri, dan pusing. Sehingga pikiran terganggu. Intinya kondisi perempuan ketika haid tidak sama dengan ketika dalam keadaan normal. 

Sementara itu, ada peristiwa-peristiwa penting dalam hidup kita yang membutuhkan adanya kondisi psikologis dan fisik secara optimal dan konsentrasi penuh dalam menghadapinya. Misalnya saja, menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan sebagainya.

Haji, barangkali hanya sekali seumur hidup, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan memperbanyak ibadah. Begitu juga pernikahan. Adapun tes, jelas membutuhkan kesiapan mental dan konsentrasi pikiran. Dan menstruasi, bisa menghalangi semua itu. 

Sehubungan hal tersebut timbul ide memajukan atau mengakhirkannya. Atau dengan kata lain, me-manage haid sesuai dengan kehendak kita. Untuk merealisasikan gagasan itu, sudah tersedia obat dan ramuan-ramuan. 

Permasalahannya adalah, apakah haid karena obat-obatan secara hukum sama dengan haid yang terjadi secara normal. Dan bagaimana pula hukum melakukanya ? 

Kemungkinan haid dapat dimajukan dan ditunda waktunya, ternyata telah disadari oleh para ulama fikih. Terbukti dengan adanya pembahasan mengenai masalah tersebut, sebagaimana termaktub dalam kitab karangan mereka. Misalnya, Imam Al-Qalyuby, pengarang kitab Al-Qalvubi svarah Al-Mahaji karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli.

Beliau berpendapat, haid yang maju atau mundur karena pengaruh obat-obatan hukumnya disamakan dengan haid yang terjadi secara natural. Demikian juga pendapat Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah. 

Artinya, seorang perempuan kalau haid diharamkan melakukan larang-larangan yang ditentukan. Dan jika bersih (dari haid), maka tidak diharamkan melakukan hal-hal tersebut, tanpa memandang sebab-sebab terjadinya. 

Patokannya adalah, kenyataannva mengeluarkan darah berarti dia haid. Kalau tidak, berarti tidak. Dan kalau darahnya kurang dari sehari semalam (24 jam), maka dinamakan darah fasad atau istihadhah. Adapun hukumnya memajukan atau menunda haid, selagi tidak membawa dampak negatif, kita berpegang pada kaidah: segala sesuatu yang bermanfaat dalam arti tidak berdampak negatif adalah boleh dan yang membawa mudharat, adalah dilarang. Dan melakukan hal itu, tidak sampai dianggap melanggar sunatuillah. Untuk memahami sejauh mana dampaknya terhadap kesehatan, sebaiknva dikonsultasikan kepada dokter yang berkompeten dalam bidangnya.

Friday, 23 September 2016

Bolehkah Air Seni (Urine) Digunakan Untuk Obat ?

air kencing untuk obat
Tanya : Beberapa edisi lalu, ada keterangan Kiai yang memuat penjelasan manfaat air kencing untuk pengobatan. Pada sisi lain, air kencing tidak boleh diminum. Pertanyaan saya, bolehkah meminum urine (air kencing) untuk berobat ? 

Jawab : Dari pemahaman dan penelitian terhadap Al-Quran dan Hadis, para ulama fikth telah mengadakan pengelompokan mengenai apa yang boleh dimakan (minum) dan tidak. Secara garis besar sesuatu diharamkan karena 6 (enam) factor : 1). diperoleh secara illegal menurut syara’; 2). najis (an-najasah); 3). memabukkan (al-iskar); 4). membahayakan bagi tubuh manusia (adh-dharar); 5). buas (al-iftiras); 6). menjijikkan (al-istiqdzar). Oleh karena itu, tidak diperkenankan memakan barang hasil curian, bangkai, batu, harimau, sperma, serangga dan lain sebagainya. (Ahkam Al-Hikmah fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah; 113- 116). 

(Baca juga : Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?)

Pelarangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan maupun minuman tidak lain kecuali untuk kemaslahatan manusia sendiri. Apa yang disyariatkan oleh Allah Swt. pasti mengandung hikmah. Dalam hal ini Islam mengambil jalan tengah, hanya melarang perkara yang perlu dilarang dan memperbolehkan apa-apa yang semestinya diperbolehkan. Apa yang membawa dampak positif dipersilahkan. Sebaliknya apa yang berdampak negatif dicegah. Jadi, Islam tidak membolehkan semua, tidak pula melarang semua. Tidak terlalu longgar dan terlalu sempit. 

Pada sisi lain, manusia tidak diciptakan di dunia ini melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt. dan memakmurkan bumi (imarah al-ardh). Untuk itu dia perlu mempertahankan hidupnya. Karenanya manusia membutuhkan makanan dan juga minuman sebagai sumber energi serta kesehatan. Tanpa makanan dan minuman, manusia akan kekurangan gizi sehingga membuatnya lemah dan rawan penyakit. Padahal penyakit adalah awal dari kematian jika sudah sangat parah dan tidak segera diobati. 

Penyakit merupakan kematian kecil. Akibat sakit, orang tidak mampu beraktivitas. Seperti halnya orang yang telah mati, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian, makanan dan minuman serta obat, sama pentingnya dalam mempertahankan hidup. 

Menurut ajaran Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendirl ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.“ (QS. Al Baqarah: 195) 

Hidup adalah karunia sekaligus amanat Allah Swt. yang harus dijaga, dilestarikan dan dipertahankan. Sebagai amanat, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. 

Untuk kepentingan mempertahankan hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang diperkenankan bahkan diwajibkan memakan benda yang diharamkan dalam keadaan normal (dalam keadaan terpaksa perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan). Hal ini sejalan dengan kaidah lain dalam fikih yaitu adh-dharar yuzal (kemelaratan atau perkara yang negatif dihilangkan). Keduanya bersumber dari sabda Rasulullah Saw. :
“Laa dharara wala dhirara.” (al-Asybah wa An-Nazhair. 56-57). 

Jika dalam kondisi darurat, kita diperbolehkan mengkonsumsi makanan maupun minuman yang semula diharamkan. Bagaimanakah jika untuk keperluan pengobatan ? Seperti telah diterangkan di atas, bahwa menghilangkan penyakit tidak kalah penting daripada menghilangkan lapar dan dahaga. Ketiganya: lapar, dahaga, penyakit, membawa konsekuensi yang sama. 

Oleh karena itu, sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaan darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram, diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk keperluan pengobatan. (AI-Majmu. IX; 50). 

Dengan begitu, meminum air kencing (urine) dapat dijadikan sebagai pengobatan alternatif. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah (dispensasi), maka harus memenuhi dua persyaratan : 1). Tidak ada alternatif lain yang halal, 2). Menurut dokter yang berkompeten, urine efektif menyembuhkan penyakit yang diderita. (Al-Majmu IX; 51). 

Pengobatan dengan air kencing sebenarnya bukan fenomena baru abad modern. Rasulullah Saw. pada 14 (empat belas) abad yang lampau, pernah menyarankan sekelompok orang meminum susu dan air kencing onta untuk menyembuhkan penyakit. (HR Bukhari dan Muslim). 

Berangkat dari hadis inilah, banyak fuqaha‘ menyimpulkan : berobat dengan barang haram -selain minuman keras- diperbolehkan. Hal ini tentunya tidak terbatas pada air kencing saja. Tetapi dengan jalan qiyas (analogi), hukum ini juga berlaku untuk benda-benda haram selain urine. (Al-Majmu IX; 50). 

Memang ada juga ulama yang tidak memperbolehkan berobat dengan urine. Mereka berpegang pada sebuah hadis, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan pada sesuatu yang dtharamkan atas kalian.” 

Hadis ini secara eksplisit membatasi pengobatan pada hal-hal yang dihalalkan. Barang haram merupakan sumber penyakit, bukan sumber kesehatan. (Al-Majmu IX; 53). 

Dua hadis yang nampak bertentangan ini dikompromikan oleh para ulama dengan mengadakan perbedaan antara dalam keadaan terpaksa (adh-dharurah) dan tidak. Kalau terpaksa diperbolehkan, jika tidak terpaksa maka dilarang. Keterpaksaan dalam konteks pengobatan dengan barang haram, berarti tidak ditemukannya obat dan bahan yang halal dalam penyakit tertentu. (Al-Majmu IX; 51)

Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum obat air seni
Tanya : Apa hukumnya berobat dengan air seni, seperti di perkenalkan seorang ahli pengobatan alternatif akhir-akhir ini ? Kalau tidak boleh, seberapa jauh tidak bolehnya ? Bagaimana jika obat yang lain sudah dicoba dan penyakit tidak sembuh-sembuh, bolehkah kita mencoba air seni untuk obat ? (Husni, Sidoarjo).
Jawab : Manusia diciptakan Allah untuk menyembah-Nya, ini berarti secara fungsional manusia mengemban taklif untuk beribadah baik yang menyangkut ibadah muthlaqah (ibadah yang tidak diatur dengan syarat-rukun) maupun ibadah muqayyadah (ibadah yang diatur dengan syarat rukun). Dalam rangka menjalankan taklif itu, kesehatan dipandang sangat penting, sebagai prasyarat yang harus dimiliki. Oleh karena itu, orang tidak bisa tidak harus selalu mengusahakan dirinya dalam keadaan sehat agar tidak mengganggu fungsi itu.

(Baca juga : Bolehkah Air Seni (Urine) Digunakan Untuk Obat ?)

Sebagian masyarakat seringkali memandang kesehatan secara sempit. Seseorang dianggap sehat jika ia berada dalam keadaan tidak sakit atau tidak cacat. Kesehatan dipandang sebagai sesuatu yang alami sehingga tidak perlu dipermasalahkan lagi. Orang baru sadar akan pentingnya kesehatan bila dirinya atau keluarganya menderita sakit. Dengan demikian yang terjadi di sebagian masyarakat barulah kesadaran sakit dan kesadaran berobat bukannya kesadaran untuk menangkal penyakit atau melestarikan dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan pada saat orang berada dalam keadaan sehat. 

Oleh karena itu, dalam ajaran Islam ada 4 (empat) pokok untuk menjaga kesehatan. pertama, an-nazhafah (kebersihan) yang tercermin dari syariat wudhu, mandi, siwak (gosok gigi), kebersihan pakaian, tempat dan lain-lain. Kedua, makan-minum yang tercermin dari adanya makanan dan minuman yang terlarang. Ketiga, kesehatan umum, artinya karantina demi kesehatan umum. Rasulullah pernah bersabda dalam riwayat Ashabu As-Sunan sebagai berikut :
Artinya : “Apabila kamu mendengar di satu daerah terjadi wabah berjangkit, janganlah kalian masuk di dalamnya.” (HR. Muslim) 

Jadi, istilah karantina untuk penyakit menular bukanlah hal yang baru, karena ternyata jauh sebelumnya sudah dianjurkan oleh Rasulullah. Yang keempat, riyadhah (olahraga) dimana tercermin dalam perilaku shalat dan puasa dari menggunakan tenaga fisik yang melebihi batas. 

Namun demikian, betapapun kita telah berusaha maksimal untuk sehat terkadang masih juga terjangkit oleh sejenis penyakit sehingga berbagai langkah pengobatanpun ditempuh. Karena pada dasarnya, setiap penyakit itu ada obatnya sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Maka bila obat itu menyentuh penyakit akan menjadi sembuh dengan izin Allah. 

Masalahnya kemudian muncul manakala sejenis penyakit harus diobati dengan sesuatu yang najis atau dilarang seperti seni atau air kencing. Karena pada prinsipnya ajaran Islam tidak membenarkan pengobatan dengan sesuatu yang diharamkan sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan untuk setiap penyakit obatnya, maka ambilah itu sebagai obat, janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.", (Al-Fiqhu ‘ala Madzahib Al-A rba‘ah. V. 33) 

Dalam hal ini Syafi’iyah, Hanafiyah memberikan batasan boleh apabila tahu betul (alima yaqinan) bahwa obat najis itu memang satu-satunya obat dan sudah tidak ditemukan lagi obat atau ramuan yang suci berdasarkan keterangan ahli medis Muslim yang adil. Dengan kata lain, keadaannya darurat dimana apabila tidak diobati dengan obat najis itu penyakit akan terus berjangkit dan dikhawatirkan merusak sebagian anggota badannya atau bahkan merenggut nyawanya. Bukankah menjaga diri (hifzhu an-nafsi), harta dan kehormatan adalah wajib. Dalam kaidah fikih disebutkan adh-dharurah tubihu al mahdhurah dan dalam Al-Quran juga dinyatakan :
Artinya : “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.“ (QS. Al aqarah: 173) 

Waihasil, berobat dengan air seni itu boleh dengan syarat tidak ada obat lain yang suci, dan tahu betul bahwa di situ mengandung unsur obat bukan dalam konteks mencoba atau ragu-ragu.

Hukum Memakai Kawat Gigi, Gigi Palsu Dan Tambal Gigi Menurut Fikih Islam

kawat gigi menurut islam
Tanya : Apakah memasang kawat gigi, memasangg gigi palsu, dan menambal gigi yang berlubang halal hukumnya? (Wahyudi, Kiaten) 

Jawab : Allah memberikan nikmat dan karunia kepada manusia beberapa organ tubuh yang satu dengan lainnya sangat berkaitan. Dan apabila kita perhatikan, seluruh ciptaan-Nya mempunyai beberapa fungsi yang penting untuk kehidupan.

Salah satu dari beberapa organ tersebut adalah gigi. Gigi yang kelihatannya hanya sebagai organ yang sepele sehingga banyak sekali orang yang belum memahami akan kegunaannya tidak berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan giginya- sebenarnya mempunyai beberapa fungsi dan manfaat. Di antara manfaatnya membantu alat pencernaan untuk menghancurkan makanan yang sekiranya tidak bisa dicerna oleh organ pencernaan yang ada di dalam tubuh kita. Karena bisa kita bayangkan, bagaimana semua makanan langsung masuk ke dalam saluran makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dengan gigi kita? Tentunya hal itu akan merepotkan organ kita yang ada di dalam tubuh. Dan bukan tidak mungkin hal itu akan mengganggu kinerja serta kesehatan organ yang ada di dalam.

Fungsi lainnya adalah membantu memperjelas huruf-huruf yang diucapkan, karena orang yang giginya tidak sempurna pasti dia akan kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang di dalamnya terdapat huruf yang makhrajnya dekat dengan gigi, sehingga akan mempengaruhi bacaan-bacaan yang diucapkan karena kalimat yang diucapkannya menjadi tidak jelas (yang akhirnya bisa mengubah makna yang terkandung dalam kalimat tersebut) dan bahkan tidak bisa dipahami oleh orang yang mendengarkannya. 

Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai hiasan yang akan kelihatan elok dan enak dipandang apabila gigi kita masih kelihatan utuh serta sehat. 

Dari beberapa fungsi dan kegunaan gigi yang tersebut di atas sudah semestmya kita harus menjaga dan selalu merawat gigi kita agar tetap sehat dan tidak cepat rusak. Ini penting di samping sebagai perwujudan rasa syukur terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita, juga karena memang kita benar-benar membutuhkan manfaat gigi itu sendiri. 

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk merawat serta menjaga agar gigi kita tetap sehat. Di antaranya adalah tidak makan makanan yang terlalu panas maupun dingin, menggosok gigi dengan teratur atau dengan siwakan. Hal ini penting karena dapat menghilangkan kotoran-kotoran sisa makanan yang masih tertinggal pada gigi kita. Dalam sebuah penelitian, sisa makanan yang mengundang bakteri dapat merusak gigi apabila dibiarkan dan tidak dibersihkan. Dan yang lebih penting, dengan menyikat gigi akan memperkuat gusi yang kita miliki. 

Bahkan untuk yang terakhir (siwakan) Rasulullah Saw. sendiri telah menganjurkan dengan sangat dalam sebuah hadis :
Artinya: “Seandainya saya tidak khawatir menyusahkan umat saya maka saya akan memerintahkan mereka untuk siwakan ketika akan wudhu.” (HR. Ahmad) 

Perintah yang dimaksud hadis di atas (la ammartuhum) adalah perintah wajib. Tetapi karena Nabi khawatir bahwa hal itu bisa memberatkan umatnya maka perintah wajib itu pun tidak jadi, tetapi hanya menjadi perintah yang sunah. 

Jadi, siwakan atau membersihkan gigi untuk ibadah akan mendapatkan pahala, begitu juga perbuatan lainnya seperti makan dan minum, misalnya, apabila dilakukan dengan niat untuk beribadah maka hal itu juga akan mendapat pahala. 

Mengingat berbagai fungsi dan manfaat gigi seperti di atas maka wajar apabila kita banyak melihat orang-orang yang sudah terlanjur rusak giginya ingin mempunyai gigi yang utuh kembali. Karena giginya yang asli sudah tidak mungkin tumbuh kembali, maka mereka mengambil jalan untuk menambal maupun memasang gigi palsu. 

Sekarang masalahnya apakah menambal, memasang gigi palsu itu diperbolehkan? 

Dalam kumpulan fatwa Syaikh Athiyah Saqr (Ketua Lajnah Fatwa Mesir tahun 1997) menjelaskan bahwa memakai gigi palsu tidak dilarang dalam agama karena memang tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa asal segala sesuatu di luar ibadah adalah boleh (al-ashlu al-ibahah) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Bahkan sebagian ulama ada yang memperbolehkan menggunakan gigi palsu yang terbuat dan emas. 

Dalam fatwanya juga dijelaskan apabila pemakai gigi palsu tersebut meninggal, maka gigmya tidak perlu dilepas kalau memang dipasang secara permanen. Dalam artian ketika kita akan melepaskan gigi tersebut harus dilakukan melalui operasi, karena demi untuk menghormati jasad mayit. Kecuali apabila gigi tersebut terbuat dari bahan yang mempunyai nilai seperti emas misalnya sehingga akan mendorong manusia untuk mencurjnya, maka lebih baik gigi tersebut dilepas. 

Namun apabila gigi palsu yang ada tidak dipasang secara permanen sehingga mudah untuk dilepas maka lebih baik dilepas. Karena hal itu tidak ubahnya seperti perhiasan yang tidak ada manfaatnya apabila disertakan kepada mayit bahkan termasuk tabdzir (menyia-nyiakan harta benda) yang tidak disukai oleh agama.

Thursday, 22 September 2016

Apa Hukum Memakai Gigi Palsu Menurut Fikih Islam ?

hukum gigi palsu
Tanya : Bagaimana hukumnva memakai gigi palsu? Dan bagaimana kalau pemakai gigi palsu terbut meninggal ? (Putra, Semarang) 

Jawab : Memakai gigi palsu tidak dilarang agama. Tidak ada dali yang melarang. Bahkan sebagian ulama memperbolehkan menggunakan gigi palsu yang terbuat dari emas sekalipun. (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Ljnah Fatwa A1-Azhar Mesir 1997). 

Ketika pemakai gigi palsu tersebut meninggal, bila gigi tersebut permanen, sehingga untuk menccpothya hams dengan operasi, maka tidak perlu mencopotnya demi menghormati jasad mayit. Kecuali bila gigi tersebut terbuat dari bahan yang bernilai (seperti emas), sehingga akan mendorong orang untuk mencurinya. Kalau gigi tersebut tidak permanen lebih baik dicopot, karena itu tak ubahnya hiasan seperti cincin yang tidak ada gunanya untuk disertakan kepada mayit.

Apa Hukum Penukaran Organ Tubuh Menurut Fikih Islam ?

hukum penukaran organ tubuh, fikih islam, bilik islam
Tanya : Atas kemajuan teknologi terutama dalam dunia kedokteran, seringkali ditemukan kasus-kasus pemindahan anggota badan baik dari manusia yang sudah mati maupun yang masih hidup kepada manusia lain (pasien), seperti pemindahan ginjal, transfusi darah, jantung, rambut, dan lain sebagainya. Bagaimanakah ketentuan hukum Islam dalam masalah ini ? (Indah Sri lestari, Semarang). 

Jawab : Pemindahan anggota badan baik berupa pencangkokan, transfusi, donor dan lain sebagainya merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Proses pemindahan itu secara medis biasa dilakukan terhadap orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati. 

Dalam berbagai macam referensi, masalah ini masih menjadi ikhtliaf (materi perdebatan) para fuqaha. Pertama, jika pemindahan itu dari manusia yang masih hidup. Dalam hal ini apabila anggota badan yang dipindahkan itu akan menjadi sebab kematiannya sendiri seperti pemindahan hati, maka hal ini haram secara mutlak. Artinya baik ada izin maupun tidak (secara paksa mengambilnya atau membunuh) tetap haram, karena mengizinkannya berarti bunuh diri. Begitu pula apabila pemindahan itu menyebabkan ia meninggalkan kewajiban-kewajibannya atau pemindahan itu menolong pada maksiat meskipun hal itu masih memungkinkan untuk kehidupannya, maka hukumnya tetap haram seperti pemindahan dua tangan atau dua kaki sekaligus yang menyebabkan ia tak dapat bekerja. Apabila tidak demikian (tidak menjadi sebab meniggalkan kewajiban dan tidak menolong pada perbuatan maksiat) seperti pemindahan salah satu mata, satu ginjal atau darah, apabila pemindahannya tanpa izin maka haram dan wajib menggantinya sesuai dengan aturan syara’ yang secara terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fikih bab diyat ‘ala an-nafsi wa al- a’dha. Apabila dengan izinnya maka sebagian ulama tetap mengharamkannya dengan alasan bahwa kemuliaan manusia tidak membolehkan salah satu bagian tubuhnya untuk orang lain, jika terpotong harus di kuburkan. (Majmu.III. 149). Ada juga ulama yang membolehkan itu dengan catatan tidak menjadikan tadlis atau fitnah seperti yang disampaikan Ibn Hajar dalam kitahnya Fath Al-Bari. 

Dari pendapat ini nampaknya pemindahan anggota badan dari manusia hidup harus tetap memperhatikan eksistensi kemanusiaannya sebagai makhluk yang mempunyai tanggungjawab kepada Khaliq maupun makhluk lainya serta bagaimana dia menjaga jasadnya sendiri (tetap hidup) karena itu merupakan karunia Allah yang tidak boleh dinafikan. 

Kedua, jika pemindahan ini dari manusia yang sudah mati (mayit), sebagian berpendapat bahwa apabila pemindahan aggota badan itu dari mayit yang sebelumnya sudah berwasiat atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau dengan kata lain sebelumnya sudah ada izin dari mayit, maka pemindahan itu diperbolehkan. Pendapat ini mendasarkan pada tidak adanya dalil yang mengharamkan hal tersebut. Bahwa kemuliaan anak Adam yang menjadi illat (sebab) diharamkannya pemindahan anggota badan, pendapat tersebut tidak melarang untuk memanfaatkannya demi kehidupan.

Hal ini sesuai juga dengan kaidah fikih adh-dharurah tubihu al mahdhurah. Sama halnya jika sebelumnya tidak ada izin dari mayit tetapi walinya (keluarganya) memperbolehkan, maka hal itu juga diperbolehkan. Sebaliknya, apabila mereka tidak mengizinkan maka ada dua pendapat. tidak memperbolehkan dan membolehkan (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Lajnah Fatwa Al-Azhar Mesir). 

Pendapat di atas secara eksplisit bisa dicerna bahwa pemindahan aggota badan dari mayit boleh dilakukan dengan catatan ada izin dari mayit sebelum meninggal atau keluarganya. Karena memandang tidak adanya dalil yang secara jelas tidak memperbolehkan pemindahan salah satu anggota badan.

Apakah Boleh Umroh Saat Haji Menurut Fikih Islam ?

umrah saat haji
Tanya : Orang yang sudah pernah umrah tetapi belum berhaji. wajibkah mengulangi umrah di kala beribadah haji ? (Abdul Hakim, Punjer, Kebumen) 

Jawab : Haji dan umrah pada dasarnya dua ibadah yang berdiri sendiri, meski dalam banyak hal yang berkaitan dengan kriteria orang yang diwajibkan dan tata cara pelaksanaannya memiliki kesamaan. 

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis, umrah disyariatkan dalam Islam, meskipun status hukumnya diperselisihkan para ulama. 

Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan umrah hukumnya sunah muakkadah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat umrah adalah wajib. 

Terjadinya khilaf itu menurut pengarang kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-’Arba’ah, sebuah kitab fikih perbandingan empat mazdzhab, merupakan salah satu aspek yang membedakan umrah dengan haji. Kalau haji semua sepakat hukumnya wajib bagi yang telah mampu sebagaimana tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajihan manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah, barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. “(QS. Ali Imran: 97) 

Bagi yang berpendapat wajib, umrah cukup dilakukan sekali saja selama hidup (marrah thul al-umr) dan berlaku atas orang orang yang berkewajiban haji. Lebih dari itu hukumnya sunah. Karena haji dan umrah merupakan ibadah yang berdiri sendiri, keduanya dapat dilakukan secara terpisah, tidak dalam satu tahun. Dalam artian boleh saja umrah dilakukan tahun 1995 dan baru tahun berikutnya menunaikan haji, tanpa harus mengulangi umrah untuk kali yang kedua. Seperti yang saya sebutkan di atas, kewajiban umrah hanya satu kali dalam hidup ini. 

Meski demikian untuk menghemat tenaga dan biaya, orang biasanya -terutama yang jauh dari Makkah- mengerjakan umrah dan haji sekaligus. Karena dengan begitu, seseorang yang belum pernah umrah, pada tahun-tahun berikutnya tidak perlu pergi ke Makkah lagi untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang sudah pernah menjalankan umrah ketika haji dimaksudkan sebagai optimalisasi kesempatan yang sangat berharga tersebut -berada di tanah suci- dengan memperbanyak ibadah.

Ibadah haji yang demikian, dalam arti dirangkai dengan umrah, dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, ihram haji terlebih dahulu, setelah selesai kemudian umrah. Kedua, tammattu, kebalikan ifrad. Ketiga, qiran, ihram haji dan umrah secara bersamaan. 

Ketiga cara tersebut, mana yang paling utama termasuk masalah khilafiyah, lantaran ada perbedaan pendapat dalam menentukan cara yang dipilih Rasulullah Saw. saat mengerjakan haji wada (perpisahan) apakah ifrad, tammattu atau qiran. Yang jelas semua boleh dipakai, dan mempunyai pendukung sendiri-sendiri. 

Dalam Madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas kaum muslim Indonesia, yang paling utama adalah ifrad, sebagaimana termaktub dalam kitab Fath Al-Qarib, dan 1ain-lain.

Tabir Wanita