Dalam perjalanannya menuju Mekah, pasukan Abrahah berhenti di desa Mugammas dekat kota Taif. Pasukan ini merampas harta benda dan hewan peliharaan masyarakat desa itu dengan kejam. Sesampainya di Tihamah, mereka kembali melakukan aksi perampasan. Bahkan mereka juga merampas 200 ekor unta milik Abdul Muthalib kakek Nabi Muhammad SAW. Ia adalah seorang tokoh yang terkemuka dikalangan suku Quraisy. Abdul Muttalib diberi kepercayaan memegang kunci dan menjaga Ka’bah. (baca juga : Peristiwa Penting Pada Saat Nabi Muhammad Lahir)
Di lain pihak, penduduk Mekah seperti mendapat firasat akan terjadinya suatu peristiwa besar. Selama beberapa tahun, mata air zam-zam hilang. Menjelang peristiwa serangan pasukan gajah itu, Abdul Muttalib tiba-tiba menemukan kembali mata air itu. Penduduk Mekah kemudian berhasil menggali kembali sumur zam-zam.
Setelah mengetahui untanya dirampas oleh Abrahah, Abdul Muthalib menemui Abrahah dan mengajaknya berunding. Dalam perundingan itu, Abdul Muttalib berkata,” Wahai Abrahah! Apa tujuan tuan datang kemari dengan membawa pasukan yang besar”?
Abrahah menjawab dengan sombong,”Kami ingin menghancurkan Ka’bah. Ka’bah telah membuat orarig-orang tidak mau mengunjungi negeri kami. Padahal kami telah mendirikan bangunan yang lebih indah dan lebih megah daripada Ka’bah. Lalu apa maksudmu menemuiku?”
“Jadi kamu hanya ingin agar aku mengembalikan untamu?” Abrahah bertanya keheranan, “Bukankah kamu pemimpin kota ini? Mengapa kamu tidak menghalangiku untuk menghancurkan Ka’bah?”
Abdul Muttalib menjawab,” Saya hanya memiliki unta itu. Oleh karena itu, saya hanya meminta kembali unta-unta saya. Adapun Ka’bah itu ada Tuhannya sendiri. Dialah yang akan menjaganya.”
“Kalau begitu, Aku akan kembalikan unta-untamu, tetapi kalian pergilah menyingkir dan jangan menghalangiku!” Abrahah berkata dengan keras.
Benarlah, Abarahah kemudian mengembalikan unta-unta milik Abdul Muttalib. Abdul Muttalib dan penduduk Mekah kemudian mengungsi ke gunung-gunung disekitar Mekah untuk menghindari serangan Abrahah. Pasukan Abrahah kemudian mulai bergerak memasuki Mekah.
Di lain pihak, penduduk Mekah seperti mendapat firasat akan terjadinya suatu peristiwa besar. Selama beberapa tahun, mata air zam-zam hilang. Menjelang peristiwa serangan pasukan gajah itu, Abdul Muttalib tiba-tiba menemukan kembali mata air itu. Penduduk Mekah kemudian berhasil menggali kembali sumur zam-zam.
Setelah mengetahui untanya dirampas oleh Abrahah, Abdul Muthalib menemui Abrahah dan mengajaknya berunding. Dalam perundingan itu, Abdul Muttalib berkata,” Wahai Abrahah! Apa tujuan tuan datang kemari dengan membawa pasukan yang besar”?
Abrahah menjawab dengan sombong,”Kami ingin menghancurkan Ka’bah. Ka’bah telah membuat orarig-orang tidak mau mengunjungi negeri kami. Padahal kami telah mendirikan bangunan yang lebih indah dan lebih megah daripada Ka’bah. Lalu apa maksudmu menemuiku?”
“Jadi kamu hanya ingin agar aku mengembalikan untamu?” Abrahah bertanya keheranan, “Bukankah kamu pemimpin kota ini? Mengapa kamu tidak menghalangiku untuk menghancurkan Ka’bah?”
Abdul Muttalib menjawab,” Saya hanya memiliki unta itu. Oleh karena itu, saya hanya meminta kembali unta-unta saya. Adapun Ka’bah itu ada Tuhannya sendiri. Dialah yang akan menjaganya.”
“Kalau begitu, Aku akan kembalikan unta-untamu, tetapi kalian pergilah menyingkir dan jangan menghalangiku!” Abrahah berkata dengan keras.
Benarlah, Abarahah kemudian mengembalikan unta-unta milik Abdul Muttalib. Abdul Muttalib dan penduduk Mekah kemudian mengungsi ke gunung-gunung disekitar Mekah untuk menghindari serangan Abrahah. Pasukan Abrahah kemudian mulai bergerak memasuki Mekah.
Ajaib ketika pasukan gajah sampai diantara daerah Muzdalifah dan Mina, gajah-gajah mereka tidak mau berjalan lagi. Mereka hanya menderum. Pada saat itu, Allah SWT, mengutus burung Ababil. Mereka berterbangan diatas pasukan gajah itu. Setiap burung membawa tiga butir batu panas dari neraka. Satu diparuhnya dan dua di kakinya. Burung-burung itu kemudian menebarkan batu-batu panas itu. Apabila batu itu menimpa seseorang, sendi-sendi tulangnya akan hancur dan tak lama kemudian orang itu mati.
Pasukan gajah itu pun menjadi kacau balau. Mereka lari tunggang-langgang tidak tentu arah. Abrahah pun melarikan diri dan pulang ke Yaman. Sesampainya disana, ia akhirnya mati karena luka yang dideritanya.