Sunday, 6 September 2015

Bagaimana Tata Cara Dan Niat Shalat Istikharah ?

Tanya : Apakah istikharah dapat dikerjakan untuk mengetahui jenis pekerjaan? Bagaimana caranya?

Jawab : Pada post terdahulu, saya menyinggung masalah shalat istikharah serta caranya secara global. Post kali ini akan melengkapinya sesuai dengan permintaan penanya.

Istikharah menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, dianjurkan (sunah) pada semua perkara yang memiliki beberapa alternatif (fi jaini’ al-amar). Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Jabir lbn Abdillah ra. dalam kitab yang sama bersabda:
Artinya: ‘Jika satu dari kalian hendak mengerjakan perkara/urusan maka ruku‘ lah (shalatlah) dua rakaat (selain shalat fardhu) kemudian ia berdoa... “(HR. Bukhari)

Redaksi hadis tersebut menggunkan al-amr (perkara /urusan) yang termasuk lafazh ‘am atau kata umum. Perkara-perkara wajib atau harus tidak perlu diistikharahi. Sebab kita tidak punya pilihan lain yakni yang wajib harus dilakukan dan yang haram harus dihindari. Tidak perlu istikharah, apakah saya mengerjakan shalat atau tidak misalnya. Begitu juga zina, mencuri, dan sejenisnya.

Istikharah adalah upaya memohon kepada Allah Swt. agar memberikan pilihan terbaik kepada kita akan hal-hal yang memang kita punya hak untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Seperti pekerjaan misalnya, kita diperbolehkan bekerja sebagai pedagang, petani, pengusaha dan sebaginya.

Shalat istikharah sangat mudah, yaitu shalat dua rekaat dengan niat istikharah. Rakaat pertama setelah membaca surat A1-Fatihah membaca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua surat A1-Ikhlas. Setelah salam, membaca doa: 
 

Cara niat istikharah yaitu :

 

Sedangkan doa istikharah selengkapnya dalam versi arab dapat dijumpai dalam kitab Al-Adzkar atau doa sebagaimana tertulis di atas.

Setelah shalat istikharah, biasanya di dalam hati timbul rasa tenang dan mantap terhadap salah satu alternatif yang ada. Bisa juga hasil istikharah diketahui lewat mimpi, dengan isyarat dan simbol-simbol tertentu. Kalau masih ragu, istikharah dapat diulang dua atau tiga kali.

Adakah Sholat Yang Dilarang (Waktu Larangan Sholat) ?

Tanya : Shalat sebelum atau sesudah shalat wajib biasa kita lakukan. Saya pernah mendengar, sewaktu matahari akan tenggelam di ufuk timur, kita diharamkan melakukan shalat sunah sehingga tidak ada shalat sunah sesudah shalat shubuh dan sebelum shalat Maghrib. Nyatanya saya sering melihat orang shalat Tahiyatul Masjid menjelang shalat Maghrib. Apakah ini bukan termasuk Jarangan? Bagaimana dengan shalat Tahiyatul Masjid saat khotib berkhotbah di mimbar shalat Jumat? Bukankah kita harus mendengar khotbah?

Jawab : Memang ada waktu-waktu tertentu yang diharamkan dan tidak sah untuk shalat. Menurut keterangan kitab-kitab fikth ada lima yang tidak diperkenankan seseorang melaksanakan ibadah shalat. Waktu-waktu itu adalah setelah shalat Ashar, setelah shalat Subuh, waktu matahari berwarna kuning menjelang tenggelam pada waktu sore sampai tenggelam, waktu matahari terbit sampai naik sekedar tinggi lembing (setinggi 18 derajat dari horizon atau empat hasta) menurut pandangan mata, dan ketika matahari tepat di langit (istiwa’) sampai bergeser ke arah barat (zawah).

Adanya pelarangan ini memang berdasarkan keterangan dan beberapa hadis. misalnya riwayat dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. melarang shalat setelah shalat Ashar hingga mahari terbenam, dan setelah shalat Subuh sampai matahari terbit (HR Bukhari Muslim).

Hadis-hadis yang lain dapat ditemukan pada kitab Bulugh Al-Maram hal 44-45 karangan Ibn Hajar A1-Asqalani yang sangat populer di kalangan pesantren dan madrasah.

Salah satu alasan pelarangan tersebut menurut satu hadis karena ketika matahari terbit, terbenam, dan tepat berada di tengah langit, setan mendekatkan diri ke matahari agar disembah orang.

Sebagian ulama berendapat, pada waktu itu kaum penyembah matahari sedang menyembahnya. Jadi pelarangan itu supaya umat Islam tidak menyerupai mereka.

Kala itu yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki sebab, yaitu shalat Sunah Mutlaq dan shalat Tasbih atau mempunyai sebab yang mengiringi sesudah shalat itu seperti shalat Sunah ihram dan istikharah.

Adapun shalat yang mempunyai sebab yang mendahului atau bersamaan dengan shalat itu, hukumnya diperbolehkan. Contohnya meng-qadha shalat fardhu, shalat tahiy’atul masjid, shalat jenazah, istisqa’ (minta hujan), dan sunah wudhu.

Meng-qadha’ shalat Zhuhur dikatakan mempunyai sebab yang mendahuluinya, karena kewajiban meng-qadha’ shalat Zhuhur disebabkan karena waktunya telah masuk sebelumnya dan belum dikerjakan sampai habis. Begitu juga shalat tahiyatul masjid dikarenakan seseorang memasuki masjid. Jelas, memasuki masjid terjadi sebelum dan masih berlangsung ketika shalat.

Berbeda dan shalat sunah ihram yang dikerjakan ketika akan ihram. Sebabnya adalah ihram yang jauh setelah shalat (Al-Ha wasy Al Madaniyyah I, 212-214).

Mengenai shalat tahiyratul masjid dua rakaat ketika khotib berada di atas mimbar bagi orang yang baru datang ke masjid hukumnya diperbolehkan asal tidak diperpanjang atau menurut sebagian ulama, hanya menjalankan pekerjaan shalat yang wajib saja supaya dapat mengikuti khotbah (Al-Ha wasyi Al-Madaniyyah: I, 213).

Hal itu berdasarkan sebuah hadis dan sahabat Jabir ra. bahwa beliau berkata:
Artinya: “Seorang lelaki datang ke masjid pada hari jumat ketika Rasulullah Saw. berkhotbah. Lalu beliau (Rasulullah Saw.) bertanya, ‘Apakah kamu sudah shalat?’ Lelaki tadi menjawab, ‘Belum/tidak’ (laa). Rasulullah Saw. kemudian bersabda, ‘Berdirilah, lalu shalatlah dua rakaat.“ (Muttafaq alaih)

Hadis ini dijadikan pegangan segolongan ahli hadis dan fuqaha (ahli fikih) bahwa shalat tahiyratul masjid dua rakaat di tengah-tengah khotbah diperbolehkan bagi orang yang baru datang ke masjid. (Bulugh Al-Mararn, 99).

Apa Hukum Shalat Jumat Bagi Muslimah (Wanita) ?

Tanya : Bagaimana kalau muslimah melakukan shalat Jumat ? Apakah dengan mengerjakan shalat Jumat kemudian shalat Zhuhurnya gugur? (Widi, Boyolali)

Jawab :
Para ulama sepakat, hukum shalat Jumat itu wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, bila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah mengingat kepada Allah, dan tinggalkan jual beli, karena yang demikian ini lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “(QS. A1-Jumu’ah: 9)

Shalat Jumat, termasuk kewajiban-kewajiban ainiy’ah (fardhu‘ain) sehingga berlaku atas setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat wajibnya (syuruth al-wujub). Di antara syarat wajib tersebu t adalah adz-dzhukura li dzhukuriah, artinya sifat kelaki-lakian. Karenanya, perempuan tidàk wajib menjalankan shalat tersebut.

Ketentuan itu didasarkan atas sebuah hadis riwayat Thariq Ibn Syihab ra. yang menyatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Mendirikan Jumatan adalah hal yang wajib (haqqun wajibun) atas setiap Muslim kecuali empat orang, yakni budak, perempuan anak kecil, dan orang sakit. “(HR. Abu Dawud)

Keempat kelompok yang terbebas dari kewajiban itu masth ditambah lagi dengan musafir, yaitu orang yang bepergian dengan jarak tempuh kurang lebih 90 kilometer.

Jika kita perhatikan, meski di mata agama Islam lelaki dan perempuan itu sama dan sederajat, tetapi dalam beberapa hukum mereka dibedakan.

Selain kewajiban shalat Jumat, bisa kita sebutkan antara lain dalam masalah warisan. Bagian perolehan bagi mereka yang berjenis kelamin laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Di samping itu, kekhususan lain yang dibebankan kepada laki-laki dan tidak dibebankan kepada perempuan adalah dalam hal kewajiban mengikuti jihad.

Adanya perbedaan dalam kasus-kasus tertentu itu, sama sekali tidak berlawanan dengan jiwa dan semangat egaliter (kesamaan) yang dijunjung tinggi oleh ajaran Islam.

Perbedaan itu diperlukan, karena dalam batas-batas tertentu antara laki-laki dan perempuan berlainan secara fisik dan mental. Ini adalah suatu kenyataan yang tidak mungkin diingkari.

Dalam kasus shalat Jumat kalau diperhatikan secara mendalam, pembebasan perempuan dari ikatan kewajiban shalat tersebut justru mengandung hikmah yang sangat hesar.

Kalau perempuan dituntut sebagaimana laki-laki, maka akan segera muncul sederetan masalah yang perlu pemecahan.

Persoalan itu antara lain siapa yang harus menjaga rumah? Dan jika perempuan masih mengasuh anak kecil, tidakkah terlalu berbahaya jika sang anak ditinggal sendirian? Jika dia sedang hamil, tidakkah terlalu memberatkan baginya melakukan perjalanan menuju masjid yang cukup jauh dari rumah? Padahal secara syar’i dalam satu daerah hanya diperbolehkan melakukan satu kegiatan shalat Jumat, kecuali ada kebutuhan yang mendesak.

Meski perempuan tidak diwajibkan, sah-sah saja dia ikut shalat Jumat. Andaikan ini dilaksanakan, maka dengan sendirinya bisa menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur. Pendapat ini sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Bajuri (Syarah Fath Al-Qarib).

Dan tentu saja perempuan yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat Jumat (jumatan) hendaknya segera melakukan shalat Zhuhur secara berjamaah di rumahnya. Karena menunaikan shalat pada awal waktu adalah termasuk sebaik-baik amal ibadah (afdhal al-a’inal).

Bagimana Hukum Khotib Jumat Tidak Duduk ?

Tanya : Bagaimana hukumnya khotib Jumat tidak duduk antara dua khotbah? (Slamet Widodo, Semarang)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, khotbah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan shalat Jumat yang hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki dan mempunyai persyaratan tertentu. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat tanpa menyelenggarakan khotbah. Bahkan, shalat itu sendiri tidak sah tanpa khotbah terlebih dahulu.

Menurut sebagian ulama, shalat Jumat adalah shalat Zhuhur yang diringkas menjadi dua rakaat (zhuhrun maqshurah). Sedangkan dua rakaat sisanya, diganti khotbah. Karena itu dalam penyelenggaraannya, khotbahnya dua kali, sama dengan jumlah rakaat shalat yang dikurangi.

Dengan demikian, khotbah Jumat merupakan ibadah, tidak sekedar media dakwah semata sebagaimana pengajian umum, ceramah keagamaan, kuliah shubuh, siraman rohani dan sejenisnya. Meskipun semuanya mengandung unsur dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan yang benar dan diridhai Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘adah add arain), sebagaimana dicita-citakan umat Islam.

Sebagaimana ibadah, sudah barang tentu pelaksanaannya terikat oleh aturan-aturan berupa syarat rukun yang semuanya diteladani dan dipahaini dari praktik Rasulullah Saw. Hanya dengan meneladani praktik beliau, ibadah kita diterima oleh Allah.

Dalam masalah ibadah berlaku kaidah, segala ibadah itu haram kecuali yang diperintahkan. Kebalikan dari bidang muamalah, segala sesuatunya diperbolehkan kecuali yang dilarang agama. Dalam masalah ibadah, kita tidak bisa melakukan inovasi dan kreasi sendiri.

Jika hal tersebut kita kaitkan dengan permasalahan penanya, maka mau tidak mau kita harus menengok praktik khotbah Rasulullah Saw. Langkah itu dapat diupayakan lewat dua cara, yakni melihat hadis secara langsung atau menelaah kitab-kitab fikih yang salah satu obyek kajianya adalah seluk-beluk ibadah.

Sebab fikih diformulasikan berdasarkan dalil-dalil dan Al Quran dan hadis, di samping hasil ijtihad. Langkah kedua (kitab fikih) lebih praktis bagi kalangan awam.

Berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab fikih, khotbah Jumat memiliki perbedaan-perbedaan tatacara pelaksanaan dan kriteria pelakunya (khotib) dibandingkan dengan pengajian umum. misalnya, khotbah harus berisi puji-pujian terhadap Allah (hamdalah), pembacaan shalawat kepada Rasulullah, pesan bertakwa, membaca ayat Al-Quran, dan berdoa.

Khotib harus suci dari dua hadas dan najis, baik badan, tempat, pakaian yang dikenakannya, serta menutup aurat. Selain itu khotib harus berdiri selama berkhotbah apabila mampu dan duduk di antara dua khotbah sekedar tuma‘ninah. Mungkin sekitar sepuluh detik sudah cukup. Menurut para ulama, hal itu disunahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca surat Al-Ikhlas.

Kalau khotbah dilakukan dengan duduk lantaran khotih tidak mampu berdiri, maka dua khotbah tadi dipisahkan dengan cara berdiam sejenak. Demikian juga jika ada orang yang mampu berdiri tapi tidak bisa duduk karena penyakit yang dideritanya.

Keharusan berdiri dan duduk ini semata-mata mengikuti apa yang dipraktikkan Rasulullah Saw., bisa juga hikmahnya untuk beristirahat bagi khotib, sehingga dapat nieneruskan khotbah yang kedua dengan tenang.

Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dan sahabat Jabir Ibn Samurah ra. yang menyatakan:
Artinya “Sesungguhnya Nabi Saw khotbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri dan berkhotbah. “(HR. Muslim)

Dalam hadis ini, jelas bahwa Rasulullah kalau berkhotbah dengan berdiñ lalu duduk dan berdiri lagi sebagaimana yang kalian semua lakukan sekarang. Berdiri pada khotbah pertama dan kedua serta duduk di antara dua khotbah itu.

Beraitan dengan waktu khotbah, dikerjakan setelah masuk waktu shalat zhuhur dan sebelum shalat Jumat. Antara khotbah dan shalat tidak boleh dipisahkan terlalu lama. Jadi, berbeda dengan khothah shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang shalatnya didahulukan dan mengakhirkan khotbah.

Semua itu selain yang berupa rukun berjumlah lima, yaitu memuji Allah, membaca sha1awat, wasiat agar bertakwa, membaca ayat Al Quran dan berdoa, adalah syarat sahnya khotbah Jumat.

Dengan demikian, duduk di antara dua khotbah adalah syarat yang sudah barang tentu harus dipenuhi, meskipun umpamanya khotib tidak lelah dan masih segar bugar. Sebab, dalam hal ini yang harus diprioritaskan adalah mengenai khotbah yang dikerjakan agar persis dan sesuai dengan apa yang dipraktikkan Rasulullah. Hal itu sekaligus sebagai bukti ketaatan kita kepada beliau yang seperti pula ketaatan kita kepada Allah Swt. yang telah mengutusnya.

Saturdan lain hal yang perlu diketahui bahwa saat khotib duduk di antara dua khotbah, menurut para ulama merupakan waktu yang mustajab. Artinya kalau seseorang berdoa pada saat itu kemungkinan dikabulkan lebih besar. Sangat disayangkan bila kita tidak pergunakan sebaik-baiknya kesempatan tersehut dengan berdoa kepada Allah secara khusu’.

Bagaimana Mengulang Shalat Saat Bepergian ?


Tanya : Saat bepergian, kita diperkenankan menjama’ shalat, setelah sampai di tujuan temyata waktu masih ada. Apakah shalat tersebut wajib diulang ?

Jawab : Allah berfirman dalam Al-Quran tepatnya surat AnN isa’, 103 sebagai berikut:
Artinya: ‘Bahwa sesungguhnya shalat orang mukinin adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An-Nisa’: 102)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasamya kewajiban menjalankan ibadah shalat adalah pada waktunya masing-masing yang telah ditetapkan, tidak dapat didahulukan atau diakhirkan dari semestinya.

Namun deinikian, ada kondisi khusus seseorang diperkenankan menjalankan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, yaitu dengan melakukan cara shalat yang lazim disebut jama.

Yang dimaksud dengan menjama‘ shalat adalah melaksana kan shalat Ashar pada waktu Zhuhur atau Isya’ pada waktu Maghrib atau sebaliknya, yaitu Zhuhur pada waktu Ashar dan Maghrib pada waktu Isya’. Yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua jama’ ta’khir.

Diperbolehkannya melakukan jama’ shalat merupakan suatu rukhsah (dispensasi) dari Allah terhadap para hamba Nya. Karena itu merupakan suatu kemudahan, tidak dalam segala kondisi seseorang dapat melakukannya.

Dalam literatur fikih disebutkan adanya dua kondisi yang memperkenankan seseorang men-jama’ shalat. Pertama, bila berada dalam kondisi perjalanan. Kedua, seseorang yang terbiasa shalat jamaah di masjid, sementara keadaan hujan yang dikhawatirkan membasahi atau mengotori pakaiannya. Dalam keadaan demikian, dia diperbolehkan melakukan jama‘ shalat.

Khusus yang pertama (dalam perjalanan) seseorang boleh melakukan shalat jama’ bila perjalanannya mencapai batas diperbolehkannya melakukan shalat qashar (masafatu al-qashi) yaitu suatu perjalanan yang telah mencapai dua marhalah.

Menurut kitab Fath Al-Qadii dua marhalah sama dengan sekitar 90 kilometer. Dan mulai boleh menjamá’ shalat bila telah melewati batas daerahnya (saaru al-balad). Hal tersebut masih ditambah lagi dengan suatu ketentuan lain bahwa perjalanan itu bukanlah untuk suatu tujuan yang tidak diperbolekan oleh syariat. Demikianlah di antara ketentuan yang harus diperhatikan dalam menjalankan shalat jamak.

Keterangan di atas lebih mengacu pada kondisi seseorang diperbolehkan melakukan shalat jama’ Sementara cara pelaksanaan shalat tersebut masih ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan.

Dalam kitab Fath A1-Wahhab disebutkan empat syarat ketika seseorang bermaksud melakukan jama’ taqdim.
Pertama, shalat tersebut dilakukan secara urut (tartib), artinya mendahulukan shalat Zhuhur sebelum Ashar dan Maghrib sebelum Isya’. Tidak dapat dilakukan yang sebaliknya.

Kedua, niat akan melakukan shalat jama ‘pada saat melaksanakan shalat yang pertama, dalam hal ini saat melaksanakan shalat Zhuhur atau Maghrib. Bila niat tersebut tidak ada, maka seseorang tidak diperbolehkan melakukan shalat jama

Ketiga, dilakukan secara berkesinambungan (al-wila) dalam artian setelah melaksanakan shalat yang pertama lalu dilanjutkan dengan shalat yang kedua, tidak diselingi dengan kegiatan apapun yang menurut adat dianggap lama.

Yang (keempat) terakhir, seseorang masih berada di dalam perjalanan ketika waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) telah mulai masuk (dawamu as-safar ila ‘aqdin tsaniyah).

Dengan kata lain, ketika seseorang telah sampai tinggalnya, atau daerah lain yang dia niatkan akan bermukim dalam jangka waktu yang lama, sementara dia belum menjama shalat maka dia tidak dapat lagi melakukannya.

Sementara untuk jama ta’khir hanya dipersyaratkan berniat pada waktu yang pertama dia akan melakukan shalat jama’ ta’khir. Hal itu untuk membedakannya dari shalat qadha’yang notabene adalah juga meletakkan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Disyaratkan juga seseorang masih berada dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah masuk, sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian pertama.

Merujuk pada pertanyaan tersebut di atas, tentang wajib atau tidaknya mengulangi shalat yang dilakukan secara jama’ ketika telah sampai di tempat tujuan, sementara waktunya masih ada, kita dapat memperhatikan syarat yang terakhir dan kitab itu, yakni dawamu as-safar, dengan jalan mengambil mafhum dan keterangan tersebut. Yang dipersyaratkan hanyalah bahwa seseorang tersebut masih dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah mulai masuk, bukan waktu kedua yang telah berakhir. Dengan demikian, bila memang shalat jama’ tersebut dilakukan melalui suatu perkiraan, yang kemudian memang terjadi seseorang masih berada dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah masuk, shalat tesebut tidak perlu diulang, sekalipun waktu masih ada dan lama.

Bahkan tindakan tersebut (mengulangi) dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi sikap keberagamaan seseorang bila dibarengi dengan motivasi bermain-main dalam masala ibadah (tala‘ub fi Ad-din).

Friday, 4 September 2015

Hukum Dan Cara Mengqadha Shalat Yang Benar

Tanya : Saya meninggalkan shalat, dan mau mengqadha’nya, tetapi tidak tahu secara pasti berapa jumlahnya. Kapan men gqadha’ dikerjakan? dan apa wiridan untuk bertobat?

Jawab : Shalat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam. Ia adalah rukun Islam kedua dan terpenting setelah syahadat, ibadah yang paling utama, menjadi tiang agama, dan kewajiban yang pertamakali dihisab. Pada sisi lain, shalat mengandung banyak hikmah, misalnya menjadikan hati lebih tenteram, menghapus dosa dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sangat tidak layak bagi setiap muslim mengabaikannya dalam keadaan apapun. Pada kondisi dan situasi yang sulit, Allah Swt. telah memberikan pelbagai kemudahan. Ketika bepergian diperkenankan mengqashar dan menjama. Jika tidak mampu berdiri, diperbolehkan duduk atau tidur sesuai dengan kemampuan. Pada saat tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakannya, disyari’atkan tayamum.

Sebenarnya shalat itu tidak berat, asal dibiasakan. Mendirikan shalat dengan ikhlas dan khusyu justru mendatangkan kelezatan rohani tersendiri. Supaya terbiasa, orang tua diperintahkan menyuruh anaknya mengerjakan shalat sejak berumur 7 (tujuh) tahun, dan memberinya pelajaran atau sanksi (at-tadib) apabila meninggalkan pada umur 10 (sepuluh) tahun.

Shalat termasuk ibadah formal (muqayyadah) yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya. Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang ukmin.” (QS. An-N isa’, 103)

Tidak sah menjalankan shalat sebelum waktunya tiba. Dilarang meninggalkan shalat tanpa udzur sampai waktunya habis. Menjalankan shalat pada waktunya dinamakan ada’, kebalikannya adalah qadha yaitu mengerjakan shalat di luar waktunya.

Mengqadha’shalat hukumnya wajib,
baik meninggalkannya karena ada udzur atau tidak. Hanya saja, jika ada udzur pelakunya tidak berdosa. Kalau terdapat unsur kesengajaan, pelakunya berdosa. Perintah mengqadha didasarkan pada sabda
Rasulullah:
Artinya: “Barangsiapa lupa tidak mengerjakan shalat maka dia harus melakukakannya (mengqadha‘nya) ketika mengingatnya. “(HR Bukhari dan Muslim)

Shalat yang ditinggalkan tanpa udzur wajib secepatnya diqadha’ (‘ala al-faur). Jika ada udzur sebaiknya dipercepat, supaya lekas lepas dari tanggungan (bara’ah adz-dzimmah). Hal ini sebagaimana dianut oleh Madzhab Syafi’i.

Kewajiban mengqadha‘ shalat tetap berlaku sampai kapanpun. Ini artinya, shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun masih tetap menjadi tanggungan. Jenis dan jumlah shalat yang diqadha’ disesuaikan dengan jumlah dan jenis yang ditinggalkan. Oleh karena itu, harus diketahui terlebih dahulu, apakah shalat yang ditinggalkan itu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ ataukah Subuh, dan berapa kali terjadi.

Kalau tidak diketahui secara pasti jumlah shalat yang ditinggalkan, ada 3 (tiga) pendapat. Pertama, mengqadha - shalat kecuali yang diyakini telah dikerjakan. Kedua, mengqadha’ shalat yang diyakini belum dikerjakan. Ketiga, menggunakan pendapat pertama bagi orang yang sering meninggalkan, dan pendapat kedua jika jarang melalaikan shalat. (Al-Fiqh Al-island, 1161, juga Qalizbi I, 118).

Sebagai wujud kehati-hatian dalam beragama (al-thtiyath), sebaiknya kita memilih pendapat pertama. Ia adalah pendapat terkuat, dan sejalan dengan salah satu kaidah fikih, al-ashl al adam. ini sekaligus pengamalan dari kaidah yang lain, al-khuruj min al-hilaf musfahab.

Kalau seseorang meyakini telah meninggalkan shalat tetapi lupa jenisnya, apakah Zhuhur ataukah lainnya, maka ia harus mengqadha’ shalat fardhu lima waktu secara keseluruhan. Hanya dengan begitu, ia dipastikan. telah mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan.

Mengqadla’dapat dilakukan kapan saja. Mengingat Anda meninggalkannya dengan sengaja, tanpa udzur, maka Anda harus mengqadha’ secepatnya. Jangan sampai ditunda-tunda lagi. Mengqadha’ shalat secepat mungkin hukumnya wajib. Dalam kaidah fikih kita kenal ungkapan al-wajib la yutrak illa li wajib, sebuah kewajiban tidak bia ditinggalkan kecuali untuk melakukan kewajiban yang lain.

Menurut Madzhab Syafi’i, mengqadha‘ shalat dalam jumlah banyak tidak diwajibkan secara berurutan. Artinya, boleh mengqadha’Ashar, lalu Zhuhur, disusul Isya’ misalnya. Lebih baik berurutan, karena hukumnya sunah. (Mughni Al-Muhtaj I, 127).

Perlu diingat, bahwa selain mengqadha Anda harus bertobat atas kesalahan tersebut. Mengqadha‘ shalat tidak secara otomatis membebaskan Anda dari dosa. Mengqadha’ justru merupakan bagian dari tobat. Tobat adalah meninggalkan perbuatan yang dilarang syara, menyesalinya dan berketetapan hati tidak akan mengulangi lagi pada masa mendatang. Wiridan yang dianjurkan adalah memperbanyak bacaan istirhfar. Tapi jangan hanya di mulut. Ucapan itu harus keluar dari lubuk hati yang terdalam, dan diwujudkan dalam tindakan nyata, berupa perubahan sikap dan perilaku dari yang tidak diridhai Allah menuju amal yang diridhai-Nya.

Hukum Meninggalkan Shalat Jumat Saat Di Luar Negeri

Tanya : Saya ini bingung apakah boleh meninggalkan shalat Jumat (saya sekarang ada di luar negeri,). Kata teman saya sih boleh, dengan bermacam alasan. Tapi saya ingin kejelasan. 

Jawab : Pada hari Jumat, sekali dalam seminggu umat Islam diwajibkan melakukan shalat Jumat. Kewajiban ini bersifat fardhu’ain. Perintah shalat Jumat berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Rasulullah bersabda, yang artinya: ‘Mendatangi shalat Jumat wajib atas setiap orang baligh.” (HR. Nasai dan Khafshah ra.)

Karena dalil-dalilnya sangat kuat dan jelas, mengingkari perintah ini dapat menyebabkan seseorang (muslim) keluar dari agama Islam, sebab dianggap tidak percaya kepada Al-Quran dan hadis.

Praktik shalat Jumat secara umum sama dengan shalat-shalat yang lain, kecuali beberapa persyaratan khusus. Shalat Jumat terdiri dari dua rakaat, dilakukan secara berjamaah dengan jumlah peserta minimal (40) empat puluh orang dan didahului khotbah dua kali.

Oleh sehab itu, untuk mengikuti shalat Jumat, seseorang harus menghadiri masjid jami’. Aturan pelaksanaan shalat Jumat tidak sebebas shalat fardhu yang lain. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat sendirian di dalam rumah, inisalnya.

Keharusan tersebut sudah barang tentu menyulitkan sebagian orang karena alasan-alasan tertentu yang tidak memungkinkannya menghadiri masjid jami’. Oleh sebab itu, kewajiban shalat Jumat tidak berlaku bagi orang sakit dan musafir. Untuk musafir tidak ada persyaratan jarak yang ditempuh harus mencapai masafah aI-qashr, jarak meng-qashar shalat, yaitu 90 km menurut sebagian ulama. Dengan catatan bepergiannya bersifat mubah (diperkenankan agama), dan sudah berangkat sebelum fajar terbit (A1-Madzahib Al-Arba ‘ah: I, 383, Al-Hawasyly Al-Madaniyah II, 56).

Dalam terminologi fikih, dispensasi tersebut dinamakan rukhshah, yaitu perubahari hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Sedangkan sebab terjadinya hukum asal tetap berlaku (Thariqah Al-Hushul, 40). Salah satu udzur penyebab timbulnya rukhshah adalah bepergian (as-safai). Di tengah perjalanan setiap orang pasti mengalami kepayahari, meskipun dalam kadar yang berbeda-beda (al-safarqith’ah nun aI-’azhab). Padahal untuk memenuhi kebutuhari hidupnya, manusia tidak bisa lepas dari bepergian. Sangat dimungkinkan dan dalam kenyataannya sering terjadi, seseorang masih berada dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat telah tiba.

Dan sisi lain, pemberian dispensasi di atas sejalan dengan salah satu karakteristik agama Islam, yaitu ‘adam al-kharaj dalam artian tidak ada yang memberatkan atau menyulitkan dalam pengamalan ajaran-ajarannya. Sehagai ganti shalat Jumat, musafir dapat mengerjakan shalat Zhuhur seperti biasa.

Kebalikan dari musafir adalah mukim. Status musafir menjadi hilang apabila ia niat bermukim selama empat hari. Jika seseorang dari Semarang pergi ke Surabaya lalu niat menginap di hotel selama lima hari misalnya, maka tidak berlaku lagi baginya dispensasi bepergian (rukhshah as-safai). Lain halnya kalau hariya dua atau tiga hari (Al-Fiqh Al-Islami. 1287).

Bila hariya niat bermukim secara mutlak, tanpa menentukan jumlah hari, hukumnya sama dengan niat bermukim empat hari. Lain lagi kalau bermukim pada suatu tempat untuk sebuah keperluan yang sewaktu-waktu keperluannya selesai ia pulang, maka status musafir masih disandangnya selama delapan belas hari (Al-Ha wasyi)’ Al-Madaniyyah 2, 47-48).

Pengertian bermukim (al-iqamah) yang mewajibkan jumatan tidak mengharuskan seseorang menetap atau berdomisili pada suatu tempat untuk selamanya, yang dalam terininologi fikih disebut al-istithari atau al-tawatthun. Bertempat tinggal di asrama, hotel atau rumah sanak keluarga dalam waktu tertentu, untuk suatu ketika kembali lagi ke kampung halaman sudah dianggap bermukim dan menggugurkan status sebagai musafir, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, misalnya mencapai empat hari (Al-Madzahib Al-Arba‘ah: I, 382).

Untuk itu, tujuan saudara penanya berada di luar negeri perlu dipenjelas: Apakah sebagai wisatawan, mengunjungi saudara, bekerja, ataukah untuk kepentingan studi. Lalu dipertegas pula berapa lamanya tinggal di sana. Kalau umpamanya menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk studi sudah barang tentu wajib jumatan. Bila menengok saudara satu atau dua hari, jumatan tidak wajib. Ataukah untuk sebuah kebutuhari yang sewaktu-waktu bila sudah beres, tanpa mengetahui secara persis kapan waktunya, langsung pulang kembali. Untuk kasus terakhir, selama dalam masa delapan belas hari, jumatan boleh ditinggalkan.

Apa Hukum Shalat Dengan Pakaian Yang Terkena Najis ?

Tanya: Bagaimana caranya mengerjakan shalat dengan pakaian yang kena percikan air seni padahal kala itu tidak ada pakaian suci sebagai gantinya?

Jawab: Seperti dimaklumi, agar shalat yang kita lakukan sah menurut syara ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, memenuhi semua persyaratan, menjalakan semua rukun dan meninggalkan semua yang membatalkan.

Syarat sahnya shalat ada 6 (enam). Salah satunya menutup aurat. Keharusan ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya: :Ambillah zinah kalian semua ketika berembahyang. (QS. A1-A’raf: 31)

Menurut Ibnu Abbas,
seorang ahli tafsir dari generasi sahabat, zinah dalam ayat itu mempunyai arti pakaian (al-libas). Sedangkan menurut para ulama, kewajiban menutup aurat telah menjadi konsesus ulama (ijma) sebagaimana diterangkan dalam kitab Asy-Syarqawi.

Alat menutup aurat harus berupa benda suci yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit si pemakai. Pegertian henda disini, tidak terbatas pada pakaian atau kain yang terbuat dari benang atau bulu binatang. Diperbolehkan menutup aurat dengan kulit, kertas, plastik, tikar dan sebagainya asal suci serta menghalangi terlihatnya warna kulit. Bahkan seperti diterangkan dalam kitab-kitab fikih, sudah dipandang mencukupi menutup aurat dengan melumuri badan kita dengan tanah, dan berendam dengan air yang keruh. Dengan demikian belum dipandang mencukupi, penutup aurat yang terbuat dari kaca tembus pandang dan kain yang sangat tipis, sehingga tidak diperkenankan menutup dengan pakaian yang najis.

Kewajiban menutup aurat hanya berlaku untuk orang-orang yang mampu melakukannya meskipun dengan jalan membeli, meminjam atau menyewa. Artinya, penutup aurat tidak harus menjadi imilik pemakainya. Kalau tidak ada pakaian, dapat dilakukan dengan benda-benda lain yang saya sebutkan tersebut. Jika pakaian terkena najis harus dicuci dengan air. Shalat tidak diharuskan menggunakan penutup yang kering.

Karena kewajiban tersebut terbatas pada orang yang mampu (li qadir‘ala as-sali), dengan sendirinya menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu. Seseorang dianggap tidak mampu jika tidak dapat menutup auratnya dengan berbagai cara sebagaimana tersebut di atas. Jadi, jika tidak menemukan pakaian, tetapi masih ada benda lain yang dapat dijadikan penutup, itu masih dianggap mampu.

Melihat segala variasinya benda-benda yang dapat dijadikan penutup aurat, pada zaman ini dalam keadaan normal sangat sulit membayangkan seseorang tidak mampu menutupi auratnya. 

Meski demikian, tetap tidak mustahil hal itu terjadi juga. Contohnya, orang dalam keadaan telanjang dikurung dalam suatu bangunan terkunci, yang tak ditemukan apa-apa kecuali tembok dan atap.

Dalam kodisi seperti itu, ia terbebas dari tuntutan menutup aurat. Dengan demikian ia diperbolehkan shalat dalam keadaan telanjang. Allah Swt tidak menjadikan agama ini (Islam) menyulitkan bagi hamba-Nya, sebagaimana ayat berikut:
Artinya: “... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ... “(QS. A1-Hajj: 78)

Kalau kita hanya mendapat sebagian penutup aurat, tetap harus dipakai, meski nantinya masih ada anggota badan yang terlihat. Kita hanya dituntut menjalankan perintah sesuai dengan kemampuan.

Inti mendirikan shalat adalah dzikrullah, mengingat Allah, yang dari aktivitas itu dtharapkan timbul sikap dan perilaku yang positif berupa menghindari perbuatan yang keji dan mungkar. Semua kejahatan apapun bentuknya sebetulnya berakar pada satu sebab, lupa kepada Allah Swt. Lupa kepada Allah Swt, berarti lupa kepada perintah, larangan ancaman dan siksa-Nya. Tujuan dari hikmah shalat yang demikian itu, sudah tentu tidak perlu ditinggalkan hanya gara-gara tidak ada penutup aurat. Dzikrullah itu letaknya di hati, sehingga ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa khusyu merupakan rohnya shalat. Tanpa khusyu maka shalat bagaikan makhluk tanpa roh, artinya tidak sah.

Tidak hanya menutup aurat, syarat-syarat yang lain jika tidak bisa dipenuhi juga dimaafkan. Orang sakit parah yang kesulitan menghadap ke arah kiblat -atau dekat ke arah selain kiblat- gugur di atasnya keharusan menghadap ke arah kiblat kalau ingin shalat. (Al-Bajuri, Syarah Fath AJ-Qarib, juz I).

Demikian juga dengan syarat bersuci dari najis dan hadas. Jika tidak menernukan air dan debu, dalam .agama Islam kita diperbolehkan shalat meskipun dalam keadaan berhadas.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan lahwa shalat dengan memakai pakaian najis tidak sah. Selanjutnya ada heberapa alternatif yang bisa dilakukan penanya dalam menghadapi kasus yang diutarakan. Pertama, mencuci pakaian yang terkena percikan air kencing atau air seni. Kedua, membeli, meminjam, atau menyewa pakaian kepada orang lain. Ketiga, menutup aurat kecuali dengan pakaian, bisa dengan lainnya seperti tikar, anyaman-anyaman daun, kertas buram dan lain-lain asal suci dan mencegah terlihatnya warna kulit. Keempat, melumuri diri dengan tanah atau membenamkan diri ke dalam air keruh.

Alternatif terakhir mungkin sulit dilakukan, tapi yang lainnya saya kira sangat mudah. Penanya tidak boleh langsung shalat telanjang sebelum alternatif-alternatif itu tidak dapat dikerjakan semuannya.

Kelihatannya dengan kasus tersebut, saya menjadi teringat sabda Rasulullah Saw. dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan sahabat Abu Hurairah:
Artinya: “Pada umumnya siksa kubur itu disebabkan kencing. “ (HR. Daruquthni)

Hadis tersebut menuntut kita supaya berhati-hati sewaktu membuang air kencing dan istinja. Jangan sampai badan atau pakaian kita terkena percikan air kencing tersebut. Oleh karena itu, Syekh Muhammad Al-Banjari, seorang ulama besar dari daerah Banjar (Kalimantan Selatan) dalam kitabnya, Sabil Al-Muhtadin menyatakan, sebaiknya kalau kencing jangan menghadap mata angin. Kalau angin bertiup dari arah selatan ke utara, sebaiknya Anda ketika kencing menghadap ke arah utara, jangan ke selatan. Karena kalau memaksakan kencing menghadap ke arah selatan, besar kemungkinan air kencing akan mengenai pakaian kita.

Berangkat dari hadis ini pula, sangat disesalkan jika pada zaman modern dimana aspek kebersihan menjadi sangat penting, kita masih sering menjumpai sebagian masyarakat yang tidak melakukan istinja setelah buang air kencing. Padahal Islam telah memberikan kelonggaran, boleh dengan batu dan sejenisnya. Apalagi hal itu sampai dijadikan alasan untuk tidak melakukan shalat gara-gara pakaiannya najis.

Dalam hal ini ada baiknya kita pakai kaidah para dokter, mencegah penyakit lebih baik daripada mengobati. Lebih baik kita menghindari najis daripada nanti mencucinya.

Tabir Wanita