Tanya : Saya ini bingung apakah boleh meninggalkan shalat Jumat (saya sekarang ada di luar negeri,). Kata teman saya sih boleh, dengan bermacam alasan. Tapi saya ingin kejelasan.
Jawab : Pada hari Jumat, sekali dalam seminggu umat Islam diwajibkan melakukan shalat Jumat. Kewajiban ini bersifat fardhu’ain. Perintah shalat Jumat berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Rasulullah bersabda, yang artinya: ‘Mendatangi shalat Jumat wajib atas setiap orang baligh.” (HR. Nasai dan Khafshah ra.)
Karena dalil-dalilnya sangat kuat dan jelas, mengingkari perintah ini dapat menyebabkan seseorang (muslim) keluar dari agama Islam, sebab dianggap tidak percaya kepada Al-Quran dan hadis.
Praktik shalat Jumat secara umum sama dengan shalat-shalat yang lain, kecuali beberapa persyaratan khusus. Shalat Jumat terdiri dari dua rakaat, dilakukan secara berjamaah dengan jumlah peserta minimal (40) empat puluh orang dan didahului khotbah dua kali.
Oleh sehab itu, untuk mengikuti shalat Jumat, seseorang harus menghadiri masjid jami’. Aturan pelaksanaan shalat Jumat tidak sebebas shalat fardhu yang lain. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat sendirian di dalam rumah, inisalnya.
Keharusan tersebut sudah barang tentu menyulitkan sebagian orang karena alasan-alasan tertentu yang tidak memungkinkannya menghadiri masjid jami’. Oleh sebab itu, kewajiban shalat Jumat tidak berlaku bagi orang sakit dan musafir. Untuk musafir tidak ada persyaratan jarak yang ditempuh harus mencapai masafah aI-qashr, jarak meng-qashar shalat, yaitu 90 km menurut sebagian ulama. Dengan catatan bepergiannya bersifat mubah (diperkenankan agama), dan sudah berangkat sebelum fajar terbit (A1-Madzahib Al-Arba ‘ah: I, 383, Al-Hawasyly Al-Madaniyah II, 56).
Dalam terminologi fikih, dispensasi tersebut dinamakan rukhshah, yaitu perubahari hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Sedangkan sebab terjadinya hukum asal tetap berlaku (Thariqah Al-Hushul, 40). Salah satu udzur penyebab timbulnya rukhshah adalah bepergian (as-safai). Di tengah perjalanan setiap orang pasti mengalami kepayahari, meskipun dalam kadar yang berbeda-beda (al-safarqith’ah nun aI-’azhab). Padahal untuk memenuhi kebutuhari hidupnya, manusia tidak bisa lepas dari bepergian. Sangat dimungkinkan dan dalam kenyataannya sering terjadi, seseorang masih berada dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat telah tiba.
Dan sisi lain, pemberian dispensasi di atas sejalan dengan salah satu karakteristik agama Islam, yaitu ‘adam al-kharaj dalam artian tidak ada yang memberatkan atau menyulitkan dalam pengamalan ajaran-ajarannya. Sehagai ganti shalat Jumat, musafir dapat mengerjakan shalat Zhuhur seperti biasa.
Kebalikan dari musafir adalah mukim. Status musafir menjadi hilang apabila ia niat bermukim selama empat hari. Jika seseorang dari Semarang pergi ke Surabaya lalu niat menginap di hotel selama lima hari misalnya, maka tidak berlaku lagi baginya dispensasi bepergian (rukhshah as-safai). Lain halnya kalau hariya dua atau tiga hari (Al-Fiqh Al-Islami. 1287).
Bila hariya niat bermukim secara mutlak, tanpa menentukan jumlah hari, hukumnya sama dengan niat bermukim empat hari. Lain lagi kalau bermukim pada suatu tempat untuk sebuah keperluan yang sewaktu-waktu keperluannya selesai ia pulang, maka status musafir masih disandangnya selama delapan belas hari (Al-Ha wasyi)’ Al-Madaniyyah 2, 47-48).
Pengertian bermukim (al-iqamah) yang mewajibkan jumatan tidak mengharuskan seseorang menetap atau berdomisili pada suatu tempat untuk selamanya, yang dalam terininologi fikih disebut al-istithari atau al-tawatthun. Bertempat tinggal di asrama, hotel atau rumah sanak keluarga dalam waktu tertentu, untuk suatu ketika kembali lagi ke kampung halaman sudah dianggap bermukim dan menggugurkan status sebagai musafir, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, misalnya mencapai empat hari (Al-Madzahib Al-Arba‘ah: I, 382).
Untuk itu, tujuan saudara penanya berada di luar negeri perlu dipenjelas: Apakah sebagai wisatawan, mengunjungi saudara, bekerja, ataukah untuk kepentingan studi. Lalu dipertegas pula berapa lamanya tinggal di sana. Kalau umpamanya menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk studi sudah barang tentu wajib jumatan. Bila menengok saudara satu atau dua hari, jumatan tidak wajib. Ataukah untuk sebuah kebutuhari yang sewaktu-waktu bila sudah beres, tanpa mengetahui secara persis kapan waktunya, langsung pulang kembali. Untuk kasus terakhir, selama dalam masa delapan belas hari, jumatan boleh ditinggalkan.
jika tujuannya bekerja di luar negri trus bagaimana hukumnya meninggalkan sholat jum'at..sedangkan kita tak punya ic/permit, visa sdah expired, dan pasport pun jg betu..kalu misalnya keluar ke masji takut di tangkap polisi
ReplyDeleteMelaksanakan sholat jum'at itu fardhu ain (kewajiban yang mengikat pada individu), artinya harus dilaksanakan bagi kaum adam yang sudah baligh dan berakal, terkecuali dalam saat perjalanan dan waktu yang tidak memungkinkan (misal musafir, dalam perjalanan dipesawat atau laut), jika tidak dalam kondisi darurat meninggalkan sholat jumat hukumnya berdosa. bahkan ada riwayat yang menyatakan meninggalkan sholat jumat selama 5 kali berturut-turut termasuk kafir. Wallahu'alam.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete