Friday, 4 September 2015

Apa Hukum Shalat Dengan Pakaian Yang Terkena Najis ?

Tanya: Bagaimana caranya mengerjakan shalat dengan pakaian yang kena percikan air seni padahal kala itu tidak ada pakaian suci sebagai gantinya?

Jawab: Seperti dimaklumi, agar shalat yang kita lakukan sah menurut syara ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, memenuhi semua persyaratan, menjalakan semua rukun dan meninggalkan semua yang membatalkan.

Syarat sahnya shalat ada 6 (enam). Salah satunya menutup aurat. Keharusan ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya: :Ambillah zinah kalian semua ketika berembahyang. (QS. A1-A’raf: 31)

Menurut Ibnu Abbas,
seorang ahli tafsir dari generasi sahabat, zinah dalam ayat itu mempunyai arti pakaian (al-libas). Sedangkan menurut para ulama, kewajiban menutup aurat telah menjadi konsesus ulama (ijma) sebagaimana diterangkan dalam kitab Asy-Syarqawi.

Alat menutup aurat harus berupa benda suci yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit si pemakai. Pegertian henda disini, tidak terbatas pada pakaian atau kain yang terbuat dari benang atau bulu binatang. Diperbolehkan menutup aurat dengan kulit, kertas, plastik, tikar dan sebagainya asal suci serta menghalangi terlihatnya warna kulit. Bahkan seperti diterangkan dalam kitab-kitab fikih, sudah dipandang mencukupi menutup aurat dengan melumuri badan kita dengan tanah, dan berendam dengan air yang keruh. Dengan demikian belum dipandang mencukupi, penutup aurat yang terbuat dari kaca tembus pandang dan kain yang sangat tipis, sehingga tidak diperkenankan menutup dengan pakaian yang najis.

Kewajiban menutup aurat hanya berlaku untuk orang-orang yang mampu melakukannya meskipun dengan jalan membeli, meminjam atau menyewa. Artinya, penutup aurat tidak harus menjadi imilik pemakainya. Kalau tidak ada pakaian, dapat dilakukan dengan benda-benda lain yang saya sebutkan tersebut. Jika pakaian terkena najis harus dicuci dengan air. Shalat tidak diharuskan menggunakan penutup yang kering.

Karena kewajiban tersebut terbatas pada orang yang mampu (li qadir‘ala as-sali), dengan sendirinya menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu. Seseorang dianggap tidak mampu jika tidak dapat menutup auratnya dengan berbagai cara sebagaimana tersebut di atas. Jadi, jika tidak menemukan pakaian, tetapi masih ada benda lain yang dapat dijadikan penutup, itu masih dianggap mampu.

Melihat segala variasinya benda-benda yang dapat dijadikan penutup aurat, pada zaman ini dalam keadaan normal sangat sulit membayangkan seseorang tidak mampu menutupi auratnya. 

Meski demikian, tetap tidak mustahil hal itu terjadi juga. Contohnya, orang dalam keadaan telanjang dikurung dalam suatu bangunan terkunci, yang tak ditemukan apa-apa kecuali tembok dan atap.

Dalam kodisi seperti itu, ia terbebas dari tuntutan menutup aurat. Dengan demikian ia diperbolehkan shalat dalam keadaan telanjang. Allah Swt tidak menjadikan agama ini (Islam) menyulitkan bagi hamba-Nya, sebagaimana ayat berikut:
Artinya: “... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ... “(QS. A1-Hajj: 78)

Kalau kita hanya mendapat sebagian penutup aurat, tetap harus dipakai, meski nantinya masih ada anggota badan yang terlihat. Kita hanya dituntut menjalankan perintah sesuai dengan kemampuan.

Inti mendirikan shalat adalah dzikrullah, mengingat Allah, yang dari aktivitas itu dtharapkan timbul sikap dan perilaku yang positif berupa menghindari perbuatan yang keji dan mungkar. Semua kejahatan apapun bentuknya sebetulnya berakar pada satu sebab, lupa kepada Allah Swt. Lupa kepada Allah Swt, berarti lupa kepada perintah, larangan ancaman dan siksa-Nya. Tujuan dari hikmah shalat yang demikian itu, sudah tentu tidak perlu ditinggalkan hanya gara-gara tidak ada penutup aurat. Dzikrullah itu letaknya di hati, sehingga ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa khusyu merupakan rohnya shalat. Tanpa khusyu maka shalat bagaikan makhluk tanpa roh, artinya tidak sah.

Tidak hanya menutup aurat, syarat-syarat yang lain jika tidak bisa dipenuhi juga dimaafkan. Orang sakit parah yang kesulitan menghadap ke arah kiblat -atau dekat ke arah selain kiblat- gugur di atasnya keharusan menghadap ke arah kiblat kalau ingin shalat. (Al-Bajuri, Syarah Fath AJ-Qarib, juz I).

Demikian juga dengan syarat bersuci dari najis dan hadas. Jika tidak menernukan air dan debu, dalam .agama Islam kita diperbolehkan shalat meskipun dalam keadaan berhadas.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan lahwa shalat dengan memakai pakaian najis tidak sah. Selanjutnya ada heberapa alternatif yang bisa dilakukan penanya dalam menghadapi kasus yang diutarakan. Pertama, mencuci pakaian yang terkena percikan air kencing atau air seni. Kedua, membeli, meminjam, atau menyewa pakaian kepada orang lain. Ketiga, menutup aurat kecuali dengan pakaian, bisa dengan lainnya seperti tikar, anyaman-anyaman daun, kertas buram dan lain-lain asal suci dan mencegah terlihatnya warna kulit. Keempat, melumuri diri dengan tanah atau membenamkan diri ke dalam air keruh.

Alternatif terakhir mungkin sulit dilakukan, tapi yang lainnya saya kira sangat mudah. Penanya tidak boleh langsung shalat telanjang sebelum alternatif-alternatif itu tidak dapat dikerjakan semuannya.

Kelihatannya dengan kasus tersebut, saya menjadi teringat sabda Rasulullah Saw. dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan sahabat Abu Hurairah:
Artinya: “Pada umumnya siksa kubur itu disebabkan kencing. “ (HR. Daruquthni)

Hadis tersebut menuntut kita supaya berhati-hati sewaktu membuang air kencing dan istinja. Jangan sampai badan atau pakaian kita terkena percikan air kencing tersebut. Oleh karena itu, Syekh Muhammad Al-Banjari, seorang ulama besar dari daerah Banjar (Kalimantan Selatan) dalam kitabnya, Sabil Al-Muhtadin menyatakan, sebaiknya kalau kencing jangan menghadap mata angin. Kalau angin bertiup dari arah selatan ke utara, sebaiknya Anda ketika kencing menghadap ke arah utara, jangan ke selatan. Karena kalau memaksakan kencing menghadap ke arah selatan, besar kemungkinan air kencing akan mengenai pakaian kita.

Berangkat dari hadis ini pula, sangat disesalkan jika pada zaman modern dimana aspek kebersihan menjadi sangat penting, kita masih sering menjumpai sebagian masyarakat yang tidak melakukan istinja setelah buang air kencing. Padahal Islam telah memberikan kelonggaran, boleh dengan batu dan sejenisnya. Apalagi hal itu sampai dijadikan alasan untuk tidak melakukan shalat gara-gara pakaiannya najis.

Dalam hal ini ada baiknya kita pakai kaidah para dokter, mencegah penyakit lebih baik daripada mengobati. Lebih baik kita menghindari najis daripada nanti mencucinya.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita