Tanya: Kadang-kadang saya melihat orang sujud dua kali (di luar sujud yang biasanya dilakukan ketika shalat) menjelang salam. Setelah saya tanyakan, katanya itu namanya sujud sahwi. Kapan sujud sahwi dilakukan?
Jawab: Dalam satu hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
“Manusia tempatnya salah dan lupa.”
Hadis ini mengesankan, salah satu sifat manusia adalah pelupa, atau paling tidak berpotensi lupa. Di antara keduanya terjalin hubungan sangat erat. Kesalahan pada umunmya bersumber pada kealpaan. Karena mustahil manusia membebaskan diri dari sifat lupa, sebagai konsekuensinya manusia tidak mungkin terhindar dari kesalahan selama hidupnya.
Kesadaran akan salah satu kelemahan manusia ini dapat mengantarkan seseorang menjadi lebih toleran terhadap kesalahan orang lain, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk kesediaan memaafkan.
Di antara nama-nama Allah (Al-Asma Al-husna) yang patut diteladani manusia sebagai hamba-Nya adalah Al-Afuw (pemaaf) dan At-Tawwab (penerima tobat).
Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sepenuhnya membuktikan kebenaran pernyataan Rasulullah Saw. di atas. Kealpaan dapat terjadi kapan dan di mana saja. Bahkan dalam shalat sekalipun, yang semestinya dikerjakan dengan khusu’ dan konsentrasi, kealpaan sering tak terhindarkan yang mengakibatkan ketidaksempurnaan shalat.
Shalat kurang sempurna tatkala seseorang meninggalkan hal-hal yang sebaiknya dilakukan atau sebaliknya, melakukan hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan. Untuk menutup kekurangan itu, sujud sahwi disyariatkan.
Sahwi merupakan kata pinjaman dan bahasa Arab, artinya al-ghaflah (lupa). Pada perkembangan selanjutnya, oleh para fuqaha (ahli fikih) sahwi dimaknai dengan cacat atau kekurangan (al-khalal) dalam pelaksanaan shalat yang terjadi dengan disengaja atau lalai.
Sujud yang berfungsi menyempurnakan shalat disebut sujud sahwi, karena pada umumnya kekurangan itu terjadi akibat kealpaan. (Al- Fiqh Al-Manhajr I, 172).
Sujud sahwi dilakukan pada rakaat terakhir setelah tahiyat akhir sebelum salam. Caranya melakukannya seperti sujud biasa, yakni dua kali. Kalau sujud sahwi timbul dan kealpaan itu, membaca:
“Subhaanalladzii laa yanaamu wa la yashuu”
“Maha Sad Dzat yang tidak pemah tidur dan lupa.”
Jika kekeliruan dalam shalat akibat disengaja, sebaiknya membaca istihfar.
Menurut fuqaha Mazhab Syafi’i, sujud sahwi ada kalanya wajib dan ada kalanya sunah. Ia diwajibkan kepada makmum ketika imam mengerjakan sujud sahwi dalam rangka ber-ittiba’ iqtida’ (mengikuti atau menyesuaikan diri dengan imam). Mengikuti imam bagi makmum (dalam mengerjakan sujud sahwi) merupakan suatu keharusan, yang bila ditinggalkan mengakibatkan shalatnya batal.
Di luar itu, sujud sahwi hukumnya sunah, dalam arti holeh ditinggalkan, tapi sebaiknya dikerjakan demi kesempurnaan shalat kita.
Aspek lain yang sangat penting kaitannya dengan sujud sahwi adalah faktor-faktor yang menyebabkannya, atau dengan kata lain, kapan dan bilamana kita mengerjakan sujud sahwi itu.
Jawab: Dalam satu hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
“Manusia tempatnya salah dan lupa.”
Hadis ini mengesankan, salah satu sifat manusia adalah pelupa, atau paling tidak berpotensi lupa. Di antara keduanya terjalin hubungan sangat erat. Kesalahan pada umunmya bersumber pada kealpaan. Karena mustahil manusia membebaskan diri dari sifat lupa, sebagai konsekuensinya manusia tidak mungkin terhindar dari kesalahan selama hidupnya.
Kesadaran akan salah satu kelemahan manusia ini dapat mengantarkan seseorang menjadi lebih toleran terhadap kesalahan orang lain, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk kesediaan memaafkan.
Di antara nama-nama Allah (Al-Asma Al-husna) yang patut diteladani manusia sebagai hamba-Nya adalah Al-Afuw (pemaaf) dan At-Tawwab (penerima tobat).
Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sepenuhnya membuktikan kebenaran pernyataan Rasulullah Saw. di atas. Kealpaan dapat terjadi kapan dan di mana saja. Bahkan dalam shalat sekalipun, yang semestinya dikerjakan dengan khusu’ dan konsentrasi, kealpaan sering tak terhindarkan yang mengakibatkan ketidaksempurnaan shalat.
Shalat kurang sempurna tatkala seseorang meninggalkan hal-hal yang sebaiknya dilakukan atau sebaliknya, melakukan hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan. Untuk menutup kekurangan itu, sujud sahwi disyariatkan.
Sahwi merupakan kata pinjaman dan bahasa Arab, artinya al-ghaflah (lupa). Pada perkembangan selanjutnya, oleh para fuqaha (ahli fikih) sahwi dimaknai dengan cacat atau kekurangan (al-khalal) dalam pelaksanaan shalat yang terjadi dengan disengaja atau lalai.
Sujud yang berfungsi menyempurnakan shalat disebut sujud sahwi, karena pada umumnya kekurangan itu terjadi akibat kealpaan. (Al- Fiqh Al-Manhajr I, 172).
Sujud sahwi dilakukan pada rakaat terakhir setelah tahiyat akhir sebelum salam. Caranya melakukannya seperti sujud biasa, yakni dua kali. Kalau sujud sahwi timbul dan kealpaan itu, membaca:
“Subhaanalladzii laa yanaamu wa la yashuu”
“Maha Sad Dzat yang tidak pemah tidur dan lupa.”
Jika kekeliruan dalam shalat akibat disengaja, sebaiknya membaca istihfar.
Menurut fuqaha Mazhab Syafi’i, sujud sahwi ada kalanya wajib dan ada kalanya sunah. Ia diwajibkan kepada makmum ketika imam mengerjakan sujud sahwi dalam rangka ber-ittiba’ iqtida’ (mengikuti atau menyesuaikan diri dengan imam). Mengikuti imam bagi makmum (dalam mengerjakan sujud sahwi) merupakan suatu keharusan, yang bila ditinggalkan mengakibatkan shalatnya batal.
Di luar itu, sujud sahwi hukumnya sunah, dalam arti holeh ditinggalkan, tapi sebaiknya dikerjakan demi kesempurnaan shalat kita.
Aspek lain yang sangat penting kaitannya dengan sujud sahwi adalah faktor-faktor yang menyebabkannya, atau dengan kata lain, kapan dan bilamana kita mengerjakan sujud sahwi itu.
Faktor-faktor tersebut dalam literatur-literatur fikih disebut asbab sujud As-sahwi (sebab-sebab sujud sahwi), yang berjumlah 4 (empat).
Fertama, meninggalkan salah satu sunah ab’adh meliputi membaca tahiyat awal, membaca shalawat di dalam tahiyat awal, membaca doa qunut, dan mengucapkan shalawat saat berdoa qunut.
Duduk untuk pembacaan tahiyat awal dan shalawat serta berdiri untuk berdoa qunut beserta shalawat juga termasuk sunah ab’adh. Barang siapa meninggalkan salah satu atau lebih darinya, dianjurkan melaksanakan sujud sahwi.
Kedua, ada keraguan mengenai jumlah rakaat yang telah dikerjakan. Para ulama menyatakan, kalau seorang di tengah-tengah mengerjakan shalat Maghrib, misalnya ragu apakah baru mengerjakan dua rakaat ataukah telah menyelesaikan tiga rakaat. Dalam kondisi seperti itu dia wajib menambah satu rakaat lagi dan dianjurkan pula mengerjakan sujud sahwi.
Rasulullah bersabda:
‘‘Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui berapa rakaat yang telah dikerjakan, apakah tiga atau empat, maka singkirkanlah keraguan itu dan teruskanlah shalatnya sesuai dengan keyakinannya (tiga rakaat), kemudian bersujud dua kali sebelum salam. “ (HR Muslim dan Abu Sa’id ra.)
Sujud dua kali sebelum salam adalah sujud sahwi. Ketentuan mi sejalan dengan kaidah fikih: al-ashl al-adam.
Ketiga, melakukan secara tidak sengaja sesuatu yang dapat membatalkan shalat jika disengaja. Misalnya, mengerjakan shalat Zhuhur lima rakaat. Penambahan satu rakaat dengan sengaja tentu membatalkan shalat. Namun bila terjadi karena lupa, shalatnya tetap sah dan dianjurkan sujud sahwi.
Keempat, meletakkan rukun qaul (ucapan), selain takbirat al-ihram dan salam, atau bacaan sunah bukan pada tempat yang semestinya, karena lupa. (Al-Fiqh Al-Manhaji I, 173-174. Juga perhatikan kitab Sabil AJ-Muhtadin, juz 1-3).
Dan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, sujud sahwi tidak cukup untuk mengganti rukun yang ditinggalkan. Dan sujud sahwi juga tidak disunahkan akibat tertinggalnya sunah hai’at (pekerjaan maupun ucapan yang dianjurkan selain sunah ab’adh) seperti membaca ta’awudz sebelum fatihah, tasbih ketika ruku’ atau sujud dan lain-lain.
Kalau lupa gak duduk petama harus sujud sahwi ? misal sholat duhur 4 rakaat, nah dirakaat kedua lupa uduk.
ReplyDelete