Friday, 28 August 2015

Bagaimana Cara Shalat Saat Sakit ?

Tanya: Saya termasuk hobi sepak bola. Dalam sebuah pertandingan saya mengalami cidera cukup parah. Akibatnya tidak dapat duduk dan membungkukkan badan. Badan ini terasa kaku. Jika ditekuk terasa sakit bukan main. Tapi saya bisa berdiri namun untuk ruku’ dan sujud tidak bisa. Bagaimana cara saya melaksanakan ibadah shalat? (Ahmad Hakim, Pati)

Jawab: Islam agama yang mudah. ini sebagaimana telah ditandaskan dalam ayat sebagai berikut:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. A1-Baqarah: 185)
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwasanya Islam itu mudah dipahami dan juga sangat mudah untuk dilaksanakan. Mudah dipahami, karena sesuai dengan akal pikiran manusia dari berbagai tingkatan. Mudah dilaksanakan, sebab mengenal rukhshah yang memungkinkan perubahan hukum menjadi lebih ringan dalam kondisi tertentu yang memberatkan pelaksanaan hukum asal. Contoh paling kongkrit adalah diperbolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat. Penyebab timbulnya keringanan ada 7 (tujuh). Salah satunya penyakit. (Thanqah Al-Hushul, 40 dan Al-Asbah wa An-Nadair, 85).

Rukun Islam kedua adalah shalat. Shalat mempunyai beberapa persyaratan dan rukun. Rukun shalat secara garis besar digolongkan menjadi dua, yakni ucapan (al-aqwal) dan pekerjaan atau gerakan tubuh (al-af’al). Sebagian darinya dikerjakan dengan berdiri, sebagian yang lain dalam posisi duduk. Takbiratul ihram membaca fatihah, i’tidal, dan ruku’ dikerjakan sambil berdiri. Khusus ruku’ disertai membungkukkan setengah badan sampai tangan menyentuh lutut. Membaca tahiyat atau tasyahud dan salam dilakukan dengan duduk. Sedangkan sujud menempelkan jidat, kedua telapak tangan dan kaki serta lutut di atas tanah.

Dengan demikian, setiap rukun mempunyai posisi yang khusus. Tidak dibenarkan membaca fatihah sambil duduk atau membaca tasyahud dalam posisi berdiri. Mengabaikan posisi badan bisa berakibat pada ketidak absahan shalat.

Namun dalam kenyataan sehari-hari, karena berbagai faktor, dijumpai orang yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut. Ada yang bisa berdiri tetapi tidak bisa duduk, begitu sebaliknya tidak jarang pula orang mampu berdiri dan duduk tetapi tidak dapat membungkukkan badan.

Mènghadapi kondisi demikian, kita tidak perlu khawatir seperti telah saya sebutkan di atas. Dalam fikih dikenal rukhshah, berupa dispensasi atau keringanan hukum karena hal-hal tertentu. Allah tidak membebani hamba-Nya dengan kewajiban di luar kemampuannya. Dia Rahman dan Rahim. 

Penerapan rukhshah dalam shalat terwujud dalam bentuk diperkenankannya shalat fardhu sambil duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri. Jika tidak bisa duduk, boleb dengan tidur miring (al-idhthija). Kalau tidak mampu tidur miring, diperkenan tidur telentang. Kalau masih tidak bisa, maka dengan isyarat. Tidak mustahil, semua anggota badan tidak dapat digerakkan. Dalam keadaan demikian, shalat ditunaikan dengan hati. Dalam sebuah hadis dari Imran Ibn Hushain Rasulullah bersabda:
“Shalatlah dengan berdiri.Jika tidakmampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu maka di atas lambung. Jika tidak mampu maka dengan isyarat”

Pada prinsipnya dalam kondisi bagaimanapun, selagi orang masih berstatus mukallaf kewajiban shalat tetap berlaku baginya. (Subul Al-Salam: I, 200. AI-Fiqh ‘ala A1-Madzahib Al-Arba’ah: I, 497-500, Syarqawi: I, 279).

Berdasarkan keterangan tersebut, orang yang dapat berdiri tetapi tidak bisa duduk dan membungkukkan badan, semua rukun shalatnya dikerjakan dengan berdiri. Karena tidak mampu membungkukkan badan, ruku’ dan sujud cukup dilakukan dengan isyarat (al-ima’), yaitu membungkukkan badan semampunya, tidak harus sampai tangan menyentuh lutut. Isyarat sujud lebih rendah atau lebih ke bawah daripada isyarat ruku tidak boleh sama. (AJ-Fiqh ‘ala A1-Mazhahib Al-A rba ‘ak I, 497-500 atau lihat juga Syarqawi I, 279).

Intinya, kita diperintahkan menunaikan ibadah sesuai dengan kemampuan. Hal ini berarti, sebagian pekejaan dalam situ ibadah yang mungkin dilakukan tidak boleh ditinggalkan karena terdapat kesulitan menjalankan sebagian pekerjaan yang lain. ini sesuai dengan kaidah fikih “al-maisir la yasquth bi Al-ma ‘sur” (yang mudah tidak gugur oleh yang sulit) yang di-istimbathkan dari sabda Rasulullah:
“Jika aku memerintahkan kamu sesuatu (perintah) maka laksanakanlah semampumu. “(Muttafaq ‘alaih)

Shalat harus sujud dan ruku’secara sempurna, shalat tetap dilaksanakan menurut kemampuan, tanpa berkurang pahalanya. (Al-Asyabah wa An-Nazhair, 176, atau periksa juga pada Syarqawi I, 279).


Lagi pula, tujuan shalat yang asasi adalah li dzikiillah, untuk mengingat Allah. Dan itu dapat dicapai tanpa menjalankan rukun secara sempurna karena alasan yang dibenarkan oleh agama.

1 comment:

Tabir Wanita