Sunday, 25 September 2016

Ciri-Ciri Ajaran Firqah Dhalalah (Aliran Sesat) Bagian I

ciri-ciri ajaran sesat
Pada postingan sebelumnya diuraikan definisi dari firqah dhalalah (Baca : Definisi Firqah Dhalalah), dan pada kesempatan kali ini akan diuraikan ciri-ciri tertentu ajaran Firqah dlalalah, diantaranya adalah :
1. Menduakan Allah, dalam arti disamping mereka mengaku bertuhankan Allah juga menganggap bahwa Imam atau Amir (pemimpin) mereka mempunyai otoritas ketuhanan, perkataan imamnya dianggap derajatnya sama dengan Al-Qur’an atau bahkan lebih tinggi dari firman Allah,  sehingga mereka lebih memilih ucapan para Imam mereka dari pada firman Allah. 

Allah berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyari‘atkan Agama yang tidak di izinkan Allah untuk mereka” (Asy-Syura: 21)
Allah berfirman :
“Katakanlah, apakah kamu selalu menghina Allah, mempermainkan Ayat-ayat-Nya? Tidak perlu meminta ma‘af karena kamu telah kafir setelah beriman” (At-Taubah: 65-66)

2. Menjadikan Amir atau Imamnya sebagai Nabi atau menganggapnya mempunyai otoritas kenabian, sehingga perkataan para Imam atau Amir mereka dianggap derajatnya sama dengan atau bahkan lebih tinggi kedudukannya dari pada sabda Nabi (Hadits). Anggapan itu bertentangan dengan firman Allah :
Tidaklah Muhammad itu sebagai bapak dan orang laki-laki dari padamu, namun Muhammad itu sebagai utusan Allah dan penutup para Nabi dan Rasul. Dan adalah Allah terhadap segala sesuatu Maha Mengetahui “ (Al-Ahzab: 40)

3. Mengingkarii Rukun Iman yang telah di tetapkan syari’at Islam. mereka justru membuat-buat Rukun Iman sendiri, diantara mereka ada yang membuat Rukun Iman sebagai berikut :
1. Tauhid : Ke-Esaan Allah .
2. Nubuwah : Kenabian,
3. Imamah : Perwalian (imam)
4. Al-Adl : Keadilan
5. Al-ma’ad : Hari pembalasan 

Ada pula Rukun Iman versi lain, yaitu menurut Mu’tazilah :
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat .
3. Iman kepada Kitab-kitab .
4. Iman kepada Utusan .
5. Iman kepada Hari Kiamat. 

4. Mengingkari Rukun Islam yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Mereka mengurangi, merubah dan menambah Rukun Islam yang ada, mereka membuat Rukun Islam sebagai berikut :
1. Namaz : Shalat
2. Shiyam : Puasa
3. Az-Zakat : Membayar zakat
4. Al-Haj : Ibadah Haji
5. Al-Jihad : Jihad 

Dalam kitab Syi’ah juga disebutkan Rukun Islam versi lain, yaitu :
1. Ash-Shalat : Shalat
2. Az-zakat : Zakat
3. Ash-Shaum : Puasa
4. A1-Haj : Haji
5. Al-Wilayah : Kewalian (imam) 

Ada pula yang membuat rukun Islam sebanyak enam point, yaitu :
1. Asy-syahadatu : Syahadat
2. Ash-Shalatu : Shalat
3. Az-zakatu : Zakat
4. Ash-shaumu : Puasa
5. Al-hajj : Haji
6. A1-Ihsanu : Ihsan (kebaikan). 

5. Membuat A1-Qur’an, dengan cara memalsukan, menambah, merubah, mengurangi atau tidak mempercayai sebagian isi A1-Qur’an. Seperti Syi’ah imamiyah mengaku mempunyai A1-Qur’an empat kali lebih besar dari Al-Qur’an yang ada, mereka mengatakan bahwa isi A1-Qur’an itu sebanyak 17.000 Ayat atau 18.000Ayat, sedangkan Al-Qur’an Mushaf Utsman hanya ada 6. 236 Ayat.
Ada pula aliran atau Jema’at yang membuat A1-Qur’an sendiri yang mereka beri nama “TADZKIRAH” padahal itu hanyalah omongan Imamnya yang dibukukan dengan mencampur-aduk dengan Ayat A1-Qur’an.

Ciri-ciri selanjutnya bisa dibaca pada artikel berikutnya :  Ciri-Ciri Ajaran Firqah Dhalalah (Aliran Sesat) Bagian II

Definisi Firqah Dhalalah (Aliran Sesat)

hadis tentang aliran islam
Yang dimaksud Firqah Dhalalah (sesat) adalah orang, golongan, jama’ah, organisasi, paguyuban, kelompok atau aliran yang mengaku Islam sebagai agamanya, Al-Qur’an dan Sunnah sebagai kedok landasan hukumnya, sedangkan ajaran yang dijalankan menyimpang dan bertentangan dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta ijma’ para ulama’. Syari’at yang mereka terapkan adalah syari’at buatan Amir atau Imam (pemimpin) mereka secara akal-akalan. Mereka menambah, mengurangi, memalsukan dan bahkan merubah ajanan Islam dengan berkedok Islam, dan berkedok dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Atau dengan kata lain Firqah dhalalah adalah golongan yang keluar dari jalan Ahlus sunnah waljaina’ah dan Ijma’ ulama’ serta tidak mau mengikutj jalan salafus shalih. (Muqaddimah fil Ahwa’ wal Iftiraq wal Bida’ hal. 18-20). 

Firqah Dhalalah ini biasanya disebut dengan sebutan Ahlul Bid’ah sebab mereka sangat identik dengan perbuatan-perbuatan Bid’ah. 

Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Bid’ah itu dikaitkan dengan furqah sebagaimana Sunnah dikaitkan dengan jama‘ah. Seperti perkataan Ahlus sunnah waljama‘ah. Ahlul Bid’ah Wal Furqah“ (Al-Istiqamah I/42). 

Golongan atau aliran inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai aliran sesat yang dijamin masuk neraka, sebagaimana dalam sabda Rasulullah : 
“Sesungguhnya kaum Bani Isra‘il akan pecah-belah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya sesat kecuali satu golongan. Para shahabat bertanya “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah saw? Rasulullah saw, menjawab “Yaitu golongan yang berpegang teguh dengan ajaranku dan shahabatku” (HR.Tirmidzi dari Abdullah bin Amr)

Dalam Hadist dan Jabir,  diceritakan ia berkata : Adalah Nabi , bersabda dalam Khutbah Jum’atnya :
“Maka sesungguhnya sebaik-baik Hadits adalah kitab Allah (Al-qur‘an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, dan sejelek-jeleknya perkara adalah yang dibuat-buat, dan setiap ajaran yang dibuat-buat adalah sesat” (HR. Muslim)

Apa Hukum Air PDAM Yang Berbau Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum air berbau obat
Tanya : Air PDAM yang asalnya keruh lalu menjadi bening karena obat, apakah suci dan mensucikan ?Air tersebut berbau obat, apakah dapat untuk bersuci ?

Jawab : Sering saya kemukakan, hanya air yang suci dan mensucikan (thahir muthahir) yang dapat (sah) digunakan untuk bersuci, wudhu, mandi atau menghilangkan najis. Air thahir muthahir disebut juga air mutlaq.

Air yang dapat digunakan bersuci ada enam, yaitu air sumur, mata air, sungai, laut, hujan dan embun. Intinya, air yang keluar/ memancar dari bumi atau jatuh dari langit (ma naba-a min al ardh au nazala min as-sama). 

Selain air mutlaq adalah air thahir ghair muthahir dan najis. Air thahir ghair muthahir hukumnya suci, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci. Sedangkan air najis selain tidak bisa untuk bersuci, juga tidak boleh dikonsumsi. 

Air thahir ghair muthahir adalah air yang telah banyak mengalami perubahan rasa, warna maupun bau dari keadaannya semula, karena bercampur benda-benda suci. Sedangkan air najis adalah air yang kurang dari dua kulah (sekitar 193 kg) yang terkena najis, baik berubah maupun tidak, atau mencapai dua kulah dan berubah (Al-Fiqh Al-Manhajy bab thaharah).

Air yang telah berubah dapat menjadi air muthlaq bila perubahannya hilang dengan sendirinya atau karena jumlahnya diperbanyak (At-Tanbih pada pembahasan tentang air). 

Selanjutnya bagaimana dengan air PDAM yang berbau kaporit ? Bagaimana pula perubahan dari keruh menjadi bening karena pengaruh bahan kimia tertentu?

Untuk menilai apakah air seperti itu layak digunakan bersuci, tidak terlepas dari kondisi aslinya. Artinya, kalau diambil dari sumber air yang suci dan mensucikan, maka layak digunakan untuk bersuci. Perubahan bau akibat dicampur bahan kimia tidak bermasalah. Karena kadar perubahan itu sedikit.

Lain hal jika berasal dari air thahir ghair muthahir atau najis. Pemberian obat tidak bisa mengubah statusnya menjadi air muthlaq. Sebab, air yang najis atau thahir ghair muthahir hanya dapat menjadi air mutlaq jika perubahannya menjadi jernih kembali terjadi dengan sendirinya atau airnya diperbanyak. Bukan karena pengaruh bahan kimia atau benda lain. 

Intinya, bahan kimia yang dicampurkan tidak mempengaruhi status air yang semula.

Apa Hukum Pakaian Dari Kulit Atau Bulu Bangkai ?

hukum pakaian dari kulit bangkai, hukum pakaian dari bulu bangkai
Tanya : Bagaimanakah membuat pakaian dari bulu bangkai menurut ajaran Islam ? (Usro, Purwodadi)

Jawab : Kata bangkai dalam bahasa Indonesia memiliki kesepadanan dengan al-maitah dalam bahasa Arab. Menurut ahli bahasa (ahl al-lughah) sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi, kata itu merujuk pada pengertian “ma faaraqathu ar-ruh bi ghair dzakah” (makhluk hidup yang mengalami perpisahan jasad dengan roh tanpa melalui proses penyembelihan). 

Pengertian al-maitah ini tidak berbeda jauh dari pengertian lughawi-nya. Imam Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan, al-maitah itu “az-zaallah al-hayah bila dzakah syar ’iyyah” (hewan yang kehilangan hidup tanpa melalui proses penyembelihan yang sah berdasarkan syara). Definisi lain al-maitah itu “maa faaraqathu ar-ruh min ghair dzakah syar ‘iyyah mimma yudzbah” (Al Bajuri. I; 39, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughah. II; 146).

Hewan dapat dipilah menjadi dua kelompok, halal dimakan (al-ma’kul), dan tidak halal dimakan (ghair al-ma’kul). Penyembelihan hanya berlaku untuk jenis yang pertama. Hewan haram dimakan, seperti anjing dan babi, penyembelihannya tidak membawa pengaruh apa-apa meskipun disembelih secara benar. Hukumnya tetap sama dengan bangkai, najis, dan tidak boleh dikonsumsi. Penyembelihan yang benar tidak bisa menghalalkan binatang yang sejak semula diharamkan oleh Syara. 

Dengan demikian bangkai itu; a). al-ma’kul yang mati tanpa proses penyembelihan; b). al-ma‘kul yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan syara’; c). ghair al-ma’kul yang mati. Tumbuh-tumbuhan dan benda mati bukan bangkai. Binatang yang halal dimakan yang mati akibat disembelih dengan cara yang dibenarkan syara’ juga bukan bangkai. 

Dalam Al-Quran, Allah Saw. Berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi. dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. “ (QS. Al Baqarah: 173) 

Ayat ini secara eksplisit menjelaskan, bangkai termasuk salah satu benda yang diharamkan. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang diharamkan ? 

Mayoritas ulama mengharamkan semua bentuk pemanfaatan al-intif’(bangkai). Tidak terbatas dengan memakan, tetapi juga menggunakan untuk hal-hal lain kecuali apabila ada dalil syar’i yang memperbolehkan (Rawai’ Al-Bayan. I; 160-164). 

Najis
Ketika Al-Quran mengharamkan bangkai, para ulama berusaha mencari alasan yang mendasari, yang dalam istilah ushul fikih disebut al-illah. Setelah mereka berijtihad diperoleh kesimpulan, alasannya itu najasah (najis). Jadi, bangkai haram karena najis. Status bangkai sebagai benda najis dapat kita lihat dalam kitab-kitab fikih pada pembahasan tentang kesucian (ath thaharah). 

Sebagai akibat ketika kita mengerjakan ibadah yang mensyaratkan kesucian seperti shalat, bangkai seharusnya dihindarkan dari badan, pakaian dan tempat shalat. 

Seperti kita maklumi, hewan terdiri atas beberapa unsur seperti daging, tulang, rambut dan bulu. Keempat unsur itu memiliki sifat berbeda-beda. Daging mengandung darah, membusuk, dapat tumbuh dan kalau dilukai terasa sakit. Tulang jika dilukai menyakitkan tetapi tidak membusuk, tidak berdarah dan tidak lekas hancur. Rambut dan bulu, dapat tumbuh tetapi tidak memiliki rasa sakit. 

Berdasarkan kenyataan itu, para ulama dalam menghukumi berbeda-beda. Semua ulama sepakat daging bangkai berhukum najis. Mengenai tulang dan bulu, mereka berbeda pendapat. Imam Syafi’i mengemukakan tulang dan bulu bangkai berhukum najis.

Tentang pandangan Imam Ahmad, terdapat dua riwayat yang bertentangan antara najis dan suci. Tetapi di kalangan pengikutnya ada perbedaan. Tulang berhukum najis, sedangkan rambut dan bulu tidak. Ulama Hanafiah menyatakan, rambut, tulang dan bulu bangkai berhukum suci. Menurut Imam Malik rambut itu suci, tetapi tulangnya najis. (Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah: I; 10-11). 

Perbedaan pendapat (khilaf) itu berakibat pada hukum untuk memanfaatkan hal-hal di luar konsumsi (dimakan), seperti bulu untuk pakaian. Ulama yang menganggap suci maka memperbolehkan. Sedangkan yang berpendapat najis, melarang menggunakannya. (Ahkam Al-Ath’imah fi Asy Syariah Al-Islamiyah; 374-375)

Dengan demikian, membuat pakaian dari bulu bangkai dalam madzhab Syafi’i tidak diperkenankan. Adapun bila bulu diambil dari hewan yang masih hidup, dibedakan antara hewan yang halal dan haram. Binatang yang tidak halal, bulunya juga najis. Sedangkan hewan yang halal, maka bulunya dthukumi suci. (Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. I; 9).

Apakah CD Dan Kaset Al-Quran Sama Dengan Mushaf ?

arti mushaf, definisi mushaf
Tanya : Seperti dimaklumi, sekarang ini banyak beredar CD dan kaset Al-Quran di tengah-tengah masyarakat. Padahal kita tahu, Al-Quran memiliki beberapa khususiyah (kekhususan). Salah satunya adalah tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar. Pertanyaan saya adalah : apakah CD atau kaset Al-Quran secara hukum disamakan dengan Al-Quran, sehingga untuk menyentuhnya diper1ukan berwudlu dulu ? (Nazar, Yogya)

Jawab : Pertanyan ini sangat menarik dan penting sekali. Sekarang, pada era komputer, penggunaan CD Al-Quran sudah banyak. Pemilik komputer yang memiliki CD Al-Quran, tidak hanya bisa menampilkan ayat-ayat Al-Quran di layar monitor, tetapi juga bacaan, dan terjemahan, lengkap dengan bermacam penafsiran para ulama yang dinukil dari berbagai kitab tafsir.

Jadi sangat praktis sekali. CD ini bisa diperoleh dengan mudah di toko dengan harga yang relatif murah. Tidak hanya Al-Quran, sekarang banyak pula CD yang berisi kitab-kitab keislaman dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fiqh, tafsir, bahasa dan lain-lain. 

Penggunaan CD dan kaset Al-Quran menjadi masalah, lantaran Al-Quran atau lebih tepatnya mushaf sebagaimana diungkapkan penanya mempunyai beberapa khususiyah, atau keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab atau buku lain. Salah satunya adalah tidak boleh disentuh dalam keadaan tidak suci karena menyandang hadas kecil maupun besar. Berbeda dengan membacanya, yang tidak diperkenankan bagi penyandang hadas besar saja.

Larangan menyentuh mushaf dalam keadaan hadas, misalnya didasarkan pad.a sebuah kitab/surat yang ditulis Rasulullah dan ditujukan kepada Amru Ibnu Hazm, yang termaktub di dalamnya “la yamassu Al-Qurana illa thahir” artinya: tidak boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci.

Yang dimaksud orang suci (thahir) adalah orang yang terbebas dari hadas. Pelarangan ini, oleh penulis kitab Mausu‘ah Al-Ijma’ fi Al-Fiqh Al-Islami, dimasukkan ke dalam kategori permasalahan yang mujma’ ‘alaih, dalam artian telah disepakati hukumnya oleh para ulama. (Subul As-Salam. I, h. 70, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Al-Fiqh Al-Islami. h. 878).

Definisi Mushaf
Kaset dan CD Al-Quran sudah barang tentu merupakan fenomena baru, yang belum terjadi pada zaman para ulama mengarang kitab-kitab fiqhnya.

Oleh karenanya, untuk memperoleh mengenai jawaban tersebut secara harfiyah/tekstual sangat sulit sekali. Apalagi sebagian ulama ada yang menghindari membicarakan persoalan yang belum terjadi (al-fardhiyyat).

Tetapi paling tidak, pertanyaan tersebut dapat diselesaikan dengan mengacu pada definisi mushaf. Apakah mushaf itu? Lalu apakah CD dan kaset Al-Quran dapat dinamakan mushaf ?

Penulis kitab I’anah Ath-Thalibin, mendefinisikan mushaf sebagai nama untuk kertas (al-waraq) yang ditulisi kalamullah. Sementara dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri disebutkan, bahwa mushaf adalah : nama sesuatu yang ditulisi kalamullah. Definisi ulama-ulama yang lain tidak berbeda dengannya. Dari dua definisi ini, dapat kita lihat bahwa tulisan merupakan faktor penentu, apakah sesuatu itu dinamakan mushaf atau bukan. (I’anah Ath-Thalibin, I, h. 66, Al-Bajuri, I, h. 144) 

Pada sisi lain, baik CD maupun kaset tidak memuat tulisan huruf Al-Quran. Dan dua premis tersebut maka muncullah satu natijah (konklusi) bahwa CD dan kaset Al-Quran bukan mushaf. 

Alasannya jelas, yaitu; tidak adanya tulisan Al-Quran. Karena bukan mushaf dengan sendirinya, menyentuhnya tidak diharuskan berwudlu terlebih dulu. 

Nampaknya CD atau kaset Al-Quran mempunyai persamaan dengan penghapal Al-Quran yang secara populer mendapat julukan al-hafizh. Orang yang hapal Al-Quran di luar kepala (bi al-ghaib), tidak dinamakan mushaf, misalkan mampu mengucapkan seluruh ayat Al-Quran mulai surat Al-Fatihah sampai An-Nas secara fasih. Sehingga kita dapat bersalaman dengannya dalam keadaan menanggung hadas sekalipun.

Terakhir, perlu juga diketahui, permasalahan tersebut dengan jawaban yang sama, pernah dibahas dalam Muktamar Nahdhatul Ulama ke-26 di Semarang, sebagai termaktub dalam kitab Ahkam Al-Fuqaha yang memuat semua hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 s/d 29, yang diterbitkan oleh PP RML Ada baiknya kitab tersebut dimiliki, karena memuat beragam masalah dalam berbagai aspek kehidupan.

Saturday, 24 September 2016

Kenapa Siwak Dianjurkan Dan Apa Hukum Bersiwak Menurut Islam

hukum bersiwak, dalil bersiwak,
Tanya : Kapan beisiwak dianjurkan ? (Abdul Kholiq, Jepara)
Jawab : Islam memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap kesehatan dan kebersihan. Kadar perhatian ini, misalnya terlihat jelas pada sebuah hadis :
Artinya : “Kesucian merupakan separuhnya iman.” (HR.Muslim)

Pengertian kebersihan dan kesucian yang dimaksud oleh Islam tentu sangat luas, yang mencakup kebersihan dan akidah yang salah, sifat-sifat yang tercela, serta tindakan-tindakan yang tidak terpuji.
Dalam istilah sufi, upaya penyucian itu disebut at-takhalli, yakni terbebasnya seseorang dari akhlak yang tercela dan dosa. At-takhalli selanjutnya disusul dengan at-tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak dan perbuatan yang baik. Setelah itu seorang akan mencapai at-tajailli.

Dengan demikian, Islam menekankan keseimbangan antara lahir dan batin, jiwa dan raga, material dan spiritual, dunia dan ukhrawi. Keseimbangan ini juga terwujud dalam masalah kebersihan. Sebagai agama, Islam tidak hanya memerintah umatnya membersihkan hati dan akhlak, tapi juga badan secara keseluruhan, yang salah satu caranya adalah dengan bersiwak (menyikat gigi) secara rutin. 

Sebenarnya bersiwak bukanlah perkara baru bagi umat Islam. Bukan 100 (seratus) atau 200 (dua ratus) tahun yang lalu mereka baru mengenalnya. Jauh sebelum itu, lebih dan 14 (empat belas) abad yang lalu Rasulullah Saw. telah memerintah umatnya untuk membiasakan diri bersiwak sebagai terlihat dalam banyak hadis, seperti termaktub dalam kitab Shahih Muslim: I; 24 dan Jawahir A1-Bukhar. 84.

Misalnya diriwayatkan dari orang tua Abu Burdah bahwa beliau pernah menemui Rasulullah Saw. dalam keadaan bersiwak. Bahkan tradisi bersiwak sudah dimulai Nabi Ibrahim as. (Al-Bajuri. I; 42).
Berangkat dari beberapa hadis tersebut, para ulama berkesimpulan bersiwak hukumnya sunah. Anjuran bersiwak berlaku kapan dan di mana saja kecuali bagi orang berpuasa setelah lingsir matahari (zawal) sampai terbenam. Bersiwak pada saat itu hukumnya makruh. Pengecualian ini berangkat dan sebuah hadis yang menginformasikan bahwa bau mulut orang berpuasa yang tidak sedap itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak misik. Jika Allah menyukai hal itu, sudah seyogyanya tidak dihilangkan. 

Sebenarnya masalah ini termasuk persoalan khilafiyah. Terbukti ada ulama yang tidak menghukumi makruh. (Al-Bajuri. I; 43). Meskipun secara umum bersiwak dianjurkan, ada waktu-waktu tertentu bersiwak lebih ditekankan daripada saat-saat yang lain.

Waktu yang sangat dianjurkan bersiwak adalah ketika hendak mengerjakan shalat sebelum berwudhu, membaca Al-Quran, hadis atau ilmu-ilmu syar’i, sebelum dan setelah tidur, dan ketika bau mulut berubah menjadi tidak sedap akibat makan bawang pete dan sejenisnya, atau karena diam terlalu lama.

Dari segi alat, menurut para ulama, segala benda kasar yang bisa menghilangkan kotoran yang menempel pada gigi dapat digunakan untuk bersiwak, seperti kayu arak (kayu siwak), dan kain.

Jadi bersiwak tidak harus menggunakan sikat atau pasta gigi seperti yang selama ini kita kenal. Kalau misalnya tidak mampu membeli pasta gigi, kita bisa bersiwak dengan kayu siwak yang banyak diperjual belikan atau meminta kepada orang yang pulang dari tanah suci Makkah.

Kayu itu sangat murah dan tidak membutuhkan pasta gigi. Jadi sangat praktis dan ekononus. Hasilnyapun tidak kalah dari sikat yang biasa kita pakai dengan pasta gigi sehari-hari. Para ulama tidak hanya membahas dari segi hukum bersiwak. Mereka juga menjelaskan faedahnya.

Sebagai termaktub dalam kitab Al-Iqna’. I; 214, dengan bersiwak kita mendapatkan beberapa keuntungan, memperoleh ridha Allah, melipatgandakan pahala ibadah, menjadikan gigi lebih putih dan bersih, menghilangkan bau mulut yang tidak sedap, memperkuat gusi, memperlambat tumbuhnya uban di kepala, punggung tetap lurus (tidak bengkok), menambah kecerdasan dan mempertajam penglihatan.

Karena itu, kalau umat Islam masih kurang memperhatikan masalah kesehatan khususnya bersiwak jelas hal itu lebih karena masih sempitnya pemahaman tentang ajaran agama, di samping keminiman kesadaran akan arti penting kesehatan secara umum akibat rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Kebersihan merupakan salah satu masalah yang sangat ditekankan oleh Islam, tetapi kurang mendapat perhatian secara dengan semestinya oleh umatnya. Justru orang lain yang mengamalkan.

Apa Hukum Obat Memperlambat Atau Menghentikan Haid Saat Haji ?

hukum obat memperlambat haid, hukum obat menghentikan haid
Tanya : Menggunakan obat untuk mempercepat, menghentikan atau memperlambat datangnya haid untuk kepentingan haji bagi perempuan, bagaimana hukumnya ? 

Jawab : Sebentar lagi musim haji tiba. ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam. Berhaji wajib ditunaikan oleh setiap Muslim lelaki dan perempuan yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu melaksanakan). Seseorang dianggap telah mampu menunaikan haji bila telah memenuhi segala persyaratan kewajibannya. Di antaranya sehat, mempunyai bekal, dan keamanan terjamin. 

Haji memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Haji tidak sah bila salah satu dari rukun itu ditinggalkan. Kelima rukun itu adalah ihram (niat), wuquf di Arafah, thawaf ifadhah, sa’i dan mencukur rambut. Setiap rukun memiliki aturan pelaksanaan. Misalnya thawaf yang harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar. 

Permasalahannya,jika seorang perempuan di tengah-tengah menunaikan ibadah haji menjalani haid. Padahal perempuan haid tidak diperkenankan melakukan thawaf.

Karena itu, timbul pemikiran untuk mempercepat atau memperlambat kedatangan haid supaya tepat selama menunaikan ibadah haji dalam keadaan suci. Atau menghentikannya untuk sementara waktu.
Menurut para ulama, sebagai termaktub dalam kitab-kitab fikih, pada dasarnya menggunakan obat untuk kedatangan menstruasi hukumnya diperbolehkan. Imam Ramli dan kalangan Syafi’iyah menyatakan hal itu dalam kitab Nihayah A1-Muhtaj Syarah Al-Minhaj.

Pendapat ini tidak hanya dijumpai di kalangan Syafi’iyah. Imam Ahmad, pendiri Madzhab Hanbalj, dalam kitab Al Mughni berkata: “Tidak apa-apa seorang perempuan minum obat untuk menghentikan haid.” Demikian halnya dalam Madzhab Maliki. 

Sudah barang tentu dalam rangka pemakaian obat tersebut, penting untuk dipertimbangkan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Untuk itu konsultasi dan rekomendasi dokter ahli diperlukan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dimginkan. 

Sudah barang tentu, haji perempuan pemakai obat tersebut hukumnya sah. Yang penting dia pada saat menjalankan thawaf dalam keadaan suci. Apakah kesuciannya terjadi secara alamiah atau akibat rekayasa dengan meminum obat, tidak dipermasalahkan. 

Di sini perlu juga dicamkan, bahwa thawaf merupakan satu-satunya rukun haji yang menuntut kesucian. Dengan demikian, rukun-rukun selain thawaf bisa dilaksanakan dalam kondisi haid. Sebenarnya ada alternatif lain untuk menghadapi masalah tersebut. Yang sangat sederhana adalah menunda thawaf sampai haid berhenti mengalir. Hal ini sangat dimungkinkan karena thawaf waktunya sangat longgar, tidak seperti wuquf di Arafah. Lagi pula, pada umumnya haid rata-rata berlangsung berkisar 6 (enam) sampai 7 (tujuh) hari. Bahkan ada yang hanya sehari semalam. 

Selain itu kadang-kadang darah haid tidak mengalir terus-menerus. Ada perempuan yang haidnya terputus-putus. Misalnya sehari mengeluarkan lalu sehari berhenti, kemudian keluar lagi. Perempuan yang demikian dapat menjalankan thawaf ketika darahnya berhenti. 

Karena untuk melakukan thawaf tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti dimaklumi, thawaf adalah mengitari Ka’bah 7 (tujuh) kali. Sebab, menurut pendapat Imam Syafi’i, ketika darah tidak mengalir (al-naqa) status perempuan adalah suci. 

Alternatif lain, sebagaimana dikatakan Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq dalam kitab Ahkam As-Syan’ah Al-Islamiyah fi Masail Thibbiyah ‘an Al-Amrad An-Nisafiyah halaman 20. Dengan menunjuk pada kitab Fath Al-Aziz karangan Imam Rafi’i bahwa thawaf perempuan yang haid dapat digantikan orang lain yang telah selesai melakukan thawaf untuk dirinya. ini dilakukan bila tidak dimungkinkan bagi perempuan tersebut berada di Makah sampai haidnya berhenti.

Apa Hukum Istinja' Dengan Tisu (Hukum Cebok Dengan Tisu) Menurut Fikih Islam ?

hukum cebok dengan tisu, hukum istinja dengan tisu
Tanya : Kiai Sahal, kami ingin tanya masalah najis. Kalau saya pergi ke kota-kota besar, terus terang saya yang santri ini jadi repot. Seperti di Tunjungan Plaza, kalau kita pergi ke toilet,. di WC-nya tidak disediakan air untuk cebok. Hanya ada tissue. Bisakah tissue yang memang kasar itu, diqiyaskan dengan batu ? (Munir, Pasuruan). 

Jawab : Seperti sering saya ungkapkan pada edisi-edisi dialog sebelumnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan pernyataan an-nazhafatu min al-iman, kebersihan merupakan bagian dari iman, atau ath-thuhuru syatr al-Iman, kesucian merupakan separuh dari keimanan. Namun demikian, sering kali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian mereka. 

Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja‘ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja‘ terlebih dahulu, selain wudhu kalau sedang dalam keadaan hadas kecil, dan mandi jika dalam kondisi berhadas besar. 

Meski istinja’ pada hakikatnya adalah menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak. 

Berbeda pula dari wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan nyaman dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah (‘ibadatullah) dalam hal ini shalat.

Seperti saya sebut di atas, shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini, menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan, kurang lebih 85% dan sisanya daratan. 

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dapat dikerjakan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus. 

Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus. 

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar dan kulit hewan. Semua  itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam ilat (alasan terjadinya hukum). 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinjaa’.

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak menggunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air di toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering. 

Orang yang kesadaran agamanya tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar jika kemudian bertanya apakah tissue memang telah mencukupi untuk istinja’ ? 

Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan buang air dan batu, baik hakiki maupun syar‘i. Tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat untuk istinja’ ? 

Jawabannya, mesti dicari pada pertanyaan : apakah tissue termasuk hajar syar’I ? Merujuk pada bagian literatur fikih Madzhab Syafi’i, seperti Al-Majmu syarah A1-Muhadzdzab, Syarqawi syarah Tuhfah Ath- Thullab, Bujairami syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan sebagai berikut :
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta muhtaram. Namun jika kita amati, tissue sering digunakan. 

Akan kita jumpai kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis dan tidak muhtaram.
 
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’. Alasannya bukan karena buku tersebut terbuat dari kertas, melainkan lebih dilandasi pertimbangan kemuliaannya, yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas itu. 

Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu, boleh-boleh saja dipakai istinja’ Dalam kitab Bughyah Al- Mustarsyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri. 

Satu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i diisyaratkan 3 (tiga) kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap 3 (tiga) kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Tabir Wanita