Saturday, 17 September 2016

Syarat Miqat Dan Cara Haji Dari Indonesia Yang Benar Menurut Fikih Islam

cara miqat haji dari indonesia, cara haji dari indonesia
Tanya : Saya tahun lalu menunaikan ibadah haji, waktu itu ada kiyai yang menyarankan saya agar mengenakan pakaian ihram sejak di Juanda (Surabaya,). Tujuannya supaya nanti menjelang tiba di Jeddah, kira-kira kalau sudah sampai diatas Yalamlam, saya bisa berniat ihram. Sebab katanya miqat dari Indonesia itu Yalamlam. Jadi tidak sah dari Jeddah. Tetapi ketika akan niat ihram dari Yalamlam, saya dicegah oleh seseorang. Katanya, Jeddah memenuhi syarat sebagai miqat. Sebenarnya, mana yang benar Kiyai? Apa sebenarnva syarat-syarat miqat itu ? (HS. Suwanto, Malang)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, salah satu rukun haji adalali ihram, yakni niat haji dan umrah. Ihram wajib dikerjakan sebelum melewati miqat makani. Kalau ketentuan ihram dan miqat dilanggar, konsekuensinya harus memhayar dam. Dam akibat meninggalkan kewajiban, berupa menyembelih kambing yang bisa dijadikan qurban atau sepertujuh kerbau atau onta. 

Oleh karena itu, setiap jamaah perlu mengetahui miqat makani masing-masing. Supaya tidak melewatinya tanpa ihram. Miqat makani adalah tempat-tempat tertentu yang mengitari Makkah, yang telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri untk melakukan ihram. Berdasarkan sebuah hadis Shahih, riwavat dari Ibn Abbas, Rasulullah telah rnenetapkan DzuI Hulailah untuk penduduk Madinah, Juhfah untuk penduduk Syam (Suriah) Qarn a1-Manazil untuk penduduk Najed, dan Yalamlam untuk penduduk Yaman. Tempat-tempat itu, di samping menjadi miqat penduduk setempat, juga menjadi miqat orang yang melaluinya menuju Makkah.
 
Lalu apakah miqaf jamaah haji Indonesia? Apakah boleh ihram dari Jeddah? 

Nahdlatul Ulama pernah membahas masalah tersebut dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, di Kaliurang, Yogakarta pada tanggal 30 Agustus 1981 M. Pada saat itu, diputuskan bahwa lapangan terbang Jeddah tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat. Oleh sebab itu, para jamaah haji hendaknya melakukan niat ihram pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarn Al-Manazil, Yalamlam atau miqat-miqat yang lain yang dilalui setelah mendapat penjelasan dari petugas pesawat yang bersangkutan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, para jamaah haji dianjurkan sudah memakai baju ihram sejak dari bandara di Indonesia tanpa niat ihram. Niat ihram baru dilakukan ketika memasuki daerah Qarn A1-Manazil atau Yalamlam. Meskipun begitu, boleh-boleh saja niat ihram sejak berangkat dari Indonesia. Kalau alternatif terakhir yang dipilih, sejak niat ihram, hal-hal yang dilarang ketika ihram, telah berlaku. Keputusan Musyawarah Nasional ini berdasarkan keterangan dari kitab Al-Muhadzdzab I, 303 dan A1-Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, VII, 178). 

Miqat adalah tempat di mana orang yang hendak melakukan ibadah haji, tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan sudah niat ihram. Miqat sudah ditetapkan Rasulullah. Jadi, tidak ada syarat miqaf yang khusus, kecuali bahwa ia harus sesuai dengan ketetapan Rasulullah.

Rukun Haji Dan Wajib Haji Yang Benar Menurut Fikih Islam

apa itu rukun hai, apa itu wajib haji
Tanya : Dalam satu kesempatan latihan manasik, pembimbing menjelaskan pekerjaan haji ada yang bernama rukun dan kewajiban. Pertanyaan saya apakah perbedaan antara keduanya? Ataukah keduanya sama? 

Jawab : Pertanyaan saudara penanya meskipun sederhana, tetapi sangat penting dan mendasar sekali, sebab berkaitan secara langsung dengan keabsahan ibadah haji yang hendak dikerjakan. Pembekalan diri calon jamaah haji mengenai tata cara pelaksanaan haji secara memadai, jauh lebih penting daripada persiapan material. Meskipun yang terakhir ini tidak bisa dianggap remeh. 

Tetapi karena niat pergi ke tanah suci Makkah adalah untuk beribadah, maka dengan semestinya hal-hal yang bersangkutan dengannya mendapatkan perhatian tersendiri. Jangan sampai ibadah haji yang memakan banyak tenaga dan biaya tersebut tidak diterima Allah Swt., hanya karena kita kurang memahami aturan dan tata cara pelaksanaannya.

Berkaitan dengan itu, salah satu masalah yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kewajiban dan rukun haji. dalam kitab-kitab fikih, yang pertama disebut wajibat al-hajj. dan yang kedua dinamakan arkan al-hajj.

Sebelum menjelaskan perbedaan keduanya, ada baiknya disinggung sekilas tentang rukun dan kewajiban haji tersebut. Supaya uraian ini lebih mudah dipahami, sekaligus untuk menyegarkan kembali ingatan para calon jamaah haji akan hal itu. 

Rukun haji (arkan al-hajj)) ada 5 (lima) : niat haji, wuquf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i dan mencukur  rambut (al-halq). Kelima rukun ini harus dikerjakan secara berurutan. Yaitu, pertama kali ihram, lalu Wukuf, thawaf dan Sa’i.  Mencukur rambut dapat dikerjakan setelah atau sebelum thawaf. Urutan ini oleh sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun haji. Sehingga rukun haji jumlahnya 6 (enam). 

Sebagian ulama yang lain menganggapnya syarat mengerjakan rukun haji. Baik sebagai rukun maupun syarat, urutan tersebut harus dilaksanakan. Tidak boleh misalnya, mendahulukan wuquf atas ihram. (Nihiyah Az-Zain, 203-206). 

Sedangkan kewajiban-kewajiban haji (wajib al-haji) terdiri dari 5 (lima) hal juga
. Yakni, ihram dan miqat (makani atau zamani), mabit (bermalam atau menginap) di Muzdalifah, melempar jumrah, mabit di Mina, dan thawaf wada ‘ (Nihayah Az-Zain, 208-211). 

Di samping memiliki perbedaan, rukun dan kewajiban haji juga memiliki persamaan. Persamaannya, keduanya wajib dikerjakan. Oleh karena itu, meninggalkannya merupakan perbuatan dosa. 

Adapun segi perbedaannya, rukun haji bila ditinggalkan berakibat pada tidak sahnya haji. Dengan kata lain, ibadah hajinya batal dan tidak dapat diganti dengan membayar denda. Jadi, kalau ada rukun yang ditinggalkan, supaya hajinya sah, mau tidak mau harus melakukan rukun tersebut. Misalnya, kalau seseorang belum thawaf ifadhah, maka wajib mengerjakannya. Begitu juga sa’i, mencukur rambut dan seterusnya.

Yang menjadi masalah, apabila rukun yang ditinggalkan adalah wuquf, Kalau waktunya sudah lewat, yakni mulai masuknya shalat Zhuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai fajar malam hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah, maka harus mengqadha’atau mengulangi lagi pada tahun berikutnya.Sebab dengan habisnya waktu, wuquf tidak mungkin lagi dikerjakan. (A1-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.  I, 418). 

Ketentuan tersebut tidak herlaku untuk hal-hal yang termasuk kategori kewajiban haji (wajibat al-hajj) seperti mabit di Mina dan Muzdalifah. Orang yang meninggalkan salah satunya dapat menggantinya dengan menyembelih kambing, wajb berpuasa 10 (sepuluh) hari, dengan ketentuan 3 (tiga) hari di tempat haji, dan 7 (tujuh) hari setelah pulang. Hal ini seperti firman Allah : 
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu Ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, vaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, makabagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah Ia menyembelih) qurban rang mudah didapat tetapi jika Ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. A1-Baqarah: 196) (Al-Iqna’ fi Al-Fazh Abi Syuja’, I, 227). 

Selain rukun dan kewajiban haji, calon jamaah haji juga harus mengetahui apa saja yang diharamkan di tengah-tengah menunaikan ibadah itu, yang disebut muharramat al-ihram, yakni hal-hal yang diharamkan ketika seseorang berstatus muhrim. Dan seyogyanya demi kesempurnaan ibadah haji, diperhatikan pula perkara-perkara yang disunahkan atau sunah al-hajj. Waktu yang masih tersisa, saya kira sangat baik untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas. Semoga mendapat haji yang mabrur.

Bagaimana Haji Yang Benar Menurut Rasulullah ?

Haji mabrur
Tanya : Kapan Haji disyariatkan, berapa kali Rasulullah melaksanakannya. Bagaimana supaya menjadi Haji mabrur? (Muhammad Firdaus) 

Jawab : Berziarah ke tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan atau disucikan karena mempunyai nilai sejarah, sebagai sebuah ritual, dijumpai dalam banyak agama dan bangsa. (Al-Islam Aqidah wa Syariah, 120). 

Haji, yaitu mengunjungi Ka’bah untuk beribadah dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan sebagainya, sudah disyariatkan sebelum diutusnya Rasulullah Saw. Menurut penuturan Al-Quran, Ka’bah adalah baitullah pertama di dunia, dibangun oleh Nabi Ibrahim as. dibantu putranya Nabi Ismail as. Hal ini sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) 

Ibn Ishaq, sejarawan besar muslim, menyatakan setiap nabi yang diutus Allah setelah Ibrahim as. pernah menjalankan haji (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV, 349). 

Ketika Rasulullah memulai misi dakwahnya, masyarakat Arab pra Islam selalu berziarah ke Ka’bah untuk beribadah, meskipun dengan cara yang telah mengalami banyak penyimpangan dari ajaran yang benar.

Kapan haji diwajibkan atas umat Islam terdapat beragam pendapat. Ada yang mengatakan sebelum hijrah dan ada yang menyatakan sebaliknya. Yang berpendapat setelah hijrah, sebagian menunjuk tahun pertama, kedua sampai tahun ke sepuluh hijriah. (Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah : IV. 350). 

Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H, dengan merujuk pada waktu turunnya ayat berikut ini :
Artinya : “Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(QS. Ali Imran : 97) 

Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2065). 

Seumur hidupnya, Rasulullah melakukan haji hanya satu kali pada tahun 10 H, dengan diikuti kurang lebih 100.000 sahabat. Haji Rasulullah populer dengan sebutan haji wada’ atau haji perpisahan.

Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna, dan diridhai sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam Al-Quran :
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan Untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al.
Maidah : 3)

Kesempurnaan Islam menandai selesainya misi yang diemban Rasulullah sebagai seorang rasul. Dan memang menut catatan sarah, kira-kira 3 (tiga) bulan setelah haji wada’ Rasul wafat. (Sirah Rasulullah, 311). 

Dalam haji wada’ itulah, Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat yang nenyertainya tentang tata cara beribadah haji, dengan melihat dan mempraktikkan secara langsung. Kisah perjalanan haji Rasulullah ini, banyak diterangkan dalam kitab-kitab hadis secara mendetail, dan dijadikan rujukan utama dalam membahas masalah haji oleh para ulama fikih. 

Setiap orang tentu ingin mendapat haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang bebas dari perbuatan maksiat (alladzi laa yukhalithuh itsm). Beberapa perbuatan yang dilarang saat menjalankan haji diterangkan oleh Al-Quran, di antaranya :
Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu mengerjakan haji. maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. “(QS. A1-Baqarah: 197) 

Rafats adalah menggauli istri. Sedangkan tindakan fasik meliputi segala tindakan melampaui batas agama. (Syarah Muslim : V, 119). 

Ini artinya, untuk mendapat haji mabrur yang dijanjikan berpahala surga, setiap jamaah haji harus menjaga seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan maksiat dalam segala bentuknya. Setiap jamaah diharapkan senantiasa ikhlas, tawakkal dan tawadhu’. Haji mabrur sudah barang tentu harus sesuai dengan tata-cara yang diajarkan Rasulullah. Pemahaman tentang masalah haji dalam rangka meraih haji mabrur sangat penting sekali.

Sebagian ulama menyatakan, haji mabrur adalah haji maqbul (diterima Allah). Diterimanya suatu ibadah pada dasarnya menjadi urusan Allah. Tapi kita bisa memperkirakannya dari dampak-dampaknya. Haji yang diterima Allah bercirikan pelakunya menjadi lebih baik setelah kembali dari tanah suci. Lebih tekun beriibadah dan tidak mengulangi kesalahan kesalahan yang sama sebelum berangkat. Semoga kita semua mendapat haji mabrur. Amin.

Friday, 16 September 2016

Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

haji untuk orang mati, bilik islam
Beberapa waktu sebelumnya telah dibahas mengenai amalan yang bermanfaat untuk orang mati yakni : Bersedekah untuk orang mati, Berdoa dan membayar hutang orang mati dan Fidyah atau puasa untuk orang mati, amalan berikutnya yang memberikan manfaat adalah Berhaji untuk orang mati, yang akan penulis bahas sekarang.
 
Kalau seseorang meninggal dalam keadaan menanggung kewajiban haji, maka wajiblah dilakukan inabah yakni penggantian haji untuk si mayyit dengan ongkos perbekalan dari harta peninggalannya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari :

“Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Rasululloh Saw. lalu berkata “Sesungguhnya ibuku bernazar melakukan haji tetapi sampai meninggal belum juga sempat melaksanakannya, apakah boleh saya berhaji untuknya? Nabi menjawab : Ya, berhajilah untuknya. Bagaimana kalau sekiranya ibumu nenanggung hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarlah kepada Allah! Maka sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi”. 

Pada hadits ini Nabi memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah meninggal dan hukum asal setiap perintah adalah wajib. Namun bila si mayyit tidak memiliki harta, maka disunnatkan bagi ahli warisnya untuk menghajikannya. 

Apabila orang yang meninggal itu lantaran sesuatu dan lain hal tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh dilimpahkan kepada ajnabi (orang lain). Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Daud :

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. pernah mendengar seorang laki-laki berkata : “Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintah-Mu untuk si Syubruinah). Nabi bertanya : Siapa Syubrumah itu? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya : Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab : belum. Nabi bersabda Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah!” 

Disini tampak bahwa pelaksanaan haji untuk orang yang sudah meninggal bukan dilakukan oleh anak untuk bapak atau ibunya melainkan oleh seorang saudara atau sahabat karib dari yang meninggal itu.


Apa Hukum Fidyah Atau Berpuasa Untuk Orang Meninggal (Mayit)

apa itu fidyah ? bilik islam
Dalam artikel sebelumnya sudah dijelaskan tentang Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit), dan dalam kesempatan kali ini penulis akan sampaikan mengenai fidyah atau puasa bagi orang meninggal. Apabila seseorang meninggal dunia sedangkan masih ada puasa ramadhan yang belum dia kerjakan, maka dilihat dulu :

1. Jika dia meninggal sebelum ada kemungkinan baginya untuk mengqadha’ seperti kondisinya yang terus menerus sakit hingga meninggal dunia, maka dia tidak perlu mengqadha’, tidak perlu membayar fidyah dan tidak ada dosa atasnya. 

2. Jika dia meninggal sesudah ada kemungkinan untuk mengqadha’ tetapi tidak juga dia lakukan, maka puasa yang belum dia lakukan itu tetap berada dalam tanggungannya. Jika yang terjadi adalah seperti pada point kedua, maka untuk penyelesaiannya terdapat dua cara dalam madzhab Syafi i yaitu

a. Menurut qaul jadid, dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk satu hari puasa yang ditinggalkan satu mud, makanan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Turmuzi :
“Barangsiapa meninggal dunia sedangkan masih ada tanggungan puasa atasnya, maka hendaklah diberikan, makanan atas nama orang tersebut untuk satu hari puasa satu orang miskin“. 

b. Menurut qaul qadim, dipuasakan oleh walinya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i.
“Dari Aisyah ra. dan Nabi Saw: beliau bersabda : Barang siapa meninggal sedangkan atasnya masih ada hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya”. 

Berkata Imam Nawawi : “Dalam masalah ini qaul qadim yang lebih jelas bahkan yang benar yang seyogyanya memberikan kemantapan dengannya dikarenakan hadits-hadits yang menerangkannya telah nyata-nyata sahih”. (Kifayatul Akhyar 1/211). Yang dimaksud dengan “Wali” disitu adalah kerabatnya walaupun bukan termasuk ahli waris. 

Dan hadits tersebut secara jelas dapat dipahami bahwa kalau yang berpuasa untuk mayyit tersebut adalah kerabatnya, maka tidaklah perlu izin dalam arti tidak diharuskan adanya wasiat untuk hal tersebut. Tetapi kalau yang akan melaksanakan puasa itu adalah ajnabi, maka harus ada izin dari si mayyit dalam bentuk wasiat atau izin dari kerabatnya itu. Kalau ajnabi itu berinisiatif sendiri untuk berpuasa atas nama mayyit dengan tanpa izin, maka tidaklah mencukupi. 

Dengan pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa manapun diantara dua cara menyelesaikan tanggungan puasa dari orang yang sudah meninggal, apakah dengan mengeluarkan satu mud, makanan ataukah dengan berpuasa untuknya, yang jelas kita dapati pemahaman bahwa amalan orang yang hidup dapat memberi manfaat kepada mereka yang sudah meninggal.

Amalan berikutnya yang pahalanya dapat bermanfaat untuk orang yang sudah meninggal bisa dilihat disini :
Hukum Melaksanakan Haji Untuk Orang Meninggal (Mayyit)

Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit)

Pahala Berdoa Dan Membayar Hutang Orang Meninggal (Mayit) akan sampai
Berdoa Untuk Mayyit
Pada postingan sebelmnya penulis sampaikan tenang Pahala Bersedekah Untuk Orang Meninggal (Mayit) bisa memberikan manfaat untuk mayit, pada kali ini penulis akan sampaikan soal doa untuk orang mati. Doa orang yang hidup untuk mereka yang sudah meninggal dapat membawa manfaat. Dalil-dalilnya adalah :
1. Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 10 :
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : “Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman“.
Ayat ini mengandung pujian terhadap sekelompok kaum mukmin yang mendoakan sesama mukmin lainnya yang sudah meninggal dunia. 

2. Hadits riwayat Abu Daud dan Utsman bin Affan : “Nabi Saw. apabila telah selesai menguburkan mayyit, maka beliau herdiri diatas pekuburan dan berkata: “mintakanlah ampun untuk saudaramu dan mohonlah kepada Allah agar dia diberikan kemantapan karena sesungguhnya dia sekarang ini sedang ditanya“.
Ini adalah perintah dari Nabi untuk mendoakan orang yang meninggal dunia. 

3. Hadits Riwayat Muslim dan Buraidah bin al-Hasib :
“Rasululloh Saw. mengajarkan para sahabat agar jika mereka keluar kepekuburan hendaknya mengucapkan “Semoga keselamatan atasmu wahai penghuni kubur dari golongan mukminin dan muslimin dan insya Allah kami akan menyusul kamu. Kami bermohon kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan untuk kamu”
Ini menunjukkan doa yang perlu dibaca ketika memasuki pekuburan. 

Demikian petunjuk Al-Qur’an dan Hadits tentang masalah doa. Sekiranya doa tidak bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal, tentu Nabi Saw. tidak akan mengajarkannya dan Al-Qur’anul Karim tidak akan memuji sekelompok orang yang melakukannya. 

Adapun makna dan manfaat doa untuk mayyit adalah “Berhasilnya apa yang didoakan itu untuk si mayyit apabila doa tersebut dikabulkan oleh Allah. Adapun pahala doa itu sendiri, menjadi hak orang yang berdoa. Akan tetapi pahala doa seorang anak berhasil juga untuk orang tuanya yang sudah meninggal karena amalan seorang anak termasuk amalan orang tuanya, karena orang tuanya itulah yang menjadi sebab keberadaannya di dunia. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim :
“Jika manusia sudah meninggal, maka terputuslali amalannya kecuali tiga yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang selalu mendoakan orang tuanya”. 

Membayarkan Hutang Untuk Mayyit
Apabila seseorang berhutang kemudian belum juga bisa diselesaikan hingga dia meninggal, maka apabila keluarganya, sahabatnya atau sesama muslim lainnya bersedia membayarkan hutangnya itu niscaya akan sangat bermanfaat kepadanya dan dia menjadi bebas dari tanggungan. Hal ini disebutkan dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 454 : 

“Sepakat kaum muslimin bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun perintah membayar tersebut dilakukan oleh ajnabi (orang asing) dan bukan dari harta peninggalannya. Hal yang demikian ditunjukkan oleh hadits Abi Qatadah dimana beliau ini menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah mernbayarkan yang dua dinar itu Nabi Saw, be rsabda : “Sekarang bisalah dingin kulitnya”. 

Juga dalam hadits riwayat Turmuzi disebutkan :
“Dari Abi Hurairah dia berkata : Rasulullah Saw. bersabda: “Jiwa seorang mukmin terkatung-katung dengan sebab hutangnya sehingga dia dibayarkan“. 

Selanjutnya amalan yang pahalanya bermanfaat untuk orang yang sudha meninggal bisa dilihat disini :
Apa Hukum Fidyah Atau Berpuasa Untuk Orang Meninggal (Mayit)

Pahala Bersedekah Untuk Orang Meninggal (Mayit)

palaha sedekah untuk mayit, bilik islam
Sedekah yang dilakukan untuk mayyit dapat bermanfaat dan sampai pahalanya kepada mayyit tersebut. Dalil-dalil untuk hal ini adalah : 

1. Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dan Nasa’i
 “Dari Aisyah ra. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad Saw. dan berkata: “Wahai Rasululloh. Sesungguhnya ibuku sudah meninggal secara tiba-tiha dan belum sempat berwasiat. Kuat dugaanku bahwa andai beliau sempat bicara niscaya beliau akan bersedekah. Apakah ibuku mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya ? Nabi menjawab : Ya!”. 

2. Hadits riwayat Bukhari, Turmuzi dan Nasa’i :
“Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia “Wahai Rasululloh. Sesungguhnya ibuku telah meninggal disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi menjawab: Ya! Berkata Saad bin Ubadah: (Kalau begitu) saya persaksikan kepadamu (wahai Rasululloh) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu sebagai sedekah untuknya”... 

3. Hadits Riwayat Muslim
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw. : Sesungguhnya bapakku sudah wafat dan beliau meninggalkan harta tetapi tidak ada wasiat, apakah mencukupi jika aku bersedekah untuknya ? Nabi menjawab: Ya! “. 

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa sedekah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk mereka yang sudah meninggal akan dapat membawa manfaat dan pahala sedekah itu sampai kepadanya. 

Akan tetapi kandungan hadits-hadits tersebut mengesankan bahwa sedekah yang dapat memberi manfaat kepada orang yang sudah meninggal itu adalah apabila dilakukan oleh seorang anak dan diniatkan untuk ibu atau bapaknya yang sudah meninggal. Namun demikian kesan seperti ini ditepis dalam Al-Majmu’ jilid 15/522 : “Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak”. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid III/218 : “Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya”. 

Adapun dalil-dalil para ulama dalam hal sampainya kemanfaatan pahala sedekah untuk orang yang sudah meninggal walaupun bukan dari anaknya adalah sebagai berikut : 

1. Hadits riwayat Turmuzi
“Dari Hanas bahwasanya Ali Karromallohu wajhah berkorban dengan dua ekor kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw. dan yang kedua (pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepada sayyidina Ali dan beliau menjawab : Nabi Saw. memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian, maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya “. 

Mafhum hadits ini bahwa sesuai perintah Nabi Saw., sayyidina Ali selalu berkorban dengan dua ekor kibas, yang satu untuk Nabi dan yang satunya lagi untuk beliau sendiri. Ali selalu melakukan yang demikian disetiap tiba musim korban. Maka nyatalah dari hadits tersebut bahwa sedekah seseorang bisa bermanfaat kepada orang lain walaupun bukan dari seorang anak kepada ibu atau bapaknya. 

2. Hadits Riwayat Muslim
Aisyah menceritakan bahwasanya Rasululloh Saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah didatangkan beliau berdoa :
“Bismillah. Ya, Allah terimalah (korban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad! Kemudian Nabi menyembelihnya“. 

Hadits ini menunjukkan hadiah pahala korban dari Nabi untuk para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya. Pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah mengomentari hadits tersebut dengan katanya :
“Doa Nabi Saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya kepada ummatnya dan ini merupakan pengajaran dari beliau bahwa seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti petunjuk beliau tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh”. 

Imam Nawawi dalam syarah Muslim jilid 8/187 juga mengomentari hadits tersebut dengan katanya :
“Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta mempersekutukan mereka bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur”. 

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang sudah meninggal dapat memperoleh manfaat dari sedekah yang dilakukan oleh orang lain yang mana pahalanya dihadiahkan kepadanya. Orang lain tersebut tidak mesti harus anak dari orang yang sudah meninggal itu, tapi bisa juga saudara, teman dekat maupun sesama muslim lainnya. Dan orang yang menghadiahkan pahala sedekah tersebut -disamping pahala sedekahnya sampai kepada orang yang dituju- juga akan memperoleh pahala. Hal ini dinyatakan oleh Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 6/ 92 : “Berkata Imam Syafi’i ra. : “Dan luaslah karunia Allah Taala untuk memberi pahala kepada orang yang bersedekah juga. Dan dari sanalah, maka para ashab berkata : Disunnatkan bagi seseorang untuk meniatkan sedekah untuk kedua ibu bapaknya karena sesungguhnya Allah Swt. akan memberi pahala kepada keduanya dan pahala orang yang bersedekah itu sendiri tidak akan berkurang sedikitpun”

Pahala amalan yg sampai dihadiahkan untuk orang yang sudah meninggal berikutnya bisa dilihat disini :

Thursday, 15 September 2016

Keutamaan Dan Manfaat Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)

faedah Shalawat Sa’adah, fadhilah Shalawat Sa’adah

ALLAAHUMMA SHALLI ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN ‘ADADA MAA FII ‘ILMILLAAHI SHALAATAN DAA-IMATAN BIDAWAAMI MULKILLAHI. 

Artinya :
Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. sebanyak bilangan barang yang ada di dalam pengetahuan Allah, dengan limpahan rahmat yang abadi., selama dalam keabadian kerajaan Allah. 

Khasiatnya :

Membaca sekali shalawat sa’dah sama kesukaannya dengan enam ratus ribu shalawat, demikian menurut Al Syarif Showy di dalam keterangannya Imam Dardiri dan Al Kamah Sayid Ahmad Dahlan.

Tabir Wanita