Tanya : Dalam satu kesempatan latihan manasik, pembimbing menjelaskan pekerjaan haji ada yang bernama rukun dan kewajiban. Pertanyaan saya apakah perbedaan antara keduanya? Ataukah keduanya sama?
Jawab : Pertanyaan saudara penanya meskipun sederhana, tetapi sangat penting dan mendasar sekali, sebab berkaitan secara langsung dengan keabsahan ibadah haji yang hendak dikerjakan. Pembekalan diri calon jamaah haji mengenai tata cara pelaksanaan haji secara memadai, jauh lebih penting daripada persiapan material. Meskipun yang terakhir ini tidak bisa dianggap remeh.
Tetapi karena niat pergi ke tanah suci Makkah adalah untuk beribadah, maka dengan semestinya hal-hal yang bersangkutan dengannya mendapatkan perhatian tersendiri. Jangan sampai ibadah haji yang memakan banyak tenaga dan biaya tersebut tidak diterima Allah Swt., hanya karena kita kurang memahami aturan dan tata cara pelaksanaannya.
Berkaitan dengan itu, salah satu masalah yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kewajiban dan rukun haji. dalam kitab-kitab fikih, yang pertama disebut wajibat al-hajj. dan yang kedua dinamakan arkan al-hajj.
Sebelum menjelaskan perbedaan keduanya, ada baiknya disinggung sekilas tentang rukun dan kewajiban haji tersebut. Supaya uraian ini lebih mudah dipahami, sekaligus untuk menyegarkan kembali ingatan para calon jamaah haji akan hal itu.
Rukun haji (arkan al-hajj)) ada 5 (lima) : niat haji, wuquf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i dan mencukur rambut (al-halq). Kelima rukun ini harus dikerjakan secara berurutan. Yaitu, pertama kali ihram, lalu Wukuf, thawaf dan Sa’i. Mencukur rambut dapat dikerjakan setelah atau sebelum thawaf. Urutan ini oleh sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun haji. Sehingga rukun haji jumlahnya 6 (enam).
Sebagian ulama yang lain menganggapnya syarat mengerjakan rukun haji. Baik sebagai rukun maupun syarat, urutan tersebut harus dilaksanakan. Tidak boleh misalnya, mendahulukan wuquf atas ihram. (Nihiyah Az-Zain, 203-206).
Sedangkan kewajiban-kewajiban haji (wajib al-haji) terdiri dari 5 (lima) hal juga. Yakni, ihram dan miqat (makani atau zamani), mabit (bermalam atau menginap) di Muzdalifah, melempar jumrah, mabit di Mina, dan thawaf wada ‘ (Nihayah Az-Zain, 208-211).
Di samping memiliki perbedaan, rukun dan kewajiban haji juga memiliki persamaan. Persamaannya, keduanya wajib dikerjakan. Oleh karena itu, meninggalkannya merupakan perbuatan dosa.
Adapun segi perbedaannya, rukun haji bila ditinggalkan berakibat pada tidak sahnya haji. Dengan kata lain, ibadah hajinya batal dan tidak dapat diganti dengan membayar denda. Jadi, kalau ada rukun yang ditinggalkan, supaya hajinya sah, mau tidak mau harus melakukan rukun tersebut. Misalnya, kalau seseorang belum thawaf ifadhah, maka wajib mengerjakannya. Begitu juga sa’i, mencukur rambut dan seterusnya.
Yang menjadi masalah, apabila rukun yang ditinggalkan adalah wuquf, Kalau waktunya sudah lewat, yakni mulai masuknya shalat Zhuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai fajar malam hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah, maka harus mengqadha’atau mengulangi lagi pada tahun berikutnya.Sebab dengan habisnya waktu, wuquf tidak mungkin lagi dikerjakan. (A1-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. I, 418).
Ketentuan tersebut tidak herlaku untuk hal-hal yang termasuk kategori kewajiban haji (wajibat al-hajj) seperti mabit di Mina dan Muzdalifah. Orang yang meninggalkan salah satunya dapat menggantinya dengan menyembelih kambing, wajb berpuasa 10 (sepuluh) hari, dengan ketentuan 3 (tiga) hari di tempat haji, dan 7 (tujuh) hari setelah pulang. Hal ini seperti firman Allah :
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu Ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, vaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, makabagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah Ia menyembelih) qurban rang mudah didapat tetapi jika Ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. A1-Baqarah: 196) (Al-Iqna’ fi Al-Fazh Abi Syuja’, I, 227).
Selain rukun dan kewajiban haji, calon jamaah haji juga harus mengetahui apa saja yang diharamkan di tengah-tengah menunaikan ibadah itu, yang disebut muharramat al-ihram, yakni hal-hal yang diharamkan ketika seseorang berstatus muhrim. Dan seyogyanya demi kesempurnaan ibadah haji, diperhatikan pula perkara-perkara yang disunahkan atau sunah al-hajj. Waktu yang masih tersisa, saya kira sangat baik untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas. Semoga mendapat haji yang mabrur.