Monday, 5 September 2016

Nabi Ibrahim Dibakar (Kisah Dalam Al-Quran)

Nabi Ibrahim Dibakar (Kisah Dalam Al-Quran), bilik islam

NABI IBRAHIM DIBAKAR
QS. Al-Anbiyaa: 68-69

Akhirnya, mereka memutuskan agar Nabi Ibrahim dibakar dalam api. Mereka mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya. Setelah kayu-kayu itu terkumpul, mereka segera menyalakan api di atasnya. Namun, mereka kebingungan mencari cara memasukkan Nabi lbrahim ke dalam api yang membara. Mereka tidak dapat begitu saja memasukkan beliau ke dalam api yang sangat panas karena bisa-bisa mereka ikut terbakar. 

Kemudian, setan yang selalu menjadi pengganggu dari musuh manusia, memberi ide kepada mereka untuk memasukkan Nabi Ibrahim ke dalam api dari jarak yang agak jauh. Caranya. Nabi Ibrahim diletakkan di suatu tempat sehingga dapat dilentingkan, seperti anak panah yang dilentingkan dart busur. Dengan demikian. Nabi Ibrahim dapat masuk ke dalam api dengan mudah. Mereka pun melaksanakan rencana mereka, sementara yang lain berkerumun dan menonton dari jauh. 

Mereka menyangka Nabi Ibrahim pasti telah terbakar di dalam api yang berkobar. Tetapi, alangkah terkejutnya mereka ketika Nabi Ibrahim keluar dalam keadaan selamat. 

Allah telah menyelamatkan Nabi Ibrahim sehingga api yang dibuat untuk membakar beliau menjadi dingin dan tidak mencelakakan beliau sedikit pun. 

Sebagaimana difirmankan oleh Allah : “Hai api, jadilah dingin dan selamatkanlah Ibrahim.” Inilah salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim.

Sunday, 4 September 2016

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Badawi Shugro

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah)  Shalawat Badawi Shugro

ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA NUURIL ANWAARI WA SIRRIL ASRAARI WA TIRYAAQIL AGHYAARI WAMIFAAHIBAABIL YASAARI SAYYIDINAA WAMAULAANAA MUHAMMADINIL MUKHTAARI WA AALIHIL ATH-HAARI WA ASH-HAABIHIL AKHYAARI ‘ADADA NI-’AMILLAAHI WA IFDLAALIHI.

Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepdaa cahayanya dan segala cahaya, rahasianya dan semua rahasia, dan yang menyinarkan semua kebingungan, serta kuncinya pintu kemudahan, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. yang terpllih. dan kepada keluarganya yang suci-suci serta sahabat -sahabatnya yang terpilih, sebanyak bilangan nikmat-nikmat Allah dan anugerah-Nya.
Khasiatnya :
Shalawat ini mempunyai faedah yang besar sekali untuk mendatangkan semua hajat. atau segala sesuatu, terlebih-lebih untuk menghilangkan kesempitan. Sebaiknya dibaca seratus kali setiap hari, Insya Allah akan lapanglah segala kesempitan dan segala maksud akan tercapai.

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Ulul Azmi

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Ulul Azmi

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA SAYYIDINAA AADAM WA SAYYIDINAA NUUHIN WA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA SAYYIDINAA MUUSAA WA SAYYIDINAA ‘IISAA WA MAA BAINAHUM MINAN NABIYYIINA WAL MURSALIINA SHALAWATULLAHI WA SALAAMUHU’ALAIHIM AJMA’IIN.

Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan keselamatan serta berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., kepada junjungan kita Nabi Adam a.s., kepada junjungan kita Nabi Nuh a.s., kepada junjungan kita Nabi Ibrahim a.s., kepada  jujungan kita Nabi Musa a.s., serta kepada orang diantara mereka, dari pada Nabi, dan semua rasul. Semoga semua rahmat Allah dan salamnya selalu melimpah kepada mereka semuanya.
Khasiatnya :
Barangsiapa mau membaca shalawat ini sebanyak tiga kali, maka sama dengan membaca Dalailul Khoirot.

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Kamaliyah

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Kamaliyah

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA A’LAA AALIHI ‘ADADA KAMAALILLAAHI KAMAAYALIIQU BIKAMAALIHI.
Artinya :
Ya Allah, limpahkanlah rahmat keselamatan dan berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. dan kepada keluarganya, sebanyak bilangan kesempurnaan Allah, sebagai mana yang patut dengan kesernpumaan-Nya.
Khasiatnya :
Barangsiapa yang mau membaca shalawat in, insya Allah Ia akan mendapat pahala yang tak terhingga. Demikian menurut keterangan Ash Shawly.

Siapa Yang Lebih Berhak Nafkahi Anak Usai Cerai ?

nafkah anak usai cerai, hukm islam, bilik islam
Tanya : Begini Kiyai, kami telah cerai dan mempunyai empat orang anak, yang dua di antaranya ikut bersama ayahnya sedang yang dua lagi ikut bersama saya. Yang ingin saya tanyakan, menurut pandangan agama dan hukum, masih berhakkah anak-anak yang ikut saya mendapatkan nafkah dari ayahnya ?Jika berhak sampai kapan batas waktunya ? (Sugorini, Semarang)

Jawab : Pada dasarnya, setiap pasangan suami istri menginginkan hubungan mereka bertahan selamanya. Salah satu tujuan perkawinan adalah membina keluarga yang utuh agar tercipta kehidupan yang tenteram serta bahagia. Tetapi, ketika hubungan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi.

Bagaimanapun, perceraian tidak lepas dari dampak negatif, lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak. Anak merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu.

Karena hal-hal seperti itulah, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah meskipun diperbolehkan (halal). Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian’ (HR. Abu Dawud,Ibnu Majah dan Hakim) 

Halal karena dalam situasi dan kondisi tertentu dibutuhkan. Dibenci karena membawa akibat-akibat buruk.
Perceraian menjadi musibah atau rahmah tergantung pada bagaimana dan kapan kita melakukannya, dengan mempertimb angkan keuntungan dan risiko yang akan muncul. 

Sebagaimana saya katakan di atas bahwa anak adalah pihak yang paling dirugikan akibat perceraian orang tuanya. Maka pertanyaaan yang layak dikedepankan adalah apakah akibat perceraian, anak-anak masih berhak mendapatkan nafkah dan ayahnya? 

Hal ini sangat penting karena pada satu sisi masalah pangan menduduki urutan teratas kebutuhan manusia, sementara anak belum mampu bekerja. Pada sisi lain, kebanyakan laki-laki yang menceraikan istrinya tidak memperhatikan nafkah anaknya lagi. Apalagi jika telah menikah lagi dengan perempuan lain. 

Menurut para ulama, nafkah yang didefinisikan sebagai : “kullu ma yahtajuh al-insan min tha‘am wa syarab wa kiswah wa maskan” (segala sesuatu yang dibutuhkan manusia berupa makanan minuman pakaian dan tempat), tetap wajib diberikan orang tua (bapak) kepada anaknya, meskipun ibunya telah dicerai. 

Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah berikut :
Artinya : “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya “(QS. Ath-Thalaq: 6)

Perceraian hanya memutus tali perkawinan antara suami-istri (az-zaujiyah). Tetapi tidak memutus hubungan nasab orang tua dan anak (al-ubuwwah wa al-bunuwwah). Sampai kapanpun, status anak yang dihasilkan dalam perkawinan yang sah tetap berlaku. Jika kita mengenal ungkapan “bekas istri atau mantan istri” maka tidak dikenal istilah “bekas anak atau mantan anak.” 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156 diterangkan : Akibat perceraian, semua biaya hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Pasal ini secara eksplisit membebankan nafkah anak kepada ayah pasca perceraian. 

Anak adalah amanat Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Barangsiapa menelantarkan anak, maka akan memperoleh balasan yang setimpal di akhirat kelak.
 
Perhatikan ayat berikut ini :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiyanati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhiyanati amanat-amanat ,yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 27-28)

Secara sosiologis, pengabaian nafkah anak pasca perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal sang suami.

Apa Hukum Menikahi Perempuan Akibat Perkosaan ?

menikahi wanita karena perkosaan
Tanya : Saya telah membaca berita. Di situ saya membaca ada paman memperkosa keponakannya. Kalau dilihat itu kan mahramnya atau muhrimnya. Sedangkan paman menurut pengakuannya akan menikahinya. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum pernikahan tersebut beserta penjelasannya. (M. Zuhdi)

Jawab : Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk di dalamnya kebutuhan biologis (s*ks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya.

Pemenuhan kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang dilarang dan sangat dikutuk oleh agama, baik dia dilakukan dengan suka sama suka atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas :
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekti zina, sesungguhnva zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) 

Agama Islam sebenarnya telah mengatur serta menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan. 

Pernikahan adalah : "aqdun yatadammanu istibahata istimtai’ kullin mina azzaujaini bi al-akhar ‘ala al wajhi al masyru’i" sebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat. 

Lebih dari itu pernikahan merupakan sunah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunnah Rasul tersebut. 

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin). 

Senada dengan pertanyaan di atas bolehkah pernikahan dilakukan dengan mahramnya sendiri (bukan muhrim, karena muhrim adalah orang yang ihram). 

Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu). 

Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan Susuan. 

Perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan kekerabatan ada 7 (tujuh), ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dan ayah, dan yang terakhir bibi dan ibu.
Dalam Al-Quran disebutkan :
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dan saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnva Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23) 

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki. Dan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya. 

Selanjutnya, perempuan yang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri).

Kemudian yang haram dinikahi dengan sebab susuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan (saudara susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri). 

Apabila pernikahan dengan perempuan yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan yang lebih berat.

Apakah Boleh Istri Menikah Lagi Karena Ditinggal Suami ?

hukum istri menikah lagi, bilik islam
Tanya : Saya ditinggal suami selama 3 (tiga) tahun, tidak pernah diberi nafkah. Katanya dia sudah menikah lagi. Apa pernikahan saya bisa rusak. Bolehkan saya cerai ? Bagaimana jika proses perceraian itu dipersulit pihak suami ?

Jawab : Pernikahan adalah akad yang sangat kuat (al-mitsaq al-ghalizh) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai tujuan itu, hubungan suami istri diatur oleh hak dan kewajiban. Keharmonisan sebuah keluarga sangat ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. 

Pengetahuan suami istri akan kewajibannya dengan demikian menjadi hal yang sangat penting. Pemahaman dan kesadaran terhadap kewajiban akan mendorong kepada pengamalan. Apabila kewajiban telah dilaksanakan, dengan sendirinya hak telah terpenuhi. 

Akan tetapi, dalam kenyataannya, kadangkala salah satu pihak dari suami istri tidak menunaikan kewajibannya, sehingga berdampak negatif terhadap pasangannya. Tidak jarang pula, dalam kehidupan rumah tangga karena faktor-faktor tertentu tidak lagi ditemukan perasaan sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Dalam kondisi demikian, perceraian menjadi alternatif pemecahan yang tidak terhindarkan. Perceraian bagaikan obat, rasanya pahit tetapi dibutuhkan. Menurut sebuah hadis, perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pada pasal 116 menetapkan 8 (delapan) alasan perceraian. Di antaranya : 1) bila salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, 2) bila salah satu pihak (suami maupun istri) dipenjara selama 5 (lima) tahun, 3) bila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dan lain-lain. 

Dalam literatur-literatur fikih, misalnya dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami juz 9, diterangkan bahwasanya pengadilan (qadhi) dapat menceraikan sebuah pernikahan karena: suami tidak memberi nafkah (‘adam al-infaq), penyakit atau cacat (al-’uyub wa al-’ila]), perselisthan dan kekerasan (al-syiqaq wa adh-dharar), pergi (al-ghaibah), dan dikenai hukuman penjara (al-habs). Sudah barang tentu, masing-masing sebab memiliki aturan sendiri-sendiri. 

Dalam hal tidak memberi nafkah, mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali memperbolehkan istri menuntut perceraian. Menurut madzhab Hanafi solusinya lain lagi. Jika suami mampu memberi nafkah tetapi tidak mau, maka dia dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. 

Hak menuntut perceraian akibat ditinggalkan salah satu pasangan adalah pendapat ulama Malikiah dan Hanabilah. Malikiah menetapkan masa selama satu tahun. Sedangkan Hanabilah hanya 6 (enam) bulan. Ulama Hanafiah dan Syafi’iah tidak mengakuinya.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia temyata lebih memiliki pendapat Malikiah dan Hanabilah, dengan batasan waktu yang berbeda, yaitu 2 (dua) tahun. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kepergian pasangan hidup dalam waktu yang lama sangat merugikan secara jasmani dan rohani pihak yang ditinggalkan. Padahal menurut salah satu kaidah fikih, adh-dhararu yuzal yang bersumber dari hadis ‘la dharara wa la dhirara”, hal-hal yang merugikan harus dihilangkan. Pemberian hak menuntut perceraian kepada istri yang diperlakukan demikian oleh suami sejalan pula dengan Al Quran, tepatnya surat Al-Baqarah, ayat 232, sebagai berikut :
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali,) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‘ruf itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu iebih baik bagimu dan lebih suci. Alah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. A1-Baqarah: 232) 

Suami hanya diberikan dua pilihan, mempertahkan istri seraya memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan baik pula. 

Oleh karena suami saudari penanya pergi selama 3 (tiga) tahun, apalagi tanpa memberikan nafkah, maka ia berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Selama pengadilan belum memutuskan perceraian, ikatan perkawinan masih utuh. 

Perceraian tidak dengan sendirinya terjadi dengan adanya alasan-alasan tersebut di atas. Tetapi harus lewat putusan pengadilan setelah pihak yang dirugikan menyampaikan gugatan kepada pengadilan. 

Pihak suami tidak boleh mempersulit gugatan perceraian karena hal itu menjadi hak istri. Kita tidak boleh menghalangi seseorang meraih hak-hanya. Adapun lddah dimulai sejak pangadilan memutuskan perceraian.

Apa Hukum Berhubungan Badan Dengan Istri Saat Istihadhah ?

hukum islam, fikih isla, bilik islam
Tanya : Perempuan istihadhah, apakah boleh dikumpuli suami? (Tn S. Malang)

Jawab : Seperti telah saya bahas pada edisi yang lalu bahwa dari rahim perempuan keluar tiga jenis darah, yaitu : haid, nifas dan istihadhah. 

Nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran anak. Sedangkan haid merupakan darah yang keluar dari rahim perempuan ketika seorang perempuan mencapai usia sembilan tahun hingga menopouse, yang terjadi secara alamiah dalam keadaan sehat dan bukan mengiringi kelahiran. Keduanya memiliki batas maksimal dan minimal. Nifas paling tidak satu tetes, maksimal 60 (enam puluh) hari. Haid paling tidak sehari semalam, máksimal 15 (lima belas) hari. 

Selain darah nifas dan haid dinamakan istihadhah. Istihadhah menurut defnisi fuqaha adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim pada saat seseorang tidak sedang mengalami haid atau nifas. (A1-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 633). 

Dengan demikian, istihadhah bukan sesuatu yang alamiah pada perempuan, tetapi sebuah kelainan, sebuah keadaaan tidak wajar yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Oleh karenanya, penderita istihadhah relatif kecil, sebagaimana perbandingan jumlah orang sehat dan sakit. 

Mengetahui perbedaan antara ketiga jenis darah di atas hukumnya wajib. Karena masing-masing menimbulkan akibat hukum yang berbeda, yang berkaitan dengan larangan dan dispensasi. Salah satu kaidah fikih mengatakan “ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sebuah kewajiban yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa suatu hal, maka hal itu menjadi wajib juga). Menjalankan syariat adalah wajib. Kita tidak bisa melakukannya secara sempurna tanpa mengetahui perbedaan haid dan nifas pada satu sisi, dan istihadhah pada sisi lain. Konklusinya, memahami perbedaaan itu adalah wajib juga.

Penderita haid dan nifas secara hukum dalam banyak hal disamakan. Keduanya diharamkan shalat, thawaf, membaca Al-Quran, menyentuh dan membawa mushat, puasa, berdiam di masjid dan disetubuhi. Akibat kelemahan fisik dan gangguan psikis, maka perempuan yang tengah mengalami haid dan nifas dibebaskan dari kewajiban shalat tanpa harus mengqadha. Mereka juga mendapat dispensasi berbuka pada bulan Ramadhan, tetapi harus mengqadha’ pada bulan yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: I, 624). 

Penderita istihadhah disamakan dengan perempuan yang suci (ath-thahir), tidak mengeluarkan darah. Larangan dan dispensasi akibat haid dan nifas tidak berlaku untuk perempuan yang menderita istihadhah. Ia diwajibkan shalat, puasa, diperkenankan membaca Al-Quran dan lain-lain. Tidak dilarang pula melakukan hubungan suami-istri. (Mausu’ah Al-Fiqh A1 Islami V, 323). 

Dalam sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. memerintahkan perempuan penderita istihadhah menjalankan shalat ketika berkonsultasi kepada beliau. Rasulullah juga memerintahkan Hamnah binti Jahsy melakukan shalat dan puasa ketika menyandang istihadhah. Shahabat Abdurrahman bin Auf berkumpul (Jima’) dengan istrinya Ummu Habibah dalam keadaaan istihadhah. (Nail Al-Authar I, 268, 272, Sublu As-Salam: I, 103)

Tabir Wanita