Tuesday, 13 October 2015

Bagimana Maksud Menyayangi Dalam Konteks Pernikahan ?

Ritual nikah dalam Islam, merupakan peristiwa sakral, yang mempertemukan dua karakter yang berbeda dalam mengarungi kehidupan ini.

Sehingga bagi keduanya harus saling menyayangi dan memahami satu sama lainnya, demi tercapainya tujuan yang mulia tersebut. Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah ayat yang berbunyi; “Wa ‘Asyiru hunna bil ma’rufi“. Sejauh mana kandungan yang dimaksud dalam ayat tersebut?

Jawab : Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah memberikan haknya istri tanpa menunda-nunda. tidak menyakitinya dan mencukupi segala kebutuhan kehidupannya menurut kemampuan suami.

Referensi : 

 

Syarat Sah Dan Syarat Wajib Shalat Jumat

Salat Jumat ialah salat dua rakaat sesudah khotbah pada waktu Lohor pada hari Jumat. (baca juga : Sunnah Dalam Shalat Jumat)

Hukum salat Jumat itu fardu‘ain, artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama Islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri. Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya, dan orang yang sedang dalam perjalanan tidak wajib salat Jumat.
Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (AI-JUMUKH: 9)

Yang dimaksud dengan “jual beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan salat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Salat Jumat itu hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam dengan berjamaah, kecuali empat macam orang: (1) Hamba sahaya yang dimiliki (2) perempuan, (3) anak-anak, (4) orang sakit.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN HAKIM)

“Hendaklah para kaum benar-benar menghentikan kebiasaan mereka meninggalkan salat Jumat, atau Allah benar-benar akan mengunci niat hati mereka, kemudian mereka benar-benar termasuk orang-orang yang lalai.” (RIWAYAT MUSLIM)


Syarat-syarat wajib Jumat
1. Islam, tidak wajib atas orang non Islam.
2. Balig (dewasa), tidak wajib Jumat atas kanak-kanak.
3. Berakal, tidak wajib Jumat atas orang gila.
4. Laki-laki, tidak wajib Jumat atas perempuan.
5. Sehat, tidak wajib Jumat atas orang sakit atau berhalangan.
6. Tetap di dalam negeri, tidak wajib Jumat atas orang yang sedang dalam perjalanan.

Syarat sah mendirikan Shalat Jumat
1. Hendaklah diadakan di dalam negeri yang penduduknya menetap, yang telah dijadikan watan (tempat-tempat), baik di kota-kota maupun di kampung-kampung (desa-desa). Maka tidak sah mendirikan Jumat di ladang-ladang yang penduduknya hanya tinggal di sana untuk sementara waktu saja. Di masa Rasulullah Saw. dan di masa sahabat yang empat, Jumat tidak pernah didirikan selain di negeri yang penduduknya menetap. 

2. Berjamaah, karena di masa Rasulullah Saw. salat Jumat tidak pernah dilakukan sendiri-sendiri. Bilangan jamaah, menurut pendapat sebgian ulama, sekurang-kurangnya adalah empat puluh orang laki-laki dewasa dari penduduk negeri. Ulama yang lain mengatakan lebih dari empat puluh. Sebagian lagi berpendapat cukup dengan dua orang saja, karena dua orang pun sudah dapat dikatakan berjamaah. Tentang bilangan ini sungguh banyak sekali pendapat, tetapi karena kitab ini hanya untuk seperlunya serta dengan seringkas-ringkasnya saja, maka Pendapat-pendapat (mazhab) dan keterangan-keterangan satu persatunya tidak dapat diterangkan di sini.

3. Hendaklah dikerjakan di waktu Lohor.
Hadis : “Dari Anas, “Rasulullah Saw. salat Jumat ketika matahari telah tengelincir.” (RIWAYAT BUKHARI)
4. Hendak’ didahului oleh dua khotbah.
Hadis : “Dari Ibnu Umar: “Rasulullah Saw. berkhotbah dua khotbah pada hari Jumat dengan berdiri, dan beliau duduk di antara dua khotbah iitu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Apa Hukum Puasa Sambil Menggunjing Dan Berdusta ?

Tanya : Bagaimana hukumnya melaksanakan ibadah puasa, namun dengan tidak bisa meninggalkan perkataan dusta dan menggunjing kesalahan orang lain. Batalkah puasa yang dilakukan oleh orang dengan aktivitas itu? Mohon penjelasan.

Jawab :
Menggunjing adalah membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan orang lain yang tidak disukai oleh orang tersebut untuk dibicarakan, pada saat yang bersangkutan tidak berada di tempat (dzikruka akhaka bi ma fihi min ma yakrah/ dzikruka akhaka bima yakrah fighaybatihi) atau lazim disebut ngrasain atau rasan-rasan dalam bahasa Jawa. Adapun berdusta adalah mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, berbohong. Kedua tindakan ini termasuk maksiat lisan yang dilarang oleh agama.

Al-Quran menggambarkan perbuatan menggunjing sebagai memakan ‘bangkai saudara. Perhatikan firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taobat lagi Maha Penyayang. “(QS. Al-Hujurat: 12)

Dr Wahbah Az-Zuhaily, memberikan komentar dalam tafsirnya Al- Wajiz halaman 518 sebagai berikut:
“Ini merupakan penggambaran perbuatan penggunjing dengan gambaran yang paling buruk menurut watak dan akal. Memakan daging anak Adam adalah haram, demikian juga menggunjing.”

Menggunjing merupakan tindakan pengecut karena bersifat menyerang orang lain tanpa sepengetahuan dan karena itu juga tidak memberikan kesempatan untuk membela diri. Sedangkan berdusta, menurut sebuah hadis, termasuk tanda kemunafikan. Dan pelakunya akan mendapat siksa yang pedih. Dalam Surat Al-Baqarah : 10 dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10)

Idealnya, selama menjalankan ibadah puasa, kita tidak hanya meninggalkan makan/minum dan hal-hal fisik lainnya yang membatalkan puasa, tetapi juga mencegah seluruh anggota badan, hati dan pikiran dari hal-hal yang terlarang, termasuk di dalamnya berdusta dan menggunjing.

Para ulama bersepakat bahwa dusta dan menggunjing adalah haram, tetapi larangan untuk melakukan kedua hal itu pada saat berpuasa lebih ditekankan daripada ketika tidak berpuasa.

Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam menjawab pertanyaan : apakah kedua perbuatan itu membatalkan puasa?

Mayoritas fuqaha menyatakan, berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Pendapat sebaliknya (menurut Al-Auza’iy, Al-Tsauriy dan lain-lain) menyatakan bahwa keduanya membatatkan puasa, dan oleh karenanya wajib diganti dengan mekanisme qadha.

Perbedaan pendapat ini muncul dari perbedaan dalam memahami dan menilai beberapa hadis yang dijadikan sumber untuk menetapkan hukum kasus ini. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah:
Artinya: “Puasa itu tidak hanya meninggalkan makan dan minum, (tetapi juga) meninggalkan al-laghw dan ar-rafats.” (HR-Baihaqi)

Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith diterangkan ar-rafats adalah perkataan buruk, dan al-laghw adalah perbuataan yang sia-sia, tidak berguna. Hadis lainnya diriwayatkan Al-Laits dan Mujahid, yang artinya: “Ada dua perkara yang membatalkan puasa, yaitu menggunjing dan berdusta.”

Kedua hadis di atas mi scara lahiriah, sebagaimana pendapat Al-Auza’iy, memberikan pengertian batalnya puasa akibat berdusta dan menggunjing. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadis lain tentang orang yang berpuasa tanpa mendapatkan pahala. Perhatikan hadis berikut ini:
Artinya: “Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar.” (HR Nasai dan Ibn Majah)

Hal mi masih dipertegas lagi dengan hadis lain:
Artinya: “Ada lima perkara yang membataikan puasa : dusta, menggunjing, mengadu-domba bersumpah palsu, dan melepaskan pandangan terhadap sesuatu yang tidak dibenarkan syara’.”(HR. Nasai)

Meskipun demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Kelompok ini menolak validitas hadis terakhir (tentang lima perkara yang membatalkan puasa), dan memahami tiga hadis lainnya dengan pengertian bahwa kesempurnaan puasa tidak dapat dicapai tanpa meninggalkan ar-ra fats dan al-laghw.

Mirip dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Al-Mawardi dan A1-Mutawalli yang menyatakan bahwa hal yang batal bukanlah pekerjaan puasanya tetapi pahalanya. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab VI, 356, Umdah Al-Qari: X, 276).

Perkawinan Sesama Jenis (Kisah Dalam Al-Quran)


Perkawinan Sesama Jenis
QS. Al-Ankabut : 28-30

Nabi Luth merupakan anak saudara laki-laki Nabi Ibrahim. Nabi Luth hijrah bersama Nabi Ibrahim dari Negeri Babil ke Negeri Syam. Nabi Luth diutus oleh Allah untuk berdakwah ke negeri tempat kaum Sodom dan Amurah yang gemar melakukan kerusakan. Kaum ini lebih suka melakukan perkawinan sesama jenis. Laki-laki menikahi laki-laki.

Sudah berulang kali Nabi Luth menasihati kaumnya agar meninggalkan perbuatan mereka yang tercela itu. Nabi Luth berkata kepada kaumnya. “Sesungguhnya kalian telah melakukan perbuatan yang sangat keji yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang pun di alam
semesta ini.

Namun, mereka malah menertawakan dan mengejek Nabi Luth.
“Hai Luth, tidak usah engkau urus masalah kami. Lebih baik engkau urus saja keluargamu.”
“Jika kalian terus-menerus melakukan perbuatan keji ini, niscaya Allah akan memberi peringatan pada kalian.
“Coba saja datangkan siksa jika kamu benar,” ucap kaumnya dengan nada menantang.

Nabi Luth hanya berserah diri kepada Allah. Beliau sangat ingin agar kaumnya sadar, namun
beliau merasa tidak berdaya untuk mengubah kekerasan hati mereka. Akhirnya Nabi Luth pun berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku menghadapi kaum yang berbuat bencana ini.”

Waktu Dan Tempat Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Muhammad adalah anggota kabilah Bani Hasyim. Kabilah ini memiliki kedudukan yang mulia dikalangan suku Quraisy. Kakek Muhammad yang bernama Abdul Muthalib merupakan salah satu kepala suku Quraisy. Beliau memegang jabatan siqayah atau pengawas sumur zam-zam.

Tugas siqayah adalah menyediakan air yang dibutuhkan oleh para pengunjung ka’bah. OIeh karena itu, Abdul Muthatib menjadi orang yang berpengaruh dalam kalangan Quraisy. Walaupun demikian, Bani Hasyim merupakan kabilah yang sederhana. Mereka tidak sekaya kabilah-kabilah lain dalam suku Quraisy.

Ayah Muhammad bernama Abdulah. Ia merupakan salah satu putra Abdul Muthalib. Abdullah meninggal dunia ketika mengikuti kafilah dagang ke Syam. Ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Yasrib. Peristiwa itu terjadi tiga bulan setelah Abdullah menikah dengan Aminah binti Wahab, Ibu Muhammad. Aminah binti Wahab berasal dari kabilah Bani Zuhrah. Baik dari garis keturunan ayahnya maupun ibunya, Muhammad merupakan keturunan nabi Ismail dan nabi lbrahim.

Tidak lama setelah peristiwa serangan pasukan gajah, Aminah binti Wahab melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu adalah Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan 20 April 571 Masehi.

Pagi harinya, Abdul Muthalib datang ke rumah Aminah setelah mendengar kabar itu. Diangkatnya cucunya itu, diciumnya, didekapnya, lalu ia tawaf mengelilingi ka’bah. Seminggu kemudian Abdul Muthalib mengadakan selamatan. Semua orang Quraisy hadir dan ikut bergembira. Pada saat itulah, Abdul Muthalib memberikan nama Muhammad kepada cucunya itu. Muhammad berarti orang yang terpuji. Abdul Muthalib berharap agar cucunya menjadi orang yang terpuji di seluruh dunia.

KaIimat Dan Arti Tahlil

Kalimat tahlil biasa diucapakan ketika kita mendoakan orang yang telah meninggal agar segala dosanya di ampuni oleh Allah SWT. Dan juga seperti dzikir setalah shalat selalu mengucapkan tahlil.

Kalimat tahlil juga termasuk kalimat tauhid, yaitu kalimat yang mengandung arti tentang keesaan Allah.

Tahlil juga rangkaian dari kalimat thayyibah yang baik. Biasa kalimat tahiji selalu di iringi dengan kalimat thayyibah lainnya, seperti tasbih, tahmid.

Lafaz kalimat tahill “ Laa Ilaha Ilallah” Artinya “Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah

Kalimat tahlil kita ucapkan karena Allah adalah tuhan yang patut di sembah.

Kita tidak diperbolehkan men yembah selain Allah. Kita wajib meminta pertolongan hanya kepada Allah.

Kita menyakini bahwa Allah SWT hanya satu, yang menciptakan dan mengatur alam semesta termasuk diri kita. Tidak ada tuhan selain Allah.

Pernah kita mendengar bahwa orang muslim ada yang meminta sesuatu kepada selain Allah? Karena mereka tidak tahu bahwa Allah adalah tempat kita meminta segala sesuatu hanya kepada Allah.

Salah satu keutamaan membaca kalimat tahlil adalah kita akan mendapat sepuluh kebaikan dari Allah SWT seperti yang diterangkan dalam hadist berikut:
“Barang siapa yang membaca kalimat “laa ilaaha illallahuwahdahu la syarikala lahulmulku walahul hamdu wahuwa’alakulli syain kodir”

Kalimat tahlil di baca pada waktu
1. Mendoakan orang yang telah meninggal dunia
2. Berdzikir setalah shalat lima waktu
3. Membimbing orang yang sedang menghadapi sakaratul maut
4. Mendapatkan musibah yang tiba-tiba

“Barang siapa menunjukan suatu kebaikan, maka baginya seperti pahala yang melakukannya.” (Al - Hadits)

Monday, 12 October 2015

Apakah Menelan Ludah, Menyedot Ingus Dan Sengaja Muntah Membatalkan Puasa ?

Tanya : Apakah menelan ludah atau menyedot kembali ingus yang hendak keluar itu membatalkan puasa? Saya pernah dengar “bersengaja muntah” itu membatalkan puasa. Saya sering merasa mual baik karena sakit maupun karena kebanyakan makan, tapi makanan itu tak juga mau keluar meski sudah terasa dekat di tenggorokan. Biasanya saya lalu berusaha mendorongnya keluar. Apakah itu tergolong sengaja muntah tadi?

Jawab : Menelan ludah tidak membatalkan puasa, sama halnya dengan menyedot kembali ingus yang masih ada dalam hidung dengan catatan ludah atau ingus itu tidak bercampur atau membawa apapun, seperti sisa makanan atau ‘ayn lain yang terkadang tertinggal dalam mulut atau terdapat dalam hidung. Apabila ada ‘ayn yang ikut tertelan atau masuk, maka batallah puasa Anda.

Sedang sengaja muntah batasannya sangat jelas : muntah itu disengaja atau tidak?

Jika seseorang sengaja (menghendaki, bermaksud, dan melakukan upaya untuk) muntah, maka muntah yang terjadi membatalkan puasa. Dan sejauh saya tangkap dari pertanyaan Anda, yang Anda lakukan itu sudah termasuk istiqa‘ah atau sengaja muntah, sama dengan menekan otot perut atau leher sebagaimana lazim dilakukan untuk tujuan yang sama.

Bahwa Anda melakukan itu karena “terganggu” oleh rasa mual akibat sakit atau kebanyakan makan tidak cukup dapat dijadikan alasan atau pembenar untuk sengaja atau berusaha muntah.

Sunah-Sunah Dalam Shalat

1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram sampai tinggi ujung jari sejajar dengan telinga, telapak tangan setinggi bahu, keduanya dihadapkan ke kiblat. 

2. Mengangkat kedua tangan ketika akan rukuk, ketika berdiri dan rukuk, dan tatkala berdiri dari tasyahud awal dengan cara yang telah diterangkan pada takbiratul ihram.
Sabda Nabi :
“Dari Ibnu Urnar. Ia berkata, Apabila Nabi Saw. hendak melakukan salat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga keduanya satma tinggi dengan kedua belah bahunya, kemudian baru beliau takbir. Apabila hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti demikian; dan apabila bangun dari rukuk, beliau angkat pula kedua tangannya seperti demikian.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Beliau tidak rnengangkat kedua tangan ketika bangkit dan sujud, dan tidak pula ketika duduk antara dua sujud.” (RIWAYAT MUSLIM)
 
“Apabila beliau berdiri dan rakaat yang kedua, beliau mengangkat kedwi tangannya”. (RIWAYAT BUKHARI)
3. Meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri, dan keduanya diletakkan di bawah dada. Menurut sebagian ulama diletakkan di bawah pusat.
Sabda Nabi :
“Dari Wail bin Hujrin, “Saya telah salat beserta Rasulullah Saw Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kirinya di atas dada beliau.” (RIWAYAT IBNU KHUZAIMAH)

4. Melihat ke arah tempat sujud, selain pada waktu membaca “Ashadu anlailaha illallah” dalam tasyahud. Ketika itu hendaklah melihat ke telunjuk.
 
5. Membaca doa iftitah sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca AI-Fatihah.
Lafaznya :

Hadisnya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw apabila telah mengucap takbir dalam salat, beliau diam sebentar sebelurn menibaca Fatihah. Saya bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, apakah yang engkau baca di antara takbir dan Fatihah?’ Jawab beliau, ‘Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan kesalahanku sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahanku dengan air es, dan embun’.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Atau dengan lafaz yang tersebut dalam hadis lain yaitu :


“Aku menghadapkan mukaku ke hadirat yang menjadikan langit dan bumi dengan tunduk menyerahkan diri. Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Tuhan semesta alam. Tuhan yang tidak bersekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (RIWAYAT MUSLIM)

6. Membaca “a’uzubillahi minasyaitoni rojim” yang artinya “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”(RIWAYAT ABU SA’ID AL-KHUDRI), sebelum membaca bismillah.
Firman Allah Swt.:
“Apabila kamu membaca AI-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (AN-NAFIL 98)

Diam sebentar sebelum membaca AI-Fatihah dan sesudahnya.
Hadis Nabi : “Dari Samurah, “Nabi Saw. diam sebentar apabila sudah takbir dan apabila sudah selesai dari membaca Al-Fatihah.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

7. Membaca amin sehabis membaca Fatihah. Sebelum membaca amin. disunatkafn pula membaca: “robbigh firli”

Kalau Al-Fatihah dibaca dengan suara keras, amin juga demikian. Sebaliknya kalau Al-Fatihah tidak dibaca keras, amin pun tidak.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila imam berkata walad-dallin, hendaklah kamu berkata amn. Maka sesungguhnya malaikat berkata amin pula, dan imam juga berkata amin. Maka barang siapa yang sama-sama amifn-nya dengan amin malaikat, diampuni dosanya yang telah lalu.” (RIWAYAT AHMAD DAN NASAI)

“Dari Wail bin Hujrin. la telah mendengar Rasulullah Saw. ketika selesai membaca walad-dallin, beliau membaca rabbig firli ãmin. (RIWAYAI TABRAN1 DAN BAIHAQI)

9. Membaca surat atau ayat Qur’an bagi imam atau orang salat sendiri sesudah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama (ke-1 dan ke-2) dalam tiap-tiap salat. Surat atau ayat yang dibaca dalam rakaat pertama hendaklah lebih panjang daripada yang dibaca dalam rakaat kedua, dan kedua surat itu hendaklah berurutan sebagaimana urutan dalam Qur’an.
Hadist Nabi : “Dari Abu Qatadah, “Sesungguhnya Nabi Saw. membaca Al-Fatihah dan dua surat pada dua rakaat yang pertama waktu salat Lohor. Pada dua rakaat yang akhir (ke-3 dan ke-4) beliau membaca Al-Fatihah saja; ayat yang beliau baca itu sewaktu-waktu (kadang-kadang) beliau perdengarkan kepada kami; ayat yang beliau baca dalam rakaat pertama lebih panjang daripada yang beliau baca dalam rakaat kedua. Demikian pula pada salat Asar dan pada salat Subuh.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

10. Sunat bagi makmum mendengarkan bacaan imamnya.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik.” (AL-A’RAF: 204)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila kamu salat di belakang saya (mengikuti saya), maka janganlah kamu baca apa-apa selain Ummul-Qur’an (A1-Fatihah) “ (RIWAYAT TIRMIZI)

11. Mengeraskan bacaan pada salat Subuh dan pada dua rakaat yang pertama pada salat Magrib dan Isya, begitu juga salat Jumat, salat Hari Raya, Tarawih, dan Witir dalam bulan Ramadan, beralasan dengan amalan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari.

12. Takbir tatkala turun dan bangkit, selain ketika bangkit dari rukuk.

13. Ketika bangkit dan rukuk membaca “samiallahu liman hamidah”
 
14. Tatkala i’tidal membaca ”robbana walakal hamdu”
Hadis Nabi : “Dari Ahu Hurairah. Rasulullah Saw. apabila berdiri untuk salat, beliau takbir ketika berdiri, takbir ketika rukuk, kemudian membaca Samiallahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk, lalu membaca rabbana walakalhamdu ketika i‘tidal. Beliau takbir ketika turun akan sujud, kemudian takbir ketika bangun dari sujud, lalu takbir lagi ketika sujud kedua dan ketika bangkit dari sujud. Beliau lakukan demikian pada semua rakaat salat, dan beliau takbir ketika berdiri dari rakaat yang kedua sesudah tasyahud pertama.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

15. Meletakkan dua tapak tangan di atas lutut ketika rukuk. Keterangan yaitu amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)
 
16. Membaca tasbih tiga kali ketika rukuk. Lafaznya “subhana rabbiyal adzimi” yang artinya“Mahasuci Tuhanku Yang Maha Agung.” (Riwayat Muslim)
 
17. Membaca tasbih tiga kali ketika sujud. Lafaznya “subhana rabbiyal a’la” yang artinya “Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (RIWAYAT MUSLIM DAN ABU DAWUD)
 
18. Membaca doa ketika duduk antara dua sujud. Lafaznya: “Allahumaghfirli warhamni wajburni wahdini warzukni”
Hadis Nabi : “Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi Saw. membaca di antara dua sujud: Ya Allah, ampunilah aku, berilah rahmat kepadaku, cukupilah aku, pimpinlah aku, dan berilah rezeki kepadaku’.” (RIWAYAT TIRMIZI DAN ABU DAWUD)
 
19. Duduk iftirasy (bersimpuh- duduk di atas mata kaki kiri, tapak kaki kanan ditegakkan, ujung jari kaki kanan dihadapkan ke kiblat) pada semua duduk dalam salat, kecuali duduk akhir. Keterangannya yaitu amal Rasutullah Saw. (RIWAYAT TIRMIZI) 

20. Duduk tawarruk di duduk akhir (Seperti iftirasy juga, tetapi tapak kakinya yang kiri dikeluarkan ke sebelah kanan, dan pantatnya sampai ke tanah). Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

21. Duduk istirahat (sebentar) sesudah sujud kedua sebelum berdiri. Beralasan kepada amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

22. Bertumpu pada tanah tatkala hendak berdiri dari duduk. Keterangannya amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

23. Memberi salam yang kedua, hendaklah menoleh ke sebelah kiri sampai pipi yang kiri itu kelihatan dan belakang.
Hadis Nabi “Dari Sa’id bin Abi Waqas. Ia berkata, “Saya lihat Nabi Saw. memberi salam ke kanan dan ke kiri sehingga kelihatan putih pipi beliau.” (RIWAYAT MUSLIM)

24. Ketika memberi salam hendaklah diniatkan memberi salam kepada yang di sebelah kanan dan kirinya, baik terhadap manusia maupun malaikat. Imam memberii salam kepada makmum, dan makmum berniat menjawab salam imam.

Tabir Wanita