Tuesday, 29 September 2015

Konsep Pacaran Islami

Seorang manusia jika tertarik pada lawan jenisnya, itu wajar saja. Karena itu sebuah kodrat yang tak lepas dari kehidupan manusia. Namun masib banyak yang belum mengetahui cara membina dan mengekspresikan rasa cinta tersebut. Sehingga dewasa ini, sering kita mendengar istilah pacaran, yang menurut mereka pacaran adalah satu-satunya cara yang dapat mengenal lebih jauh karakter calon pasangannya. Bagaimana konsep Islam mengatur hubungan “Pacaran secara Islami” antara pasangan remaja yang sedang jatuh cinta?

Jawab : Islam tidak membenarkan adanya pacaran, sedangkan konsep Islam dalam mengatur hubungan antara sepasang remaja yang sedang jatuh cinta dan benar-benar telah berkeinginan untuk menikah adalah disunahkan segera menikah apabila sudah berhasyrat, serta calon suami mampu membayar mahar dan menafkahi. Sedangkan prosedur yang dibenarkan bagi laki-laki yang sungguh-sungguh berkeinginan meminang seorang wanita untuk lebih mengenal dan mengetahui karaktemya adalah sebagai berikut :

Mengirim delegasi untuk menyeidiki masing-masing pasangannya, dengan syarat delegasi tersebut harus orang adil , dapat dipercaya dan sama mahram atau sama jenis dengan calon yang diselidiki.

Berbincang-bincang, duduk bersama namun harus disertai dengan mahramnya.

Sebatas melihat wajah dan telapak tangan saja (menurut Syafi’iyyah). Tidak ada keraguan atau prasangka akan ditolak lamarannya.

Referensi : 
 
 
 

Hukum Rokok Dilihat Dari Kacamata Fikih Islam

Sudah lama persoalan rokok menjadi kontroversi yang tidak pernah usai. Sebagian di antara ulama berpendapat dan menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Inilah keragaman pendapat dalam Islam, yang masing-masing memiliki dasar dalam membuat fatwa.

Perbedaan pendapat itu dikarenakan pada rujukan nash yang bersifat umum yang menjadi patokan hukum atas persoalan rokok ini, yakni adanya larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur'an dan Hadis sebagai berikut:

Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)

Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain).” (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Berdasar dari dua nash di atas, seluruh ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak ?, dan bermanfaat ataukah tidak ?. Disinilah  muncul perbedaan pendapat dalam hal menafsirkan dan menginterpretasikan soal kemudharatan dan kemanfaatan dari rokok.

Perbedaan-perbedaan pendapat  serta argument dari ulama-ulama terkait rokok dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah mubah atau boleh berargumen karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Dan menilik bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
 
Dalil yang mendasari rokok mubah :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”

Kedua ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah makruh berargumen karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan (belum cukup alasan) untuk menyatakan dan menjadikan dasar hukum haram.
 
Dalil yang mendsarkan rokok makruh :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”
 
Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang menyatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’i “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah” kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Olehkarena itu, karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah. Jadi jika suatu persoalan yang belum ada dalil jelas dari Quran maupun hadis dihukumi mubah.

Namun hukum mubah bisa menjadi haram jika dengan merokok dapat menimbulkan atau memperparah penyakit bagi orang yang mempunyai penyakit yang berbahaya.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Mengingat bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Dalil yang mendasarkan rokok haram :
Firman Allah SWT :
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A'raf 7:15)

Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra 17:26-27)

Ayat lain yang sering diajukan dalil adalah QS An-Nisa' 4:29 dan Al-Baqarah 2:195.

Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, dll
Artinya: “Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.”

Artinya: “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)

 Alasan ulama yang mengharamkan rokok antara lain adalah sbb:
1. Mengganggu kesehatan
2. Pemborosan
3. Mengganggu kesehatan masyarakat
4. Mengganggu kesehatan lingkungan

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara umum bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut diatas berlaku secara individual, dengan pengertian setiap individu akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, sedhananya tiap hukum merokok dikembalkan pada dampak dan kondisi yang ditimbulkan akibat rokok.

Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) menjelaskan sebagai berikut:
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) berpendapat sebagai berikut:
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”

Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) berpendapat sebagai berikut:
“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”

Kesimpulan Pendapat Hukum

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka lmelihat kenyataan bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau kalaupu membawa mudarat relatif kecil. Dianalogikan, bahwa kemudaratan merokok tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. 

Kedua; ulama sekarang cenderung mengharamkan merokok karena lebih melihat pada informasi mengenai hasil penelitian medis yang menyatakan bahaya rokok (berdampak besar) bagi kesehatan, khusunya menmbukan penyakit dalam. Apabila model penelitian medis semacam ini kurang dicermati, jika kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Lalu, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.

Tapi bukankah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Lalu apakah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu terus dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya ?

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relative, dalam arti dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang dipastikan tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi hanya kadarnya kecil.

Keempat; jika merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Jika dalam kasus rokok dpat memberikan semangat bagi yang mengkonsumsinya, tentunya dalam kadar yang tidak berlebihan. Karena apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya.

Nah, itulah beberapa hukum terkait rokok, perbedaan pendapat danpandangan dalam menghukumi rokok sudah diuraikan, lalu mau mengikuti pendapat yang mana ? penulis hanya bisa mengajak pembaca untukdapat menakar sejauhmana dampak kemudharatan dan atau manfaatnya. Semoga bermanfaat.

Monday, 28 September 2015

Godaan Iblis (Kisah Teladan Untuk Anak)


Godaan Iblis
QS. A1-Baqarah : 36-39

Iblis terus menunggu waktu yang tepat untuk menggoda dan menyesatkan Nabi Adam. Iblis mengintai Nabi Adam dan Siti Hawa untuk mencari cara mencelakakan mereka. Ia menjelma menjadi sosok yang baik serta menggunakan cara dan kata-kata yang halus untuk mendapatkan kepercayaan Nabi Adam.

Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa tampak terpedaya, secara perlahan-lahan iblis merayu mereka untuk memakan buah dari pohon terlarang. Sudah tentu, Nabi Adam menolak bujukan iblis. Akan tetapi, iblis terus berusaha sampai tujuannya berhasil.

Iblis mengatakan kepada Nabi Adam bahwa Allah melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang karena bila mereka memakannya mereka akan menjelma menjadi malaikat yang hidup kekal. “Hai Adam, sesungguhnya bila kamu memakan buah dari pohon ini, hidupmu akan kekal di surga,” bujuk iblis.

Iblis terus-menerus mengulangi bujukannya sambil menunjuk buah yang tampak lezat dan ranum itu. Lama kelamaan, Nabi Adam dan Siti Hawa pun terbujuk. Mereka memetik dan mencicipi buah terlarang itu. Serta-merta, terbukalah aurat mereka. Karenanya, mereka menjadi malu dan menutupinya dengan dedaunan.

Setelah kejadian itu, datanglah firman Allah yang berbunyi, “Tidakkah Aku mencegah kalian untuk mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Dan tidakkah Aku telah mengingatkan kamu bahwa setan itu adalah musuhmu yang nyata.”

Mendengar firman itu, Nabi Adam dan Siti Hawa sadar bahwa mereka telah melakukan dosa besar dengan melanggar perintah Allah. Mereka menyesal dan berkata, “Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan telah melanggar perintah-Mu karena kami tergoda
rayuan iblis.

Ampunilah dosa kami karena kami akan tergolong dalam golongan orang-orang yang rugi apabila Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami. Nabi Adam dan Siti Hawa terus meminta ampun kepada Allah.

Mereka sangat menyesal karena terbujuk rayuan iblis yang menyesatkan. Mereka amat berharap Allah berkenan mengampuni mereka.

Nabi Adam Ditempatkan Di Surga (Kisah Teladan Untuk Anak)


Nabi Adam Ditempatkan Di Surga
Al-Baqarah : 35

Nabi Adam ditempatkan oleh Allah di surga yang sangat indah. Di surga, Allah menyediakan berbagai macam hidangan serta pepohonan yang berbuah lebat dan enak dimakan. Nabi Adam tinggal sendirian di sana.

Pada suatu waktu, saat Nabi Adam tertidur pulas, Allah menciptakan seorang perempuan bernama Siti Hawa. Siti Hawa diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi Adam sebagai istrinya.

Allah berpesan kepada Nabi Adam setelah ia terbangun, “Tinggallah engkau bersama istrimu di surga, nikmatilah buah-buahan yang lezat, cicipi dan makanlah sepuasmu. Kamu tidak akan lapar, dahaga, atau lelah selama berada di surga. Tetapi Aku ingatkan, janganlah engkau makan buah dan pohon ini (buah khuldi) yang akan menyebabkan kamu celaka dan termasuk orang-orang yang zalim. Ketahuilah bahwa iblis itu adalah musuhmu dan musuh istrimu. Iblis akan berupaya membujuk dan mengajakmu keluar dari surga sehingga tercabutlah kebahagiaan yang kamu nikmati ini.”

Sejak saat itu, Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal bersama di surga yang penuh dengan nikmat Allah. Mereka senantiasa berusaha untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Saturday, 26 September 2015

Beriman Bahwa Allah Itu Ada (Wujud)

Kita wajib percaya bahwa Allah itu ada (Wujuud). Wujuud artinya “Ada” maka mustahil “Tiada”.

Dalilnya : Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Boqarah:29)

Allah memang gaib, yaitu tidak tampak oleh penglihatan makhluk, tetapi Allah itu ada. Keberadaan-Nya dapat kita rasakan dengan melihat segala sesuatu yang terjadi di alam ini. Jika kita melihat planet-planet yang bergerak mengelilingi matahari secara teratur, tidak mungkin planet-planet itu bergerak dengan sendirinya. Ia bisa bergerak dengan teratur karena memang ada yang menggerakkannya. Meski kita tidak melihat yang menggerakkannya, namun kita yakin ada kekuatan besar yang menggerakkannya. Manusia tidak mungkin menggerakkannya. Lalu siapa lagi yang bisa menggerakkannya kalau bukan Allah yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, meskipun kita tidak dapat melihat Allah, tetapi kita bisa merasakan Allah itu ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti mebutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yatu Allah Robb semesta alam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur: 35)

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan diriinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendini)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Robbmu atau merekakah yang berkuasa” (Ath Thuur: 35-37)

Ia, yang tatkala itu masih musynik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari)

Kalimat Tayyibah

Kalimat thayyibah merupakan kalimat atau ucapan yang kita ucapkan ketika kita mendengar atau mengalami kejadian menyenangkan, musibah ataupun kesulitan. Sehingga kita terbiasa mengucapkan kalimat thayyibah dalam keadaan apapun.

Dalam Al-Quran surat Ibrahim Allah memberikan perumpamaan tentang kalimat thayyibah dengan perumpamaan sebuah pohon “Tidakkah kamu memahami bahwa Allah telah menggelar perumpamaan “Kalimat Thayyibah” itu seperti “Syajarah Thayyibah”. Akarnya kokoh dan puncaknya di langit. Ia memberikan manfaatnya setiap saat, dan Allah menggelar perumpamaan itu bagi manusia, agar mereka mengambil pelajaran”.

Firman Allah SWT :
Artinya : “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu inqat. (QS. Ibrahim 14 : 25).

Kalimat thayyibah mengandung arti kalimat-kalimat yang baik yang berisi tentang ungkapan zikir kepada Allah. Karakteristik kalimat thoyyibah sebagaimana dalam surat Ibrahim di atas mengandung tiga unsur pokok yaitu: Pokok (akar)nya terhunjam kokoh di bumi, Puncaknya di langit, mendatangkan manfaat setiap saat, sepanjang waktu. “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dari rasa takut, dan dengan tidak meninggikan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Firman Allah SWT :
Artinya : “Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dari rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. 7:205 )

Kalimat Ta’awudz


Kalimat thayyibah salah satunya adalah ta’awudz. Kalimat ta’awudz adalah kalimat untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari godaan dan rayuan setan untuk melakukan hal yang dilarang Allah.

Lafaz kalimat ta’awudz adalah sebagai berikut:

Audzu billahi minasyyaitoni rojim” yang artinya “Aku benlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk

Ta’awudz biasa dibaca ketika kita sedang merasa ketakutan. Karena syaitan selalu menggoda manusia, sehingga kita diperintahkan untuk selalu memohon perlindungan Allah dari godaan syaitan.

Tujuan mengucapkan kalimat ta’awuz adalah untuk menghindarkani diri dari godaan setan dari setiap amal perbuatan yang dilakukan. Untuk itu mengapa kita harus meminta pertolongan Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk.

Untuk itu kita harus selalu memohon pertolongan dan perlindungan Allah SWT. Melafazkan kalimat taawudz ini agar kita selamat dari rasa ketakutan tersebut.

Apakah kamu masih ingat kisah Nabi Adam AS yang dikeluarkan dari surga oleh Allah SWT? Allah SWT mengeluarkan Nabi Adam AS dan Hawa karena mereka melanggar larangan Allah SWT.

Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36)

Allah SWT melarang mereka memakan buah khuldi. Tetapi karena godaan setan begitu kuat, keimanan mereka goyah. Mereka berdua memakan buah itu. Akibatnya Allah SWT menurunkan mereka dari surga ke bumi dalam keadaan terpisah satu sama lain. ltulah akibat dari godaan setan yang tenkutuk.

Setan mulai mengganggu manusia sejak Allah SWT mengusirnya dari surga. Allah SWT mengusir setan dari surga karena setan menolak untuk menyembah Nabi Adam AS. Dengan kesombongannya, setan merasa bahwa ia lebih mulia dari Adam. Setan sakit hati karena Allah SWT mengusirnya dari surga. Kanena itulah ia meminta kepada Allah SWT agar umurnya diperpanjang sampai hari kiamat nanti. Setan bersumpah akan menggoda Adam dan keturunannya. Karena itulah, kita harus senantia memohon perlindungan Allah SWT dari godaan setan.

Kalimat Ta awudz biasa kita lakukan ketika kita memulai membaca Al-Qur’an. Oleh karena itulah, kita senantiasa memohon perlindunagn Allah SWT dari godaan setan.

Firman Allah SWT :
Artinya : “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. An-Nahl : 98)

Waktu tepat untuk membaca Ta’awudz yaitu :
  1. Ketika mulai membaca Al-Qur’an, setiap hari kita membaca Al Qur’an, maka terlebih dahulu kita membaca ta’awudz.
  2. Sebelum mendirikan salat. Shalat adalah rukun islam yang wajib, kita selalu memulai melakukan shalat dengan membaca ta’awudz.
  3. Ketika melewati tempat-tempat yang menyeramkan, misalnya hutan, gua, atau kuburan.
  4. Ketika melakukan kegiatan lain. Selain ketika beribadah, kita dianjurkan memohon perlindungan kepada Alllah SWT dan godaan setan. Agar semua kegiatan yang kita lakukan tidak keluar dari aturan agama Islam.

Wednesday, 23 September 2015

Cara Menyembelih Dan Memotong Hewan

Tanya : Saya menyembelih dengan membaca basmalah, shalawat, dan tasyahud. Apakah cara ini sudah benar?

Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.

Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.

Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.

Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin. 

Penyembelihan hanya diperuntukkan bagi hewan-hewan yang halal. Penyembelihan hewan yang diharamkan seperti anjing atau babi tidak dapat membuatnya halal.

Penyembelihan tidak sekadar bertujuan membunuh binatang. Meski setiap sembelihan secara syar’i berakhir dengan kematian, ada aturan-aturan yang harus dipenuhi yang menyangkut siapa, dengan apa, dan bagaimana penyembelihan dilakukan.

Penyembelihan dilakukan oleh orang Islam dengan semua benda tajam yang bisa mengalirkan darah selain kuku dan gig.

Artinya: “Suatu benda (yang dipergunakan untuk menyembelih) yang dapat menumpahkan darah dan menyebut nama Allah (ketika menyembelih), maka makanlah kamu (hewan sembelihan itu). Tidak gigi dan kuku. Adapun gigi itu sejenis tulang dan kuku itu pemotong orang Habsyi (kafir).” (Muttafaq alaih)

Mengenai caranya, terdapat perbedaan di kalangan utama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) organ leher yang perlu diperhatikan, yaitu mari (jalan makanan dan minuman), khulqum (jalan nafas), dan wadajain (jiwa otot yang mengapit marl dan khulqum).

Imam Malik berpendapat khulqum dan wadajain harus dipotong. Imam Syafi’i berpendapat, yang harus dipotong adalah khulqum dan mari, sedangkan wadajain hanya sunah belaka. Berbeda pula pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau yang dipotong adalah khulqum, mari, dan salah satu wadajain.

Berdasarkan kaidah al khuruj min al-khilaf, mustahab, yang terbaik adalah memotong semuanya, ‘khulqum, mari, dan wadajain. Sengaja ketiga organ itu yang dipilih, karena dapat mempercepat kematian sehingga penderitaan hewan saat disembelih tidak terlalu lama dan lebih mempermudah keluarnya darah dari tubuhnya. Dan dalam kaitan ini Rasulullah memerintahkan agar pisau yang digunakan diasah terlebih dahulu. Demikian halnya dengan pembacaan basmalah, wajib menurut Abu Hanifah kecuali lupa. Sementara Imam Syafi’i cenderung menganggapnya sunah (Mizan Al-Kubra).

Dalam surat Al-An’am ayat 118, Allah berfirman:
Artinya: “Maka makanlah olehmu (hewan) yang disembelih dengan nama Allah.” (QS. A1-An’am: 118)

Lalu dilanjutkan pada ayat 121:

Artinya: “Dan janganlah kamu makan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, sungguh yang demikian itu adalah fasik. “(QS. A1-An’am: 121)

Kedua ayat tersebut diperkuat hadis dan sahabat Adiy Ibn Hatim yang mengatakan Rasulullah pernah bersabda:

Artinya: “Kalau kamu melepaskan anjing buruanmu maka sebutlah nama Allah.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadis itu cukup panjang dan masih ada terusannya, dan bisa kita dapatkan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram yang banyak dipakai oleh madrasah-madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah. (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Dalam kedua ayat dan hadis tersebut ada perintah menyebut nama Allah ketika menyembelih dan melepaskan anjing buruan kita. Perbedaan pendapat bermula dari tiadanya kesepakatan dalam menilai, apakah perintah tersebut wajib (li al-lbahah jam’u al-jawami’). Di samping itu perbedaan dapat pula timbul dari penafsirannya yang berbeda terhadap ayat di atas. (Tafsir Ash-Shawi).

Dalam Madzhab Syafi’i, selain membaca basmalah juga dianjurkan membaca shalawat. Adapun mengucapkan tasyahud dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i, sepengetahuan penulis tidak ada keterangan yang menganjurkan.

Dengan demikian, menyembelih dengan membaca basmalah dan shalawat asal memenuhi syarat-syarat di atas -dengan memotong khulqum dan mari, menurut Madzhab Syafi’i- sudah benar. Tasyahud tidak perlu diucapkan. Kalau diucapkan tidak berpengaruh pada keluhan hewan yang kita sembelih.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bolehkah Patungan Membeli Hewan Qurban ?

Tanya : Seperti kita maklumi bersama, harga seekor sapi jutaan rupiah. Apalagi yang besar dan gemuk. Karena itu, saya mempunyai gagasan membeli sapi bersama-sama dengan orang lain secara patungan. Pertanyaan saya, apakah hal itu dperbolehkan?  (Muntafi’un, Demak)

Jawab : Bulan Dzulhijjah termasuk bulan istimewa. Paling tidak terdapat dua alasan. Pertama, pada bulan itu terdapat Idu Adha. Kedua, di dalamnya pula ibadah haji, rukun Islam kelima ditunaikan. Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulluijjah, tidak dapat dilepaskan dari ibadah Qurban, yakni penyembelihan hewan dalam rangka beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Istilah qurban diambil dan bahasa Arab al-qurban, yang secara harfiah mempunyai arti “dekat”. Sebab dengan penyembelihan hewan qurban, seseorang berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Perintah berqurban dijumpai dalam A1-Qur’an, surat Al-Kautsar, ayat 2, yang berbunyi, “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Di samping itu, banyak hadis yang menjelaskan berbagai aspek tentang qurban. Berkurban hukumnya sunat muakkad. Sehingga sangat dianjurkan orang-orang yang secara ekonomi mampu membeli hewan kurban (Madzahib Al-Arba’ah, I, h. 717). Qurban merupakan salah satu mibadah sosial (al-’ibadahal-ijtima’iyah), yang manfaatnya tidak terbatas pada pelakunya. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Di sinilah letak nilai lebih ibadah qurban dibandingkan dengan ibadah lain yang bersifat individual (al-’ibadah asy-syakhshiyah).

Tidak semua hewan dapat dijadikan qurban. Pertama-tama, hewan tersebut halal dimakan. Hewan yang halal banyak jenisnya Tetapi yang sah untuk berqurban menurut para ulama, terbas pada tiga jenis, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing.

Itu pun masih ditamhah persyaratan mencapai umur minimal. Unta paling tidak harus berumur lima tahun. Sapi/kerbau berumur dua tahun. Kambing domba (adh dha‘n) telah berumur satu tahun. Kambing kacang (al-ma’z) paling tidak sudah genap berumur dua tahun. (Al-Madzahib Al-Arba’ah, I,h.71)

Selain itu, hewan qurban harus bebas dari cacat/penyakit yang dapat mengurangi daging. Tidak cukup berqurban dengan hewan yang buta, pincang, sangat kurus, sakit, dan lain-lain.

Ketentuan ini sepenuhnya bisa dimaklumi. Hewan yang sakit, di samping dagingnya kadangkala berbahaya bagi kesehatan, pada umumnya badannya kurus karena tidak tumbuh secara normal. Begitu juga hewan yang pincang dan buta.

Sedangkan hewan yang terlalu kurus, dagingnya sedikit. Padahal qurban dimaksudkan oleh Allah sebagai suguhan (dhiyafah) kepada hamba-hamba-Nya. (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 719).

Dan ketiga jenis di atas, unta yang paling utama. Disusul sapii kerbau dan kambing. Tetapi tujuh ekor kambing untuk satu orang masih lebih baik daripada seekor unta. Urutan ini berdasarkan jumlah daging yang dimiliki.

Unta lebih besar daripada sapi. Sapi lebih besar daripada kambing. Dengan pertimbangan yang sama, hewan yang gemuk lebih diutamakan danpada yang kurang gemuk. (Majmu’. VIII, h. 395)

Skala prioritas tersebut sejalan dengan salah satu kaidah fiqh yang berbunyi “al-muta’addiy afdhal min al-qashir” (ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada ibadah yang dirasakan oleh sedikit atau satu orang). Hewan yang lebih besar atau gemuk, dagingnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Manusia dalam masalah rezeki tentu saja berbeda-beda. Mengingat harga sapi relatif lebih mahal dan tidak terjangkau bagi kalangan tertentu, terlontar ide untuk membelinya secara patungan (al-isytirak) dengan orang lain. Menurut kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, tindakan ini diperbolehkan asalkan pesertanya tidak melebihi tujuh orang (Al-Majmu’, VIII, h. 398, Madzahib I, h. 721, Mausu’ah Al-Ijma I, h. 107)

Dalam satu hadis dari sahabat Jabir Ibnu Abdillah, beliau berkata: “Kami menyembelih bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang”. (Subul As-Salam, IV, h. 95). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Seekor unta untuk mencukupi tujuh orang dan seekor sapi mencukupi tujuh orang”.(Mausuah Al-Fiqh A-Islàmi; XIII, h. 330). Imam Al-Baihaqi, Sahabat Ali, Hudzaifah, Abi Mas’ud Al-Anshari, dan Aisyah juga berpendapat bahwa seekor sapi cukup untuk tujuh orang. (Majmu’, VIII, h. 399)

Dengan demikian, dapat saja tujuh orang sepakat membeli seekor sapi untuk keperluan qurban dan harganya ditanggung bersama, setiap orang membayar sepertujuh dari harga. Bahkan menurut madzhab Syafi’i, ketujuh orang terebut tidak disyaratkan berniat melakuakan qurban semua.

Jadi tidak tertutup kemungkinan, tiga dari mereka ikut patungan membeli sapi untuk keperluan konsumsi bukan berqurban.(baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Sehingga setelah disembelih, ketiganya mengambil bagian masing-masing, baru sisanya yang menjadi bagian empat orang menjadi daging qurban sesuai dengan niatnya semula.

Meskipun tujuh orang berqurban dengan seekor unta atau sapi secara patungan diperkenankan, para ulama berpendapat, satu orang berqurban seekor kambing lebih utama. (Majmu VIII, h. 395)

Kalau seekor sapi sudah mencukupi buat qurban tujuh orang, seekor kambing hanya untuk satu orang. Maka tidak boleh dua orang secara patungan membeli seekor kambing untuk berqurban bersama-sama. Sebab, tidak terdapat dalil yang memperbolehkan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita