Sepulang menunaikan ibadah haji, Rasulullah kembali mengirimkan para utusannya untuk menyampaikan surat kepada kepala-kepala suku Arab. Ia mengirim utusan yang berjumlah 50 orang kepada Bani Sulaiman untuk mendakwahkan Islam, tetapi sebagian besar dari utusan Rasulullah saw. itu dibunuh. Demikian halnya dengan 15 orang utusan yang telah dikirim ke Dhat Atla di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam.
Kedatangan utusan tersebut dijawab dengan panah. Hampir seluruh utusan terbunuh, kecuali satu orang, yaitu pimpinan utusan Rasulullah yang berhasil melarikan diri. Dialah yang menceritakan nasib mereka.
Peristiwa serupa juga dilakukan oleh Syahbil bin Amr, seorang kepala negara Kristen dan Bashrah. Ia membunuh Harits bin Amr, seorang utusan Nabi yang membawa surat ke sana. Mendengar hal itu, Nabi Muhammad sangat terluka perasaannya. Beliau hermaksud menginim pasukan untuk membalas perbuatan mereka.
Pada bulan Jumadil-Awal tahun ke-8 Hijriah, bertepatan dengan tahun 629 M, Nabi memanggil 3.000 orang pilihan yang terdiri dari para sahabat dan menunjuk Zaid bin Haritsah, mantan budaknya sebagai pemimpin pasukan. Pengangkatan ini membuktikan bahwa Nabi tidak membedakan derajat di antara umatnya.
Setelah selesai mengadakan pembentukan pasukan tentara tersebut, Nabi mengatakan “Apabila Zaid gugur, maka Ja’far bin Abu Thalib yang memegang kepernimpinan pasukan, dan apabila Ja’far gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang memegang kepemimpmnan pasukan.”
Sewaktu pasukan tentara ini berangkat, Khalid bin Walid yang ketika itu baru masuk Islam secara sukarela ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang, ia ingin memperlihatkan iktikad baiknya sebagai muslim. Pada saat itu, Nabi juga turut mengantarkan mereka sampai ke Saniyatul Wada’.
Setelah beberapa hari mereka melakukan perjalanan, akhirnya sampailah mereka ke suatu tempat yang bernama Ma’ab. Dua malam mereka berada di tempat itu. Di sana mereka, memikirkan tindakan yang harus mereka lakukan, menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya begitu besar.
Sementara itu, Syurahbil sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya ditambah dengan pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab. Mereka seluruhnya berjumlah 100 ribu orang.
Tentara muslim mulai bergerak maju, ketika sampai diperbatasan balqa’, disebuah desa bernama musyarif, mereka bertemu dengan pasukan musuh dan segera menghindar ke Mu’tah. Di Mut’ah inilah pertempuran sengit antara 100 ribu tentara musuh dengan 3.000 tentara muslim mulai berkobar.
Bendera Nabi dibawah oleh Zaid bin Haritsah dan dia terus maju ke tcngah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya takkan dapat dielakkan. Tetapi, mati di sini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Di sinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya gugur oleh tombak musuh.
Saat itu juga, bendera disambut oleh Ja’far bin Abu Thalib dari tangannya. Ketika itu, usianya baru tiga puluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani.
Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Ketika kudanya dikepung musuh, kuda itu dihentakkan dan dilepaskannya untuk menerobos kepungan musuh, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang bisa ditebas.
Bendera dipegang dengan tangan kanan Ja’far. Ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya, dan saat tangan kirinya terputus, dipeluknya hendera itu dengan kedua pangkal lengannya hingga ia syahid.
Setelah Ja’far gugur hendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Dia maju dengan kudanya membawa panji perang. Sementara itu, terpikir olehnya untuk mundur. Ia masih ragu-ragu. Akan tetapi, timbullah kemantangan dalam hatinya; diambilnya pedang dan dia maju bertempur hingga ia pun syahid.
Akhirnya, Khalid bin Walid tampil mengambil alih komando. Diambilnya hendera itu, setelah dilihatnya barisan muslim mulai tercerai-berai. Mulailah ia memberi komando dan memerintahkan pasukan untuk menarik diri kembali ke Madinah setelah berhasil mengelabuhi pihak musuh.
Dengan demikian, terhindarlah tentara Islam dari bencana yang hampir menimpanya. Peperangan Mu’tah ini menyadarkan kaum muslimin bahwa di antara mereka masih ada musuh yang tidak boleh diabaikan. Peperangan ini merupakari mata rantai pertama dalam rangkaian perluasan Islam keluar jazirah Arab. Peperangan Mu’tah ini terjadi tahun ke-7 H.
Biografi Nabi Muhammad selanjutnya bisa dibaca pada postingan berikutnya yang berjudul : Penaklukan Kota Mekah (Biografi Lengkap Rasulullah SAW)
0 komentar:
Post a Comment