Tanya : Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang terjadi seorang anak perempuan dipaksa menikah oleh bapaknya. Karena merasa tidak cocok, semisal ingin melanjutkan pendidikannya, dia pun menolak. Kalaupun menerima, tidak sepenuh hati. Bagaimana hukum kawin paksa itu?
Jawab : Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajat atau syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan.
Jawab : Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajat atau syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan.
Sudah pasti pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan yang sering kita istilahkan dengan penuh ma waddah, mahabbah, dan rahmah. Karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat menjadi nyata.
Kiranya disepakati, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena akan sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang diidealkan.
Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih jodoh ternyata seseorang tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sehagai pihak yang menjadi perantara kehadirannya di dunia.
Di samping alasan moral tersebut, orang tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka.
Keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang kita tahu memang tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan.
Perbedaan tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dalam membuat kriteria calon yang diinginkan, yang kalau tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menunjukkan diri ke dalam dunia hitam yang justru merugikan diri sendiri. Hal ini adalah suatu kenyataan yang sangat kita sesalkan.
Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli fikih) dalam masalah tersebut? ini merupakan permasalahan yang layak untuk dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam sikap ifrath.
Dalam Madzhab Syafi’i, sebagaimana termaktub pada litreratur-literatur fikihnya, ternyata diakui adanya wali mujbir -bapak atau kakek- yang memiliki hak memaksa anak perempuannya yang masih perawan. Hak ijbar tidak berlaku untuk perempuan bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki tanpa persetujuannya.
Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya. Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi fitrahya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bila berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru.
Namun sangatlah berbahaya, bila masalah hukum hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karenanya hak ijbar (memaksa) tersebut hanya bisa diberlakukan, jika telah memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan kaya dalam arti mampu memenuhi kewajiban-kewajibanfnya sebagai suami dan mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut tidak dipenuhi, pernikahannya tidak sah.
Selain itu, ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi, maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak kurang dari mahar mitsil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan di daerahnya serta diserahkan secara kontan. Ketentuan itu secara lengkap dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-A rba‘ah.
Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arahnya al-kufu ialah sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan, profesi dan agama). Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral. Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara dengan yang berprofesi kurang terhormat.
Kesetaraan itu seperti disinggung dalam kitab Fath Al-Mu‘in merupakan hak anak dan orang tua. Si anak herhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau melakukan al-adhul.
Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut, menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab Al-Bujairami ‘ala Al-Iqna hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap dihindari. Sebaliknya dianjurkan (sunah) meminta izin dan persetujuan si anak. Hak ijbar juga dijumpai dalam Madzhab Maliki dan Hanbali.
Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar terhadap anak perempuan yang telah baligh secara mutlak, baik perawan maupun janda. Mereka adalah pendukung Madzhab Hanbali. Pendapat itu sangatlah beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur faradhi (kerelaan, lawan dan ikrah, paksaan) menjadi Syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunah -bahkan Iebih baik- juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat itu diperkuat asumsi, adalah hak setiap manusia menentukan nasib sendiri.
Di samping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual (naqly) berupa hadis riwayat Imam Abu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa Al-Haram Ii Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw. mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan anak laki-laki saudaranya(keponakan) yang tidak disukainya. Akhirnya Rasulullah menyerahkan urusan perkawinan kepadanya. Dalam arti, dia diberi hak membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya memperbolehkan tindakan bapakku, cuma saya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya mereka tidak berhak memaksa.”
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang mungkin mendorong Tim Perumus Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi pedoman para hakim di pengadilan-pengadilan agama di Indonesia, pada bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, pasal 16, bagan dan buku 1 tentang Hukum Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Ketentuan itu selanjutnya diperjelas lagi dengan Pasal 17 sebagai konsekuensinya yang berbunyi, “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.”
Dan uraian itu dapatlah diranik satu kesimpulan, persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi pengamatan ajaran Rasulullah Saw., juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al khilafmustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunah.
Satu dari lain hal yang perlu mendapat perhatian, manusia tidak terdiri atas jisim semata. Dia juga memiliki jiwa dan perasaan sehingga kebahagiaannya pun hanya akan sempurna, jika kebutuhan keduanya terpenuhi dengan cukup dan seimbang. Kedua aspek itu saling mempengaruhi, dan oleh karenanya dalam setiap pengambilan keputusan apa jenisnya mesti dipertimbangka. Tidak terkecuali dalam hal ini masalah perkawinan.
0 komentar:
Post a Comment