Saturday, 27 August 2016

Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam

Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam, Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam, hukum aborsi, aborsi menurut islam, kacamata islam tentang aborsi, islam memandang aborsi, hukum aborsi menurut islam.
Tanya : Dalam kehidupan suami-istri, kami menginginkan tidak terlalu banyak memiiki anak sampai berusaha agar hubungan kami tidak sampai menjadi anak dengan jalan mengggugurkan kandungan saya. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap pengguguran kandungan (aborsi)? (Shoirurotun Hasanah, Sidoarjo) 

Jawab : Dalam literatur-literatur fiqih, pengguguran kandungan itu diistilahkan dengan i’ihadh yaitu isti’malu ad-dawa bi-qashdi al-isqath menggunakan obat dengan maksud menggugurkan kandungan. (Nthayah A1-Muntaj VIII, 416) 

Berdasarkan kenyataan, bakal manusia (janin) yang ada dalam kandungan seorang perempuan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi bahwa 40 (empat puluh) hari pertama bakal manusia masih berupa nuthfah atau sperma. 40 (empat puluh) hari kemudian menjadi ‘ala qah atau gumpalan darah dan 40 (empat puluh) hari lagi menjadi mudghah atau segumpal daging. Baru kemudian dalam masa tiga kali empat puluh (3 x 40) hari itu Allah meniupkan ruh pada bakal manusia. Dengan demikian, mulai saat itulah kandungan memiliki aktivitas kehidupan. 

Boleh tidaknya pengguguran kandungan didasarkan pada pandangan sudah hidup atau belumkah kandungan itu dan seberapa tinggi penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri. 

Menurut ulama-ulama Hanafiyah, pengguguran kandungan setelah tiga kali empat puluh (3 x 40) hari atau 120 hari yang berarti sudah ditiupkan ruh, adalah haram. Di sini mereka memandang bahwa manusia mulai memiliki ruh atau kehidupan setelah 120 hari berada dalam kandungan ibunya. Oleh karenanya menggugurkan adalah haram karena sama dengan membunuh.

Adapun sebelum masa ilu, maka hukumnya boleh bahkan sekalipun tanpa seizin suaminya. Namun demikian seorang ulama Hanafiyah berpendapat makruh karena sesuatu yang ada dalam rahim memiliki hukum hidup seperti halnya telur hewan buruan tanah haram Makkah dan Madinah. (Fath Al Qadir. II, 495). 

Sementara dalam kajian-kajian fikih Hanabilah, pengguguran kandungan boleh dilakukan sebelum usianya mencapai 40 (empat puluh) hari (masih berupa sperma). Sedangkan setelah lebih dari batas itu tindakan pengguguran adalah dosa dan akan dikenakan kafarah atau pengganti. (Mukhtashar Al-Mughni II, 316). 

Demikian juga pendapat ulama-ulama Syafi’iyah yang menyatakan tidak dikenakan hukum apapun dalam pengguguran kandungan yang belum mencapai 40 (empat puluh) hari, meskipun ada juga sebagian ulama yang mengharamkan. Artinya tidak dibenarkan merusak atau mengeluarkan kandungan sesudah berada dalam rahim. (Nihayah A1-Muhtaj VIII, 416).

Dan dua madzhab ini (Syafi’iyah dan Hanafiyah) dapat kita tangkap bahwa sperma itu setelah berada dalam rahim belum hidup dan baru dapat dilihat tanda-tanda kehidupannya setelah lebih dari 40 (empat puluh) hari yang kemudian berubah menjadi ‘alaqah dan mudghah. Oleh karena itu pengguguran hukumnya boleh dilakukan ketika kandungan masih berupa sperma (sebelum 40 hari) itu pun masih ada yang mengatakan makruh. 

Sedangakan menurut Malikiyah, tidak dibenarkan sama sekali (haram) mengeluarkan sperma yang sudah berada dalam rahim meskipun belum mencapai 40 (empat puluh) hari. (Hasyiah Dasuqy. II, 266). Nampak sekali dalam pendapat ini nuansa kehati-hatiannya sehingga terbebas dari khilafan tindakan makruh sekalipun.

Dan semua pendapat di atas dapat disarikan bahwa boleh menggugurkan kandungan selagi masih berupa sperma (kurang dan 40 hari). Boleh juga menggugurkannya sebelum mencapai 120 hari tetapi ini akan berisiko tinggi bagi sang ibu karena kandungan sudah berujud gumpalan darah atau daging. Dan yang terakhir tidak boleh sama sekali.

Sumber : disadur dari buku "Dialog Dengan Kiyai Sahlan"

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita