Monday, 5 October 2015

Apa Hukum Petasan Menurut Fikih Islam ?

Tanya : Apa hukumnya petasan? Soalnya ada yang bilang, itu untuk syiar atau memeriahkan bulan Ramadhan. Tapi bagi yang lain, petasan dianggap membahayakan.

Jawab : Petasan atau mercon adalah tradisi khas yang kita peroleh dari zaman dulu. Sebagai tradisi lokal, tidak ada dasar hukum langsung yang menyangkut benda ini dan kitab-kitab salaf, apalagi Al-Quran dan hadis. Yang bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini adalah menggali kesesuaiannya dengan semangat dari ajaran Islam.

Mencari relevansi petasan dengan ajaran Islam sungguh tidak mudah, jika tidak bisa dianggap mustahil. Yang segera ketemu adalah bahwa dalam petasan terdapat unsur tabdzir (menghamburkan harta) dan dharar (bahaya) yang dalam semangat Islam keduanya adalah hal yang dihindari.

Tabdzir dilarang melalui ayat yang cukup populer sebagai benikut:
Artinya: “Jangan menghamburkan harta. Sungguh, para penghambur harta adalah saudara para setan, sedangkan setan sangat ingkar pada Tuhannya. “ (QS. Al-Isra’: 26-27)

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir mengutip Qatadah untuk mendefinisikan tabdzir sebagai “an-nafaqah fi ma‘shiyyah Allah ta’ala, wa fi ghair al-haq wa al-fasad’ (menggunakan harta untuk maksiat, sesuatu yang tidak benar, dan kerusakan). Dalam bahasa kita, definisi itu kurang lebih berarti pemborosan atau belanja yang tidak perlu dan tidak bergua, dengan tekanan untuk mengkorelasikannya dengan semangat dan nilai keagamaan. Adalah kesepakatan umum bahwa petasan termasuk dalam definisi ini, karena tidak ada manfaat rasional maupun keagamaan yang dapat kita petik dari petasan.

Dalam hal dharar, cukup dikemukakan berbagai kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan petasan. Hampir bisa dipastikan, pada masyarakat yang mengenal budaya petasan bisa didapatkan kisah korban petasan, baik berupa korban harta (terkadang dalam jumlah yang sangat besar) maupun korban manusia (dari sekedar luka bakar, cacat permanen, hingga korban jiwa).

Setidaknya dan dua sisi ini, petasan memiliki potensi kontradiktif dengan maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan diberlakukannya syariat) yang antara lain adalah hifzh an-nafs (menjaga keselamatan jiwa) dan hifzh al-mal (menjaga nilai harta benda). Dua potensi kontradiksi ini cukup untuk menggolongkan petasan sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan agama.

Bahwa petasan memiliki nilai syiar Ramadhan, barangkali benar untuk kurun waktu tertentu, tepatnya di masa lalu. Sekarang, masyarakat umumnya tidak lagi menilai petasan sebagai syiar, tetapi sebagai gangguan khas Ramadhan. Lagi pula syiar Ramadhan pada saat ini telah menjadi kepentingan banyak fthak, sehingga setiap kali Ramadhan tiba kita akan menemui “lomba” syiar Ramadhan dalam bentuk yang sangat beragam, dan dengan demikian petasan telah kehilangan urgensinya sebagai media syiar.

Bahkan jika seandainya petasan sebagai sarana syiar Ramadhan dapat dianggap benar, maka potensi dan kasus-kasus kerusakan yang telah ditimbulkannya selama ini akan memaksa kita untuk meninjau kembali apakah fungsi syiar itu tidak justru menjadi bumerang bagi nilai Rarnadhan di mata masyarakat luas, mengingat di balik suka cita menyambut Ramadhan terselip pula kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan oleh permainan petasan.

Jika terhadap tadarrus Al-Quran (yang jelas-jelas bernilai ibadah tinggi dan dianjurkan sebagai media syiar Ramadhan) berlaku catatan untuk tidak mengganggu ketenangan orang lain, apalagi terhadap sesuatu yang potensi kerusakannya jelas sedangkan manfaatnya masih dipertanyakan.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita