Thursday, 8 October 2015

Apa Hukum Membaca Al-Quran Tengah Malam ?

Tanya : Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami atau juga di mayoritas tempat di tanah air menggunakan bulan Ramadhan sebagai bulan kesempatan beramal. Intensitas beramal semakin padat bahkan hingga malam hari. Yang kami tanyakan, apakah mèmbaca Al-Quran tengah malam dengan menggunakan pengeras suara (soud speaker) diperbolehkan oleh agama?

Jawab : Bulan puasa adalah bulan ibadah dan pahala segala macam ibadah dilipatgandakan oleh Allah. Dalam jangka pendek, bulan puasa diharapkan mampu mencetak pribadi muslim yang bertakwa. Perhatikan arti ayat berkut ini:
Artinya: ‘Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. “(QS. A1-Baqarah: 183)

Dalam jangka panjang, bulan Ramadhan ini merupakan momentum untuk melakukan investasi ukhrawi dengan beribadah sebanyak, sesering, dan sebagus mungkin.

Salah satu ibadah utama adalah membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran meskipun tidak disertai pemahama makna, tetap bernilai ibadah yang menjanjikan pahalai meskipun tentu akan sangat lebih baik jika setiap pembacaan dibarengi pemahaman arti dan pesannya, lalu dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, semangat tadarrus Al-Quran pada bulan Ramadhan patut disambut baik, bukan saja karena membaca Al-Quran adalah ibadah utama, tetapi juga karena adanya anjuran untuk menyemarakkan Ramadhan, antara lain dengan bacaan Al-Quran itu. Bahwa dalam pelaksanaannya terdapat potensi “gangguan” terhadap lingkungan (Al-Quran dibaca sampai lewat tengah malam dengan pengeras suara), penting pula untuk mendapatkan perhatian, agar sebuah niat baik tidak justru hadir sebagai gangguan bagi orang lain yang, misalnya, menghendaki istirahat yang layak setelah seharian bekerja.

Pertanyaan ini sudah mengemuka sejak dulu: manakah yang lebih utama, membaca Al-Quran dengan suara keras ataukah pelan saja?

Imam Nawawi menyatakan dalam At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, ada banyak hadis yang dapat dijadikan dalil keutamaan membaca dengan keras, banyak pula yang menganjurkan sebaliknya. Jenis pertama di antaranya adalah:
Artinya: “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu.“ (Riwayat Abu Dawud, Nasai, dan lain-lain)

Sayyidina Ali lbn Abi Thalib ketika mendengar gemuruh suara orang-orang membaca Al-Quran di masjid berkomentar : “Alangkah beruntungnya mereka. Mereka adalah orang yang paling dikasihi Rasulullah.”
Sementara dari jenis kedua kita dapatkan hadis berikut.
Artinya: “Orang yang membaca Al-Quran keras-keras itu seperti orang yang bersedekah secara terang-terangan. Dan orang yang membaca pelan-pelan itu seperti orang yang bersedekah sembunyi-sembunyi.” (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Nasai)

Padahal umum dimaklumi, sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih diutamakan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam suràt Al-Baqarah: 271 scbagai berikut :
Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekah (mu,), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya, dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)

Bagaimana memaknai dan memahami perbedaan yang terdapat pada kedua jenis teks sumber hukum di atas, mengingat tingkat validitas keduanya dapat dianggap sama?

Imam Ghazali mengkompromikan perbedaan itu dengan melakukan pemilahan: (1) Mereka yang khawatir terjatuh dalam sikap riya (beribadah untuk pamer) lebih baik membaca dengan pelan-pelan, karena bacaan yang pelan akan lebih mengamankan pembacanya dari tendensi niya (2) mereka yang tidak khawatir nya lebih baik membaca dengan suara keras, karena dengan bacaan yang keras, orang lain bisa ikut mendengarkan. Jadi, manfaatnya lebih luas. Menurut kaidah fikih, ibadah yang bermanfaat luas lebih utama daripada yang terbatas (al-muta’addi afdhal min al-qashir).

Tetapi di samping nilai ibadah itu sendiri, patut dipertimbangkan pula faktor-faktor lain yang terkait dengannya, misalnya hak masyarakat untuk memperoleh ketenangan. Inilah yang dimaksud Ali Ibn Muhammad dalam Fath Al-Karim Al-Mannan ketika menyatakan bahwa bacaan yang pelan lebih utama, jika bacaan keras mengganggu orang lain yang tengah melakukan shalat atau “sekedar” tidur.

Dalam setiap tindakan kita, selalu ada tuntutan untuk bersikap bijak, yaitu melakukan sesuatu yang baik, pada waktu yang baik dan dengan cara yang baik pula. Termasuk dalam hal ini adalah beribadah. Karena Islam hadir sebagai rahmat, maka ibadah (sebagai pengejawantahan formalnya) tentu harus menjadi rahmat pula.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita