Tanya: Di pesawat terbang, kami dianjurkan bertayamum dengan debu yang (mungkin) melekat di sandaran kursi depan tempat duduk kita. Lalu kami diajak shalat berjamaah dengan imam yang hanya kami dengar suaranya tapi tidak kami lihat sosoknya. Sahkah shalat itu ? Sebab menrut Kiai saya, tayamum seperti itu tidak sah. Shalat sambil duduk seperti itu juga tidak dibolehkan karena kita orang yang mampu berdiri. Apalagi shalat jamaah seperti itu, tidak sah pula, katanya. Mana yang benar ?
Jawab: Dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap terkena kewajiban menunaikan shalat lima waktu pada waktunya secara sempuma. Namun dalam kondisi tertentu seperti sakit, sedang berada di peijalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk bersuci atau karena faktor yang lain, seseorang diperkenankan menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu. ini sebagaimana firman Allah dalam A1-Qur’an:
Jawab: Dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap terkena kewajiban menunaikan shalat lima waktu pada waktunya secara sempuma. Namun dalam kondisi tertentu seperti sakit, sedang berada di peijalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk bersuci atau karena faktor yang lain, seseorang diperkenankan menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu. ini sebagaimana firman Allah dalam A1-Qur’an:
“Allah tidak akan memberikan beban kewajihan kepada seseorang kecuali herdasarkan kemampuannva.” (QS. A1-Baqarah: 286)
Salah satu praktiknya seperti yang dialami oleh jamaah haji di dalam pesawat ketika sudah masuk waktu shalat.
Salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas -besar dan kecil- serta najis. Untuk menjaga dari hadas besar dan najis, barangkali banyak orang bisa melakukannya, tapi sebaliknya sedikit orang yang bisa menjaga diri tetap suci dari hadas kecil sehingga untuk menjalankan shalat mereka harus berwudhu dengan air yang mensucikan atau tayamum dengan debu terlebih dahulu.
Melihat fasilitas air di pesawat dengan kapasitas penumpangnya, rasanya tidak mungkin para jamaah haji mendapatkan air wudhu, begitu pula ketika akan tayamum, sulit mendapatkan debu -meski disandaran kursi sekalipun- sesulit mendapatkan debu di pesawat.
Dengan demikian tayamum di pesawat memang belum memenuhi syarat, dengan kata lain tidak sah karena tidak terdapat debu yang bisa digunakan untuk bersuci.
Kondisi semacam itu dimana seseorang tidak bisa mendapatkan alat untuk bersuci (air dan debu) dalam terminologi fikih disebut faqidu at-thahurain. Dalam kondisi ini seseorang tetap wajib menjalankan shalatnya sendiri-sendiri karena hurmatu al-wakti bukan li’ada;I al-fardhi. Oleh karena itu mereka diwajibkan i’adah (mengulangi shalatnya) ketika sudah memungkinkan bersuci.
Adapun masalah berjamaah di pesawat bisa dibuat dua asumsi. Asumsi pertama, semua penumpang baik yang menjadi imam atau makmum dalam keadaan faqidu at-thahurain. Jamaah dengan imam yang faqidu ath-thahurain tidak sah karena shalatnya wajib i’adah.
Asumsi kedua, dalam pesawat penumpang masih dalam keadaan suci karena masih memiliki wudhu, mereka dapat menjalankan shalat sendiri atau berjamaah. Bolehkah menjalankannya dengan duduk? Menurut Syafi’iyah apabila tidak mungkin shalat dengan berdiri kerena kesulitan atau kepayahan (‘ajzu) atau kemungkman mabuk udara maka boleh shalat dengan duduk. (Al-Fiqhu Al-Isami II, 826).
Kalau diteliti lebih lanjut, ‘ajzu itu tidak bisa dilihat dan faktor internal individu ansich, tapi juga faktor eksternal meliputi ruang dan jalannya tumpangan, dalam hal ini pesawat yang tidak memungkinkan seseorang shalat dengan berdiri.
Jadi, jamaah dengan duduk bagi penumpang pesawat boleh-boleh saja sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya yang meliputi, Pertama, niat makmum bagi makmum. Kedua, shalat yang dijalankan antara imam dan makmum adalah shalat yang sama. Ketiga, makmum tidak berada di depan imam, yang dalam praktiknya yang menjadi standar adalah pantat imam (makmum tidak maju melebthi pantat imam). Keempat, jamaah berada di satu tempat sehingga makmum bisa melihat dan mendengarkan suara imam. Melihat dan mendengar imam tidak harus secara langsung karena syarat itu bisa terpenuhi dengan melihat makmum di depan atau sampingnya yang secara bersambungan dapat melihat imam. Dan yang kelima, makmum mengikuti shalatnya imam. (A1-Fiqhu A1-Is1ami I, 124O-1252).
0 komentar:
Post a Comment