Tanya: Bagaimana cara dan hukum shalat orang yang mempunyai luka berdarah?
(Lilik Muzda, Jepara)
Jawab: Keabsahan shalat tergantung pada terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagal perwujudan sikap ta‘addub kita kepada Allah Swt. Dalam surat Al-Mudattsir: 4, Ia berfirman:
(Lilik Muzda, Jepara)
Jawab: Keabsahan shalat tergantung pada terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagal perwujudan sikap ta‘addub kita kepada Allah Swt. Dalam surat Al-Mudattsir: 4, Ia berfirman:
“Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. M-Mudattsir 4)
Pengertian najis sebagai dijelaskan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang bisa mencegah sahnya shalat (kullu mustaqdzar yamna‘shihhah as shalat).
Berangkat dari definisi ini, tidak semua yang nampak kotor secara otomatis dihukumi najis seperti debu. Dalam menentukan benda yang najis dan suci tidak bisa dengan akal dan perasaan semata. Tetapi harus berpegang pada dali naqil.
Para ulama sepakat (ijma’atau konsensus) bahwa darah termasuk barang najis. Pendapat tersebut didasarkan dan Al Quran surat A1-An’am, 145 sebagai berikut:
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah ,“ (QS. A1-An’am: 145)
Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.
Seperti telah sering saya jelaskan pada postingan sebelurnnya, bahwa salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah untuk dilaksanakan dan tidak memberatkan (al yusr wa ‘adam al-haraj as-samhah wa as-sahlah). Karakteristik ini juga terlihat pada masalah najis, kaitannnya dengan keabsahan shalat.
Dengan alasan kesulitan dihindari (li masyaqqah al-ihtiraz), para ulama dalam kitab-kitab fikih mengklasifikasikan najis menjadi dua: yaitu najis yang diampuni atau dimaafkan (alma‘fu) dan tidak diampuni (ghair al-ma‘fu). Najis kategori pertama tidak mencegah sahnya shalat.
Darah, salah satu benda najis, juga ada yang diampuni dan tidak. Dalam hal ini fuqaha secara kuantitatif membagi darah menjadi dua: sedikit dan banyak. Darah dalam jumlah sedikit dengan alasan susah dihindari, diampuni oleh syara.
Terdapat beberapa pendapat menyangkut ukuran yang dipakai untuk menentukan banyak sedikitnya darah. Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa masalah tersehut dikembalikan pada anggapan masyarakat (aI-’urt), artinya apabila masyarakat menganggap bahwa darah tersehut sedikit maka dihukumi sedikit, sebaliknya jika menganggap banyak maka dihukumi banyak.
Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.
Sebagian ulama lain membuat standar yang jelas, misalnya satu hasta (adz-dzira), satu tapak tangan, seukuran kuku dan lain-lain. Jika melebihi ukuran kuku, menurut pendapat yang disebut terakhir, termasuk kategori banyak. Kalau kurang berarti sedikit. Semua pendapat ini boleh diikuti. (Fath Al-Ja wad, 13)
Darah yang berasal dari badan kita sendiri akibat menderita luka, bisul, atau penyakit kulit yang lain diampuni meskipun jumlahnya banyak (AI-Iqna 78), tetapi dengan tiga persyaratan.
Pertama, bukan karena ulah kita sendiri (tidak disengaja). Kedua, tidak melampaui tempatnya, dalam artian tidak melewati anggota tubuh dimana luka tersebut berada. Maksudnya, jika luka terdapat dalam betis, maka jangan sampai melampaui betis sampai paha. Kalau luka di tangan, tidak sampai ke pundak. Ketiga, darah tersebut tidak bercampur dengan benda lain.
Karena diampuni, maka darah yang keluar dari luka tidak mencegah sahnya shalat. Dan orang yang mempunyai luka bisa melakukan shalat seperti pada umumnya.
0 komentar:
Post a Comment