Tanya : Saya pernah mendengar dari beberapa orang bahwa perempuan tidak dibolehkan menyusui bayinya dalam keadaan junub. Alasannya hal itu dapat mengurangi kecerdasan anak Katanya, pendapat ini diperkuat oleh para ulama. Sebenarnya bagaimanakah hukum menyusui anak dalam keadaan junub? (Zuhria, Malang)
Jawab : Junub adalah orang yang menyandang janabah. Janabah merupakan hadas pertengahan. Sebagian ulama fikih mengklasifikasikan hadas menjadi 3 (tiga): hadas kecil, sedang dan besar. Ketiganya mempunyai sebab dan dampak yang berbeda. Penyebab hadas kecil ada 4 (empat) : kentut, tidur, menyentuh kulit perempuan bukan mahram secara langsung, dan menyentuh kemaluan atau dubur dengan telapak tangan bagian dalam. Janabah terjadi akibat melahirkan, mengeluarkan air mani atau jimak. Sedangkan penyebab hadas besar adalah haid dan nifas. (Nihayah Az-Zain, 31).
Penyandang hadas kecil dilarang menyentuh dan membawa mushaf serta ibadah-ibadah yang mensyaratkan kesucian, seperti shalat dan thawaf. Larangan bagi penyandang hadas kecil juga berlaku bagi penyandang janabah. Di samping itu orang junub dilarang membaca Al-Quran dan berdiam di masjid. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak boleh melakukan apa yang dilarang bagi orang junub. Haid dan nifas juga menghalangi keabsahan puasa, jimak, bahkan menyentuh bagian tubuh antara pusat dan tengkuk. Semua ini menurut kebanyakan pendapat ulama.
Selain penyebab dan akibatnya berbeda, cara menghilangkan ketiga hadas tersebut juga tidak sama. Sesuai dengan namanya, cara menghilangkan hadas kecil lebih mudah, yaitu dengan berwudhu. Sementara hadas sedang dan besar dapat dihilangkan dengan mandi. Jika wudhu dan mandi tidak mungkin dilakukan, semua hadas dihilangkan dengan tayamum.
Berdasarkan beberapa referensi yang sempat saya baca, tidak ada dalil yang mengharamkan orang junub menyusui anak. Memang, terdapat keterangan, misalnya dalam kitab Tuhfah Ath-Thullab, orang junub disunahkan berwudhu apabila mau makan, minum atau tidur. Sebagaimana terdapat sebuah hadis yang menceritakan Rasulullah ketika sedang junub tidak makan dan tidur sebelum berwudhu lebih dahulu.
Sementara hadis yang melarang perempuan junub menyusui saya belum pemah menemukan. Menganalogikan makan dengan menyusui juga masih perlu dipertanyakan dan membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam.
Meskipun demikian, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pendapat susu perempuan junub mempengaruhi kecerdasan anak yang disusui. Sebab sebagai orang beragama, kita juga mempercayai hal-hal yang bersifat rohani. Menurut sebuah hadis, ketika melakukan hubungan suami istri, dianjurkan membaca doa tertentu dan senantiasa berdzikir atau ingat kepada Allah. Hadis ini menunjukkan bahwa, kondisi psikologis bapak dan ibu pada saat berjimak berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan.
Oleh sebab itu, ada baiknya berkonsultasi kepada dokter ahli untuk mencari kejelasan adanya korelasi antara kondisi janabah dengan kurangnya kecerdasan anak. Karena kebenaran di samping diperoleh lewat dalil naqli, dapat pula dicapai dengan dalil aqli lewat serangkaian penelitian dan eksperimen secara ilmiah.
Namun yang jelas, menyusui pada waktu janabah tidak dtharamkan. Kalaupun dilarang, paling jauh bersifat makruh.
Di samping tidak adanya -sejauh yang saya tahu- dalil-dalil agama yang melarang, semua orang tahu bahwa ASI sangat penting bagi proses pertumbuhan anak. Sampai-sampai Al Quran perlu menyinggung masalah menyusui. Padahal Al Quran hanya membicarakan perkara-perkara yang sangat penting. Kita pun memaklumi, janabah haid dan nifas dapat terjadi kapan saja. Begitupun kebutuhan anak terhadap ASI bisa datang setiap waktu. Oleh sebab itu, sangat tidak wajar jika melarang orang junub menyusui anaknya. Bukankah Islam itu mudah dipahami dan diamalkan ?