Tanya : Saya seorang istri. Suami saya tidak mampu membayar nafkah. Apakah saya boleh mengajukan cerai?
Jawab : Apakah perbedaan antara manusia dengan malaikat? Jawabanya banyak. Salah satunya, manusia dalam mempertahankan hidup memerlukan makanan dan minuman. Malaikat tidak. Malaikat selalu taat. Manusia kadang melakukan maksiat.
Cara sehat untuk mencukupi hidup adalah dengan bekerja. Apapun profesinya, asalkan halal, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu yang sangat beragam. Tetapi kenyataanya, tidak semua orang dapat mencukupi kebutuhannya, sehingga harus ditanggung orang lain. Anak yang masih kecil ditanggung orang tua. Sebaliknya, orang tua yang telah udzur dan tidak mampu lagi mencukupi kebutuhannya, dibiayai anaknya. Itulah nafkah karena hubungan kerabat (nafaqah al-a qarib).
Akibat pernikahan, seorang perempuan yang semula menjadi tanggungjawab orang tuanya, nafkahnya beralih kepada suaminya. Dalam fikih, nafkah merupakan hak istri yang menjadi kewajiban suami. Kekayaan istri tidak menggugurkan haknya mendapatkan nafkah (KHI Pasal 80). Hal itu bukan karena perempuan tidak mampu hekerja. Sebab, dalam kenyataannya, tidak sedikit kaum hawa yang sanggup bekerja, bahkan pada bidang-bidang yang semula didominasi atau di monopoli kaum Adam.
Hak istri atas nafkah tersebut merupakan imbangan atas kewajiban yang menjadi hak suaminya. Nafkah istri ditanggung suami, mengingat istri mempunyai fungsi atau peran yang dapat menghalangi bekerja. Misalmnya hak reproduksi, yakni kehamilan dan melahirkan. Sudah sewajarnya suami mencarikan nafkah istri yang sedang mengandung anaknya. Sedangkan dalam keadaan tidak hamil, istri berperan sebagai ibu yang mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Karena itu dalam sebuah hadis riwayat Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu membayar al-ba‘ah maka kawinlah. Karena sesungguhnya nikah dapat mencegah penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa yang belum mampu, berpuasalah. Karena sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng.” (Muttafaq ‘alaihi)
Para ulama mengartikan al-bath dengan kemampuan memberi nafkah dan mahar. Jadi, anjuran menikah oleh Rasulullah ditujukan kepada pemuda yang secara ekonomis sudah mapan. Karena setelah berubah status menjadi suami, ia wajib menafkahi diri sendiri dan istrinya. Dan setelah menjadi ayah, menafkahi anaknya.
Kalau nafkah merupakan hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, bagaimana jika suami tidak mampu membayar nafkah? Dalam masalah nafkah, sebenarnya Islam sangat luwes. Nafkah yang harus dibayarkan kepada istri disesuaikan dengan kesanggupan suami, tetapi tetap ada batas minimalnya. Penegasan ini sesuai dengan firman Allah :
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah, tiada harta yang diberikan Allah kepadanva. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Dalam kitab-kitab fikih terdapat 3 (tiga) kategori suami, kaya, sedang, dan fakir. (Al-Figh Al-Manhaji II, 177).
Seorang istri yang salehah semestinya menyadari kemampuan suaminya. ‘Tidak sepatutnya menuntut suami di luar kemampuannya. Sikap qana’ah (nerima-menerima) perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya, suami yang baik tidak bakhil, tetapi bersikap sakha’ (dermawan).
Bila nafkah minimal tidak dapat dipenuhi suami, maka istri berhak mengajukan perceraian. Ada ulama yang membagi nafkah menjadi dua,yakni nafkah rohani atau batin dan jasmani atau lahir. Nafkah batin adalah melakukan hubungan suami istri (jimak). Sedangkan nafkah jasmani adalah kebutuhan sandang papan dan pangan. (Al-Fiqh Al-Manhaji II, 178, atau KHI Pasal 116)
Jika suami impoten (al-’unnah), istri berhak mengajukan perceraian, sebab sang suami tidak bisa memberikan nafkah batin. Demikian halnya kalau suami tidak mampu memberikan nafkah jasmani. Bahkan yang kedua jauh lebih penting. Karena ketiadaan nafkah jasmani membawa dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah batin. ini sesuai dengan hirarki kebutuhan yang dibuat oleh sebagian psikolog yang menempatkan kebutuhan fisikologis makanan atau minuman pada urutan pertama. Orang dapat hidup meskipun kebutuhan s*ksual tidak terpenuhi.
Hak mengajukan perceraian tentu harus digunakan dengan pertimbangan yang matang. Sering kali orang menggambarkan kehidupan ini seperti roda, terkadang di atas dan kadang di bawah, dan pada saat yang lain berada di tengah. Suka dan derita, susah dan senang, selalu menghiasi kebidupan di dunia yang fana ini. Kalau suami kebetulan mengalami kesulitan ekonomi, hendaknya istri menghibur dan bersama-sama mencari solusi. Dukungan moral dari sang istri sangat berarti bagi suami. Bukan rahasia lagi, di balik sukses suami terdapat istri yang baik.
Di samping itu perlu dipertimbangkan masa depan anak-anak. Sebab, perceraian seringkali membawa dampak kurang baik pada diri anak, karena tidak mendapatkan kasih sayang secara sempurna. Anak mengharapkan kehadiran ayah dan ibu, bukan ayah semata atau ibu saja.
Karena alasan-alasan itu semua, dapat dipahami mengapa Rasulullah Saw. pernah bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”(HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Hakim)
Dibenci karena membawa dampak-dampak yang negatif. Tetapi halal karena dalam kenyataannya, kadang-kadang perceraian menjadi solusi terakhir ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak mungkin diselamatkan lagi. Ibarat anggota badan yang terkena penyakit, bila tidak mampu diobati, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah diamputasi. Perceraian menjadi rahmat atau musibah tergantung kepada diri kita, kapan dan bagaimana menggunakannya.
0 komentar:
Post a Comment