Wednesday, 31 August 2016

Bolehkah Menebus Dosa Suami Terhadap Istri ?

Bolehkah Menebus Dosa Suami Terhadap Istri ?
Tanya : Saya mempunyai seorang kakak yang melakukan dosa besar terhadap seorang perempuan (istri) di luar nikah. Doa apa yang bisa menebus dosa sangat besar itu karena sebagai adik saya ingin menghilangkan dosa-dosa dari perbuatannya. (Ony, Baja) 

Jawab : Allah Swt. telah memberikan rasa kasih sayang (ar-rahmah) kepada makhluk-Nya. Rasa kasih sayang ini di antaranya termanifestasi dalam pelbagai bentuk hubungan antar manusia, orang tua dengan anak, kakak dengan adik, suami-istri dan lain-lain.

Perasaan tersebut dengan sendirinya menimbulkan keinginan agar orang yang dikasihi terhindar dari hal-hal negatif, walaupun berupa hukuman atas kesalahan yang sudah sewajamya dikenakan padanya. 

Jadi, sangat wajar apabila penanya bermaksud menyelamatkan kakaknya dari sanksi atas kesalahan yang telah dilakukan, dan terdorong untuk melakukan upaya penebusan dosa. 

Dosa atau adz-dzanb adalah ma‘asha aflaaha bih, segala sesuatu yang dengannya seseorang berbuat maksiat dan durhaka kepada Allah. Atau dengan kata lain segala bentuk pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam bentuk perintah maupun larangan (al-awamir wa an-na wahi). 

Pelaku dosa pasti mendapatkan balasan. Balasan tidak hanya terjadi di akhirat saja, sebagaimana anggapan sebagian masyarakat. Akibat dosa tidak jarang sudah dirasakan di dunia ini. Itu pun bermacam-macam jangka waktunya. Bisa seketika sebulan atau setahun, bahkan puluhan tahun lagi. Oleh karena itu, seringkali kita tidak menyadari bahwa pelbagai kegagalan dan kesusahan yang kita alami pada hakikatnya adalah buah dosa yang kita kerjakan sebelumnya. 

Dalam kitab Ad-Da’wa Ad-Dawa’ disebutkan bermacam-macam dampak negatif perbuatan dosa dan maksiat. Antara lain, merusak akal pikiran, mengeraskan hati (qaswah al-qalb) sehingga sulit menerima wejangan-wejangan atau saran-saran, menghilangkan nikmat, menghalangi rezeki, mendapat laknat dari Allah dan Rasul-Nya dan lain-lain. 

Banyak ayat Al-Quran dan hadis yang menunjukkan hal tersebut. Allah berfirman :
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. “(QS. An Nisa’: 123) 

Rasulullah Saw. juga pernah berkata kepada sahabat Abu Bakar RA, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya musibah adalah pembalasan atas kejahatan itu.” 

Permasalahannya sekarang adalah bisakah seseorang terbebas dari hukuman atas dosa yang telah dilakukan ? Apakah yang bisa dia lakukan untuk menghilangkan dosa ?

Allah Itu Maha Adil. Karena keadilan-Nya, manusia menerima balasan sesuai perbuatannya. Di samping itu Allah Maha Pengasih dan Penyayang terhadap hamba-Nya. Berkat kasih saying-Nya, Dia menerima tobat dan memberikan ampunan atas dosa dan kesalahan hamba-Nya, asal mau menyesali dan memperbaiki diri, yang dalam istilah agama disebut tobat (at-taubah). Allah berfirman :
Artinya : ‘Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dijalan yang benar.” (QS. Thaha: 82) 

Banyak ayat yang menjelaskan bahwa Allah itu “At-Ta wwab’ atau Dzat penenma tobat. At-Ta wwab dan At-Taib termasuk salah satu asma Allah yang mulia (al-asma’ al-husna). 

Arti tobat jika dilihat dari segi bahasa adalah al-ruju’ ‘an al syai’i, meningalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah meninggalkan sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, untuk selanjutnya mengerjakan sesuatu yang diridhai-Nya. (Is’adu ArRafiq, 141). 

Tobat mempunyai beberapa. persyaratan yaitu, pertama al nadm, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, kedua al iqla meninggalkan dosa tersebut dengan seketika, ketiga al‘azm ‘ala ‘an la ya‘ud ilaiha, niat tidak akan mengulangi lagi perbuatan serupa pada masa yang akan datang, keempat al-istighfar, memohon ampunan kepada Allah, misalnya dengan membaca “rabbighfir lii khathiiatii”atau “Allahumma ighfir lii min dzanbi”dan lain-lain. Kalau dosanya berupa meninggalkan kewajiban maka harus diqadha’ Dan jika berhubungan dengan hak-hak sesama manusia maka harus diselesaikan dengan cara melunasi atau meminta maaf sesuai dengan aturan yang diatur oleh syara’.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka yang mesti penanya lakukan adalah menasehati sang kakak supaya lekas bertobat. Dosa besar tidak cukup dihilangkan dengan sekedar berdoa. Tetapi dengan bertobat oleh yang bersangkutan, dalam hal ini kakak penanya sendiri.

Apakah Boleh Meminta Cerai Pada Suami Yang Tidak Mampu Membayar Nafkah ?

Apakah Boleh Meminta Cerai Pada Suami Yang Tidak Mampu Membayar Nafkah ?
Tanya : Saya seorang istri. Suami saya tidak mampu membayar nafkah. Apakah saya boleh mengajukan cerai? 

Jawab : Apakah perbedaan antara manusia dengan malaikat? Jawabanya banyak. Salah satunya, manusia dalam mempertahankan hidup memerlukan makanan dan minuman. Malaikat tidak. Malaikat selalu taat. Manusia kadang melakukan maksiat. 

Cara sehat untuk mencukupi hidup adalah dengan bekerja. Apapun profesinya, asalkan halal, sesuai dengan kemampuan tiap-tiap individu yang sangat beragam. Tetapi kenyataanya, tidak semua orang dapat mencukupi kebutuhannya, sehingga harus ditanggung orang lain. Anak yang masih kecil ditanggung orang tua. Sebaliknya, orang tua yang telah udzur dan tidak mampu lagi mencukupi kebutuhannya, dibiayai anaknya. Itulah nafkah karena hubungan kerabat (nafaqah al-a qarib).

Akibat pernikahan, seorang perempuan yang semula menjadi tanggungjawab orang tuanya, nafkahnya beralih kepada suaminya. Dalam fikih, nafkah merupakan hak istri yang menjadi kewajiban suami. Kekayaan istri tidak menggugurkan haknya mendapatkan nafkah (KHI Pasal 80). Hal itu bukan karena perempuan tidak mampu hekerja. Sebab, dalam kenyataannya, tidak sedikit kaum hawa yang sanggup bekerja, bahkan pada bidang-bidang yang semula didominasi atau di monopoli kaum Adam. 

Hak istri atas nafkah tersebut merupakan imbangan atas kewajiban yang menjadi hak suaminya. Nafkah istri ditanggung suami, mengingat istri mempunyai fungsi atau peran yang dapat menghalangi bekerja. Misalmnya hak reproduksi, yakni kehamilan dan melahirkan. Sudah sewajarnya suami mencarikan nafkah istri yang sedang mengandung anaknya. Sedangkan dalam keadaan tidak hamil, istri berperan sebagai ibu yang mengasuh anak dan mengatur rumah tangga. 

Karena itu dalam sebuah hadis riwayat Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya : “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu membayar al-ba‘ah maka kawinlah. Karena sesungguhnya nikah dapat mencegah penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa yang belum mampu, berpuasalah. Karena sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng.” (Muttafaq ‘alaihi) 

Para ulama mengartikan al-bath dengan kemampuan memberi nafkah dan mahar. Jadi, anjuran menikah oleh Rasulullah ditujukan kepada pemuda yang secara ekonomis sudah mapan. Karena setelah berubah status menjadi suami, ia wajib menafkahi diri sendiri dan istrinya. Dan setelah menjadi ayah, menafkahi anaknya. 

Kalau nafkah merupakan hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, bagaimana jika suami tidak mampu membayar nafkah? Dalam masalah nafkah, sebenarnya Islam sangat luwes. Nafkah yang harus dibayarkan kepada istri disesuaikan dengan kesanggupan suami, tetapi tetap ada batas minimalnya. Penegasan ini sesuai dengan firman Allah : 
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah, tiada harta yang diberikan Allah kepadanva. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)

Dalam kitab-kitab fikih terdapat 3 (tiga) kategori suami, kaya, sedang, dan fakir. (Al-Figh Al-Manhaji II, 177).
Seorang istri yang salehah semestinya menyadari kemampuan suaminya. ‘Tidak sepatutnya menuntut suami di luar kemampuannya. Sikap qana’ah (nerima-menerima) perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya, suami yang baik tidak bakhil, tetapi bersikap sakha’ (dermawan). 

Bila nafkah minimal tidak dapat dipenuhi suami, maka istri berhak mengajukan perceraian. Ada ulama yang membagi nafkah menjadi dua,yakni nafkah rohani atau batin dan jasmani atau lahir. Nafkah batin adalah melakukan hubungan suami istri (jimak). Sedangkan nafkah jasmani adalah kebutuhan sandang papan dan pangan. (Al-Fiqh Al-Manhaji II, 178, atau KHI Pasal 116) 

Jika suami impoten (al-’unnah), istri berhak mengajukan perceraian, sebab sang suami tidak bisa memberikan nafkah batin. Demikian halnya kalau suami tidak mampu memberikan nafkah jasmani. Bahkan yang kedua jauh lebih penting. Karena ketiadaan nafkah jasmani membawa dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah batin. ini sesuai dengan hirarki kebutuhan yang dibuat oleh sebagian psikolog yang menempatkan kebutuhan fisikologis makanan atau minuman pada urutan pertama. Orang dapat hidup meskipun kebutuhan s*ksual tidak terpenuhi. 

Hak mengajukan perceraian tentu harus digunakan dengan pertimbangan yang matang. Sering kali orang menggambarkan kehidupan ini seperti roda, terkadang di atas dan kadang di bawah, dan pada saat yang lain berada di tengah. Suka dan derita, susah dan senang, selalu menghiasi kebidupan di dunia yang fana ini. Kalau suami kebetulan mengalami kesulitan ekonomi, hendaknya istri menghibur dan bersama-sama mencari solusi. Dukungan moral dari sang istri sangat berarti bagi suami. Bukan rahasia lagi, di balik sukses suami terdapat istri yang baik. 

Di samping itu perlu dipertimbangkan masa depan anak-anak. Sebab, perceraian seringkali membawa dampak kurang baik pada diri anak, karena tidak mendapatkan kasih sayang secara sempurna. Anak mengharapkan kehadiran ayah dan ibu, bukan ayah semata atau ibu saja. 

Karena alasan-alasan itu semua, dapat dipahami mengapa Rasulullah Saw. pernah bersabda :
Artinya : “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”(HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Hakim) 

Dibenci karena membawa dampak-dampak yang negatif. Tetapi halal karena dalam kenyataannya, kadang-kadang perceraian menjadi solusi terakhir ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak mungkin diselamatkan lagi. Ibarat anggota badan yang terkena penyakit, bila tidak mampu diobati, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah diamputasi. Perceraian menjadi rahmat atau musibah tergantung kepada diri kita, kapan dan bagaimana menggunakannya.

Shalawat Untuk Menghilangkan Kesukaran Dan Kesusahan

bilik islam

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI SAYYDINAA MUHAMMADIN. 

Artinya :
Ya Allah, lipahkanlah rahmat, keselamatan dan berkah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. dart kepada segenap keluarganya..

Khasiatnya :
Shalawat ini mengandung faedah yang sangat besar untuk menghilangkan kesukaran dan kesusahan. Maka barang siapa yang memperbanyak shalawat ini, Allah akan menghilangkan semua kesukaran dan kesusahan yang sedang dialaminya.

Doa Keluar Rumah Dan Doa Masuk Rumah

Doa Keluar Rumah Dan Doa Masuk Rumah, doa masuk rumah, doa keluar rumah, bacaan doa keluar rumah, bacaan doa masuk rumah

Do’a keluar Rumah
Diriwayatkan dari sahabat Ummi Salamah r.a (Hindun) bahwasanya Nabi saw apabila hendak keluar rumah membaca :





(Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, ya Allah sungguh Aku berlindung kepadamu dari menyesatkan atau disesatkan, dari menyimpang atau disimpangkan ,dari menganiaya atau di aniaya , dari berlaku bodoh atau di perlakukan bodoh)

Sahabat Anas r.a berkata : RasulluIah saw bersabda :
Barang siapa ketika hendak keluar rumah lalu dia membaca :


(Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah)

Dikatakan kepadanya ( oleh Malaikat ) Engkau telah di cukupi (kebutuhanmu) dijaga dan diberi petunjuk serta syaitan menjauh darinya

Doa Ulama salat ketika hendak keluar rumah  


(Ya Allah hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan dan hanya kepada-Mu aku berserah diri, gampangkanlah urusanku yang sulit, lancarkanlah kesulitan perjalananku berikanlah aku rizki yang baik melehihi apa yang aku mohon, jauhkanlah aku dari segala kejahatan , lapangkanlah dadaku, gampangkanlah urusanku, aku mohon penjagaan dari-Mu dan aku titipkan kepada-Mu diri ,agama, keluarga , kerabat dan segala apa yang telat Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada mereka dari perkara dunia dan akhirat , jagalalah kami semua dari segala kejahatan Wahai Yang Maha Mulia)

Do’a masuk rumah
Sahabat Abu Malik Al-Asy’ari r.a mengatakan: Rasulullah saw Bersabda : Apabila seseorang ingin masuk rumah hendaknya dia membaca :


(Ya Allah aku mohon kepada-Mu kebaikan tempat masuk dan tempat keluar, dengan nama Allah kami masuk, dan dengan nama Allah kami keluar dan kepada Allah Tuhan kami, kami bertawakal)

Lalu memberi salam kepada penghuni rumah

Doa Ketika Bercermin


Begitu dahsyat islam memberikan tuntunan dalam setiap tingkah laku kehidupan, dalam setiap apa yang dilakukan selalu diajarkan untuk berdoa, bahkan ketika kita sedang bercermin, kita dianjurkan membaca doa.

Diriwayatkan dari Imam Ali ra. bahwa Nabi SAW. apabila bercermin, Beliau membaca : 

bilik islam

(Segala puji bagi Allah , Ya Allah sebagaimana Engkau sempurnakan ragaku maka sempumakanlah akhlaqku)

Tuesday, 30 August 2016

Hukum Bersedekah Seorang Istri Menurut Islam (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum bersedekah seorang istri menurut islam (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : apakah seorang wanita yang telah bersuami diperbolehkan bersedekah dengan uangnya sendiri tanpa harus izin kepada suaminya? 

Islam menjawab : seorang wanita  yang telah bersuami tidak diperbolehkan bersedekah dengan hartanya, kecuali mendapat izin dari suaminya. Sebagai mana dikisahkan dalam sabda Rosulullah Saw. Pada suatu hari istri Ka’ab bin malik menyerahkan perhiasannya kepada Rosulullah Saw,sebagai sedekah. Namun Rosulullah Saw tidak langsung menerimanya,tetapi berkata : “tidak dibenarkan seorang wanita bersedekah dari hartanya kecuali dengan izin suaminya. Selain itu Rosul juga bertanya : “apakah engkau sudah mendapat izin suamimu ? “ istri Ka’ab bin malik menjawab: “sudah!’. Meskipun istri Ka’ab Bin Malik itu telah menjelaskan , beliau (Rosul) belum puas dengan jawabannya , kemudian  beliau mengutus salah seorang sahabatnya untuk menemui Ka’ab dan menanyakan : “Apakah engkau merestui sedekah istrimu? “Ka’ab menjawab : “ya, benar.” Setelah itu sahabat nabi melaporkan bahwa istri Ka’ab telah direstui oleh Ka’ab. Kemudian beliau baru menerima sedekah tersebut.

Jadi bahwa seorang wanti muslim yang telah bersuami jika ingin bersedekah harus mendapat restu dari suaminya walaupun yang akan disedekahkan adalah harta pribadinya.

Sumber : Buku Imam Turmudzi "Dialog Wanita dan Islam" 


Kategori Orang Miskin Menurut Fikih Islam

Kategori Orang Miskin Menurut Fikih islambatasan orang miskin menurut islam, miskin dalam kacamata islam, miskin menurut islam, orang miskin menurut islam.
Tanya : Saya punya tetangga pekerjaannya tetap, tetapi mereka berpenghasilan tidak tetap. Meski begitu, mereka bisa memberikan nafkah untuk cucunya secara kontinyu. Apakah orang ini bisa dikategorikan orang miskin ? Bolehkah saudaranya yang mampu memberikan zakàtnya langsungkepada orangitu ? (Vania, Sidoarjo) 

Jawab : Selamanya zakat memang akan selalu berhubungan dengan fakir miskin sebagai bagian dari 8 (delapan) kelompok orang yang berhak menerimanya sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)

Dari kedelapan kelompok penerima zakat ini, fakir miskin merupakan kelompok yang selalu dijumpai dalam setiap masyarakat, dan pihak yang paling layak mendapat prioritas. 

Para ulama telah menetapkan batasan dan kriteria fakir dan miskin. Dalam menentukan apakah keduanya sama, ataukah tidak, para ulama berbeda pendapat. Ibn Qasim, salah seorang tokoh Madzhab Maliki mengatakan keduanya sebagai satu kelompok. Jadi, fakir dan miskin adalah dua kata berbeda dengan arti yang sama (al-mutaradifain). Sebaliknya, menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fikih), fakir dan miskin merupakan kelompok yang berbeda. Sebagian menyatakan fakir lebih buruk kondisinya secara ekonomis dibanding miskin. Sebagian yang lain, berpendapat sebaliknya. 

Perbedaan pendapat tersebut kurang memiliki arti penting, manakala melihat fakta bahwa keduanya sama-sama berhak menerima zakat.

Jumhur al-ulama dan kalangan Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, mendefinisikan fakir sebagai orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang halal untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya (makan-minum, pakaian, rumah) dari orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungjawabnya. Gambarannya, kalau setiap hari dia membutuhkan 10 (sepuluh), maka yang didapatinya tidak lebih dari 3 (tiga) atau 4 (empat). Dengan kata lain, ia hanya mampu memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. 

Adapun orang yang termasuk miskin adalah orang yang sudah memiliki pekerjaan halal dan sejumlah harta, tetapi masih belum mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sekaligus orang yang berada dalam tanggungjawabnya. Umpamanya, orang yang butuh 10 (sepuluh), tetapi hanya memiliki 7 (tujuh) atau 8 (delapan). Orang miskin, mampu mencukupi sekitar 70-80% dari kebutuhannya. 

Berangkat dari pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa baik fakir maupun miskin sebagai mustahiq (pihak yang berhak menerima zakat), sebagai dikatakan Dr. Yusuf Qardhawi, adalah orang yang memenuhi 3 (tiga) kriteria. Pertama, orang yang tidak punya harta atau pekerjaan sama sekali. Kedua,orang yang mempunyai pekerjaan dan harta yang belum dapat mencukupi separuh dari kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Ketiga, orang yang pendapatannya bisa memenuhi lebih dari separuh kebutuhan hidupnya dan keluarganya, tetapi masih belum mencukupi seluruh kebutuhan. Kebutuhan dalam kaitannya dengan fakir dan miskm meliputi sandang, papan dan pangan serta pendidikan.

Untuk menentukan apakah seseorang termasuk golongan miskin atau fakir, harus diketahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan dan sejauh mana ia mampu memenuhinya dengan penghasilan dan kekayaan yang dimiliki. Besar kecilnya kebutuhan, juga sangat dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya orang yang harus dthidupi. 

Oleh karena itu, kita belum bisa menentukan apakah orang yang penanya maksudkan masih berstatus miskin ataukah bukan. Namun, seandainya termasuk ketegori miskin, saudaranya sah-sah saja memberikan zakat kepadanya, bahkan lebih afdhal, karena berzakat kepada kerabat mempunyai fungsi ganda, zakat itu sendiri dan silaturrahim.

Apa Hukum Istri Memarahi (Memaki) Suami Menurut Fikih Islam

Apa Hukum Istri Memarahi (Memaki) Suami Menuru Fikih Islam, hukum istri memaki suami, hukum memaki suami, istri memaki suami, dalil istri dilarang memaki suami.
Tanya : Kadang saya menemukan istri yang memaki-maki suaminya. Terhadap prilaku istri ini apakah dapat digolongkan istri salehah? 

Jawab : Setiap orang pasti bercita-cita hidup bahagia. Mereka selalu berusaha untuk mendapatkannya dengan segenap kemampuan dan daya upaya yang dimiliki. Namun banyak yang tidak mengerti hakikatnya serta bagaimana memperolehnya. 

Kebahagian kata sebagian orang adalah relatif. Antara individu dengan yang lain tidak sama. Pandangan seseorang tentang ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan, kondisi atau situasi, watak dan latar belakang pendidikannya. Orang agamis dengan ateis tenuh akan berbeda. Demikian juga orang yang senantiasa hidup dalam kelaparan dan kekurangan tidak akan sama dalam mempersepsi kebahagiaan dengan orang yang hidup berkecukupan.

Dalam konteks ini ada baiknya kita perhatikan pernyataan Rasulullah Saw. kaitannya dengan masalah kebahagiaan, yang secara garis besar menurut beliau terletak pada empat hal, yakni istri salehah, rumah yang luas, tetangga yang saleh dan alat transportasi yang baik. Ketiadaan empat hal itu dapat juga dijadikan ukuran ketidakbahagiaan seseorang. (Tuhfah Al-Arus). 

Yang manarik dari Statemen beliau adalah istri salehah dianggap sebagai salah satu kunci kebahagiaan, sehingga tidak mengherankan jika beliau dalam hadis lain menyatakan :
Artinya: “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan berfaedah setelah takwa kepada Allah, takwalah, daripada istri yang salehah.” HR. Ibnu Majah

Bukankah antara kebahagiaan dan istri salehah terdapat hubungan korelatif ? (Tuhfat Al-’Arus). Karena keberadaan istri salehah adalah cukup menentukan dalam kebahagiaan sebuah rumah tangga, maka adalah sewajarnya bila para laki-laki menganggap keberadaan istri salehah sebagai istri ideal. Permasalahannya, siapakah istri salehah itu? Apakah ciri-ciri dan karakteristiknya? 

Dalam Al-Quran, ciri-ciri para istri yang salehah adalah sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisa’ sebagai berikut :
Artinya : “Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memeliliara (mereka).” (QS. An-Nisa’: 34) 

Dalam kitab Safwah At-Tafaasir, qanitat artinya taat kepada Allah dan suami dengan jalan menjalankan hak-hak yang menjadi kewajibannya. Adapun hafizhat berarti senantiasa menjaga diri dari harta suaminya serta menutupi rahasia-rahasia antara mereka berdua. 

Dalam kapasitasnya sebagai makhluk dan hamba (‘abid) para istri salehah dituntut berbakti kepada Allah (Al-Khaliq) yang sering diistilahkan dengan habl min Allah. Dalam kapasitas sebagai istri, ia dituntut berbakti kepada suaminya sebagai salah satu perwujudan habl min an-nas.

Untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tiap-tiap anggota harus mengerti tugas dan tanggungjawabnya, serta melakukannya dengan penuh keikhlasan. Ketaatan istri diimbangi dengan kewajiban muàsyarah hi al-ma‘ruf dari pihak suami. Dalam rumah tangga islami, antara suami-istri berlomba-lomba berbakti terhadap pasangannya dan berbuat yang terbaik untuknya. 

Manusia mempunyai naluri membalas kebaikan yang diterimanya dari orang lain. Reaksi biasanya paralel dengan aksi. Jika istri berbakti kepada suami, akan bertambah rasa sayang di hatinya. Berbuat baiklah kepada manusia, niscaya kamu dapat menaklukkan hatinya dan meraih simpatinya.

Demikian pula antara pasangan untuk saling membersihkan dirinya dari perbuatan tercela (takhalli‘an ar-radza’i) sekaligus menghiasinya dengan nilai-nilai luhur dan keutamaan (takhalli bial-fadhali). Sehingga akhlak yang tidak terpuji seperti memaki-maki atau melontarkan ucapan-ucapan yang kurang simpatik terhadap suaminya sudah barang tentu dijauhinya. 

Bertolak belakang dengan ciri qanitat dan hafizhat tersebut, kemampuan menjaga lisan dan perbuatan tercela adalah ciri sosok pribadi muslim yang sejati. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ahmad) 

Didahulukannya lisan dan tangan pada hadis di atas karena dampak yang ditimbulkannya bisa lebih fatal dari tangan. Yang terluka akibat lisan adalah hati dan perasaan, yang jelas lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Ucapan yang tidak baik semakin dicela jika dilakukan terhadap orang-orang yang semestinya dihormati seperti kedua orang tua dan suami atau istri.

Kalau kemudian ditemukan kekurangan-kekurangan atau ketidakpuasan pada pasangannya, sebaiknya diadakan dialog untuk mencari solusi yang efektif. Dan hendaknya tiap-tiap pihak menyadari, tidak ada manusia yang baik dan benar secara mutlak. 

Sebaliknya, tidak ada pula manusia yang seluruh perbuatannya jelek. Yang banyak adalah campuran antara amal baik dan buruk. Tingal mana yang lebih banyak, dan seberapa jauh keterpautannya. 

Memaki-maki tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya, mempersulit. Ibarat api, mesti dilawan dengan air. Ibarat penyakit, kita harus sabar mengobati dan merawatnya. Jangan langsung diamputasi. Sejauh upaya-upaya yang lebih baik menguntungkan masih dapat ditempuh, maka mengapa hal itu tidak dilakukan ?

Tabir Wanita