Menitipkan bayi-bayi yang baru lahir kepada kaum ibu pedesaan merupakan suatu kebiasaan di kalangan pemuka-pemuka kaum Quraisy pada saat itu. Kebiasaan tersehut dimaksudkan supaya si bayi selalu menghirup udara bersih dan segar. Juga untuk menjaga kondisi tuhuh ibunya yang baru saja melahirkan, agar tetap sehat.
Selain itu, si bayi, sejak masih kanak-kanak bisa belajar berbicara bahasa Arab pedesaan yang dianggap lebih indah dan murni daripada bahasa Arab kota. Kebiasaan itu juga dipandang sebagai suatu usaha yang bernilai kemanusiaan, tolong-menolong antara orang kota dan orang desa, di mana ibu-ibu desa yang menolong, menyusukan dan membesarkan anak-anak orang kota memperoleh imbalan jasa, berupa upah yang layak.
Menurut suatu riwayat, setelah Muhammad dilahirkan, beliau disusui ibunya hanya beberapa hari. Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, menyusui Muhammad selama tiga hari. Setelah itu, kakeknya, Abdul Muthalib menyerahkan Muhammad kepada seorang ibu desa yang bernama Halimah Sa’diyah, istri Haris, dari kabilah Bani Sa’ad.
Awalnya Halimah enggan untuk menyusui Muhammad, karena Muhammad adalah anak yatim, sedangkan Halimah tergolong keluarga miskin. Ia khawatir tidak bisa merawat Muhammad dengan baik. Namun demikian, berkat dorongan Suaminya, diambillah Muhammad dari pangkuan Aminah. Aminah dan kakeknya, Abdul Muthalib pun dengan senang hati melepaskannya.
Halimah pada waktu itu, juga baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Sangat beruntung Muhammad saat itu, karena mendapatkan saudara sepersusuan laki-laki juga. Menurut pengakuan Halimah, pada saat ia baru meletakkan Muhammad di pangkuannya, ketika mereka sampai di tempat persinggahan untanya, ia (Muhammad) terus menyusu sepaus-puasnya. Demikian pula anak kandungnya sendiri, dapat menyusu sekenyang-kenyangnya. Padahal sebelumnya, Halimah merasa air susunya telah habis.
Setibanya di rumah, mereka mulai merawat Muhammad dengan sebaik-baiknya. Halimah dan Harits sangat sayang dengan bayi asuhannya itu. Lama-kelamaan mereka merasakan bahwa anak yatim dari kota itu telah membawa kebahagiaan ke dalam rumah tangga mereka. Mereka bersama empat orang anak kandungnya ternyata amat sayang kepada saudara sepersusuannya itu.
Sesuai dengan pengamatan Halimah, anak itu lain dari yang lain. Sejak kecil, ia mempunyai keistimewaan yang tidak terdapat pada bayi-bayi lainnya. Pertumbuhan badannya begitu cepat. Halimah menyaksikan sendiri, pada umur 5 bulan Muhammad telah pandai berjalan, dan pada umur 9 bulan sudah pandai bicara dengan lancar. Lalu, pada usia 2 tahun, sudah bisa mengembalakan kambing bersama saudara-saudara sepupunya.
Pada kesempatan lain, Halimah dan Harits memperhatikan pula hahwa dari wajah anak asuhannya itu memancarkan cahaya yang benderang. Setiap kali ia dibawa keluar, ada mega putih bersih yang memayungi dan mengikutinya ke mana saja anak itu dibawa. Pada petang hari, mega itu menjadi hujan, hingga daerah penggembalaan mereka senantiasa hijau. Ternaknya sekarang menjadi gernuk-gemuk dan banyak memberi susu. Mereka sekarang bisa hidup dalam kecukupan.
Kini, tibalah saatnya. Tak terasa, Halimah harus berpisah dengan anak yatim yang sekarang menjadi jantung hatinya. Sesuai perjanjian, dia akan mengantar Muhammad kembali ke pangkuan ibunya, Aminah setelah mencapai umur 2 tahun. Namun demikian, karena ibunya, Aminah, telah terjangkit penyakit menular yang pada saat itu sedang merajalela di kota Mekah, beberapa saat kemudian, Muhammad dititipkan kembali kepada Halimah.
Untuk yang kedua kalinya Muhammad hidup dalam asuhan Halimah. Itu berarti Muhammad di tangan Halimah selama 6 tahun. Setiap pagi, putra-putra halimah bersama Muhammad pergi ke tengah ladang untuk mengembalakan kambing. Pada saat anak-anak sedang menggembalakan kambing, putra Halimah yang bernama Dimrah melihat Muhammad sedang duduk di atas batu besar. Sekonyong-konyong tanpa diketahui dari mana datangnya, tampak ada dua orang yang berpakaian serba putih duduk di samping kanan kiri Muhammad. Kemudian, baju Muhammad dibuka oleh kedua orang itu. Dibelahnya dada anak yatim itu. Peristiwa itu terjadi ketika Muhammad berumur 4 tahun.
Melihat kejadian yang luar biasa itu, anak Halimah, Dimrah, herlari-lari sambil menangis. Sesampainya di rumah, ia menuturkan kejadian itu kepada ibunya seraya herkata, “Di tempat kami menggembalakan kambing, ada orang menangkap adikku, Muhammad. Jumlahnya dua orang. Mereka besar-besar dan pakaiannya putih-putih, sedangkan aku tidak mampu mencegahnya.”
Mendengar berita dan anaknya itu, Halimah menjadi panik dan cemas. Ia hergegas untuk menengok Muhammad ke tempat penggembalaannya itu. Sesampainya di sana, Muhammad tampak berdiri di depan kemahnya dalam keadaan sehat. Dengan napas yang masih terengah-engah, Halimah bertanya kepada Muhammad, “Apa yang telah terjadi terhadap dirimu anakku?”
Dengan nada tenang Muhammad menjelaskan tentang kejadian itu seraya berkata, “Tidak apa-apa, Bu! Hanya ada dua orang laki-laki yang terlihat masih muda, berpakaian rapi dan bagus. Mereka menghampiriku seraya memberikan salam kepadaku, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, jangan takut. Aku tidak akan menyusahkan dirimu.” Mereka membaringkan diriku di atas rumput. Dibukanya bajuku dan dibelahlah dadaku. Dadaku dibasahi dengan air lalu mereka memasukkan lagi ke dalam dadaku dan menutupnya seperti sediakala. Sedikit pun aku tidak merasakan sakit. Tidak ada bekas luka pada dadaku. Setelah itu, kedua orang tersebut kembali ke ufuk yang tinggi sekali dengan sangat cepat dan menghilang di balik awan.”
Mendengar cerita Muhammad itu, di satu sisi, Halimah merasa bangga dan gembira mendapati anak-anaknya selamat dari cidera. Hatinya semakin yakin bahwa kelak Muhammad menjadi kebanggaan umat manusia. Namun, di sisi lain, kecemasan hatinya semakin menjadi. Ia merasa khawatir tidak bisa menjaga keselamatan serta keamanan Muhammad. Karena itu, Halimah berpikir lebih baik mengembalikannya kepada ibu kandungnya sendiri, Aminah. Halimah menyerahkan Muhammad kembali kepada ibu kandungnya di Mekah, pada saat Muhammad berusia 6 tahun.
Kini, kegembiraan beralih kepada Aminah. Melihat anaknya kembali ke pangkuannya dalam keadaan yang memuaskan. Sebagai seorang wanita yang mulia, Aminah berniat hendak menunjukkan kepada anaknya hubungan kekeluargaan ibu dan hapaknya sekaligus herziarah ke makam ayahnya.
Ia berangkat ke Madinah bersama budak perempuannya, Ummu Aiman. Sesampainya di kampung Abwa, ketika dalam perjalanan pulang kembali ke Mekah, dengan tidak disangka-sangka Aminah jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kini, Muhammad yang baru berusia 6 tahun itu, telah menjadi yatim piatu.
Selesai acara penguburan Aminah, semua orang kembali ke rumah masing-masing. Di dekat kubur, hanya tinggal Muhammad dan Ummu Aiman. Mereka terdiam, tidak berkata-kata. Air mata beliau mengalir membasahi kubur ibunya, meratapi nasibnya. Selanjutnya, keduanya meneruskan perjalanan ke Mekah. Lalu, Muhammad diserahkan kepada kakeknya, Abdul Muthalib. Abdul Muthalib larut dalam perasaan sedih ketika menerima cucu yang dicintainya itu. Pada usia 6 tahun ini, Muhammad mulai merasa kesepian. Pemeliharaan anak yatim ini diserahkan sepenuhnya kepada kakeknya. Namun demikian, hanya berlangsung selama 2 tahun.
Di dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Abdul Muthalib dalam keadaan sakit yang sangat kritis, ia memanggil semua anaknya untuk berkumpul. Abdul Muthalib kemudian menyampaikan wasiat kepada mereka seraya berucap, “Wahai anak-anakku, kini aku sedang sakit. Sakitku adalah sakit tua. Kurasa tak lama lagi aku hidup di dunia ini. Aku sengaja memanggil kalian untuk berkumpul bukan untuk mewariskan harta benda, tetapi aku ingin menitipkan cucuku, Muhammad kepada kalian.”
Abdul Muthalib menerangkan kepada Muhammad keadaan pribadi dan watak anak-anaknya satu per satu agar Muhammad dapat mempertimbangkan siapa di antara mereka yang paling cocok dalam hatinya untuk diikuti dan menyerahkan dirinya. Tak lama kemudian Muhammad mendekati dan merangkul Abu Thalib. Itu berarti Abu Thalib adalah pilihannya.
Abu Thalib adalah seorang yang sangat mencintai Muhammad. Tak kurang dari kecintaan nenek dan ibunya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah seorang yang miskin. Ayahnya, Abdul Muthalib yang pemurah itu, tidak rneninggalkan harta warisan.
Karena miskinnya, ia terpaksa menyerahkan kehormatannya untuk menyediakan makanan dan minurnan bagi jamaah haji di musim haji. Muhammad pun terpaksa berusaha untuk dapat meringankan beban pamannya itu. Ia menerima upah sebagai imbalan atas jasanya menggembalakan kambing orang.
Pada usia 12 tahun, Muhammad dibawa pamannya ke Suriah menyertai para kafilah; membawa barang dagangan. Sumber-sumber Islam menceritakan tentang seorang biarawan Kristen, bahwa di suatu dataran tinggi di Syam, berdiamlah seorang pendeta bernama Buhairah. Pendeta tua itu sudah lama juga melihat dari jendela rumahnya, serombongan kafilah yang dipimpin Abu Thalib. Dia sangat tertarik memperhatikan rombongan kafilah itu, karena kafilah itu diikuti segumpal awan putih. Semakin dekat, semakin jelas tampak olehnya bahwa awan itu sebenarnya memayungi seorang anak muda yang mengendarai unta yang berjalan di bagian belakang kafiah.
Setelah cukup dekat, pendeta tua itu ditakjubkan lagi oleh cahaya perangai yang cemerlang dari anak muda pengendara unta tersehut. Belum pernah ia rasakan dalam hidupnya yang sangat panjang ketakjuban seperti saat itu. Tanpa disadari, ia pun berlari-lari menjemput kepala kafilah tersebut. Rombongan kafilah tersebut dipersilakan singgah di rumahnya.
Setelah disajikan makanan dan minuman, pendeta itu bertanya kepada Abu Thalib, “Apa huhungan Tuan dengan anak itu ?“ Abu Thalib menjawab, “Dia anakku” Pendeta itu menjawab, “Dia anak yatim bukan?” Terkejut Abu Thalib mendengar ucapan pendeta itu. Ia berkata, “Anak ini kemenakanku. Ayahnya sudah meninggal selagi masih dalam kandungan ibunya. Kini, aku sebagai ganti ayahnya. Aku memeliharanya seperti anak kandungku sendiri.”
Buhairah bertanya kepada Muhammad, “Pernahkah malaikat muncul kepadamu dan pernahkah kamu mengalami mimpi-mimpi tertentu?”
Dengan lugu, Muhammad menyampaikan pengalamannya ketika didatangi malaikat waktu dia menggembala kambing bersama anak-anak Halimah. Dia juga menceritakan berbagai mimpinya.
Buhairah berkata, “Sekarang, hilanglah sernua ganjalan dalam pikiran dan hatiku. Tak salah lagi, engkaulah ruh kebenaran yang dijanjikan Nabi Isa as.” Lalu, Buhairah menyingkap baju Muhammad seraya bekata, “Lihatlah tanda kenabian yang ada dipunggungnya”. Berulang-ulang Buhairah menciumi tanda kenabian itu dan merangkul Muhammad. Dengan air mata yang berlinang, ia berkata lagi, “Semoga umurku dipanjangkan Tuhan untuk menjadi salah satu seorang pengikutmu".
Ketika hendak pamit, Buhairah berpesan ke pada Abuu Thalib, “Aku herharap, Tuan berhati-hati benar menjaga dia. Aku yakin, dialah Nabi akhir zaman yang telah lama ditunggu-tunggu oleh umat manusia.” Memperhatikan pesan Buhairah itu, Abu Thalib memperpendek kunjungannya ke Suriah. Ia segera pulang kembali ke Mekah.