Saturday, 24 October 2015

Sunah Muakkad Dalam Shalat (Sunat Yang Lebih Penting)

Dalam mazhab Syafii ada dua sunat yang lebih penting daripada yang disebutkan di atas, sehingga bila salah satu dari keduanya ditinggalkan hendaklah diganti dengan sujud sahwi (sujud sahwi ialah sujud dua kali sesudah tasyahud akhir sebelum salam, yaitu sujud karena kelupaan.)

1. Membaca tasyahud pertama sesudah sujud kedua dan rakaat yang kedua sebelum berdiri pada rakaat yang ketiga.
Hadis nabi : “Dari Abdullah bin Buhainah, “Kami telah salat Lohor bersama-sama Rasulullah Saw. Beliau berdiri dan beliau ketinggalan duduk tasyahud pertama. Maka pada akhir salat, beliau sujud dua kali.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Dari Ibnu Mas’ud. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad Saw telah berkata, ‘Apabila kamu duduk pada tiap-tiap dua rakaat salat, hendaklah kamu baca attahiyyatu lillah wa-shalawatu dan seterusnya….” (RIWAYAT AHMAD DAN NASAl)


2. Qunut sesudah i’tidal yang akhir pada salat Subuh dan Witir, sejak. malam tanggal 16 bulan Ramadan sampai akhirnya.

Hadis Nabi : “Dari Anas. Ia berkata “Rasulullah Saw. senantiasa membaca doa qunut pada salat Subuh hingga sampai saat beliau meninggal dunia.” (RIWAYAT IMAM AHMAD)

Lafaz doa qunut : (menyusul diposting)

“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan, lindungilah aku seperti orang-orang telah mendapat perlindungan-Mu, berilah berkah pada barang yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejahatan yang telah Engkau pastikan. karena sesungguhnya hanya Engkaulah yang dapat ,memastikan sesusuatu dan tak ada lagi yang berkuasa di atas Engkau, dan sesungguhnya tidak akan terhina orang yang mendapat perlindungun-Mu. dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Ya Allah, bertambah-tambah kebaikan-Mu, dan hilanglah segala yang tidak layak bagi-Mu.” (RIWAYAT ABU DAWUD, TIRMIZI DAN NASAI)

Sebagian ulama berpendapat bahwa qunut pada salat Subuh itu tidak disunatkan. Hadis Anas tersebut menurut penyelidikan mereka adalah hadis daif. Yang disyariatkan hanya qunut nazilah (qunut karena bahaya, bala yang menimpa masyarakat Islam seperti musim penyakit ta’un, kolera, zaman rusuh, musim kemarau) dan disunatkan pada sekalian salat lima waktu.
Hadis Nabi : “Dari Anas, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah membaca qunut satu bulan lamanya, beliau mendoakan segolongan masyarakat Arab, kemudian beliau hentikan.” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, NASAI. DAN IBNU MAJAH)

“Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada salat Lohor, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh pada akhir tiap-tiap salat ketika I‘tidal rakaat penghabisan. Beliau mendoakan mereka dari kabilah Banu Sulaiman, Ra’lin, Zakwan, dan ‘Usaiyah. Orang yang salat mengikuti beliau mengaminkan doa beliau itu.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN AHMAD).

Apa Hukum Menggunakan Pembersih Wajah Ketika Masa Berkabung ?

Sungguh kasihan nasib tante Erna, walaupun terbilang masih muda, ia harus rela menyandang status janda, karena telah ditinggal mati oleh sang suami tercinta. Meskipun dalam masa berkabung, dia tidak lupa untuk selalu tampil bugar di depan para keluarganya, walaupun hati kecilnya masih terasa amat sedih. Untuk menunjang semua itu, dia tidak lupa selalu menggunakan pembersih wajah, seperti; pond’s, supaya wajahnya kelihatan cerah, berseri dan tidak pucat. Apakah penggunaan pembersih wajah dalam kasus di atas dipebolehkan bagi tante Erna?

Jawab :
Tidak boleh. sebab hal itu rermasuk berhias.

Referensi :


 

Asmaul Husna - Al Mu’min

Al Mu’min artinya Yang Maha Menganugerahkan keamanan, Hanya Allah yang dapat memberikan rasa aman. Kita tidak boleh minta perlindungan kepada selain Allah. Kita mohon perlindungan dan rasa aman kepada Allah dari mara bahaya yang mengancam jiwa; dan penyakit hati, seperti dengki, dendam, bakhil, dan malas; dan penyakit jasmani yang mengancam jiwa; dari kelaparan dan kecemasan.

Firman Allah SWT :
Artinya: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.“


Al Mukmin adalah zat yang memberi rasa aman. Pada awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang lemah, yang sangat membutuhkan bantuan dari sesama makhluk lainnya untuk mendapatkan rasa aman. Ia butuh orang lain untuk menjamin makannya, yang mengobati rasa sakitnya serta yang melindunginya ketika diancam dari sesuatu yang ingin melukainya, sehingga sebagai pribadi dan kelompok, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh rasa aman dengan cara yang berbeda-beda.

Kehidupan akan terasa nyaman dan berjalan semestinya karena adanya keamanan. Negara yang tidak aman sulit melaksanakan pembangunan. Kehidupan masyarakat akan terancam bila tidak ada keamanan. Kita lihat bagaimana negara yang sedang dalam peperangan.

Keamanan dan rasa aman yang kita peroleh tidak terlepas dari kekuasaan Allah. Ketenangan hati hanya didapat bila kita dekat dengan Allah, rajin membaca Al-Quran, rajin sholat, dan lain-lain. Ketidak nyamanan bukan hanya akibat ulah manusia tapi bisa juga karena binatang buas, bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain. Ada orang yang merasa tidak aman walaupun situasinya aman dan tentram. Sebaliknya ada orang yang merasa, tenang, tidak gelisah walaupun situasi dan keadaan genting dan kacau.

Contoh dari bukti sederhana bahwa Allah bersifat Al-Mu’min dapat kita lihat dalam diri kita sendiri. Seperti pada tubuh kita, Allah menciptakan alis di atas mata yang berfungsi melindungi mata dari keringat yang jatuh, bulu mata melindungi mata dan debu dari binatang-binatang kecil.

Bukti lain di luar tubuh kita seperti ketika Rasulullah ingin Hijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Pada malam keberangkatan Nabi Muhammad, sekeliling rumah Nabi telah di pagar betis oleh orang-orarig Quraisy yang ingin membunuh Nabi Muhammad SAW.

Akan tetapi dengan sifat Al-Mukmin Allah telah memberi keselamatan kepada Rasulullah. Rasulullah dengan aman dapat keluar dan rumah dan meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah.

Orang yang beriman kepada Allah Al-Mu’min akan selalu tenang dan tidak gegabah dalam menghadapi setiap keadaan dan situasi yang genting dan kacau sekalipun.

Sifat Allah Al Mumin ini menerangkan bahwa Allah memberi rasa aman dan tenteram dalam hati hamba-Nya. Polisi, tentara, dan satpam mencoba meneladani sifat Al Mu’min ini dengan menjaga keamanan lingkungan.

Jadi jika kita ingin selalu aman dan tentram, kita harus selalu ingat kepada Allah SWT. karena Allah memberi rasa aman dan ketentraman dalam hati hambah-Nya.

Kisah Teladan Nabi
GUBUK KAKEK YANG MERUSAK KEINDAHAN KOTA

Berjalan tergopoh-gopoh, seorang lelaki Yahudi datang menemui Khalifah Umar bin Khattab, “Wahai khalif, oh aku sengaja datang menghadapmu untuk mengabarkan tentang gubukku. Gubernur Amru bin Ash, bawahan khalifah, telah mnghancurkan gubukku. Alasannya, gubukku sudah mengganggu keindahan kota.”

Seteloh mendapat laporan itu, Khalifah Umar lalu memanggjl Amru bin Ash , “janganlah engkau semena-mena pada siapapun. Meskipun ia seorang Yahudi. Sekarang bangun kembali gubuk orang Yahudi itu seperti semula.”

Tentu saja orang Yahudi itu terkagum-kagum dengan kebijaksanaan khalifah. Meskipun dirinya seorang Yahudi, namun Islam tetap melindungi keamanannya. Saat itu pula ia lalu masuk Islam.

Asmaul Husna - Al Haadi

Al Haadi artinya Yang Maha Pemberi Petunjuk Allah adalah zat yang menganugerahkan petunjuk. Petunjuk yang diberikan Allah bertingkat-tingkat.

Petunjuk Allah pada tingkat pertama adalah naluri yang diberikan sejak manusia lahir, misalnya tangis bayi ketika lahir. Petunjuk Allah pada tingkat kedua adalah panca indra. Ketika bayi mulai tumbuh kembang, dia mulai membutuhkan fungsi pancaindra.

Mata berfungsi untuk melihat, hidung untuk mencium, telinga untuk mendengar, lidah untuk mengecap, dan kulit untuk merasa.

Petunjuk Allah pada tingkat ketiga adalah akal. Anak yang masih kecil belum dapat menggunakan akal secara optimal. Mereka belum dapat membedakan baik dan buruk. Allah memberikan akal pada manusia untuk berpikir.

Petunjuk Allah pada tingkat keempat atau yang tertinggi adalah hidayah agama. Dengan hidayah, manusia tidak akan tersesat selamanya. Manusia menjadi orang beriman dan mau mengamalkan ajaran Islam. Allah berfirman:
Artinya: “Dan agarorang-orang yang telah diberiilmu, meyakini bahwasanya Al Quran ltulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beniman kepada jalan yang lurus.”

Kisah Teladan
PERAMPOK YANG MINTA DIBACAIN AYAT AL QUR’AN

Saat Syeikh Al Asma’i pergi berhaji, tiba-tiba di tengah jalan Ia dihadang oleh seorang perampok. Anehnya, perampok itu malah meminta Syeikh membaca salah satu ayat Al Qur’an.

Syeikh pun lantas membacakan sebuah ayat Al Quran. Tiba-tiba siperampok itu menggigil ketakutan. “Ya Allah...aku benar-benar menyesal, selama ini hidupku banyak merugikan orang lain. Aku benar-benar orang terkutuk.

Sudahlah, sahabatku. Allah itu Maha Pengampun. Masih ada waktu engkau untuk bertobat.” Kata Syeikh menenangkan.

Subhanallah...saat itu juga, Si perompok langsung bertobat. Tolong aku, ajari shalat dan ilmu agama lainnya...” dengan senang hati Syeikh Al Asma’i pun mengajari semuanya sampai Ia hafal.

Thursday, 22 October 2015

Apa Sebab Adanya Perbedaan Menentukan Awal Dan Akhir Ramadhan ?

Tanya : Terus terang saya ini orang awam, saya sering dibingungkan oleh awal dan akhir Ramadhan yang berbeda. Untuk menghindari kesalahan, saya merniih awal puasa rnengikuti pendapat yang akhir, dan untuk Idul Fitri saya ikut yang awal (mana yang lebih dulu Idul Fitri). Saya tidak memilih jamaah atau golongan, tetapi semata-mata ingin selamat saja. Sebab pernah saya dengar, puasa di hari Id adaiah dosa. Apakah sikap saya ini bisa dibenarkan? (Sriyanto, Boja Semarang)

Jawab : Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.

Hisab adalah menghitung berdasrkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoretik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.

Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidak samaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut, khususnya ru’yah dan hisab.

Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?

Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.

Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari. “(HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Hanya saja, kalangan Syafi’i masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar bagi para ahli hisab (al-munajjimun) itu sendiri dan mereka yang mempercayai kebenarannya. Artinya, dalam pendapat ini pun, hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas.

Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?

Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru‘yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada hasil ru’yah langsung.

Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam, karena ru’yah tidak perlu dilakukan sendiri. Rasulullah saja menerima dan mengikuti pengakuan ru’yah seorang Baduwi. -Sekedar untuk diketahui, kata Baduwi dalam literatur Arab cenderung mengandung pengertian: orang awam-.

Jadi, yang perlu Anda lakukan hanya mengikuti informasi proses ru’yah, yang di negeri ini banyak dilakukan, baik oleh pribadi maupun organisasi.

Sebagai catatan, hasil ru‘yah tidak berlaku dalam skala global. Ia hanya berlaku untuk daerah, wilayah maupun negara yang berdekatan saja. (Al-Fiqh A1-Manhajy, I, 336).

Maka, awal Ramadhan di Indonesia bisa saja berbeda dengan di Arab Saudi, misalnya. Karena secara geografis berbeda dan berjauhan, hasil ru’yah di dua tempat itu mungkin saja memang berbeda.

Apa Hukum Makmum Isya’ Kepada Shalat Tarawih ?

Tanya : Seorang teman datang terlambat ke mushalla. Dia belum shalat Isya . sementara imam telah memasuki shalaf tarawih. Saya lihat dia langsung melakukan shala isya bermakmum kepada imam yang sedang melakukan sholat tarawih. Yang saya tahu tarawih adalah shalat sunah dan isya adalah shalat wajib. Bolehkah melakukan hal itu dan bagaimana hukumnya? (Moh. Rifqi Maulana, Bendomungal Bangil)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, shalat dapat dikerjakan dengan dua cara, berjamaah dan munfarid (sendirian). Berjamaah berasal dari bahasa Arab, yang artinya berkumpul atau berkelompok. Shalat berjamaah minimal terdiri dari dua orang, yakni imam dan makmum. Jumlah maksimalnya tidak terbatas. Tergantung pada kapasitas tempat.

Keabsahan shalat berjamaah menuntut terpenuhinva beberapa persyaratan tambahan. Pertama, makmun tidak mengetahui atau menyakini shalatnya imam batal. Kedua, seorang yang mampu membaca Fatihah tidak boleh makmum kepada orang yang tidak mampu membacanya. Ketiga, orang lelaki tidak boleh makmum kepada orang perempuan. Keempat, tempat makmum tidak berada di depan imam. Kelima, makmum mengikuti gerakan imam. Keenam, makmum mengetahui perpindahan imam dari satu rukun ke rukun yang lain. Ketujuh, imam dan makmum berada dalam satu tempat. Kedelapan, makmum wajib niat menjadi makmum atau berjamaah dengan imam. Kesembilan, shalat imam dan makmum harus sama. (Al-Fiqh Al-Manhaji: I, 179-184).

Berdasarkan persyaratan terakhir, menurut Madzhab Syafi’i, makmum yang mengerjakan shalat Zhuhur tidak boleh mengikuti imam yang sedang mengerjakan shalat Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Tetapi, diperbolehkan seseorang yang shalat sunah mengikuti (menjadi makmum) orang yang tengah menunaikan shalat fardhu. Sah pula, seseoang yang shalat fardhu makmum kepada imam yang shalat sunah, meskipun hukumnya makruh. (Madzahib Al-Arba’ah I, 418).

Berangkat dari itu, sah-sah saja orang mengerjakan shalat Isya’ seraya bermakmum kepada imam yang tengah bertarawih. Meskipun sah, sebaiknya dihindari, sebab hukumnya makruh. Definisi makruh adalah: ma yutsab ‘ala tarkih, wa la yu’aqab ‘ala fi’lih, perkara yang bila ditinggalkan berpahala, kalau dikerjakan tidak méndapat dosa. Kebiasaan menerjang perbuatan yang makruh lama-lama membuat orang memiliki keberanian menerjang perbuatan haram. Sebagaimana menganggap sepele perkara sunah dapat mendorong orang berani mengabaikan perkara wajib.

Lagi pula, menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali tidak sah orang shalat fardhu makmum kepada orang yang shalat sunah. Padahal terdapat kaidah yang menyatakan: al-khuruj min al-khilaf mustahabb, keluar dari khilaf hukumnya sunah. Cara keluar dari khilaf, dalam kasus yang ditanyakan saudara penanya adalah: jika teman Anda yang shalat fardhu tidak makmum kepada orang shalat sunah. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh: II, 1242-1243).

Sunat-Sunah Shalat Hari Raya

Sunat Shalat Hari Raya
1. Disunatkan berjamaah. 

2. Takbir tujuh kali sesudah membaca doa iftitah dan sebelum membaca a’uzu pada rakaat pertama, dan pada rakaat kedua lima kali takbir sebelum membaca Fatihah selain dan takbir berdiri. 

3. Mengangkat kedua tangan setinggi bahu pada tiap-tiap takbir.

Hadis : “Dari Amr bin Syu’aib, “Sesungguhnya Nabi Saw takbir pada hari raya dua belas takbir : Tujuh pada rakaat pertama, lima pada rakaat yang akhir.” (RIWAYAT AHMAD DAN IBNU HIBBAN)
4. Membaca tasbih di antara beberapa takbir. Lafaznya”Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar” yang artinya “Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah. Allah Maha besar. 

5. Membaca surat Qaf sesudah Fatihah pada rakaat pertama, dan surat Qamar pada rakaat kedua. Atau surat Al-‘Ala pada rakaat pertama, dan Al-Gasyyah pada rakaat Kedua. 

6. Menyaringkan (mengeraskan) bacaan, kecuali makmum. 

7. Khotbah dua kali sesudah salat. Keadaan khotbahnya seperti dua khotbah Jumat. 

8. Khotbah pertama hendaklah dimulai dengan takbir sembilan kali. Sebagian ulama mengatakan bahwa khotbah hari raya tidak dimulai dengan takbir seperti itu. Hanya, semua khotbah -baik khotbah Ied ataupun lainnya- hendaklah dimulai dengan puji-pujian (alhamdulillah). 

9. Dalam khotbah Hari Raya Fitri itu hendaklah diadakan penerangan tentang zakat fitrah, dan pada Hari Raya Haji diadakan penerangan tentang hukum-hukum kurban. 

10. Pada hari raya disunatkan mandi dan berhias memakai pakaian yang sebaik-baiknya.
Hadis : “Dari Hasan bin Auf, “Rasulullah Saw. menyuruh kami pada hari raya supaya memakai pakaian sebaik-baiknya yang ada pada kami, dan wangi-wangian sebaik-baiknya yang ada pada kami, dan berkurban dengan binatang segemuk-gemuknya yang ada pada kami.” (RIWAYAT HAKIM DAN IBNU HIBBAN) 

11. Disunatkan makan sebelum pergi salat pada Hari Raya Fitri sedangkan pada Hari Raya Haji disunatkan tidak makan, kecuali sesudah salat.
Hadis : “Dan Anas, “Nabi Saw tidak pergi mengerjakan salat pada Hari Raya Fitri, sebelutn beliau memakan beberapa biji kurma lebih dahulu.” (RIWAYAT AHMAD DAN BUKHARI)

“Dari buraidah, Nabi SAW tidak makan pada hari raya haji hingga beliau kembali dari shalat.” (Riwayat Tirmizi)


12. Ketika pergi salat hendaklah melalui satu jalan, dan kembalinya melalul jalan yang lain. 

13. Pada dua hari raya disunatkan takbir di luar salat. Waktunya, pada Hari Raya Fitri mulai dari terbenam matahari pada malam hari raya sampai imam mulai salat. Takbir ini disunatkan di segala tempat, baik di masjid, di langgar-langgar, di rumah-rumah, di pasar-pasar, atau lain-lainnya, malam ataupun siang, asal pada waktu tersebut, baik orang yang tetap di dalam negeri ataupun orang yang dalam perjalanan.Takbir ini oleh ahli fiqh dinamakan takbir mutlaq. Adapun pada Hari Raya Haji disunatkan takbir sesudah selesai salat fardu yang lima, baik salat ada’an ataupun qada. Begitu juga sesudah salat jenazah atau salat sunat yang lain. Mulai waktu takbir ialah dari terbenam matahari pada malam Hari Raya Haji sampai sesudah salat Asar penghabisan hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) dinamakan takbir muqayyad.
Firman Allah Swt.:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendakkh kamu mengagungkan Allah (takbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (AL-BAQARAH: 185)

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (AL- BAQARAH: 203)


Kata Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan “Beberapa hari yang berbilang” itu ialah hari Tasyriq.
Lafaz takbir :


“Allah Mahabesar (3 x), tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah, Allah Maha Besar (2 x), bagi Allah segala puji. Allah Maha besar, Maha agung, dan puji-puji yang banyak itu bagi Allah semata-mata. Mahasuci Allah pagi dan petang; tidak ada Tuhan melainkan Allah benar janji-Nya. Dia menolong hamba-Nya, dan Dia mengusir semua musuh Nabi-Nya, musuh-Nya sendiri. Tidak ada Tuhan melainkan Allah, kami tidak menyembah (beribadat) kecuali hanya kepada-Nya. dengan ikhlas kami beragama kepada-Nya meskiput dibenci orang-orang kafir”.

Jenis Shalat Sunah

Shalat-Shalat Sunat

Yang dimaksud dengan salat sunat ialah semua salat selain dari salat fardu (salat lima waktu), di antaranya adalah : 
 
Salat hari raya
Hari raya di dalam, Islam ada dua:
a. Hari Raya Idul Fitri, yaitu pada setiap tanggal 1 bulan Syawal.
b. Hari Raya Haji, yaitu pada setiap tanggal 10 bulan dzulhijjah. Hukum salat hari raya adalah sunat Muakkad (sunat yang lebih penting) karena Rasulullah Saw. tetap melakukan salat hari raya selama beliau hidup.
Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, berkurbanlah.” (AL-KAUSAR: 1-2)

Hadis : “Dari Ibnu Umar, “Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar pernah melakukan salat dua hari raya sebelum berkhotbah.” (RIWAYAT JAMAAH AHLI HADIS)


Mula-mula Rasulullah Saw. salat hari raya pada tahun kedua (tahun Hijriah). Salat hari raya itu dua rakaat, waktunya sesudah terbit sampai tergelincir matahari. Rukun, syarat, dan sunatnya sama dengan salat yang lain ditambah dengan beberapa sunat yang lain, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. (baca : sunah-sunah shalat hari raya)

Hadis : “Dan Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi Saw salat han raya 2 rakuat. Beliau tidak salat sebelum dan sesudahnya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Semua orang dianjurkan untuk berkumpul dan salat pada hari raya, baik orang yang menetap (mukim) maupun orang yang dalam perjalanan, baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil; hingga perempuan yang berhalangan karena haid pun disuruh juga pergi berkumpul untuk mendengar khotbah (pidato), tetapi mereka tidak boleh salat. Sungguhpun begitu, bila seseorang salat sendirian, sah juga.

Hadis : “Dari Ummi Aisyah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah menyuruh kami keluar pada Hari Raya Fitri dan Hari Raya Haji, supaya kami membawa gadis-gadis, perempuan yang sedang haid, dan hamba perempuan ke tempat salat hari raya. Adapun perempuan yang sedang haid mereka tidak mengerjakan salat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Tempat Salat Hari Raya
Tempat yang lebih baik ialah di tanah lapang, kecuali kalau ada halanga seperti hujan dan sebagainya. Keterangannya adalah amlan Rasulullah Saw.
“Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Biasanya Rasulullah Saw. melakukan salat dua hari raya (Hari Raya Fitri dan Haji) pada tempat yang dinamakan musalla (Nama tempat di dekat pintu gerbang kota Madinah di sebelah timur kota. Sekarang ia menjadi tempat perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah) Beliau tidak pernah salat hari raya di masjid kecuali hanya satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan”. Apalagi kalau dipandang dari sudut keadaan salat hari raya itu guna dijadikan syiar dan semaraknya agama, maka lebih baik dilaksanakan di tanah lapang.

Sebagian ulama berpendapat, “Lebih baik di masjid, sebab masjid itu adalah tempat yang mulia.”

Pada salat hari raya tidak disyariatkan (tidak disunatkan) azan dan tidak pula iqamah. Yang disyariatkan hanyalah menyerukan “Marilah salat berjamaah”
Hadis : “Dari Jabir bin Samurah. Ia berkata, “Salat hari raya bersama-sama Rasulullah Saw. bukan sekali dua kali saja; beliau salat tidak azan dan tidak iqamah.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

“Dari Zuhri, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah menyuruh tukang azan pada hari raya supaya mengucapkan, ‘Assalata jami’atan’ (Marilah salat berjamaah)’ (RIWAYAT SYAFI’I)


Salat Han Raya Tanggal Dua Syawal

Sebagaimana telah diterangkan, waktu salat Hari Raya Fitri itu adalah tanggal satu bulan Syawal, mulai dari terbit matahari sampa tergelincirnya. Akan tetapi, jika sesudah tergelincir matahari diketahui bahwa hari itu tanggal satu Syawal, jadi waktu salat sudah habis, maka hendaklah salat pada hari kedua (tanggal dua) saja.

Hadis : “Dari Umar bin Anas. Para sahabat berkata, “Telah tertutup atas kami hilal (awal bulan) Syawal. Maka Siang harinya kami puasa kemudian diakhir hari itu datang beberapa orang, mereka menjadi saksi didepan Rasulullah Saw. bahwa mereka telah melihat bulan kemarinnya. makaa Rasulullah Saw. terus menyuruh orang manyak supaya berbuka puasa pada hari itu, dan supaya besoknya mereka pergi shalat hari raya (RIWAYAT LIMA ORANG AHLI HADIS SELAIN TIRMIZI)

(baca shalat sunah lainnya : shalat sunah)

Tabir Wanita