Tanya : Apakah ada perbedaan dalam hukum menabung antara bunga di bank pemerintah dan swasta? (Mutammimah, Salatiga)
Jawab : Pengharaman riba oleh para ulama sudah tidak diragukan lagi karena tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Al Quran secara eksplisit menegaskan hal itu. Dalam surat Al Baqarah ayat 275, Allah berfirman:
Artinya : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. A1-Baqarah: 275)
Ayat yang sejalan dengan ayat ini banyak. Demikian pula dengan hadis yang berfungsi sebagai penjelas kandungan Al Quran yang masih bersifat global.
Kesepakatan tentang status hukum riba ternyata tidak disertai kesepakatan dalam menentukan bentuk dan kriteria riba yang diharamkan. Ada bentuk-bentuk transaksi yang disepakati sebagai praktik riba yang hukumnya haram, tetapi ada pula tindakan yang diperselisihkan, apakah termasuk praktik riba atau tidak.
Perbedaan penilaian itu, mau tidak mau membawa akibat terhadap perbedaan status hukumnya. Termasuk yang disebut terakhir adalah bunga bank pada zaman ini. Apakah termasuk riba yang dilarang atau tidak? Masing-masing mempunyai alasan, dalil dan pertimbangan sendiri-sendiri.
Salah satu penyebab khilaf tersebut adalah kenyataan bahwa bank belum dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Nah, ketika turun ayat yang melarang riba, apakah yang dimaksud praktik riba yang dikenal saat itu, yang memang tidak manusiawi, eksploitatif, dan untuk kepentingan konsumtif, ataukah mencakup model bank sekarang yang umumnya diperuntukkan membiayai usaha-usaha produktif?
Sedangkan yang dimaksud bank di sini, mencakup bank pemerintah dan swasta. Karena, di antara keduanya tidak ada perbedaan. Lain halnya dengan bank syariah yang menerapkan sistem mudharabah atau syirkah, jelas diperbolehkan syara.
Karena pertimbangan-pertimbangan itulah, ulama NU dalam salah satu maklumatnya setelah melakukan kajian secara matang, memutuskan hukum bunga bank (nasional maupun swasta) ada 3 (tiga), haram, halal dan syubhat (tidak jelas halal maupun haramnya).
Dengan keputusan tersebut, bukan berarti NU bersikap ambivalen. Ketidaktegasan itu justru karena didasari sikap objektif dan kejujuran ilmiah. Hal itu bukan hanya milik NU. Para ulama juga banyak yang bersikap seperti itu.
Tidak mustahil, dalam satu kasus terdapat beberapa kemungkinan hukum akibat ada tarik-menarik beberapa dalil. (lihat Ahkam Al-Fuqaha, kumpulan hasil bahfsul masail Muktamar NU).
0 komentar:
Post a Comment