Tanya: Saya punya seorang ibu yang baru saja meninggal dunia karena sakit. Selama beliau sakit, tidak melaksanakan shalat. Bagaimana hukumnya jika shalat yang ditinggal tersebut di-qadha’ oleh anak? Kalau memang boleh, bagaimana caranya? (Supranto, Purbalingga)
Jawab: Kasus pengabaian shalat oleh orang-orang yang sedang mendapat cobaan dari Allah berupa sakit memang sering terjadi. Apalagi dalam keadaan sakit. Dalam keadaan sehat saja tidak jarang kaum Muslimin melalaikannya, baik karena alasan kesibukan ataupun lebih disebabkan pengetahuan agama kurang, yang berakibat pada kelemahan keimanan dan ketakwaan seseorang.
Padahal, shalat merupakan salah satu rukun Islam dan tiang agama (‘imad ad-din), barang siapa yang menegakkannya (melaksanakannya) berarti menegakkan agama. Sebaliknya, barangsiapa merobohkannya (meninggalkan) secara tidak langsung dia telah merobohkan agamanya sendiri.
Jawab: Kasus pengabaian shalat oleh orang-orang yang sedang mendapat cobaan dari Allah berupa sakit memang sering terjadi. Apalagi dalam keadaan sakit. Dalam keadaan sehat saja tidak jarang kaum Muslimin melalaikannya, baik karena alasan kesibukan ataupun lebih disebabkan pengetahuan agama kurang, yang berakibat pada kelemahan keimanan dan ketakwaan seseorang.
Padahal, shalat merupakan salah satu rukun Islam dan tiang agama (‘imad ad-din), barang siapa yang menegakkannya (melaksanakannya) berarti menegakkan agama. Sebaliknya, barangsiapa merobohkannya (meninggalkan) secara tidak langsung dia telah merobohkan agamanya sendiri.
Kalau kita cermati, tindak kejahatan yang merebak akhir-akhir ini merupakan bukti paling kongkrit terjadi dekadensi moral di tengah masyarakat. Tidaklah terlalu mengada-ada bila kejadian salah satu faktor yang dominan adalah karena orang-orang mulai mengabaikan perintah shalat.
Perlu diketahui, jika ibadah shalat dilakukan dengan benar dan dihayati secara mendalam, maka ibadah ini memiliki potensi besar untuk dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Hal ini terjadi karena tertanamnya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan seseorang selalu dimonitor oleh Allah Swt. Perhatikan ayat berikut mi:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya) dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “(QS. A1-’Ankabut: 45)
Dalam kenyataan sehari-hari, dimensi spiritual seperti itulah yang sering dilupakan orang dalam memecahkan masalah, sehingga solusmya kurang aktif.
Pada dasarnya waktu shalat telah ditentukan (muaqqatah). Shalat yang satu, tidak boleh diletakkan pada pada waktu yang lain kecuali karena alasan men-jama (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) yang memang diperkenankan ketika seseorang sedang melakukan perjalanan (bepergian).
Dalam praktiknya, ada saja di antara kita yang melanggar ketentuan tersebut, dalam artian melaksanakan shalat di luar waktunya, atau yang biasa disebut qadha. Hal itu, jika dilakukan dengan sengaja, tanpa udzur syar’i (lupa atau tertidur). Padahal melalaikan perintah shalat adalah termasuk al-kabair atau dosa besar.
Mereka yang dengan sengaja atau tanpa ada udzur syar’i seperti itulah yang kemudian dimaksudkan dengan kelompok orang yang melalaikan shalat. Dalam Al-Quran khususnya surat Al-Ma’un orang seperti itu diancam dengan al-wail (mendapat celaka atau siksa). Kelengkapan ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS. A1-Maa’un: 4-5)
Yang cukup disayangkan, kadang-kadang shalat dianggap rutinitas belaka, dan meninggalkannya sama sekali atau melakukan bukan waktunya dianggap masalah sepele. Ironisnya, ada beberapa orang yang memiliki “hobi” shalat tertentu, misalnya Maghrib, sementara shalat-shalat yang lain tidak pernah diperhatikan. Padahal.. semuanya sama-sama diwajibkan, dan sama-sama rukun Islam. Orang demikian bisa dikatan ber-Islam tidak secara kaffah (paripurna).
Namun kepada orang-orang yang meninggalkan shalat baik dengan maupun tanpa sengaja diwajibkan untuk meng-qadha
Dan hal yang perlu diperhatikan bahwa meng-qadha shalat dalam konteks ini tidak secara otomatis akan menghapus dosa seperti yang dipersepsikan banyak orang. Dosa tersebut hanya bisa terhapus dengan bertobat, berupa rasa penyesalan yang mendalam disertai niat tidak akan mengulangi.
Lazimnya, yang meng-qadha’ shalat adalah pihak yang meninggalkan shalat.
Permasalahannya, jika yang bersangkutan telah meninggal apakah bisa digantikan oleh pihak lain, semisal anaknya?
Berdasarkan keterangan kitab Fath Al-Mu’in, dalam menanggapi masalah itu ada dua pendapat. Menurut qaul mu’tamad, orang yang masih hidup tidak bisa mengganti orang yang telah meninggal, untuk meng-qadha’ shalat. Lain halnya pendapat Imam Al-’Ubbadi dan Imam As-Subki, keduanya menyatakan boleh.
Cara meng-qadha’ shalat adalah sama dengan shalat yang kita lakukan sehari-hari. Hanya yang membedakannya adalah niatnya, mengingat statusnya sebagai pengganti, misalnya “ushalli fard azh-zh uhri arba‘a raka‘atin ‘an fulan “(saya shalat fardhu Zhuhur empat rakaat atas nama si Polan).
Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, dilakukan secara berurutan, sesuai dengan aslinya. Pertama Dhuhur, lalu Ashar, Maghrib dan seterusnya. Tidak diharuskan menentukan kapan hari, bulan, dan tahunnya. Pokoknya shalat yang ditinggalkan Si mayat.
Berdasarkan keterangan kitab Fath Al-Mu’in, dalam menanggapi masalah itu ada dua pendapat. Menurut qaul mu’tamad, orang yang masih hidup tidak bisa mengganti orang yang telah meninggal, untuk meng-qadha’ shalat. Lain halnya pendapat Imam Al-’Ubbadi dan Imam As-Subki, keduanya menyatakan boleh.
Cara meng-qadha’ shalat adalah sama dengan shalat yang kita lakukan sehari-hari. Hanya yang membedakannya adalah niatnya, mengingat statusnya sebagai pengganti, misalnya “ushalli fard azh-zh uhri arba‘a raka‘atin ‘an fulan “(saya shalat fardhu Zhuhur empat rakaat atas nama si Polan).
Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, dilakukan secara berurutan, sesuai dengan aslinya. Pertama Dhuhur, lalu Ashar, Maghrib dan seterusnya. Tidak diharuskan menentukan kapan hari, bulan, dan tahunnya. Pokoknya shalat yang ditinggalkan Si mayat.
0 komentar:
Post a Comment