Wednesday 5 October 2016

Tegar Berdiri Menghadapi Badai (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Diriwayatkai dari Aisyah ra., dia berkata, “Wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah hermimpi, melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahava subuh. Kemudian, beliau gemar menyendiri. Beliau sering menyendiri di Gua Hira. Beliau beribadah di sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau. dan menganibil bekal untuk itu. 

Kemudian, beliau pulang kepada Khadijah. Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanva kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah Malaikat Jibiil seraya berkata, “Bacalah”. Beliau berkata, “Sungguh, aku tidak dapat membaca”. 


Ia mengambil dan mendekapku sehingga aku lelah. Kemudian ia melepaskanku, lalu ia berkata, “Bacalah” Aku berkata, “Sungguh, aku tidak dapat membaca”. 

Ia mengambil dan mendekapku untuk kedua kalinya, kemudian ia melepaskanku, lalu ia berkata, “Bacalah”. Maka, aku berkata, “Sungguh, aku tidak bisa membaca”. Lalu ia mengambil dan mendekapku untuk yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskanku. Lalu ia membacakan, 

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalain. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. 

Lalu, Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang dan tubuh gemetar. Beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid, lalu beliau bersabda, “Selimuti aku! Selimuti aku.” 

Maka, Khadijah menyelimuti beliau sehingga keterkejutan beliau hilang. Beliau bersabda dan menceritakan kisah itu kepada Khadijah, “Sungguh aku takut kepada diriku.” 

Khadijah berkata kepada beliau, “Jangan takut, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menyusahkan engkau selamanya. Sesungguhnya, engkau suka menyambung persaudaraan, berkata benar, menanggung beban dan berusaha membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.” 

Imam An-Nawawi ra. menjelaskan, “Para ulama ra. berkata, Arti ucapan Khadijah ra. adalah “engkau tidak akan ditimpa oleh sesuatu yang buruk karena Allah telah menjadikan pada dirimu akhlak yang mulia dan sifat yang luhur”, lalu dia menyebutkan beberapa contoh dari kemuliaan akhlak beliau. 

Dalam hal ini ada petunjuk bahwa kemuliaan akhlak dan keluhuran budi dapat menjadi sebab selamatnya seseorang dari kejahatan. Di sini juga berarti sebagai sebuah pujian terhadap seseorang di hadapannya dalam kondisi tertentu untuk kemaslahatan. Atau, untuk menenangkan orang yang sedang ketakutan oleh sesuatu dan memberitahunya kabar gembira serta hal-hal yang dapat menjadikannya selamat. Ucapan tersebut, juga merupakan bukti paling nyata tentang 

kehebatan Khadijab ra., kekuatan pikirannya, ketetapan hatinya, dan kepandaiannya dalam memahami sesuatu. 

Kemudian Khadijah membawa beliau pergi kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Dia adalah anak paman Khadijah; seorang pemeluk agama Nasrani pada zaman Jahiliah. Ia dapat menulis tulisan Ibrani, dan ia menulis injil dengan bahasa Ibrani akan apa yang dikehendaki Allah untuk ditulisnya. Ia seorang yang sudah sangat tua dan tunanetra. Khadijah berkata, “Wahai putra pamanku, dengarkanlah putra saudaramu.” 

Lalu Waraqah berkata kepada beliau, “Wahai putra saudaraku, apakah yang engkau lihat?” 

Rasulullah saw. menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Lalu Waraqah berkata kepada beliau, “ini adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Musa! Wahai, sekiranya aku masih muda! Sekiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu....” 

Rasulullah saw. bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” 

Waraqah menjawab, “Belum pernah datang seorang laki-laki yang membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali ia disakiti atau diganggu. Jika aku masih hidup di masamu, maka aku akan menolongmu dengan pertolongan yang tangguh.” 

Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu pun bersela. 

Seolah-olah 40 tahun yang telah dilewati oleh beliau merupakan satu hari, sementara permulaan wahyu menjadi permilaan hari yang baru. Dari sana akal yang sensitive dan suka mencari kebenaran akan mencium cahaya kebenaran. Sedangkan dada yang sempit dan terbebani oleh rasa putus asa akan mmiliki harapan yang lapang dan loncatan ke depan yang jauh. Sesungguhnya, hal tersebut merupakan fase kenabian. 

Alangkah indahnya keutamaan yang datang ini. Alangkah agungnya apa yang dihadapi oleh Muhammad saw. 

Karena itulah, Rasulullah saw. segera menyadari hal tersebut. Pendirian istri beliau Khadijah ra. adalah pendirian yang paling mulia dan terpuji yang pernah dilakukan oleh wanita sepanjang perjalanan sejarah. Khadijah menenangkan Rasulullah ketika beliau merasa galau. Dia membantunya ketika mengalami kesulitan; mengingatkan sisi positif yang ada pada diri beliau; meyakinkan beliau bahwa orang-orang baik seperti beliau tidak akan pernah diabaikan oleh Allah. Sebab, ketika Allah menjadikan seseorang memiliki akhlak yang mulia, dia akan diberi keluarga yang akan menguatkannya. Dengan pandangan yang luar biasa dari hati yang tulus itu Khadijah berhak mendapat penghargaan dari Tuhan semesta alam. Maka, Allah swt. pun menyampaikan salam kepadanya lewat Ar-Ruh Al-Amin (Malaikat Jibril).

Biografi selanjutnya dapat dibaca pada postingan yang berjudul :  Menyelami Makna Ucapan Khadijah ra.

Tuesday 4 October 2016

Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Muhammad saw. setiap tahunnya selalu pergi meninggalkan kota Mekah untuk menghabiskan bulan Ramadhan di Gua Hira yang berjarak sekitar beberapa mil dari daerah yang penuh hiruk-pikuk. Di puncak sebuah gunung di antara pegunungan yang menaungi Mekah; di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan dan hal-hal negatif; di sana hanya ada ketenangan dan kesunyian. Muhammad saw. mempersiapkan bekal untuk malam-malam yang panjang dan menghindar dari kehidupan dunia untuk menghadap kepada Tuhannya dengan hati yang penuh kerinduan. Di gua yang sempit dan tertutup inilah hati Muhammad saw. merenung memikirkan gelombang kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah, kerugian, permusuhan, peperangan dan perpecahan. Namun, beliau hanya bisa pasrah, tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. 


Di gua terpencil ini, sosok yang suka melakukan perenungan ini mencoba merenungi kehidupan para utusan Allah terdahulu. Didapatinya mereka tidak serta-merta dapat melakukan perubahan kecuali setelah berjuang untuk itu. 

Di Gua Hira Muhammad saw. beribadah dan mempertajam hatinya, menjernihkan ruhaninya dan bertaqarrub kepada kebenaran serta menjauh dari kebatilan hingga beliau sampai pada derajat kejernihan hati yang dapat membuka celah hal-hal yang gaib. mimpinya pun begitu jelas sejernih pagi yang cerah. 

Di gua ini, Muhammad saw. berinteraksi dengan penguasa jagat raya ini. Sebelumnya padang pasir telah menjadi saksi atas saudara Muhammad saw., dia meninggalkan Mesir untuk melarikan diri, melewati banyak perkampungan untuk memperoleh keamanan dan ketenangan hati bagi dirinya dan kaumnya hingga dia melihat sebersit cahaya dari sisi Wadi Al-Aiman. Ketika dia mencoba mendekatinya, ternyata dia mendengar sebuah seruan suci memenuhi telinganya dan masuk ke dalam hatinya:
“Sesungguhnya, Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha [20]: 14) 

Semburat cahaya yang keluar dari api itu telah melampaui beberapa abad untuk kembali menyala di sekitar gua tempat seseorang yang sedang bertahannus (memisahkan diri dari keramaian untuk menemukan kebenaran) dan berusaha membersihkan segenap jiwa dan raganya dari kotoran dan keburukan Jahiliah. 

Tapi, cahaya itu bukanlah dalam bentuk api yang menyilaukan orang yang melihatnya, melainkan dalam bentuk sinar wahyu yang penuh berkah, yang langsung menghujam ke dalam hati orang yang pantas menerimanya dalam bentuk ilham dan petunjuk, peneguhan hati dan pertolongan (inayah). 

Tiba- tiba Muhammad saw. terperanjat ketika mendengar suara Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah.” Beliau justru balik bertanya, “Apa yang harus kubaca?” 

Tanya-jawab itu terulang beberapa kali hingga akhirnya turunlah beberapa ayat pertama dari A1-Qur’an, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (A1-A1aq [96]: 1-5

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel :  Tegar Berdiri Menghadapi Badai (Biografi Khadijah ra.)

Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Sesungguhnya, Nabi saw. memiliki segala kebaikan yang pernah dimiliki seseorang pada masa pertumbuhannya. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah ada; selalu berpikir positif, memiliki pandangan yang benar, dikenal cerdas, lugas, dan memiliki visi hidup yang jelas. 

Beliau selalu menggunakan pikirannya untuk menemukan sebuah kebenaran. Akalnya yang jernih dan fitrahnya yang murni selalu dikedepankan ketika menilai kondisi masyarakat yang ada pada waktu itu. Beliau selalu menjauhkan diri dari berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh kaumnya dan berinteraksi dengan mereka secara wajar. Beliau hanya ikut dan tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan yang positif, tapi beliau selalu menghindari berbagai kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat. 


Rasulullah saw. tidak pernah minum khamar; tidak mau makan daging hewan yang disembelih sebagai sesajian bagi berhala; tidak pernah ikut memperingati hari raya atau pesta rakyat dengan menyembah berhala. 

Sejak muda beliau telah menjauhkan diri dari model peribadatan seperti itu, bahkan hal yang demikian merupakan sesuatu yang paling beliau benci sehingga beliau tidak pernah bisa menerima kalau mendengar orang bersumpah atas nama Lata dan Uzza. 

bilik islam
Tentu saja, Allah swt. telah menjaganya dari hal-hal yang demikian. Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., dia herkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Rasulullah saw. dan Abbas ikut mengangkuti bebatuan. Abbas berkata kepada Nabi saw., Angkat kainmu sampai ke atas lutut supaya tidak terkena batu. Beliau pun menunduk, lalu mendongakkan kepalanya menatap langit dengan kedua matanya, kemudian tersadar. Beliau lalu berseru, ‘Kainku, kainku.’ Maka beliau lalu mengencangkan kainnya. Dalam riwayat lain disebutkan, “Sejak saat itu aurat beliau tidak pernah tersingkap.” 

Rasulullah saw. dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan akhlak dan kebaikan budi pekertinya. Beliau adalah orang yang paling muru’ah (memiliki sifat keperwiraan); baik terhadap tetangga, menyayangi sesama, jujur, lembut, terjaga jiwanya, mulia sifatnya, banyak berbuat kebajikan, menepati janji, menjaga amanah sehingga kaumnya menjulukinya Al-Amin. Jadi, segala bentuk kebaikan terhimpun pada diri Rasulullah saw. Sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mu’minin Khadijah ra., beliau menanggung beban, berusaha membantu orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Saturday 1 October 2016

Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah melihat bahwa kecintaan Zaid kepada Rasulullah saw. merupakan suatu sikap yang tidak dapat tergantikan oleh dunia dan segala isinya yang hanya merupakan kenikmatan semu. 

Waktu itu, Zaid kecil bepergian bersama ibunya untuk mengunjungi kaumnya. Di perjalanan, sekelompok perampok berkuda menyerang mereka dan menculik Zaid. Mereka lalu menjualnya di Pasar ‘Ukaz, pasar yang sangat terkenal di Mekah waktu itu, di sana juga terdapat perdagangan budak. Dia dibeli oleh Hakim bin Hazam seharga 400 dirham untuk dihadiahkan kepada bibinya Khadijah. 

Ayah Zaid terus berusaha mencari anaknya itu ke seluruh penjuru namun tidak berhasil menemukannya. Hatinya seakan tercabik-cabik oleh kesedihan atas kehilangan anak yang dicintainya itu. Kesedihan yang amat dalam itu membuatnya mampu untuk menyusun sebuah untaian syair yang amat menyayat hati pendengarnya. 


Dia berujar, “Aku menangisi Zaid tanpa aku tahu apa yang dilakukannya sekarang. Apakah aku masih boleh berharap dia hidup atau ajal tetah lebih dulu menjemput…Demi Allah aku sungguh tidak tahu Apakah dia diculik oleh lautan atau pegunungan… Matahari selalu mengingatkanku padanya setiap kali dia terbit…Namun ingatan itu sirna seiring dengan terbenamnya…Aku akan terus berjalan di muka bumi sampai menemukannya…Aku takkan pernah bosan hingga unta-lah yang merasa bosan…Itu kalau aku masih hidup. Kalau ajal lebih dulu menjemput, maka setiap orang memang akan binasa meski penuh dengan cita-cita” 

Pada saat musim haji tiba, beberapa penyair dari suku Zaid melantunnkan untaian syair tersebut seraya melakukan thaaf di sekeliling Baitul Atiq (Ka’bah). Takk disangka mereka berpapasan dengan Zaid. Mereka langsung mengenalinya dan begitu juga halnya dengan Zaid. Mereka lantas saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Sctelah selesai dari manasik haji, mereka pun kembali ke rurnah masing-masing. Mereka lalu memberitahu Haritsah tentang apa yang mereka lihat dan dengar.
Mendengar berita tersebut Haritsah langsung bersiap melakukan perjalanan untuk menjemput sang putra. Dia juga menyiapkan sejumlah harta untuk digunakan sebagai penebus anak yang amat disayanginya itu. Bersama saudaranya yang bernama Ka’ab, dia bergegas melakukan perjalanan menuju Mekah. 

Sesampainya di Mekah, mereka bertanya tentang keberadaan Nabi saw. Mereka diberitahu oleh orang-orang yang mereka temui bahwa beliau berada di masjid. Keduanya lalu masuk ke dalam masjid untuk menemui beliau dan berkata, “Wahai putra Hasyim, wahai putra sang pemimpin kaumnya, kalian adalah pemilik Tanah Haram dan tetangganya. Kalian membantu orang yang mengalami kesulitan dan memberi makan para tawanan. Kami datang untuk menjemput anak kami yang berada di tanganmu. Maka kasihanilah kami dan berbaik hatilah kepada kami agar kami dapat rnenebusnya sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.” 

Rasulullah saw. bertanya: “Siapa yang kalian maksud?” 

Jawab mereka, “Zaid bin Haritsah.” 

Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apa mungkin dengan cara lain?” 

Mereka bertanya, “Cara yang bagaimana?” 

Beliau berkata, “Panggilah dia dan suruh dia untuk memilih. Jika dia memilih kalian, maka dia menjadi milik kalian tanpa tebusan sepeser pun. Jika dia memilih aku, demi Allah bukan aku yang memilihkan untuknya, melainkan itu adalah pilihannya sendiri.” 

Mereka berkata, “Sungguh, engkau telah berbaik hati kepada kami.” 

Rasulullah saw. lalu memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Apa kamu mengenali mereka Zaid ?”
J awab Zaid, “Ya, ini ayahku dan pamanku.” 

Rasulullah saw. berkata lagi padanya, “Kamu pun tentu telah mengenal siapa aku dan bagaimana sayangnya aku kepadamu, maka silakan kamu memilih antara aku dan mereka.” 

Zaid lalu berkata, “Aku tidak mungkin mernilih orang selain engkau. Engkau adalah ayah sekaligus pamanku.” 

Keduanya lalu berkata, “Celakalah engkau hai Zaid, kamu lebih memilih menjadi budak daripada hidup bebas bersama ayah, paman, dan seluruh keluargamu?” 

Zaid menjawab, “Ya, Ayah! Aku telah menemukan pada diri orang ini sesuatu yang membuatku tidak mungkin memilih orang lain selain dia selamanya. 

Ketika Rasulullah saw menyaksikan hal tersebut, beliau lantas keluar menemui khalayak dan berkata, “Wahai semua yang hadir, saksikanlah, sesungguhnya, Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi pewirisku dan aku menjadi pewarisnya.” 

Setelah melihat yang demikian, ayah dan paman Zaid pun merelakan sang anak lalu mereka kembali ke kaumnya. 

Sejak saat itu, Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad hingga Islam datang. Rasulullah saw. lalu menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy. Ketika Zaid menceraikannya, Rasulullah saw. lalu menikahinya. 

Orang-orang munafik menyebarkan isu negatif, mereka mengatakan, “Muhammad menikahi istri anaknya sendiri.” Maka turunlah ayat, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (A1-Ahzab [33]: 40) Lalu Rasulullah membaca ayat sebelumnya, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka....” (A1-Ahzab [33]: 5) Maka Zaid pun kembali dipanggil Zaid bin Haritsah. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada potingan yang berjudul :  Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah ra. adalah sosok yang sangat dermawan dan suka memberi. Dia menyukai apa saja yang disukai oleh suaminya dan mengorbankan segala yang dimilikinya demi membahagiakan sang suami. Ketika Rasulullah saw. harus mengasuh anak pamannya, Ali bin Abu Thalib ra., dia mendapatkan di rumah “wanita suci” dan penyayang, seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Ali merasa seolah-olah Khadijah itu adalah ibu kandung yang melahirkannya. Khadijah begitu menyayangi Ali dengan penuh kasih. 


Begitu juga ketika Khadijah ra. merasa hahwa Rasulullah saw. sangat menynyangi budaknya, Zaid bin Haritsah. Dia menghadiahkannya kepada beliau sehingga kedudukannya semakin bertambah mulia di hati Rasulullah saw.

Biografi Siti Khadijah selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Friday 30 September 2016

Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Seperti itulah kondisi rumah yang penuh berkah, cinta, dan kasih sayang. Khadijah tidak pernah berhenti berusaha memberikan kebahagiaan bagi Rasulullah saw. Hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. pulang ke rumah, sang istri yang sangat penyayang itu menyampaikan kabar gembira yang luar biasa. Khadijah memberi tahu beliau bahwa dia mengandung. Hati Rasulullah saw. bergetar karena kegembiraan yang luar biasa ketika mendengar kabar gembira tersebut. 


Khadijah pun sangat merasakan kegembiraan dan keceriaan yang sangat karena dia merasakan dan mengetahui betul bahwa sang suami memang sangat berharap Allah akan memberinya keturunan. Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Khadijah melahirkan putra pertama Rasulullah saw. yang diberi nama Al-Qasim. Dengan nama inilah Rasulullah saw. kemudian digelari (Abul Qasim). 

Setelah itu, Khadijah juga dianugerahi oleh Allah beberapa putri, yairu Zainah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Semuanya lahir sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi. Setelah beliau menjadi Nabi, Khadijah melahirkan seorang anak lagi, yaitu Abdullah, yang juga dinamakan dengan At-Thayyib Ath-Thahir (anak yang baik dan suci). 

Ibnu Abbas pernah memaparkan nama putra-putri Rasulullah saw. dan Khadijah ra. Dia berkata, “Khadijah telah melahirkan untuk Rasulullah saw. dua orang putra dan empat orang putri, yaitu Al-Qasim, Abdullah, Fatimah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Ruqayyah. Adapun Ibrahim adalah anak yang diperoleh Rasulullah dari Maria Al- Qibthiyya ra. Namun, seluruh putra beliau meninggal dunia ketika mereka masih kecil. Semua putri beliau sempat merasakan periode Islam, dan mereka pun masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah. 

Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan Utsman bin Affan ra. (Utsman tidak menikahinya secara bersamaan), sementara Zainab menikah dengan Abul Ash bin Ar-Rabi’ bin Abd Syams, sedangkan Fatimah menikah dengan Ali bin Abu Thalib ra. 

Semua putrinya meninggal dunia pada saat Rasulullah saw masih hidup, kecuali Fatimah yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat. 

Khadijah ra. adalah istri yang sangat ideal. Dia tahu betul bagaimana membahagiakan suaminya dan anak-anaknya. Semakin lama mendampingi Rasulullah saw., dia semakin mencintai beliau dan terkagum-kagum oleh sosok hamba yang zuhud, yang hatinya selalu terikat dengan Allah swt. 

Dari rumah yang penuh berkah ini hadir Fatimah yang di kenuidian hari akan banyak melakukan pengorbanan. Dialah pemimpin para wanita penghuni surga. Ibunda Hasan dan Husain; dua pemimpin para pemuda ahli surga, dan istri dari salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah. Sebuah rumah yang penuh berkah yang menyebarkan keberkahan dan keimanan ke seluruh penjuru alam. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Pada sebuah kesempatn yang dipenuhi oleh cahaya ilahi, Rasulullah saw, berbincang-bincang dengan Khadijah ra. Suara beliau begitu lembut menyentuh hatinya. Pembicaraan beliau yang penuh dengan hikmah memenuhi jiwa Khadijah dengan kebahagiaan yang luar biasa hingga seolah-olah dia terbang oleh kebahagiaan yang merasuk ke dalam jiwanya itu. 


Tiba-tiba salah seorang pembantu Khadijah datang dan berkata, “Halimah bin Abdullah bin Al-Harits As-Sa’diyah datang bertamu.” 

Ketika Rasulullah saw. mendengar nama Halimah As-Sa’diyah, hatinya berdebar penuh kerinduan. Terbayang oleh beliau berbagai kenangan ketika beliau tinggal di tengah-tengah kaum Bani Sa’d dan memperoleh kasih sayang dan air susu ibu di sana. Kenangan masa kecilnya yang tumbuh besar dalam pelukan dan pemeliharaan Halimah. Sebuah kenangan yang sangat indah dan sulit dilupakan. 

Khadijah serta-merta berdiri untuk menyambut Halimah ra. dan mempersilakannya untuk masuk. Setiap kali Rasulullah saw. bercerita kepada Khadijah tentang Halimah, tersirat rasa sayang yang amat dalam. Ketika Rasulullah saw. melihat sosok Halimah, Khadijah mendengar suara lembut Rasulullah saw memanggil, “Ibu... Ibu...” dengan penuh kasih sayang. 

Lalu, Khadijah melihat Rasulullah saw. mengembangkan kainnya untuk sang ibu yang telah menyusuinya. Beliau lalu meraih tangan Halimah dengan penuh kelembutan. Di wajah beliau tampak kehahagiaan yang luar biasa. Matanya berbinar-binar. seolah-olah beliau sedang berada dalam dekapan ibunya, Aminah binti Wahab. 

Dalam pertemuan yang penuh kehangatan antara Rasulullah saw. dan Halimah, beliau bertanya tentang keadaannya. Halimah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang kesulitan hidup yang dialaminya dan kekeringan yang menimpa kaum Bani Sa’d sehingga mereka saat ini hidup dalam kemiskinan dan kesempitan hidup yang luar biasa. Rasulullah saw. pun berjanji akan menolongnya. 

Kemudian, Rasulullah saw. menceritakan kepada Khadijah apa yang dialami oleh Ibu yang menyusuinya itu dan kaumnya. Khadijah pun langsung terenyuh mendengarnya dan serta-merta memberikan bantuan kepadanya berupa 40 ekor kambing. Khadijah juga memberinya seekor unta pembawa air minum dan membekalinya dengan perbekalan yang cukup untuk kembali ke perkampungannya. 

Khadijah memang selalu berusaha untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan hartanya dalam rangka meraih ridha suaminya Muhammad saw. Beliau pun sangat berterimakasih kepada Khadijah. Lalu berbagai pemberian Khadijah itu pun diserahkan oleh Rasuhillah saw. kepada Halimah, Ibu yang telah menyusui beliau.

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Thursday 29 September 2016

Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Kebahagiaan serta-merta melingkupi rumah Khadijah ra. Sang wanita suci telah menemukan pada diri sosok tepercaya, Muhammad saw., pernikahan yang terbaik. Beliau adalah pribadi yang lembut. Kasih sayangnya meliputi semua orang, seluruh makhluk hidup, bahkan segala sesuatu. 

Akhlak Muhammad saw., yang bersumber dari fitrahnya begitu sempurna dan seimbang. Kesabarannya selaras dengan keberaniannya, sementara keberaniannya selaras dengan kedermawanannya. Kedermawanannya seperti kemurahan hatinya. Kemurahan hatinya sejalan dengan kasih sayangnya. kasih sayangnya seimbang dengan keperwiraannya dan berbagi, sifat yang dimilikinya adalah sifat yang paling utama. 


Di antara bentuk kebaikan hati Muhammad saw., adalah beliau tidak pernah melupakan sosok wanita agung yang telah berperan sebagai ibunya setelah kepergian ibu kandungnya, yaitu Ummu Aiman ra. Beliau mengajaknya serta untuk tinggal bersama di rumah tempat beliau tinggal bersama Khadijah. Beliau begitu memuliakan dan mengasihinya. Di samping itu, beliau juga amat menyayangi putra dan putri Khadijah ra. sepenuh hati. 

Anak-anak Khadijah lebih memilih tinggal bersama ibu mereka setelah Khadijah menikah dengan beliau. Bahkan, para budak di rumah itu sangat senang dapat tumbuh besar dalam peliharaan orang yang memiliki kepribadian paling baik. Rasulullah saw. sangat menyayangi salah seorang budak bernama Zaid bin Haritsah dengan kasih sayang yang tidak pernah didapatnya dari orang lain sebelumnya. 

Melihat hal itu, Khadijah lalu menyerahkan Zaid kepada beliau dan langsung dimerdekakannya. Tidak berhenti sampai di situ, setelah memberinya kebebasan, Rasulullah saw. juga memuliakannya dengan menasahkannya kepada dirinya sehingga Zaid sempat dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. 

Cinta Khadijah terhadap suaminya Muhammad saw. begitu besar. Cinta yang dihiasi dengan keluhuran budi dan akhlak. Seiring perjalanan waktu, Khadijah semakin yakin bahwa lelaki pilihannya ini adalah manusia yang paling tepat untuk mengemban Risalah Ilahiyah, lalu bangkit bersama umatnya. 

Khadijah selalu berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi Rasulullah saw. Jika beliau memberi isyarat sesuatu, Khadijah akan menjawab isyarat itu dengan sepenuh hati dan kerelaan jiwa, serta tangan terbuka. Dia tidak pernah pelit dalam memberikan hartanya, seperti hatinya tidak pernah sungkan memberikan cinta dan kasih sayangnya. Tidak hanya kepada sang suami, tapi juga kepada setiap orang yang disayangi oleh suaminya. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas dan gembira.

Kelanjutan biografi Khadijah bisa dibaca pada artikel berjudul : Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.).

Inilah “Al-Amin” (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. memang telah mengetaui akhlak Nabi saw. dengan baik dan banyak mendengar tentang kemuliaan dan keutamaan beliau yang begitu menyenangkan hati setiap orang yang mengenal beliau. Akan tetapi, dia juga tahu posisi Nabi saw. di tengah-tengah kaumnya yang pernah menjuluki beliau dengan julukan “Al-Ainin”. Bahkan, mereka seringkali meminta bantuan beliau untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di antara mereka.


Seperti yang terjadi ketika suku Quraisy membangun kembali Ka’bah A1-Musyarrafah (yang mulia). Hampir saja bangunan Ka’bah hilang. Sebuah riwayat mengatakan bahwa penyebabnya adalah banjir bandang yang terjadi lima tahun sebelum diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi, dan ini adalah pendapat yang paling kuat. Maka tidak ada jalan lain bagi suku Quraisy selain harus membangun kembali Ka’bah. 

Cukup banyak hadits shahih yang menceritakan peristiwa tersebut. Imam Al-Bukhari ra. meriwayatkan dari Aisyah ra. hahwa sesungguhnya, Rasulullah saw pernah bercerita kepadanya, “Tahukah engkau ketika kaummu membangun kembali Ka’bah, mereka mengabaikan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” Maka aku bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya pada fondasi Nabi Ibrahim saw?” J awab beliau, “Kalau bukan karena kaummu melakukannya karena kekafiran mereka, aku pasti sudah melakukannya.” 

Lalu Abdullah ra. berkata, Meski Aisyah ra. mendengar hal itu dari Rasulullah saw, aku tidak melihat bahwa Rasulullah saw. membiarkan penyerahan dua tiang di samping tempat peletakkan Hajar Aswad, kecuali kalau ternyata Baitullah (Ka’bah) tidak diselesaikan sesuai dengan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” 

Dalam upaya membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mensyaratkan agar biaya pembangunannya harus berasal dari sumber yang baik dan tidak boleh dicampuri oleh dana-dana yang haram dan tidak jelas seperti hasil rampokan, riba, atau menzalimi seseorang. 

Ibnu Ishaq menceritakan, “Kemudian, seluruh kabilah Quraisy pun bergotong-royong mengumpulkan batu untuk pembangunan Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri, kemudian mereka langsung membangunnya. 

Ketika pembangunan sampai ke bagian sudut bangunan, terjadi perselisihan di antara mereka. Setiap kabilah menginginkan agar sudut tempat peletakkan Hajar Aswad itu berada di bagian yang mereka bangun. Situasi pun sempat memanas sampai-sampai mereka telah bersiap-siap untuk berperang. 

Kabilah Bani Abdud-Dar sempat membawa semangkuk besar berisi darah, lalu mereka bersepakat dengan Bani Adi bin Ka’ab bin Lu’ay untuk berperang sampai mati. Maka, mereka memasukkan tangan ke dalam mangkuk yang berisi darah tersebut. Peristiwa itu disebut dengan ‘Jilatan Darah’. Ketegangan tersebut berlangsung selama empat sampai lima hari, hingga kemudian mereka mengadakan musyawarah di masjid. 

Seseorang dari mereka berseru, “Wahai bangsa Quraisy, buatlah sebuah kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan di antara kalian bahwa yang paling pertama masuk masjid besok adalah orang yang berhak memutuskan perkara ini.” 

Mereka pun menyepakati hal itu. Ternyata orang yang pertama masuk masjid adalah Rasulullah saw. Ketika mereka melihatnya, mereka lantas berseru, “Itu adalah Muhammad, dia orang yang tepercaya. Kami rela kalau dia yang memutuskan perkara ini.” 

Ketika semua telah sama-sama sepakat dan menyampaikan hal itu kepada Muhammad saw., beliau lalu berkata, “Beri aku selembar kain.” Maka, diberikanlah kepadanya selembar kain. Beliau lalu mengambil bagian sudut Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya di atas kain itu, kemudian berkata, “Setiap kabilah agar memegang ujung kain ini, lalu angkatlah bersama-sama.” 

Mereka pun mengangkat kain tersebut besama-sama ke tempat peletakkan bagian sudut itu. Setelah itu, Rasulullah saw. mengambil batu itu dari kain dan meletakkannya di tempat yang seharusnya dengan tangannya sendiri. Lalu, dibangunlah sudut Hajar Aswad di atas batu itu. 

Biografi selanjutnya bisa divaca pada artikel berjudul : Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.).

Kebijaksanaan Dan Kecerdasan Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Tidak ada bukti yang paling tepat untuk menggambarkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Khadijah selain pilihannya yang dijatuhkan kepada Muhammad saw. untuk menjadi suaminya meski beliau pada saat itu adalah orang miskin, sementara Khadijah sendiri adalah wanita yang kaya raya dan sangat didambakan oleh para bangsawan Quraisy. Hal itu terjadi tidak lain karena dengan kebijaksanaan dan kecerdasan akalnya. Dia dapat mengetahui bahwa kesempurnaan seorang laki-laki, kemuliaan akhlak, lurusnya tabiat merupakan hal yang jauh lebih penting dari sekadar kekayaan materi dan kebangsawanan.


Sesungguhnya, dia mencari bentuk lain dari kekayaan dan kebangsawanan, yaitu kekayaan jiwa, kebangsawanan hati, dan kemuliaan akhlak. Pada diri siapa dia akan menemukan kesempurnaan seperti itu selain pada diri Muhammad saw. 

Beberapa penulis sejarah menyebutkan bahwa motif Khadijah menikahi beliau adalah karena melihat kehebatan beliau dalam berdagang dan kejujuran serta sifat amanahnya dalam bidang tersebut. Namun menurut kami, meski hal tersebut merupakan salah satu hal yang membuat Khadijah menyukai beliau, apalagi dia adalah seorang pedagang besar dan membutuhkan seseorang yang dapat menjalankan perdagangannya, itu hanyalah motif yang tampak di permukaan yang dapat dijadikan alasan mengapa Khadijah memilih menikah dengan Muhammad saw. yang umurnya jauh lebih muda darinya. Waktu itu Khadijah ra. lebih tua lima belas tahun dari beliau. Dia berumur empat puluh tahun, sedangkan Muhammad saw. berumur dua puluh lima tahun. 

Meski Muhammad saw. hanya memiliki sedikit harta dan tidak memiliki jabatan dan kedudukan apa pun di masyarakat, Khadijah menganggap bahwa kejujuran, sifat amanah, dan kehebatannya berdagang, serta garis keturunannya yang baik telah cukup menjadi alasan untuk menikahi Muhammad saw. di hadapan kaumnya. 

Tàpi kami mencoba untuk meneliti motif sesungguhnya, dari pernikahan wanita mulia ini dengan Muhammad saw. padahal dia waktu itu telah berumur empat puluh, usia yang sangat matang bagi seorang wanita. Dia bukanlah seorang gadis yang labil, bukan juga orang tua yang pikun. 

Begitu juga halnya dengan Muhammad saw. Beliau mungkin tidak akan bersedia menikahi Khadijah kalau hanya melihat kekaynan atau kecantikannya, tanpa melihat kebijaksanaan dan kecerdasannya. Apalagi Khadijah itu di mata kaumnya terkenal dengan kepribadian yang mulia, tingkah laku yang terpuji, kehormatan yang terjaga, dan keturunan yang baik juga. Dengan demikian, bertemulah keinginan Khadijah dengan keinginan Muhammad saw. 

Sungguh tepat perkiraan beliau tentang Khadijah ra. karena dia memang seorang istri yang sangat baik dan bijaksana. Kecerdasan dan kebijaksanaannya itu telah membuatnya mengimani apa yang dibawa oleh beliau dan mengikuti setiap perilakunya dalam hal keimanan dan ketaatan. 

Suatu hari, Rasulullah saw. pulang ke rumah Khadijah ra., dan Malaikat Jibril baru saja mengajarinya tata cara shalat. Beliau pun memberitahu Khadijah ra. tentang hal itu. Serta-merta Khadijah berkata, “Perlihatkan kepadaku sebagaimana dia memperlihatkan kepada engkau!” 

Maksudnya, ajarkan aku apa yang diajarkan Jibril tentang tata cara shalat. 

Rasulullah saw. pun memperlihatkannya kepada Khadijah dan mengajarkannya. Maka dia pun berwudhu sebagaimana wudhunya Rasulullah saw., lalu melaksanakan shalat bersama beliau. Lalu dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullab saw.” 

Biografi Khadijah selanjutnya bisa dibaca dalam artikel berjudul : Inilah “Al-Amin”  (Biografi Khadijah ra.)

Wednesday 28 September 2016

Pernikahan Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Khadijah binti Khuwailid ra. adalah seorang saudagar wanita yang sangat kaya dan dihormati. Dia banyak mempekerjakan orang untuk mengurus perdagangannya atau terkadang bekerjasama dengan mereka dengan cara bagi basil”. Kaum Quraisy waktu itu memang dikenal sebagai kaum pedagang. 

Ketika sampai ke telinganya berita tentang Rasulullah saw., tentang kejujurannya, sifat amanahnya, dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah mengirim utusan untuk menemui beliau dan menawarkannya untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam bersama pembantunya yang bernama Maisarah. Sebagai imbalan, Khadijah memberinya persentasi keuntungan yang jauh lebih besar daripada yang biasa diberikannya kepada para pedagang lain. Rasulullah saw. pun menerima penawaran tersebut, lalu beliau pun berangkat bersama Maisarah ke Syam membawa barang dagangan milik Khadijah.


Sesampainya di Syam, Rasulullah saw. berhenti di bawah sebatang pohon di dekat rumah ibadah seorang rahib. Sang rahib lalu bertanya-tanya kepada Maisarah, “Siapa orang yang beristirahat di bawah pohon itu?” Jawab Maisarah, “Dia dari suku Quraisy, termasuk penduduk Tanah Haram (Mekah) .“ 

Rahib itu lalu herkata, “Tidak ada yang berhenti di bawah pohon ini sama sekali, kecuali seorang nabi.” 

Lalu Rasulullah saw. pun menjual barang dagangan yang dibawanya dari Mekah. Setelah barang dagangannya habis, beliau membeli barang-barang yang diinginkannya. Kemudian langsung berangkat pulang menuju Mekah bersama Maisarah. 

Dalam perjalanan pulang itu, sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli sejarah, setiap kali matahari sedang berada tepat di atas kepala dan ketika terik matahari begitu menyengat, Maisarah melihat dua awan memayungi beliau selama beliau berjalan di atas untanya. Setibanya di Mekah, beliau menyerahkan hasil penjualan yang diperolehnya di Syarn kepada Khadijah seraya menawarkan barang-barang yang dibawanya dari sana. 

Maisarah pun menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya selama perniagaannya bersama Rasulullah saw. Diceritakanlah apa yang disampaikan oleh sang rahib kepadanya, dan diceritakan juga apa yang dia lihat ketika awan memayungi Rasulullah saw. sepanjang perjalanannya. Khadijah adalah seorang wanita yang berpendirian kuat, memiliki sifat kemuliaan, dan berusaha untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Allah atas dirinya. 

Pada hari-hari berikutnya pikiran Khadijah selalu disibukkan oleh berbagai ucapan dan cerita yang disampaikan oleh Maisarah tentang sosok Muhammad saw. Terutama ketika sepupunya Waraqah bin Naufal dengan tegas mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya, Muhammad itu adalah Nabi saw. yang diutus kepada umat ini.” 

Dia kembali teringat kepada mimpinya, yaitu ketika dia melihat bintang jatuh dari langit Mekah dan masuk ke dalam rumahnya. Ucapan Waraqah pun kembali terngiang-ngiang di telinganya: “Bergembiralah sepupuku. Jika Allah benar-benar mewujudkan mimpimu itu, cahaya kenabian akan masuk ke dalam rumahmu, lalu tersebarlah darinya cahaya penutup para nabi.” 

Khadijah lalu berusaha membanding-bandingkan antara apa yang diingatnya itu dengan kenyataan yang dilihatnya dan didengarnya. Dia lantas semakin memperhatikan sosok Muhammad saw. dan memikirkannya sehingga angan dan pikirannya selalu dipenuhi oleh bayangan tentang beliau. 

Setelah melihat berbagai tanda dan kenyataan yang ada, Khadijah begitu yakin hahwa Muhamrnadlah sosok yang akan diangkat oleh Allah sebagai penutup para nabi. Khadijah tidak ingin berlama-lama hanyut dalam angan dan pikirannya. Dia ingin segera mewujudkan semua itu menjadi sebuah kenyataan dalam hidupnya. Dia sangat berharap sosok tersebut benar-benar dapat menjadi suami baginya. Namun, dia tidak tahu harus bagaimana? 

Selama ini Khadijah dikenal sebagai wanita keturunan bangsawan dan dikaruniai dengan kekayaan yang melimpah. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai wanita yang kuat pendiriannya dan cerdas. Wajar, sebagaimana yang biasa terjadi pada diri seorang wanita bangsawan kalau dia kerap meremehkan kaum laki-laki dan menganggap bahwa mereka hanya mengincar hartanya, bukan dirinya. Pandangan mereka hanya tertuju kepada kekayaannya walaupun ketamakan mereka ditutup-tutupi oleh sebuah pernikahan. 

Narnun, setelah mengenal sosok Muhammad saw., Khadijah seolah menemukan pribadi laki-laki yang berbeda dari kaum laki-laki lainnya. Dia melihat bahwa beliau adalah sosok yang tidak tergiur oleh gelimang harta. 

Ketika dia bekerja sama dengan banyak pedagang lain, dia selalu melihat adanya ketamakan dan kecurangan pada diri mereka. Sementara ketika dia bekerja sama dengan Muhammad saw., tidak ditemukannya hal-hal yang demikian. Beliau tidak pernah mau mengusik hartanya dan tidak juga terusik oleh keelokan parasnya. Beliau hanya melaksanakan apa yang harus dikerjakannya, lalu pergi dengan perasaan saling ridha. Khadijah mendapati dirinya terpesona oleh sosok tersebut. 

Ketika Khadijah masih larut dalam keraguan dan rasa bimbang, datanglah salah seorang sahabatnya bernama Nafisah binti Munabbih. Mereka lalu berbincang-bincang, saling berbagi cerita, dan saling mengungkapkan isi hati. Sang sahabat pun dapat menangkap sebuah rahasia yang tersimpan dalam hai Khadijah lewat kata-kata yang keluar dari lisannya. 

Nafisah berusaha menenangkan Khadijah dan mengingatkannya bahwa dia adalah seorang wanita terhormat dan keturunan bangsawan, memiliki kekayaan yang melimpah dan wajah yang cantik rupawan. Banyaknya kaum bangsawan yang datang untuk melamarnya adalah bukti bahwa dia sangat didambakan oleh setiap lelaki. 

Kemudian, Nafisah pun pamit pulang. Namun dia tidak langsung menuju rumahnya, melainkan pergi menemui Muhammad saw. dan menawarkan kepadanya untuk menikahi Khadijah. Nafisah mengajukan sebuah pertanyaan, “Hai Muhammad saw., mengapa engkau belum juga menikah?” Jawab beliau, “Aku tidak memiliki harta untuk melakukan sebuah pernikahan.” 

Nafisah bertanya lagi, “Jika ada yang menjamin semua itu dan engkau diminta untuk menikah dengan seorang wanita kaya, cantik, terhormat, dan cerdas, apakah engkau bersedia?” 

Beliau balik bertanya, “Siapa yang mau melakukan itu?” Jawab Nafisah, “Khadijah binti Khuwailid.” 

Nabi saw. berkata, “Kalau dia memang setuju, aku bersedia.” 

Nafisah pun langsung kembali ke rumah Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira itu. Sementara Rasulullah saw. juga memberitahu paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikah dengan Khadijah. Maka pergilah Abu Thalib, Hamzah. dan paman-paman beliau yang lain ke rumah paman Khadijah yang bernama Amr bin Asad untuk meminang Khadijah seraya menyerahkan mahar.
Pada perternuan yang syahdu itu Abu Thalib sempat menyampaikan sebuah pidato. sebagaimana disebutkan oleh Abu Al-Abbas Al-Mubarrad rahimahullah, dan yang lain. Abu Thalib berkata: 

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk keturunan Nabi Ibrahim saw. dan garis keturunan Nabi Ismail saw., dari asal Ma’ad, bagian dari Mudhar. yang telah menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pemelihara kehormatannya, menjadikan bagi kita rumah yang terjaga, Tanah Haram yang aman, dan menjadikan kita penguasa atas yang lain. Sesungguhnya, keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak ada tandingannya dan tidak sama dengan laki-laki lain dalam hal kebaikan dan keutamaannya. J uga dalam hal kemuliaan dan kecerdasannya.” 

Jika dari segi harta dia berkekurangan, maka harta itu suatu saat akan habis dan sirna. Muhammad saw. yang telah kalian kenal kerabatnya ini meminang Khadijah binti Khuwailid ra. dan menyerahkan untuknya mahar sebesar 20 bakrah (dalam riwayat lain disebutkan: dia memberinya mahar 12 1/2 gram emas). Lalu Abu Thalib berkata, “Demi Allah, suatu saat nanti, dia akan datang dengan berita besar, maka nikahkanlah dia dengan Khadijah.” 

Setelah akad dilangsungkan, disebelihlah beberapa ekor kambing dan dibagikan kepada fakir miskin, lalu para keluarga dan kerabat berdatangan ke rumah Khadijah untuk memberi selamat. 

Waktu itu, Khadijah telah mencapai usia 40, usia yang matang bagi seorang ibu. Sementara Muhammad saw. baru berusia dua puluh lima tahun, usia yang matang bagi seorang pemuda, Dalam pernikahan tersebut, Khadijah berperan sebagai seorang istri yang sangat mencintai suaminya sekaligus berperan sebagai seorang ibu yang mengayomi anaknya dengan penuh cinta, kasih dan sayang. 

Artikel biografi lanjutan bisa dilihat pada postingan yang berjudul : Kebijaksanaan Dan Kecerdasan Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Mimpi Memeluk Bintang (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. adalah wanita yang memiliki cita-cita yang tinggi, perasaan yang kuat, dan wawasan yang luas, serta senantiasa berjalan di jalur agama. Kehidupannya bersih dan suci sehingga dia dikenal di kalangan wanita Quraisy sebagai seorang wanita suci. Dengan sifat yang dimilikinya ini Khadijah memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia. 

Khadijah ra. sering mendengarkan sepupunya bercerita tentang para nabi dan tentang agama. Angannya seringkali terbang tinggi menggapai langit yang penuh dengan keutamaan. Tidak ada seorang pun di antara masyarakat yang hidup dimasanya memiliki angan seperti itu. 


Hingga pada suatu malam tanpa bintang dan gelap gulita Khadijah duduk di kediamannya untuk melepas lelah setetah melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) berkali-kali. Tak lama berselang, dia pun beranjak menuju pembaringannya dengan wajah penuh keridhaan dan senyuman senantiasa menghiasi. bibirnya. Tidak ada sesuatu pun yang terlintas di benaknya saat itu. Baru saja dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur, dia telah tenggelam dalam tidur yang lelap. 

Dia pun bermimpi melihat sebuah bintang jatuh dari 1angit Mekah ke atas rumahnya sehingga rumahnya itu menjadi terang-benderang. Bahkan, sinarnya menembus ke luar rumahnya sehingga menerangi segala sesuatu yang berada di sekitarnya dengan cahaya yang menyilaukan hati; tidak hanya menyilaukan mata karena cahayanya yang begitu kuat. 

Khadijah pun terhangun dari tidurnya dan matanya serta-merta menyapu sekeliling rumahnya dengan perasaan kagum dan heran. Tapi ternyata, didapatinya malam masih meliputi dunia dengan kegelapannya dan masih menyembunyikan segala sesuatu yang ada. Namun, tentu saja cahaya yang begitu menyilaukan dalam tidurnya masih terus bersinar di dalam relung hatinya, menerangi jiwanya yang paling dalam. 

Ketika malam telah berganti pagi, Khadijah pun beranjak dari pembaringannya. Ketika semburat cahaya matahari baru muncul dari timur dan keheningan pagi masih meliputi dunia. Dia pun bergegas untuk pergi ke rumah sepupunya, Waraqah bin Naufal, berharap bisa memperoleh keterangan atas mimpinya yang luar biasa tadi malam. 

Ketika Khadijah masuk ke rumah Waraqah bin Naufal, sepupunya itu sedang membaca lembaran-lembaran yang berisi ayat- ayat Allah swt. Waraqah selalu membiasakan diri membacanya setiap pagi dan sore hari. Ketika dia mendengar suara Khadijah, dia langsung mempersilakannya masuk seraya bertanya keheranan. Mengapa engkau datang pagi-pagi seperti ini? 

Khadijah pun duduk, lalu bercerita tentang apa yang dilihatnya di dalam mimpinya secara perlahan dan detail. Waraqah seolah terhipnotis oleh cerita Khadijah sehingga dia melupakan lembaran-lembaran yang berada di genggarnannya seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia mengikuti dengan seksama alur cerita mimpi yang dikisahkan oleh Khadijah sampai selesai. 

Ketika Khadijah selesai bercerita, wajah Waraqah tampak berbinar-binar. 

Sebuah senyuman yang menghiasi bibirnya menandakan keikhlasan dan ridha. Sejurus kemudian, dia berkata kepada Khadijah dengan tenang, “Bergembiralah sepupuku. Jika Allah benar-benar mewujudkan mimpimu itu, cahaya kenabian akan masuk ke dalam rumahmu, lalu tersebarlah darinya cahaya penutup para nabi.... Allahu Akbar...” 

Apa yang baru saja didengar oleh Khadijah, Apa yang baru saja disampaikan oleh sepupunya, Hati Khadijah berbunga-bunga, tubuhnva bergetar karena gembira. Dadanya dipenuhi oleh berbagai perasaan yang silih berganti, antara angan dan harapan. 

Selanjutnya. Khadijah ra. hidup dalam indahnya harapan dan angan yang diperolehnya dari mimpinya. Dia sangat berharap mimpinya itu benar-benar terwujud sehingga dia menjadi sumber kebaikan bagi umat manusia dan sumber cahaya bagi dunia. Sebelumnya hati Khadijah memang merupakan sumber kebaikan, sedangkan akalnya dapat menangkap setiap kejadian yang terjadi di sekitarnya yang sejalan dengan kehidupannya. 

Sejak saat itu, setiap kali datang kepadanya pembesar Quraisy untuk melamarnya, dia mencoba membanding-bandingkannya dengan apa yang dilihatnya di dalam mimpinya dan dengan penafsiran yang didengarnya dari sepupunya Waraqah bin Naufal. Namun, setelah lama berselang, ciri-ciri yang dilihatnva dalam mimpinya tak kunjung terwujud. Dia tidak melihat pada diri orang-orang yang melamarnya sifat-sifat penutup para nabi. sehingga dia pun harus menolak mereka dengan penolakan yang halus dan beralasan bahwa dia sedang tidak memiliki keinginan untuk menikah. Dia masih memiliki harapan bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang luar biasa bagi dirinya, dan dia merasakan ketenangan yang luar biasa di dalam hatinya

Postingan biografi khadijah selanjutnya bisa dilihat pada artikel :  Pernikahan Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Melihat Lebih Jauh Kepribadian Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Inilah Khadijah, semoga Allah senantiasa meridhainya, pemilik hati yang suci dan jiwa yang penuh dengan rasa ridha. Kalau kita melihat lebih jauh ke dalam jiwanya, akan terpampang di hadapan kita berbagai kenangan tentangnya. 


Meski telah meraih kesuksesan yang luar biasa di dunia bisnis dengan izin Allah swt. hingga perniagaannya di negeri Syam menyamai gabungan perniagnan para konglomerat Quraisy saat itu, Khadijah tetap merasa tidak tenang. Sebab, dia selalu merasa membutuhkan sesuatu yang dapat menghidupkan hatinya, dan sesuatu itu adalah keimanan yang kemudian hari diperolehnya dari Rasuluflah saw. Karena itulah, Khadijah harus mengalami beberapa kali pernikahan dalam rangka menemukan sebuah kehidupan rumah tangga yang berkualitas, yang penuh dengan pengorbanan, kasih sayang, dan saling melengkapi. 

makan siti khadijah, bilik islam
Ketika menikah dengan Abu Halah bin Zirarah At-Tamimy, Khadijah berusaha dengan segala yang dimilikinya untuk menjadikan suaminya itu sebagai pemimpin di sukunya. Namun, ajal begitu cepat menjemput sang suami sehingga pupuslah harapannya untuk itu. Dari Abu Halah, Khadijah memperoleh seorang putri yang diberi nama Hindun. 

Kemudian, dia dinikahi oleh salah seorang bangsawan Quraisy yang bernarna ‘Atiq bin Abid bin Abdullah A1-Makhzumi, namun pernikahan itu tidak bertahan lama. Khadijah yang dikenal sebagai pemuka wanita Quraisy kemudian sempat hidup sendirian tanpa didampingi seorang suami, padahal dia amat disukai oleh para pembesar Quraisy. Meski demikian, Khadijah merasakan dalam relung hatinya yang paling dalam bahwa takdir menyembunyikan sesuatu luar biasa yang akan membuatnya melupakan berbagai kesedihan di masa lalu dan memberikan kebahagiaan bagi jiwanya.

Biografi lanjutan dari postingan ini bisa dilihat dalam postingan yang berjudul :  Mimpi Memeluk Bintang (Biografi Khadijah ra.)

Siapakah Khadijah Binti Khuwailid ? (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Dia adalah Ummul Mu’ininin dan wanita paling mulia sepanjang masa. Julukannya Ummul Qasim, binti Khuwailid bin Asad bin Abul ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyiyyah Al-Asadiyah. 

Ibunda bagi putra-putri Rasulullah saw. dan sosok yang paling pertama mengimani dan membenarkan kenabiannya sebelum yang lain. 


Keutamaannya tidak terhingga. Dia adalah sosok wanita yang begitu sempurna. Cerdas, terhormat, mulia, dan tercatat sebagai penghuni surga. Rasulullah saw. senantiasa memujinya dan mengutamakannya di antara Ummul Mu’minin yang lain. Beliau sangat mengagumi sosoknya. Hal ini terlihat dari ucapan Aisyah ra. 

“Tidak ada yang aku cemburui dari wanita seperti aku cemburu kepada Khadijah. Sebab, Rasulullah saw. begitu sering menyebut namanya.” 

Di antara keutamaan Khadijah bagi Rasulullah saw. adalah beliau belum pernah menikah sebelum menikah dengannya. Di samping itu, Khadijah yang banyak memberi keturunan bagi Rasulullah saw. Beliau tidak menikahi wanita lain selama Khadijah masih hidup. Beliau juga tidak pernah mengambil budak hingga akhir hayatnya. 

Beliau sangat kehilangan dengan kepergian Khadijah menghadap sang Khaliq, karena dia adalah pendamping terbaik yang pernah beliau miliki. Khadijah menyerahkan harta kekayaannya kepada beliau untuk kesuksesan dakwah yang beliau lakukan. Sebaliknya, beliau pun rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk menjalankan perniagaan yang dimiliki oleh Khadijah. 

Menurut Zubair bin Bakar, pada masa Jahiliah Khadijah dijuluki oleh masyarakat dengan julukan “Perempuan Suci”. Ibunya bernama Fatimah binti Za’idah A1-Amiriyah. 

Khadijah sebelumnya telah menikah dengan Abu Halah bin Zirarah At-Tamimy, lalu menikah lagi dengan ‘Atiq bin Abid bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, baru kemudian menikah dengan Rasulullah saw. Beliau menjalani bahtera rumah tangga dengannya selama 25 tahun. Usia beliau terpaut 15 tahun lebih muda dibanding Khadij ah. 

Khadijah dilahirkan di Ummul Qura kirak ira 15 tahun sebelum Tahun Gajah

Kelanjutan biorgafi Khadijah ra. bisa dibaca dalam postingan : Melihat Lebih Jauh Kepribadian Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Monday 26 September 2016

Perempuan Paling Mulia Sepanjang Masa (Biografi Lengkap Khadijah Binti Khuwailid)

biografi khadijah,
Bintang yang paling pertama di antara sekelompok bintang yang menghiasi kehidupan Rasulullah saw. adalah sosok wanita yang merupakan simbol kesucian, kehormatan, dan ketakwaan. Dia adalah bunga yang wanginya tersebar luas ke seantero dunia, yang diliputi oleh keimanan dan pengorbanan.
Sosok yang pertama beriman kepada Allah di kalangan wanita. Mukminah yang pertama melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw. Istri yang pertama menghadiahkan keturunan bagi sang Nabi. Beliau-lah yang pertama mendapat kabar gembira sebagai penghuni surga di antara istri-istri beliau. Dialah yang pertama mendapat salam dari Tuhannya, yang pertama mencapai derajat shiddiqah di antara para mukminat. Istri yang pertama meninggal di antara para istri Nabi saw. 

Makamnya merupakan makam pertama yang dikunjungi oleh beliau di Mekah. Dia beriman kepada Rasulullah saw. ketika orang-orang kufur kepadanya. Dia membenarkan Nabi ketika orang-orang mendustakannya. Dia mendukung perjuangan utusan Allah itu dengan segenap harta kekayaannya ketika orang-orang bakhil terhadapnya, dan darinyalah Allah menganugerahkan keturunan bagi beliau. 

Dia adalah sosok wanita yang cerdas, pintar, terjaga kehormatannya, dan mulia. Pada masa Jahiliah, dia telah dijuluki sebagai “Si Perempuan Suci”. Apalagi setelah dia berada di bawah naungan Islam.
Perempuan ini merupakan penenang jiwa Rasulullah saw. yang selalu menyertai dan mengiringi beliau dalam upaya menyebarkan dakwah Tuhannya. Wanita yang menyiapkan segala hal demi kebahagiaan dan ketenteraman jiwa beliau, yang menjadi sandaran bagi beliau di hari-hari yang penuh rintangan dan cobaan. 

Perempuan ini layak mendapat jaminan keselamatan dari Zat yang Maha Pemberi selamat, yaitu Allah swt. Bahkan, dia mendapat kabar gembira bahwa telah disediakan rumah untuknya di surga yang terbuat dari emas, yang tidak ada keributan dan rasa letih di dalamnya. 

Dia adalah wanita paling mulia sepanjang masa. Istri dan manusia yang paling hebat, yaitu Rasulullah saw. Perempuan itu adalah Khadijah binti Khuwailid ra. yang bintangnya bersinar dalam keimanan, kesucian, kemuliaan, kedermawanan, dan kesempurnaan. 

Sesungguhnya, pujian itu tidak dapat dibeli dengan harta kekayaan, tapi didapat dengan apa yang dilakukan oleh manusia di muka bumi ini. Berupa keutamaan-keutamaan yang terasa manfaatnya sepanjang masa, yang tak pernah hilang dari ingatan mereka yang masih hidup; dapat menenangkan jiwa orang yang mengenangnya, dan memberi inspirasi bagi akal manusia sesudahnya. Demi Allah, tolong katakan sejujurnya, bukankah ini kehebatan yang luar biasa, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia? 

Sejatinya, wanita mu’minah shadiqah ini, yaitu Khadijah ra., bukan sekadar Ummul Mu’ininin, tapi dia adalah induk segala keutamaan. Baginya, hak atas berbagai kebaikan di setiap jiwa orang yang bertauhid hingga Hari Kebangkitan (Hari Kiamat). Maka, apakah kita mampu menunaikan sebagian dari haknya tersebut? 

Deini Allah, sesungguhnya, berbagai cerita dan berita tentangnya menjadi obat yang mujarab bagi hati pendengarnya, menyejukkan jiwa mereka, dan membersihkannya dari berbagai macam penyakit dan kotoran, serta menjadi teladan yang baik ketika hampir tidak ada lagi yang bisa diteladani. 

Dengan membaca kembali sejarah perjalanan hidupnya, hati akan terasa lebih hidup. Dengan meneladani kehidupannya, kita akan memperoleh kebahagiaan. Dengan mengetahui berbagai keutamaannya, kita akan mendapatkan teladan yang luar biasa. 

Karenanya, mari kita mencoba untuk berinteraksi dengan hati kita bersama seorang ibu yang begitu agung dan mulia di dunia agar kita dapat rnengetahui kedudukannya di sisi Allah swt. dan Rasulullah saw. Dan supaya kita ikut merasakan kebahagiaan dengan mengikuti perjalanan hidupnya yang luar biasa seraya mempersembahkan cerita keteladanan yang utama bagi para ibu, istri, anak wanita, dan saudara wanita kita.

Mari kita harumkan hati kita dengan perjalanan hidup Ibunda Khadijah binti Khuwailid ra. yang penuh keberkahan ini

Lanjutan biografi Khadijah bisa dilihat pada judul postingan : Siapakah Khadijah Binti Khuwailid ? (Biografi Lengkap Khadijah Binti Khuwailid)

Monday 19 September 2016

Permulaan Islam Tersiar Di Madinah

awal ula islam di madinah
Setibanya di Mekah, setelah menjalankan Isra’ dan Mi’raj, Nabi Muhammad hanya sewaktu-waktu menyiarkan agama Islam. Biasanya, ditujukan kepada orang-orang yang datang berkunjung dari tempat-tempat lain, seperti orang-orang yang berkunjung untuk menunaikan ibadah haji. 

Pada suatu saat di musim haji, Nabi berjumpa dengan enam orang dari suku Khazraj. Nabi pun menyampaikan ajaran Islam kepada mereka. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, Nabi membacakan beberapa ayat A1-Qur’an dan beberapa pokok ajaran Islam. Mereka beriman kepada Nabi dan berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ketahuilah bahwa Muhammad adalah Nabi Allah yang telah lama kita tunggu-tunggu sebagaimana tertulis dalam Taurat.

Kepada Nabi mereka berkata, “Kami beriman kepada engkau, wahai Nabi Allah. Di belakang kami sekarang ini, kaum kami terpecah-pecah menjadi dua golongan. Golongan Aus dan golongan Khazraj yang selalu bermusuhan dan saling membunuh. Pelajaran yang kami peroleh dari engkau ini akan kami siarkan kepada mereka. Mudah-mudahan semua ini dapat menghilangkan permusuhan yang telah berjalan lama itu.”
 
Setelah menerima ajaran Islam dari Nabi, mereka kembali pulang ke Madinah, mendakwahkan apa yang mereka peroleh dari Muhammad ke tengah-tengah masyarakat Yahudi, yaitu kaum mereka sendiri. Dakwah mereka mendapat sambutan yang baik dari penduduk Madinah. Mereka masuk agama Islam dengan ikhlas, sehingga Islam tersiar di Madinah lebih luas dibandingkan dengan penyebaran Islam di kota Mekah sendiri. Hampir di setiap rumah sudah ada yang masuk agama Islam. 

Berita ini sampai kepada Nabi. Beliau sangat senang, karena harapannya semakin nyata. Tetapi sayang, di Mekah, tempat yang terdiri dari kaumnya sendiri, Islam justru mendapatkan perlawanan yang sangat sengit. Setiap orang yang masuk Islam disiksa oleh kaum Quraisy.

Pada tahun berikutnya, datang pula 12 orang utusan yang terdiri dari suku Aus dan 10 orang suku Khazraj menghadap Nabi. Mereka menyatakan keislaman mereka di hadapan Nabi dan mereka bersumpah akan menjalankan syariat Islam dengan patuh; tidak akan menyekutukan Tuhan; tidak akan berbuat zina; dan akan menjauhkan diri dari segala kemungkaran. Sumpah itu terkenal dengan narna Bai’at Aqabah yang pertama. 

Mereka kembali ke Madinah dengan diikuti oleh seorang utusan Nabi yang pertama Mus’ab bin Umair. Ia sengaja diutus oleh Nabi atas permintaan mereka sendiri. Mus’ab bin Umair ini adalah seorang pemuda yang termasuk salah seorang sahabat Nabi yang pertama kali masuk Islam dan pernah ikut hijrah ke Abessinia sehingga ia banyak berpengalaman dalam menghadapi segala macam tantangan. Dengan semangat yang menggebu-gebu, mereka mendawahkan Islam di Madinah yang pada waktu itu terkenal dengan nama Yatsrib, sehingga Islam berkembang sangat pesat dari rumah ke rumah dan dari kabilah ke kabilah. 

Islam semakin tersiar di kota Madinah. Dua suku bangsa yang selama ini bermusuhan, sekarang hidup damai dan bersatu, bersama-sama menjalankan dan menyiarkan ajaran Islam di sana. 

Selanjutnya, pada musim haji tahun berikutnya, serombongan jamaah haji yang berjumlah 73 orang datang pula menemui Nabi yang bertempat di Aqabah, sehingga pertemuan ini dinamakan juga dengan Bai’at Aqabah kedua. Mereka yang telah menemui Nabi pada dua musim haji sebelumnya, ikut juga dalam rombongan ini. Atas nama rakyat Yatsrib, mereka meminta agar Nabi bersedia pindah ke Yatsrib. 

Abbas, paman Nabi yang masih kafir, ikut juga dalam pertemuan itu. Ia memberikan nasihat kepada mereka seraya berkata, “Kalian telah maklum, tentang kedudukan Muhammad di kalangan kami. Sampai saat ini, kami membela Muhammad dari musuh-musuhnya. Sekarang, kamu meminta supaya Muhammad menyertai dan hidup bersamamu. Jika kamu merasa dapat memenuhi perjanjian, kamu mengajak Muhammad hidup bersamamu karena kamu bersedia menanggung dan membela dia dalam segala hal, aku persilakan. Jika kamu merasa tidak sanggup, lebih baik jangan, dan jangan lupa kamu boleh mengajak dia apabila kamu sanggup menahan perlawanan bangsa Arab dan bangsa Yahudi.”

Bara bin Ma’rur, juru bicara rombongan, menjawab,“Ya, demi Allah kami akan melindunginya sebagaimana kami melindungi diri kami sendiri. Tetapi sebaiknya, kami pun ingin mendapat jaminan, apabila Muhammad saw. telah berkuasa, agar beliau tidak meninggalkan kami untuk selama-lamanya.” 

Nabi menyetujui usul mereka, kemudian semua yang hadir menjabat tangan Rasulullah saw. sambil bersumpah setia kepadanya. Mulai tersiarlah agama Islam di Madinah dan isi perjanjian itu pun akhirnya diketahui oleh bangsa Quraisy yang memusuhi Nabi. Mereka menjadi marah dan makin melipat gandakan ancaman dan siksaan mereka terhadap siapa saja yang memeluk Islam. Di mana saja mereka bertemu dengan orang Islam, mereka pukul, mereka lempar, dan kalau dapat, mereka bunuh. 

Keadaan menjadi begitu genting, sehingga kota Mekah menjadi neraka bagi umat Islam. Nabi menganjurkan setiap muslim yang tidak dapat mempertahankan diri untuk hijrah ke Madinah. Dengan sembunyi-sernbunyi, sedikit demi sedikit, mereka pun hijrah ke Madinah; meninggalkan anak-istrinya untuk mempertahankan agama dan keimanan yang telah mengakar dalam batinnya.

Kisah Isra’ Mi’Raj Nabi Muhammad

isra mi'raj
Tahun ke-10 dari kerasulan merupakan tahun duka cita yang paling berat dirasakan oleh Nabi. Beliau ditinggal oleh paman yang selama ini menjadi pelindungnya; ditinggal pula oleh istri yang begitu mencintai dan dicintainya. Dalam keadaan seperti itu, pada suatu malam, di saat beliau sedang tidur di rumah Ummi Hani binti Abu Thalib, datanglah Malaikat Jibril bersama Malaikat Mikail dan ditemani seorang Malaikat pengawal menemui Nabi. Tujuannya adalah untuk menjemput Nabi dan akan diajak berisra’ dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina.
 
Dalam hal ini Allah berfirman :


Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Harani ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda- tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Pelendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Israa’ [17]: 1)
 
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa perjalanan Nabi dari Masjidil Hararn ke Masjidil Aqsha tersebut dengan mengendarai sebuah kendaraan yang dinamakan Buraq. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadits, “... telah didatangkan kepadaku seekor buraq dan itulah seekor binatang yang putih rupanya, panjang (tingginya) melebihi keledai, lebih pendek dari bighal. Jika ia melangkahkan kakinya kecepatnya sejauh mata memandang. 

Dimulailah perjalanan yang sangat bersejarah itu. Tidak lama kemudian sampailah beliau di suatu negeri yang bernama Thaibah. Negeri ini, pada masa lalu, di zaman para Nabi terdahulu, merupakan sumber pengetahuan dari ilmu, sehingga dapat disaksikan oleh Nabi saw. Di sana banyak gedung megah yang menjadi tempat-tempat menuntut ilmu pengetahuan. Negeri Thaibah begitu anggun dan megah, sehingga orang menyebut negeri itu dengan negeri Madinah, yang dapat diartikan sebagai negeri sumber segala pengetahuan. 

Beliau melanjutkan perjalanannya dan hanya sekejap sampailah di suatu tempat, yang bernama Syajarah Musa. Di tempat ini, beliau dan Jibril turun dan melakukan shalat dua rakaat. 

Usai melakukan shalat sunnah dua rakaat beliau meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian sampailah ke bukit Tursina, yaitu tempat Nabi Musa as. Menerima wahyu dari Allah swt. Di tempat ini, beliau turun, dan sebagaimana di tempat-tempat yang beliau singgahi sebelumnya, beliau pun melakukan shalat dua rakaat. 

Beliau meneruskan perjalanannya sehingga sampailah di sebuah tempat yang bernama Baitul Lahmi, yaitu tempat kelahiran Nabi Isa as. Di tempat ini, beliau turun dan melakukan shalat dua rakaat. Perjalanan diteruskan dan tidak lama kemudian sampailah ke Baitul Maqdis. 

Di Baitul Maqdis, ternyata telah berkumpul para Nabi terdahulu, menantikan kedatangan beliau. Nabi-nabi itu di antara lain: Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Nabi Isa as. Di tempat itu pula mereka bersama-sama melaksanakan shalat dua rakaat dan Nabi Muhammad saw. yang menjadi imamnya. 

Selesai melaksanakan shalat, para nabi secara bergantian menyampaikan sambutannya, dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah yang telah mengangkat mereka menjadi utusan Allah serta memberikan mukjizat kepada mereka masing-masing. Atas perintah Allah pula mereka sengaja turun ke bumi lalu berkumpul di Masjidil Aqsha, untuk menyambut kedatangan Nabi akhir zaman yang menjadi kekasih Allah. Sambutan terakhir disampaikan oleh Nabi Muhammad sendiri, yang juga menyampaikan ucapan puji syukur ke hadirat Allah swt. dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka. 

Demikianlah sekilas mengenai Isra’ Nabi Muhammad saw, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Selanjutnya, akan dibahas pula mengenai Mi’raj Nabi Muhammad saw. Mi‘raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha di Palestina naik ke langit tertinggi untuk menghadap Allah swt. di Sidratul Muntaha. 

Dalam perjalanan naik ke langit itu, telah disediakan kendaraan yang dinamakan Sulam Jannah, yaitu sebuah tangga dari surga yang secara otornatis bisa naik-turun, dan kecepatannya seperti kilat. Kedua kaki tangga tersebut terletak di atas sebuah batu besar yang terdapat di halaman masjid itu. Tangga otornatis yang istirnewa itu, mempunyai sepuluh anak tangga. Anak tangga pertama adalah melambangkan langkah untuk sampai ke langit pertama. Anak tangga kedua adalah melambangkan langkah untuk sampai ke langit kedua dan seterusnya. 

Dengan menginjakkan kakinya di anak tangga yang pertama, lalu sampailah di langit yang pertama. Langit pertama terbuat dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap lapisan langit dijaga oleh Malaikat agar jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit yang pertama ini, Nabi berjumpa dengan Nabi Adam. Nabi memberi hormat kepada beliau. Di tempat ini pula semua makhluk memuja dan memuji Tuhannya. 

Lalu, Nabi naik tingkat ke langit yang kedua. Di langit yang kedua ini Nabi berjumpa dengan Nabi Isa as. Dan Yahya as. Nabi Muhammad saw. segera disambut dengan baik dan penuh hormat oleh kedua Nabi tersebut. Keduanya juga memberi doa restunya untuk keselamatan Nabi Muhammad saw. 

Selanjutnya, Nabi naik ke tingkat berikutnya, ke langit yang ketiga. Di langit yang ketiga ini, Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Yusuf. Nabi Muhammad kagum melihat ketampanan Nabi Yusuf, sehingga Nabi bertanya kepada Jibril, “Siapakah orang yang sangat tampan ini ?“ Jibril menjawab, “Inilah Nabi Yusuf yang terkenal paling tampan di dunia.” 

Kemudian Nabi naik ke langit keempat. Di sini, Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Idris as. yang telah memperoleh karunia yang tinggi dari Allah swt. 

Nabi melanjutkan naik ke langit yang kelima. Dengan iringan sambutan yang penuh hormat dari penjaga langit kelima, Nabi Muhammad beserta Jibril segera masuk. Di langit yang kelima ini Nabi Muhammad saw. berjumpa dengan Nabi Harun as. Beliau segera mengucapkan salam yang segera disambut oleh Nabi Harun as. dengan penuh hormat. Pertemuan ini pun tidak berbeda seperti pertemuan dua orang saudara, penuh keakraban dan saling hormat. 

Nabi saw. bersama Jibril naik ke langit yang keenam. Di langit keenam ini, Nahi Muhammad saw. menyaksikan suatu keanehan, karena tiba-tiba Nabi Musa as. menangis tersedu-sedu. Ketika ditanyakan, Nabi Musa as. pun menjawah, “Karena aku tidak mengira bahwa ada seorang Nabi yang diutus Allah sesudahku, umatnya akan lebih banyak masuk surga daripada umatku.” 

Pada saat Nabi hendak meneruskan perjalanannya ke langit yang ketujuh Nabi Musa berpesan kepada Nabi Muhammad agar singgah sebentar di tempatnya setibanya dari langit ketujuh karena Nabi Musa ingin mendengarkan hasil-hasil yang diperoleh dari sisi Tuhannya. 

Lalu, Nabi naik tingkat ke langit yang ketujuh. Di langit yang ketujuh ini Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Ibrahirn as. Saat itu, Nabi Ibrahim sedang bersandar di Baitul Ma’mur, yaitu sebuah masjid yang sangat besar, yang berada di langit itu. Dalam pertemuan itu, Ibrahim memberikan nasihat kepada Nabi Muhammad saw. Nasihat Nabi Ibrahim, “Wahai Muhammad, aku nasihatkan agar engkau menyuruh umatmu untuk memperbanyak tanaman surga.” 

Nabi saw. bertanya, “Apakah yang kau maksudkan dengan tanaman surga?” Ibrahim as. Menjawab, “Tanaman surga ialah ucapan La haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhim.”

Nabi Muhammad saw. bersama Jibril naik ke Sidratul Muntaha. Di Sidratul Muntaha ini Nabi Muhammad saw. menyaksikan keindahan panorama yang tiada bandingnya dan tidak terdapat di tempat mana pun, terlebih di dunia. 

Selesai menyaksikan keindahan panorama di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad saw. diajak oleh malaikat Jibril untuk menyaksikan keadaan surga dan neraka. Lalu, Nabi melanjutkan Mi‘raj sampai ke tingkat yang kesepuluh yang dinamakan Mustawa. Dalam perjalanan ke mustawa Nabi Muhammad melakukannya seorang diri tanpa ditemani oleh Malaikat Jibril, karena Jibril merasa tidak sanggup untuk melangkah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. 

Kernudian, Nabi Muhammad saw. diangkat naik setingkat lagi sampai ke ‘Arasy. Di ‘Arasy inilah Nabi Muhammad saw. menerima perintah shalat sebanyak 50 kali dalam sehari semalam. Namun, ketika Nabi akan kembali ke dunia, Nabi terlebih dahulu singgah sebentar di tempat Nabi Musa as. sebagaimana yang telah dipesannya. Nabi Musa mengusulkan kepada Nabi Muhammad agar meminta keringanan. 

Sebanyak 9 kali Nabi Muhammad naik-turun dari langit keenam (tempat Nabi Musa) ke Sidratul Muntaha, sujud di hadapan Ilahi memohon keringanan. Setiap kali Nabi kembali menemui-Nya, dan sujud di hadapan-Nya untuk memohon keringanan, dikurang-Nya lima kali dan akhirnya tersisa lima kali. Tetapi, nilai dari pahala shalat yang lima kali itu sebenarnya sama dengan yang 50 kali. 

Selesai melaksanakan Mi’raj, Muhammad kembali ke bumi dengan tangga Sulam Jannah. Buraq pun dilepaskan, lalu dia kembali dari Baitul Maqdis ke Mekah naik hewan bersayap itu. 

Perjalanan Mi’raj dengan segala yang dilihat Nabi di dalamnya adalah kebenaran yang membawa pelajaran yang sangat berharga, dan itu bukan mimpi yang tidak memiliki arti apa-apa. Inilah salah satu cara yang berasal dari Allah swt. untuk menyatakan kebesaran diri-Nya dan memperlihatkan kekuasaan-Nya kepada hamba-Nya yang terpilih. Ketika itu, dapatlah hamba itu berhubungan dengan Penciptanya hingga teguh keyakinannya kepada-Nya dalam menjalankan kewajibannya yang suci menjadi utusan Allah. 

Keesokan harinya, datanglah Jibril kepada Nabi saw. mengajarkan cara melakukan shalat yang lima kali dalam sehari semalam, di mana sebelumnya Nabi saw. melakukan shalat dua rakaat pada waktu pagi dan dua rakaat pada waktu petang, sebagaimana ibadah Nahi Ibrahim as. di masa lalu. 

Berita tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. telah menggemparkan masyarakat Mekah. Kebanyakan umat Islam pada waktu itu tetap mernpercayai Nabi. Mereka selalu yakin akan kebenaran setiap perkataan Nabi. Abu Bakar misalnya, ketika ditanya oleh orang-orang Quraisy, dengan tegas ia menjawab, “Kalau memang Muhammad berkata demikian, maka sesungguhnya dia berkata benar. Aku mempercayainya, bahkan saya membenarkan yang lebih dari itu.” 

Karena keyakinan Abu Bakar inilah, sejak saat itu ia diberi gelar Ash-Shiddiq. Artinya, orang yang membenarkan Nabi tanpa sedikit keraguan. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengingkari kerasulan serta kebenaran berita itu. Bahkan, ada beberapa orang yang baru masuk Islam, setelah mendengar cerita dari Nabi tentang Isra’ Mi’raj telah pulang pergi antara Mekah dan Baitul Maqdis dalam waktu kurang dari satu malam, mereka berbalik tidak mempercayai Nabi lagi.

Tabir Wanita