Friday, 7 October 2016

Diliputi Kesedihan Dan Kisah Hijrah Ke Habasyah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Ketika gangguan kaum musyrikin terhadap kelompok muwahhidin (yang telah menerima tauhid atau telah masuk Islam) semakin menjadi-jadi dari hari ke hari, Rasulullah saw. mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah. 

Pada awalnya, tekanan yang datang di pertengahan dan akhir tahun keempat kenabian tidak terlalu kuat. Tapi seiring perubahan waktu, tekanan tersebut semakin menjadi-jadi dan puncaknya adalah di pertengahan tahun kelima kenabian. Tidak ada lagi tempat untuk menghindar di Mekah dan kaum muslimin kehabisan akal untuk menghentikan berbagai tekanan tersebut. 


Pada saat keadaan mereka terjepit, turunlah beberapa surat yang berisi tiga kisab, di dalamnya terdapat isyarat dari Allah swt. bagi hamba-Nya yang beriman. Kisah yang pertama adalah kisah Ashabul-Kahfi yang mengandung isyarat tentang hijrah dari tempat kekafiran dan penuh permusuhan ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah terhadap agama dan akidah, seraya tawakkal kepada Allah swt.
Allah swt. berfirman, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” 

Lalu, kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa yang mengisyaratkan bahwa segala sesuatu itu tidak selalu seperti yang tampak di permukaan, tapi bisa jadi kejadian yang sesungguhnya, adalah kebalikan dari yang tampak itu. 

Dalam kisah tersebut terdapat isyarat yang halus bahwa rongrongan dan serangan yang dilancarkan terhadap kaum muslimin akan berbalik seratus delapan puluh derajat sehingga kaum musyrikin yang tidak mau beriman akan terkalahkan dan tidak berkutik di hadapan kaum yang dianggap lemah itu. 

Kisah yang ketiga adalah kisah tentang Zulkarnain yang memberikan pelajaran bahwa dunia ini hanya diwariskan oleh Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dan kemenangan itu hanya akan diperoleh di jalan keimanan, bukan kekufuran. 

Di samping itu, Allah juga akan selalu mengutus di antara hamba-Nya -di setiap masa- seseorang yang akan membela dan menyelamatkan kaum lemah dari Ya’juj dan Ma’juj pada masanya. Hamba Allah yang paling berhak mewarisi bumi ini hanyalah hamba-hamba-Nya yang saleh. 

Kemudian, turun surat Az-Zumar yang mengisyaratkan tentang hijrah dan menyatakan bahwa bumi Allah tidaklah sempit. Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” 

Pada saat itu, Rasulullah saw. mendengar bahwa Ashimah An-Najasyi, Raja Habasyah, adalah raja yang adil dan tidak suka menzalimi siapa pun. Maka beliau pun menyuruh kaum muslimin untuk berhijrah ke negeri Habasyah untuk menghindar dalam rangka menyelamatkan agama mereka dari fitnah. 

Maka, pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian berangkatlah gelombang pertama dari sahabat untuk berhijrah ke Habasyah. Kelompok ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita yang diketuai oleh Utsman bin Affan dan ikut bersamanya Ruqayyah binti Rasulullah saw. 

Beliau menyebut keduanya dengan ungkapan, “Sesungguhnya, mereka berdua adalah keluarga yang pertama berhijrah di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Luth as. 

Sementara Khadijah ra. berdiri bersama Rasulullah saw. melepas putrinya Ruqayyah dan suaminya Utsman ra. seraya berlinang air mata. Meski demikian, dia tetap bersabar karena dia selalu berangan-angan di relung jiwanya yang paling dalam untuk mengorbankan segala sesuatu di jalan kemenangan agama yang agung ini, meski harus membayar mahal. Segala sesuatu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan keridhaan Allah swt

Biografi selanjutnya dapa dibaca pada artikel yang berjudul :  Lembaran Keputusan Yang Zalim Dan Pemboikotan Umum (Biografi Khadijah ra.)

Sabar Dan Pasrah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah binti Khuwailid ra. menyaksikan sendiri apa yang dialami oleh Rasulullah saw. berupa gangguan dan ejekan. Karena itu, dia berusaha untuk menguatkan Rasulullah saw. dan mendukungnya agar tetap tegar. Dia juga berusaha meringankan beban yang dialami Rasulullah saw. akibat perbuatan kaumnya kepada beliau. 

Khadijah merupakan contoh yang luar biasa dan mungkin tidak ada duanya serta teladan bagi setiap kaum muslimah yang suaminya merupakan seorang dai yang mengajak manusia ke jalan Allah swt. Teladan dalam hal meringankan beban yang diderita Rasulullah saw. berupa cobaan dan rintangan yang beliau hadapi di jalan dakwah. 


Di antara rintangan yang disaksikan oleh Khadijah ra., adalah gangguan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap Rasulullah. 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., “Nabi Muhammad saw melakukan shalat di Baitullah, sedangkan Abu Jahal dan teman-temannya sedang duduk-duduk. Ketika sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Siapakah di antara kalian yang dapat membawa tempat kandungan unta bani Fulan lalu meletakkannya di atas punggung Muhammad apabila sujud ?” 

Bangkitlah orang yang paling celaka di antara kaum itu (yakni, Ibnu Abi Mu’ith). Ia datang membawanya, kemudian ia memperhatikan. Ketika Nabi Muhammad saw. sujud, ia meletakkannya di atas punggung beliau di antara kedua pundak beliau. Aku melihatnya, namun sedikit pun aku tidak dapat berbuat apa-apa. Seandainya aku mempunyai sesuatu untuk mencegah. 

Mereka mulai tertawa-tawa, sebagian mereka menempati tempat sebagian yang lain dan Rasulullah saw. tetap sujud tidak mengangkat kepala beliau sehingga Fatimah datang kepada beliau kemudian melemparkan tempat kandungan unta itu dari punggung beliau. 

Beliau mengangkat kepalanya, kemudian menghadap Ka’bah seraya berdoa, “Ya Allah, atas kehendak-Mulah untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Quraisy (tiga kali).” 

Mendengar doa tersebut, mereka menjadi ketakutan karena beliau mendoakan keburukan atas mereka, karena mereka tahu bahwa berdoa di tempat itu sangat mustajab. 

Kemudian, beliau menyebut nama mereka satu per satu, “Ya Allah, atas kehendak-Mulah untuk mengambil tindakan terhadap Abu Jahal bin Hisyam; atas kehendak-Mu-lah untuk mengambil tindakan terhadap (Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Walid bin Utbah, Umaiyah bin Khalaf, dan Igbah bin Abu Mu’aith).” 

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku melihat orang-orang yang disebut oleh Rasulullah saw. itu terbanting ke sumur, yakni Sumur Badar.” 

Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. menceritakan, “Abu Jahal berkata, Muhammad saw. berbuat jahat di kalian ?” (Maksudnya adalah apakah Nabi Muhammad menyeru mereka ke jalan Allah? Sebab, dakwah untuk bertauhid dianggap perbuatan jahat oleh mereka.)

Dijawab, ‘Ya.’ 

Abu Jahal berkata lagi, “Demi Lata Uzza, kalau aku melihatnya berbuat demikian lagi, akan aku injak lehernya dan aku benamkan wajahnya ke tanah.”

Tak lama berselang datanglah Rasulullah dan langsung melaksanakan shalat. Abu Jahal pun bermaksud untuk menginjak leher Rasulullah saw., tapi tiba-tiba dia melompat mundur sambil menangkiskan tangannya. Dia ditanya, “Apa yang terjadi denganmu hai Abu Hakam?’

Abu Jahal menjawab, “Aku melihat di antaraku dan dia ada parit api. Sesuatu yang menakutkan dan banyak sekali sayap.” 

Rasulullah saw. bersabda, “Kalau saja dia mendekat padaku, malaikat akan mematahkan bagian-bagian tubuhnya.” 

Diriwayatkan juga dari Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Amru bin Ash, “Ceritakan kepadaku tentang perbuatan jahat kaum musyrikin yang paling buruk terhadap Rasulullah saw.” 

Dia bercerita, “Suatu ketika, Rasulullah saw. sedang shalat di bawah bayang-bayang Ka’bah. Tiba-tiba, datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith. Dia langsung mengalungkan bajunya ke leher Rasulullah saw., lalu mencekik beliau dengan cekikan yang amat keras. Lalu, datang Abu Bakar dan langsung menarik pundak Uqbah dan mendorongnya agar menjauh dari Rasulullah saw. Abu Bakar lantas berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia mengatakan, “Tuhanku ialah Allah?” (Al-Mukmin [23]: 28) 

Tidak hanya Rasulullah saw. yang mengalami gangguan, para sahabat beliau pun mengalami gangguan dan siksaan yang sangat keji. 

Diriwayatkan dari Khabab bin Al-Art, dia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah saw. yang sedang berada di bawah bayang-bayang Ka’bah. Waktu itu kami sedang menghadapi gangguan yang sangat hebat danri kaum musyrikin. Aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah saw., mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah (untuk menyelamatkan kita dari gangguan dan siksaan kaum musyrikin)?” 

Rasulullah saw. langsung duduk dan wajahnya memerah. Beliau berkata, “Orang-orang sebelum kalian dulu disisir tubuhnya dengan sisir yang terbuat dari besi, tapi itu tidak membuat mereka berpaling dari agama mereka. Ada juga yang diancam akan digergaji lehernya. Meski ajal menjemput, mereka tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah.” 

Ibnul Qayyim ra., menyebutkan :
“Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya, Allah swt. telah menetapkan hahwa setiap jiwa itu harus menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan. Dengan adanya ujian dan cobaan tersebut akan terlihat mana yang haik dan mana yang buruk; mana yang berhak untuk dijadikan wali dan mana yang tidak berhak. 

Di samping itu, berbagai ujian dan cobaan itu juga berguna untuk mengasah jiwa dan membersihkannya dari berbagai macam noda seperti halnya emas yang tidak bisa menjadi murni dan bersih dari berbagai unsur lainnya, kecuali dengan melewati serangkaian uji coba. 

Sebab, setiap jiwa itu pada asalnya dipenuhi dengan kebodohan dan kezaliman. Dari kebodohan dan kezaliman itu muncullah berbagai sifat jelek yang harus dibuang jauh-jauh dan disaring. Jika berbagai sifat jelek itu telah dibersihkan di dunia ini, maka itu merupakan suatu hal yang amat bagus. Jika tidak, maka dia akan dibersihkan dulu di api neraka. Setelah bersih, barulah dia diizinkan untuk masuk surge.” 

Dr. Musthafa As-Siba’i mengatakan bahwa sesungguhnya, ketegaran orang-orang yang beriman di jalan akidah yang mereka yakini setelah mengalami berbagai penyiksaan dan tekanan dari kalangan orang-orang jahat dan sesat menandakan kesungguhan iman mereka dan keikhlasan mereka dalam meyakini keimanan tersebut, serta keluhuran jiwa dan pikiran mereka. Mereka melihat bahwa apa yang mereka yakini itu menciptakan ketenangan dan ketenteraman dalam jiwa dan pikiran mereka. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka dapatkan berupa keridhaan Allah swt. jauh lebih besar dari apa yang dialami oleh fisik mereka berupa siksaan, pemboikotan, dan tekanan

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Diliputi Kesedihan Dan Kisah Hijrah Ke Habasyah (Biografi Khadijah ra.)

Mekah Diguncang Kemarahan (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Rasulullah saw. mulai mengajak keluarga, kerabat, dan kaumnya untuk masuk Islam dan bertauhid. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Ketika turun ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, Rasulullah saw. langsung menyeru kaum Quraisy dan mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, beliau berkata di hadapan mereka seraya menyeru mereka satu per satu :
“Hai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Murrab bin Ka’ab, selamatkan diri kalian dan api neraka. Hai Bani Abdusy-Syams, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdu Munaf, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari api neraka. Hai Fatimah, selamatkan dirimu dari api neraka.


Sesungguhnya, aku tidak memiliki apa-apa untuk kalian dari Allah selain karena kalian ada hubungan keluarga denganku, maka aku akan selalu menyambung hubungan tersebut.” 

Mendengar hal itu, kaum musyrikin Quraisy segera menyatakan sikap mereka untuk memerangi Islam, mendiskreditkan orang-orang yang masuk ke dalam agama itu, dan menimpakan kepada mereka berbagai bentuk gangguan dan siksaan. 

Sejak Rasulullah saw. terang-terangan berdakwah dan mengajak manusia ke jalan Allah swt. dan terang-terangan menyebutkan kesesatan apa yang diwarisi oleh kaumnya dan nenek moyang mereka, Mekah diguncang kemarahan. Kaum muslimin mengalami berbagai penindasan selama lebih kurang sepuluh tahun. Hidup mereka tidak tenang, darah mereka tertumpah di Tanah Haram, kehormatan mereka terinjak-injak. Kedudukan mereka sebagai muslim membuat mereka harus menanggung berbagai resiko yang amat berat. 

Di samping penyiksaan secara fisik, kaum muslimin juga mengalami tekanan psikologis. Mereka dihina dan direndahkan. Semua itu dilakukan oleh kaum kafir Quraisy untuk melemahkan kaum muslimin, baik secara fisik maupun psikis

Biografi selanjutnya bisa dilihat pada postingan yang berjudul :  Sabar Dan Pasrah (Biografi Khadijah ra.)

Thursday, 6 October 2016

Apa Pengertian, Tujuan Dan Manfaat Tawassul Menurut Fikih islam ?

makna tawassul
Tanya : Menurut tradisi kaum Sunni berdoa dan berziarah kubur harus diawali terlebih dahulu dengan tawassul seperti “Ibadallah, rijalallah aghitsuna liajlillah dan yarabbi bil musthafa baligh maqashidana.”
1. Apa dan bagaimana pengertian, tujuan dan manfaat tawassul ?
2. Bagaimana tawassul yang benar supaya terhindar dari kemusyrikan ?
3. Tawassul tidak sampai pada ahli kubur, benarkah ?
(Hadi Ismanto, Universitas Brawijaya Malang) 

Jawab : Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang, karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah toh tidak ada salahnya mengulang kembali. 

Thwassul berasal dan kata wasala-waslan-wasilatan atau tawassulan yang berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al Maidah : 35) 

Jadi tawassul atau perantara adalah mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam Mufradat Alfazhi Al-Quran, 560, Mu’jam Al-Washit. II, 32)

Bagaimana tawassul yang benar ? Mari kita telusuri. Kita ingat Ayat :
Artinya : “Mereka berkata, “Wahal ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang orang yang bersalah.” (QS. Yusuf: 97)

Inilah salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putera-putera Nabi Ya’qub) datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alasan tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Swt. 

Kita kaji lagi ayat yang lain sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64) 

Dari sini seolah-olah Allah menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan kekasih-kekasih Allah Swt. dalam hal ini Rasul. Demikian pula perwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan memohon agar berkenan berdoa untuk mereka. 

Kedua ayat ini secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup maupun sudah mati yang mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai oleh Allah. Kepada mereka, Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.

Karena posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan kita untuk ta’zhim, hormat dan mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin Sayyidina Umar Ibn Khaththab pernah bertawassul kepada Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian berdoa : 
Artinya : “Wahai Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan. Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman nabi berikanlah kami hujan. Kemudian turunlah hujan.” (Minhaj Al-Yaqin, 19). 

Dengan demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang ditawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan Allah kepada mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di atas Allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikianlah cara tawassul yang benar. 

Sekarang bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan ? Man kita bandingkan.
Saya teringat sebuah ayat berikut ini :
Artinya : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar : 3)

Ayat di atas adalah potongan perkataan orang-orang musyrik yang membolehkan penyembahan herhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya Allah-lah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patut disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah berada di luar koridor tauhid dengan mensejajarkan Allah dan berhala dalam hal ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Makkah memaki berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir, kemudian turun ayat :
Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. A1-An’am: 108) 

Dari ayat itu bisa dilihat betapa orang kafir menempatkan berhala mereka jauh di atas Allah Rabb A1-’Alamin dan menganggap barhala-berhala itu memberikan manfaat dan madharat. 

Adapun untuk pertanyaan yang ketiga, sampaikah tawassul (dengan bacaan bacaan tahlil atau Al-Quran) kepada ahli kubur ? Imam Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Quran sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’ Li A1-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan Al-Quran kepada ahli kubur boleh dan pahalanva pun sampai kepada mereka. Pahala yang sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang diniatkan untuk mereka.

Jenis Dan Macam Mandi Sunnah Dalam Islam

jenis mandi sunnah
Tanya : Saya punya masalah yakni apa sajakah mandi sunah itu? 

Jawab : Masalah kesehatan dan kebersihan mendapat perhatian besar dari agama Islam. Salah satu ayat yang tergolong turun awal berisi perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mensucikan pakaiannya. Mengenai hal ini perhatikan surat A1-Muddatstsir, 4 berikut ini :
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al Muddatstsir: 4)

Perintah itu kemudian diikuti ayat-ayat serta hadis yang banyak membicarakan masalah tersebut. Maka tidak mengherankan apabila fikih sebagai penjabaran praktis dan Al-Quran dan hadis, menjadikan bersuci (at-thaharah) sebagai salah satu pokok bahasannya. Karena masalah thaharah banyak berkaitan dengan ibadah, maka pembahasannya diletakkan sebelum ibadah. 

Menurut para ulama fikih, bersuci meliputi : wudhu, mandi, tayamum, dan menhilangkan najis. Disamping hal itu, agama juga menganjurkan kepada hamba-Nya untuk bersiwak. 

Pada umumnya pandangan masyarakat tentang mandi terbatas pada mandi wajib, yang dilakukan karena sebab-sebab tertentu, yaitu : mengeluarkan sperma, bersebadan, haid, melahirkan, nifas dan meninggal dunia. Padahal, di samping mandi wajib, terdapat mandi sunah. Meskipun jika ditinggal tidak berdosa, mandi seyogyanya juga dikerjakan karena berpahala. Akibat kurangnya pemahaman terhadap masalah ini, banyak di antara kita kehilangan kesempatan beribadah. 

Mandi yang semestinya dapat dinilai ibadah, akhirnya hanya menjadi kebiasaan semata (al-’adah). Alangkah indahnya jika kita dalam melakukan satu aktivitas memperoleh dua keuntungan sekaligus, duniawi dan ukhrawi.

Untuk itu, ada baiknya dalam kesempatan ini sesuai dengan perintah penanya, saya terangkan kapan dan dalam kondisi apa mandi disunahkan, serta bagaimana pula caranya. 

Mandi sunah jumlahnya banyak, dan dianjurkan dalam situasi dan kondisi khusus. Pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu ibadah yang melibatkan banyak orang. Ketika menunaikan ibadah, sudah semestinya seorang hamba dalam keadaan suci dan bersih lahir batin.

Secara mendetail, Imam Zakaria Al-Anshari menguraikan mandi sunah dalam kitabnya Tahrir. Paling tidak, beliau menyebutkan ada 18 (delapan belas) waktu disunahkannya mandi. Waktu-waktu itu adalah 1). Untuk menghadiri shalat Jumat, 2). shalat istisqa’, 3). shalat gerhana matahari, 4). pada hari raya Idul Fitri, 5). ketika orang kafir masuk Islam dalam keadaan tidak menanggung hadas besar sebelumnya, 6). setelah memandikan mayit, 7). hijamah (membekam), 8). memasuki pemandian, 9). mencukur bulu kemaluan, 10). sembuh dari penyakit ayan (epilepsi), 11). hendak ihram, 12). memasuki tanah haram, 13). memasuki Makkah, 14). wukuf di Arafah, 15). wukuf di Muzdalifah, 16). menginap di Muzdalifah apabila belum mandi sebelumnya di Arafah, 17). Melempar jumrah selama tiga hari di Mina, 18). berubahnya bau badan dan lain sebagainya. 

Sudah barang tentu semua itu mempunyai landasan Al-Quran dan hadis. Yang sangat menarik, dalam kitab Tuhfah Ath-Thullab, Imam Zakaria juga menyatakan hahwasanya mandi juga dianjurkan ketika seseorang hendak menghadiri forum yang diikuti oleh banyak orang (majma’ min an-nas). Seperti rapat dan resepsi. Dalam hal ini beliau memberikan alasan sosial, demi kemaslahatan para hadirin, supaya mereka tidak terganggu oleh bau badan yang kurang sedap. “Fa ruu’iyan mashlahah al-hadhirin bi daff’i ar-raihah al-karihah,” tulis beliau ini artinya, mengganggu orang lain dalam bentuk apapun, tidak dibenarkan oleh agama. Rasulullah bersabda :
Artinya : “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dan dampak negative yang timbul dari lisan dan tangannya.” (HR. Ahmad) 

Kualitas keberagamaan seseorang, dengan begitu ditentukan oleh kesalehan ritual dan sosialnya.
Alangkah indahnya jika petuah ini kita terapkan dalam kehidupan nyata (Asy-Syarqawi I, 94). 

Adapun cara mandi sunah sepenuhnya disamakan dengan mandi wajib, yaitu dengan meratakan air ke seluruh anggota badan lahir dengan air yang suci dan mensucikan (thahir muthahhir), kecuali dalam hal niat yang disesuaikan dengan maksudnya. Kalau mau melakukan shalat Jumat, maka niat mandinya adalah untuk menghadiri shalat tersebut. Bila hendak melakukan shalat istisqa’, maka niat mandi untuk menunaikan tujuan tersebut. Demikian seterusnya. 

Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah sebenarnya semua aktivitas kita dapat menjadi wahana untuk beribadah. Tidak kurang, makan dan minum jika dilandasi niat supaya mampu menjalankan ibadah atau mencari nafkah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berguna, dapat bernilai ibadah pula. Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda :
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan bagi seseoranglah, apa yang ia niatkan.” (Jami Al-Ulum wa Al-Hikmah; 5).

Di Bawah Bimbingan Rasulullah SAW (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. senantiasa mendampingi Rasulullah saw. selama hampir seperempat abad sehingga dia menerima langsung berbagai petunjuk dari sumber aslinya yang masih sangat jernih. Dia juga memperoleh banyak hal dari beliau berupa kasih sayang, akhlak yang baik, dan ilmu dalam suasana yang diliputi oleh kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata.


Khadijah selama hidupnya juga selalu melaksanakan shalat bersama-sama Rasulullah saw., yaitu shalat yang berlaku pada masa itu : dua rakaat di waktu pagi dan dua rakaat di sore hari, sebelum turun kewajiban shalat yang lima waktu pada saat Rasulullah saw. mengalami Isra’. 

Diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah ra., dia berkata, “Kewajiban shalat itu pada awalnya hanya berupa dua rakaat, lalu diperintahkan shalat dalam waktu perjalanan, kemudian disempurnakan shalat pada saat bermukim.” 

Khadijah meninggal dunia sebelum turunnya berbagai kewajiban, termasuk kewajiban shalat lima waktu yang diwajibkan pada saat Rasulullah saw. melaksanakan Isra’ mi’raj. 

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, “Sesungguhnya, Rasulullah saw. ditanya tentang Khadijah mengenai keadaannya yang meninggal sebelum turunnya berbagai kewajiban dan hukum. Rasulullah saw. menjawab, “Aku melihatnya di salah satu sungai yang ada di surga, di sebuah rumah yang terbuat dari emas bersih dari kegaduhan dan permusuhan.” 

bilik islam
Lalu beliau juga ditanya tentang Abu Thalib (paman beliau yang telah mati-matian membela beliau dari makar kaum kafir Quraisy, namun di akhir hayatnya tidak sempat mengucapkan kalimat syahadat), apakah berbagai perbuatannya itu berguna baginya? Rasulullah saw. menjawab, “Semua perbuatannya itu telah membuatnya dikeluarkan dari Jahannam ke tempat yang dangkal” 

Diriwayatkan juga dari Afif Al-Kindy, dia mengatakan, “Abbas bin Abdul Muththalib dulu adalah sahabatku. Dulu dia suka pergi ke Yaman untuk membeli wangi-wangian dan menjualnya pada musim jual beli. Ketika aku sedang berada di tempat Ja’far di mina, dia didatangi oleh seorang laki-laki dewasa. Orang itu berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian dia shalat. 

Tak lama kemudian, keluar seorang wanita, dia pun berwudhu lalu melaksanakan shalat. Setelah itu, keluar juga seorang anak remaja, berwudhu lalu ikut shalat di sebelah orang tadi. Aku lantas bertanya kepada Abbas, “Hai Abbas, agama apa ini?” 

Dia menjawab, “ini adalah agama yang dibawa oleh Muhammad bin Ahdullah, keponakanku. Dia mengaku bahwa Allah telah mengutusnya sebagai Rasul. Anak ini adalah keponakanku, Ali bin Abu Thalib, dia telah mcngikuti agamanya, sedangkan wanita ini adalah Khadijah yang juga telah ikut agamanya.” 

Setelah Afif masuk Islam dan semakin mantap keislamannya, dia berkata, “Andai saja waktu itu aku menjadi orang yang keempat."

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul  Mekah Diguncang Kemarahan (Biografi Khadijah ra.)

Rumah Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Itulah Khadijah binti Khuwailid ra. Manusia pertama yang masuk Islam. Demikian juga halnya dengan putri-putrinya, bahkan semua orang yang ada di rumahnya yang penuh berkah itu, termasuk kelompok yang menyegerakan diri untuk masuk Islam, seperti, Ali bin Abu Thalib dan Zaid bin Haritsah ra. 


Rumah ini adalah rumah paling baik yang ada di alam semesta ini. Dari rumah inilah muncul Khadijah, penghulu para wanita di seluruh dunia. Dari rumah ini juga muncul putrinya, Fatimah, penghulu para wanita penghuni surga. Sebelum semua itu, rumah itu merupakan tempat turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. dan hidup di dalamnya pemimpin seluruh manusia. 

Dari rumah itu juga muncul Ali bin Abu Thalib, salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Dari rumah itu muncul Zaid bin Haritsah, satu-satunya sahabat Nabi saw. yang disebutkan namanya di dalam AlQ ur’an. 

Allah swt. berfirman,
“Dan ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tat kala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (A1-Ahzab [33]: 37) 

Al-Muhib Ath-Thabari menyebutkan bahwa rumah Khadijah ra. merupakan tempat yang paling mulia setelah Masjidil Haram. Kemungkinan hal tersebut dikarenakan oleh lamanya masa tinggal Rasulullah saw. dan turunnya wahyu kepada beliau di rumah itu. 

Sementara Imam Al-Fasi mengatakan bahwa rumah yang diberkahi di Mekah adalah rumah Khadijah binti Khuwailid ra., Ummul Mu’minin. Di rumah ini dilahirkan Fatimah, penghulu kaum wanita di muka bumi dan saudari- saudarinya. 

Dia menyebutkan juga bahwa sesungguhnya, Rasulullah saw. tinggal di sana, Khadijah wafat di sana, dan Rasulullah saw. terus tinggal di rumah itu sampai beliau hijrah ke Madinah Munawwarah. Rumah itu diambil oleh Aqil bin Abu Thalib. Selanjutnya, rumah itu dibeli oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang kala itu menjabat sebagai Khalifah, lalu rumah itu dijadikannya masjid tempat shalat berjamaah

Kelanjutan biografi khadijah bisa dilihat pada postingan yang berjudul Di Bawah Bimbingan Rasulullah SAW. (Biografi Khadijah ra.)

Hati Yang Pertama Kali Tunduk Kepada Islam (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Islam telah mengangkat derajat wanita jauh lebih tinggi dan apa yang diharapkan dan dicita-citakannya. Islam menghaturkan untuk wanita beberapa ayat yang mulia, yang menerangkan penglihatannya dengan sinarnya, menguasai jiwanya dengan hujjahnya, menundukkan hatinya dengan keindahan susunannya, sehingga dia terdiam dan mendengarkan apa yang digambarkan oleh Allah tentang kasih sayang dan kemahakuasaan-Nya; tentang neraka dan surga; tentang balasan yang akan diberikan kepada wanita yang sabar dan baik, berupa pahala yang besar dan kedudukan yang mulia. Sehingga, semua itu mempengaruhi perasaannya, memenuhi jiwanya, dan menerangi pandangannya. Maka, pantaslah hati wanita itu dipenuhi oleh rasa cinta kepada Rasulullah, yang mengalir dalam aliran darahnya dan meresap ke dalam sela-sela tulangnya. 


Demikianlah kondisi wanita Arab. Hati yang pertama kali tunduk kepada Islam di antara para wanita adalah penghulu para wanita di dunia pada zamannya: Ummul Qasim, Khadijah binti Khuwajljd ra. 

Imam ‘Izuddin bin Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa Khadijah binti Khuwailid ra. adalah makhluk yang paling pertama masuk Islam berdasarkan ijma’ kaum muslimin. 

Perempuan ini tidaklah sama dengan kebanyakan wanita lainnya. Allah telah menyiapkan dirinya dengan kebijaksanaan, visi yang jauh ke depan, pandangan yang cerdas, dan kesucian jiwa yang menjadikannya lebih kuat dari kebanyakan kaum laki-laki. Khadijah tidak memeluk Islam karena hanya ikut-ikutan atau sekadar basa-basi, tapi dia memeluknya karena sangat terpengaruh oleh kemuliaan Islam dan kecondongan hati padanya

Kelanjutan biografi khadijah bisa dilihat pada postingan :  Rumah Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Tabir Wanita