Tuesday 15 September 2015

Hukum Membaca Surat Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah hukumnya membaca Al-Fatihah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang timbul dari cara mereka memahami ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis seperti : 

a. Firman Allah Swt.:
“Dan apabila dibacakan A1-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (AL-ARAF : 204)
b. Hadis Bukhari dan Daruquni yang disebutkan di atas.
c. Sabda Rasulullah Saw.
“Janganlah seseorang di antara kamu membaca sesuatu pun dari A1 Qur’an apabila aku keraskan bacaanku, kecuali Ummul Qur’an (A1 Fatihah)” (RIWAYAT DARUQUTNI)

Ia berkata, semua orang yang meriwayatkan hadis ini dapat dipercaya Sabda Rasulullah Saw.:
“Saya mendengar kamu membaca di belakang imam.” Jawab kami ya hadir, “Benar, kami membaca. Beliau berkata lagi, “Janganlah kamu lakukan yang demikian, kecuali membaca Ummul-Qur’an (Al Fatihah). Sesungguhnya orang yang tidak membaca Al-Fatihah itu tidaklah salat namanya.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN TIRMIZI)

Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya termasuk rukun salat. Berarti apabila ia tidak membaca Al-Fatihah, salatnya tidak sah. Pendapat ini beralasan pada beberapa hadis yang telah disebutkan di atas.

Cara mereka mengambil dalil dan hadis tersebut ialah, mereka pahamkan hadis-hadis itu sebagai ketentuan terhadap makmum, dan ayat tersebut di atas mereka pandang umum meliputi segala waktu dan terhadap tiap-tiap orang, baik yang sedang salat ataupun yang di luar salat.

Ayat yang bersifat umum tersebut mereka batasi dengan maksud hadis-hadis tersebut, artinya “semua orang yang mendengar bacaan Qur’an wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan itu, kecuali orang yang sedang salat; ia tidak wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan Qur’an itu karena Ia sedang melakukan kewajiban yang lain ketika itu, yaitu membaca Al-Fatihah. Ketentuan kewajiban ini mereka ambil dari beberapa hadis tersebut, sebab memang sudah disepakati oleh semua golongan bahwa hadis-hadis dipergunakan sebagai jalan untuk memahami (menafsirkan) ayat Al-Qur’an karena Qur’an adalah pokok, sedangkan penjelasannya diambil dari hadis-hadis Rasulullah Saw.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa makmum yang mendengar bacaan imamnya tidak wajib -bahkan tidak boleh- membaca Al-Fatihah. Mereka mengemukakan alasan ayat tersebut secara umum (global). Mereka tidak menghubungkan ayat dengan hadis-hadis tersebut karena menurut pendapat mereka derajat kekuatan hadis tersebut tidak sama dengan kekuatan ayat.

Maka menurut paham mereka, yang lebih kuat tidak dapat dikalahkan oleh yang kurang kuat. Dengan kata lain, hadis yang tidak sampai ke derajat mutawatir tidak boleh dipakai untuk menafsirkan atau mengurangi maksud ayat.

Orang yang tidak dapat membaca sebagian surat Al-Fatihah, hendaklah membaca sekemampuannya, walaupun satu ayat; dan jika sama sekali tidak dapat, hendaknya ia berdiri saja selama masa membaca Al-Fatihah itu.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesuatu yang saya perintahkan kepada kamu hendaklah kamu kerjakan semampumu.” (SEPAKAT AHLI HADIS)
Setiap orang mukallaf wajib belajar membaca Surat AI-Fatihah sampai hafal dengan bacaan yang fasih menurut makhraj huruf Arab.

Cara Menghadap Kiblat Yang Benar Menurut Fiqih Islam

Kiblat Ka’bah atau jihat-nya
Tidaklah ada perbedaan paham antara kaum muslim, bahwa menghadap kiblat itu wajib untuk sahnya salat. Hanya, perbedaan paham tentang apakah yang wajib dihadapi itu. Apakah benar-benar menghadap ke Ka’bah (‘am Ka’bah) ataukah cukup menghadap kejihat (arah) Ka’bah? Dalam hal ini pendapat mereka ada dua macam :

1. Mazhab Syafi’i dan orang-orang yang sepaham dengan mereka berpendapat: Untuk orang yang melihat Ka’bah, ia wajib benar-benar menghadap Ka’bah itu (‘am Ka’bah). Tetapi orang yang jauh dan Ka’bah, wajib atasnya menyengaja menghadap ‘am Ka’bah, walaupun pada hakikatnya ia hanya menghadap ke jihat (arah) Ka’bah.

2. Mazhab Hanafi
dan orang-orang yang sependapat dengan mereka, mengemukakan bahwa orang yang melihat Ka’bah dan memungkinkan menghadap ‘am Ka’bah wajib menghadap Ka’bah itu sungguh-sungguh, tetapi bagi orang yang jauh cukuplah menghadap ke jihat (arah) Ka’bah itu saja.

Masing-masing golongan (mazhab) tersebut beralasan dengan surat Al-Baqarah: 144.

Penjelasan
Cara menghadap kiblat adalah sebagai berikut :

1. Orang yang berada di Mekah dan memungkinkan menghadap Ka’bah, Ia wajib menghadap Ka’bah sungguh-sungguh. 

2. Orang yang berada di lingkungan masjid Nabi di Madinah,
wajib mengikuti mihrab masjid itu; sebab mihrab masjid itu ditentukan oleh wahyu, maka dengan sendirinya tepat menghadap ke Ka’bah. 

3. Orang yang jauh dari Ka’bah sah menghadap ke jihat Ka’bah.

Alasannya yaitu:
a. Menurut arti yang terkandung dalam surat AI-Baqarah: 144 tersebut di atas.
b. Hadis Ibnu Umar.
“Dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Ketika orang-orang salat Subuh di masjid Quba tiba-tiba datang seseorang kepada mereka. Kata orang itu, ‘Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi Saw. pada malam ini Qur’an, dan beliau disuruh menghadap kiblat. Maka hendaklah kamu menghadapnya.’ Ketika itu mereka menghadap ke Syam (kiblat lama), lantas mereka berputar menghadap ke Ka’bah.” (RIWAYAT SEPAKAT AFILI HADIS)

Perbuatan tersebut tidak dibantah oleh Rasulullah Saw. Menurut hadis tersebut, mereka langsung berputar dalam salat dengan tidak mengadakan penyelidikan lebih dahulu. Hal ini menandakan bolehnya menghadap kejihat Ka’bah, sebab menghadap ke Ka’bah sungguh-sungguh tentunya tidak dapat apabila tidak dengan perhitungan secara ilmu ukur.

c. Karena menghadap ke jihat itulah yang mungkin baginya, dan den gan kemungkinan itulah terletak hukum wajib atas seorang mukallaf 

d. Mereka mengakui sahnya salat orang-orang yang tersebut di bawah ini :
  • 1) Salat orang yang safnya (barisannya) panjang berlipat ganda dari lintang Ka’bah.
  • 2) Salat orang di atas bukit menghadap ke lapangan di atas Ka’bah.
  • 3) Salat orang di atas tanah yang rendah menghadap ke bawah dari Ka’bah.
Diperbolehkan tidak menghadap kiblat pada beberapa keadaan seperti yang tersebut di bawah ini :
1. Ketika sangat takut sehingga tak dapat tetap menghadap ke kiblat, umpamanya dalam peperangan. Pada bagian lain akan dijelaskan tentang salat prajurit sewaktu dalam peperangan. Atau takut oleh binatang buas, takut oleh api, takut kebanjiran, dan lain-lain.
Firman Allah Swt.:
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (A1-BAQOROH: 239)
Menurut tafsir lbnu Umar, yang dimaksud dengan “berjalan kaki atau berkendaraan” di dalam ayat tersebut ialah menghadap ke kiblat atau tidak menghadap ke kiblat. (Riwayat Bukhari). 

2. Orang yang dalam penjalanan di atas kendaraan
. Apabila melakukan salat sunat diatas kendaraan, boleh menghadap ke arah tujuan perjalanannya, walaupun tidak menghadap ke kiblat; hanya diwajibkan menghadap ke kiblat sewaktu takbiratul ihram.
Menurut hadis:
“Dari Jabir. Rasulullah Saw. salat di atas kendaraan menuruti arah kendaraannya. Maka apabila beliau hendak salat fardu beliau turun dari kendaraan; lantas beliau menghadap ke kiblat. (RIWAYAT BUKHARI)

“Rasulullah Saw. apabila hendak salat sunat di atas kendaraan, beliau menghadap ke kiblat, lalu takbiratul ihram, kemudian beliau salat menghadap ke tujuan kendaraan beliau. (RIWAYAT ABU DAWUD)

3. Bila kblat tidak dapat diketahui.
“Dari Amir bin Rabi’ah, “Kami bersama-sarna Rasulullah Saw. pada malam gelap gulita, kami tidak mengetahui di mana kiblat. Kami salat menurut pendapat masing-masing. Setelah waktu Subuh kami beritahukan hal itu kepada Nabi Saw, maka ketika itu turunlah ayat (Ke mana saja kamu menghadap, maka di situlah arah yang disukai Allah).” (RIWAYAT AHMAD DAN TIRMIZI)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Mu’ai, “Kami telah salat bersama Rasulullah Saw dalam suatu perjalanan -ketika itu hari gelap karena mega- dengan tidak menghadap ke kiblat. Maka tatkala sudah selesai salat dan sudah memberi salam, matahari kelihatan keluar dari balik mega. Kami berkata kepada Rasulullah, Kita salat tidak menghadap ke kiblat.’ Jawab beliau, ‘Salat kamu sudah dinaikkan ke hadirat Allah Azza Wajalla dengan hak-Nya’.” (RIWAYAT TABRANI).

Thursday 10 September 2015

Pengertian, Dasar Hukum Dan Tata Cara Sujud Tilawah

Tanya : Saya pernah mendengar sujud itu bermacam-macam. Salah satunya adaiah sujud tilawah. Mohon jelaskan ihwal tentang sujud tilawah itu.

Jawab : Kita semua kaum muslimin sudah sangat akrab dengan kata sujud. Paling tidak, sujud kita pahami sebagai salah satu rukun shalat, yang paling tidak dikerjakan lima kali sehari semalam. Yaitu dengan cara meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi ke tanah atau alas tertentu. Sebenarnya sujud itu seperti dikatakan penanya, banyak macamnya. Paling tidak ada tiga di samping sujud sebagai rukun shalat. Ketiganya adalah sujud sahwi. sujud syukur dan titawah.

Sujud sahwi lebih dikenal dan lebih banyak dipraktikkan daripada sujud syukur dan tilawah. Pada zaman ini, sangat jarang kita temui kaum muslimin yang mengamalkan sujud syukur dan tilawah. Penyebab utamanya adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang keduanya.

Dalam kesempatan ini kita akan mengkhususkan pembahasan pada sujud tilawah saja sesuai dengan pertanyaan penanya. Pembahasan tentang sujud tilawah meliputi status hukum serta tata cara pelaksanaannya. Tulisan ini sepenuhnya didasarkan pada kitab At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, karya Imam Nawawi. Hal itu kami lakukan karena dalam kitab tersebut telah memberikan uraian yang sangat memadai mengenai sujud tilawah dalam satu pasal khusus.

Semua ulama sepakat. sujud tilawah diperintahkan oleh agama. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat. Kesepakatan semua ulama mujtahid tentang suatu masalah semacam ini, dalam ushul fikih dinamakan ijma’. Perbedaan timbul dalam menentukan jenis atau kadar perintah tersebut. Pendapat mayoritas ulama, menyatakan perintah sujud tilawah bersifat mandub atau sunah. Pendapat ini disokong oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Auza’i, Ishaq, Dawud, dan lain-lain.

Pendapat ini disimpulkan dari pernyataan Umar Ibn Khaththab pada sebuah penyelenggaraan shalat Jumat. Beliau berseru: “Wahai manusia! Kita melewati ayat sajdah. Barangsiapa melakukan sujud tilawah maka Ia benar. Barangsiapa tidak mengerjakan maka tiada dosa baginya.” Sayyidina Umar sendiri pada saat itu, termasuk orang yang tidak melakukan sujud tilawah. (Shahih Bukhari, II: 260-261). Perkataan Umar tadi dapat dijadikan sandaran hukum karena para sahabat pada saat itu tidak ada yang menyangkal. Sementara itu, Imam Abu Hanifah dengan merujuk pada Al Quran surat Al-Insyiqaq, 20-21 menyatakan perintah tersebut bersifat wajib.

Sujud tilawah dilakukan ketika selesai membaca ayat-ayat sajdah. Hal itu juga dianjurkan ketika mendengar bacaan orang lain baik dalam keadaan shalat ataupun tidak. Jarak antara bacaan ayat sajdah dan sujud tilawah tidak boleh terlalu lama.

Menurut Imam Syafii dan kebanyakan ulama,ayat sajdah ada empat belas. Keempat belas ayat itu adalah A1-A’raf, 206, Ar-Ra’d, 15, An-Nahi, 50, Al-Isra’, 109, Maryam, 58, A1-Haj, 18, 77, Al-Furqan, 60, An-Naini, 26, As-Sajdah, 15, Shaad, 24, Fushilat, 38, An-Najm, 62, A1-Insyiqaq, 21, dan A1-Alaq, 19.

Persyaratan-persyaratari yang harus dipenuhi dalam mengerjakan shalat, juga berlaku untuk sujud tilawah. Orang yang mengerjakan sujud tilawah harus suci dari hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup auratnya.

Seperti saya sebutkan di atas, sujud tilawah dianjurkan bagi orang yang sedang shalat atau tidak. Bagi orang yang tidak sedang mengerjakan shalat, caranya adalah berdiri, kemudian takbiratul ihram seraya fiat dalam hati mengerjakan sujud tilawah dengan mengangkat kedua tangan sampai di atas pundak seperti halnya takbiratul ihram kala shalat. Setelah itu lalu turun untuk sujud dengan meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi di tanah atau alas tertentu. Ada baiknya, pada saat turun diiringi bacaan takbir.

Pada waktu sujud membaca bacaan yang biasa dibaca dalam shalat, yaitu “Subhaana rabiyal a ‘Ia” sebanyak tiga kali. Lalu disambung dengan membaca :


Dan diteruskan dengan “Subbuhun qudusun rabbul malakati warruh.”

Setelah itu, bangun dari sujud kemudian duduk dan diakhiri dengan salam tanpa membaca tasyahud terlebih dahulu.

Adapun ketika seseorang sedang menjalankan shalat, maka ketika berdiri langsung sujud sambil membaca takbir tanpa mengangkat kedua tangan. Dan setelah membaca “subhana rabiyal a‘la” tiga kali dan seterusnya, kemudian berdiri kembali meneruskan shalatnya. Intinya dari segi persyaratan, sujud tilawah tidak berbeda dengan shalat. Dan dari segi pelaksanaan sama dengan sujud yang menjadi rukun shalat.

Sunday 6 September 2015

Hukum Meragukan Sperma Sesudah Shalat

Tanya : Kala dua hari yang lalu saya shalat seperti biasa, tetapi kemudian saya melihat di sarung yang saya pakai ada sperma yang sudah kering, setelah saya ingat-ingat saya masih ragu apakah memang sperma saya waktu tidur atau bukan. Sebab, ada juga teman di sebelah saya, bagaimana hukum shalat saya? (Salim, Kudus)

Jawab : Perlu ditelusuri terlebih dahulu siapa pemilik dari sperma yang menempel di sarung itu. Mungkin memang sperma Anda, mungkin teman tidur Anda yang spermanya menempel di sarung Anda. Sehingga Anda ragu dan mungkin benar-benar sperma orang lain. Kalau memang tidak ada yang memakai sarung dimaksud kecuali Anda dan Anda tidur sendirian sehingga tidak memungkinkan sperma orang lain menempel, maka yakinkanlah bahwa itu adalah sperma Anda.

Jika sudah ada kepastian dan benar adanya bahwa itu sperma Anda maka wajib bagi Anda untuk mandi kemudian i’adah atau mengulangi shalatnya. ini berarti shalat dua hari yang telah dilaksanakan itu tidak sah karena ternyata Anda berhadas besar.

Dalam kaidah fikih dinyatakan la‘ibrata bidzanni al bayyznu khata’uhu, tidak dianggap atau tidak sah sebuah anggapan (dzan) yang sudah jelas salahnya. Sebaliknya, kalau Anda yakin bahwa itu adalah sperma orang lain, maka Anda tidak wajib mandi atau i’adah shalat. Adapun kalau Anda tidak yakin itu sperma Anda -maka untuk kehati-hatian- Anda disunahkan untuk mandi dan i’adah shalat. (I’anah Ath-Thalibin: I, 71).

Bagaimana Hukum Shalat Jenazah Menghadap Kiblat ?

Tanya : Ketika shalat jenazah, sebaiknya menghadap ke arah mana? (Saruniharja, Cilacap)

Jawab : Seperti dimaklumi, orang meninggal menurut ajaran Islam harus dishalati (shalat jenazah), setelah dimandikan dan dikafani sebelum di kubur. Hukum shalat ini adalah fardhu kifayah.

Tujuan shalat jenazah agak berbeda dengan shalat fardhu, meski sama-sama diwajibkan dan tentu merupakan ibadah yang berpahala.

Perbedaan itu terletak pada tujuan. Shalat fardhu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) dan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Sedangkan shalat jenazah lebih dimaksudkan untuk mendoakan orang yang telah meninggal agar mendapatkan ampunan dan kehidupan yang berbahagia di alam kubur dan akhirat.

Karena itu, mendoakan mayat menjadi salah satu rukunnya. Perbedaan tujuan menimbulkan perbedaan cara pelaksanaan.

Dalam shalat jenazah tidak ada ruku’, sujud, i’tidal, dan lain-lain. Shalat jenazah kadang-kadang dikerjakan tanpa kehadiran mayat, yang biasa disebut shalat gaib.

Rasulullah Saw. pernah melaksanakannya (shalat gaib) tatkala Raja Najjasyi dan Habsyah (Afrika) meninggal. Hal itu kemudian diteladani kaum muslimin. Shalat ini biasanya dilaksanakan menjelang mereka shalat Jumat di beberapa masjid. Jika ada kerabat jauh yang meninggal, shalat gaib dapat menjadi pilihan kita. bila berhalangan hadir.

Shalat gaib tidak terikat kepada tempat, itu kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua, mayatnya ada di tempat kita shalat. Di sini berlaku ketentuan, orang yang menyalati tidak boleh berada di depan jenazah, tetapi harus dibelakangnya seraya menghadap ke arah kiblat.

Sebaiknya imam atau munfarid (shalat jenazah sendirian) menghadap kepala jenazah kalau laki-laki, dan menghadap pantatnya jika si mayat adalah perempuan.

Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Para makmum sudah barang tentu berada di belakang imam.

Shalat jenazah sebaiknya dilaksanakan secara berjamaah (lihat Mahally Tanbih pada pembahasan shalat jenazah.

Bagaimana Tata Cara Dan Niat Shalat Istikharah ?

Tanya : Apakah istikharah dapat dikerjakan untuk mengetahui jenis pekerjaan? Bagaimana caranya?

Jawab : Pada post terdahulu, saya menyinggung masalah shalat istikharah serta caranya secara global. Post kali ini akan melengkapinya sesuai dengan permintaan penanya.

Istikharah menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, dianjurkan (sunah) pada semua perkara yang memiliki beberapa alternatif (fi jaini’ al-amar). Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Jabir lbn Abdillah ra. dalam kitab yang sama bersabda:
Artinya: ‘Jika satu dari kalian hendak mengerjakan perkara/urusan maka ruku‘ lah (shalatlah) dua rakaat (selain shalat fardhu) kemudian ia berdoa... “(HR. Bukhari)

Redaksi hadis tersebut menggunkan al-amr (perkara /urusan) yang termasuk lafazh ‘am atau kata umum. Perkara-perkara wajib atau harus tidak perlu diistikharahi. Sebab kita tidak punya pilihan lain yakni yang wajib harus dilakukan dan yang haram harus dihindari. Tidak perlu istikharah, apakah saya mengerjakan shalat atau tidak misalnya. Begitu juga zina, mencuri, dan sejenisnya.

Istikharah adalah upaya memohon kepada Allah Swt. agar memberikan pilihan terbaik kepada kita akan hal-hal yang memang kita punya hak untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Seperti pekerjaan misalnya, kita diperbolehkan bekerja sebagai pedagang, petani, pengusaha dan sebaginya.

Shalat istikharah sangat mudah, yaitu shalat dua rekaat dengan niat istikharah. Rakaat pertama setelah membaca surat A1-Fatihah membaca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua surat A1-Ikhlas. Setelah salam, membaca doa: 
 

Cara niat istikharah yaitu :

 

Sedangkan doa istikharah selengkapnya dalam versi arab dapat dijumpai dalam kitab Al-Adzkar atau doa sebagaimana tertulis di atas.

Setelah shalat istikharah, biasanya di dalam hati timbul rasa tenang dan mantap terhadap salah satu alternatif yang ada. Bisa juga hasil istikharah diketahui lewat mimpi, dengan isyarat dan simbol-simbol tertentu. Kalau masih ragu, istikharah dapat diulang dua atau tiga kali.

Adakah Sholat Yang Dilarang (Waktu Larangan Sholat) ?

Tanya : Shalat sebelum atau sesudah shalat wajib biasa kita lakukan. Saya pernah mendengar, sewaktu matahari akan tenggelam di ufuk timur, kita diharamkan melakukan shalat sunah sehingga tidak ada shalat sunah sesudah shalat shubuh dan sebelum shalat Maghrib. Nyatanya saya sering melihat orang shalat Tahiyatul Masjid menjelang shalat Maghrib. Apakah ini bukan termasuk Jarangan? Bagaimana dengan shalat Tahiyatul Masjid saat khotib berkhotbah di mimbar shalat Jumat? Bukankah kita harus mendengar khotbah?

Jawab : Memang ada waktu-waktu tertentu yang diharamkan dan tidak sah untuk shalat. Menurut keterangan kitab-kitab fikth ada lima yang tidak diperkenankan seseorang melaksanakan ibadah shalat. Waktu-waktu itu adalah setelah shalat Ashar, setelah shalat Subuh, waktu matahari berwarna kuning menjelang tenggelam pada waktu sore sampai tenggelam, waktu matahari terbit sampai naik sekedar tinggi lembing (setinggi 18 derajat dari horizon atau empat hasta) menurut pandangan mata, dan ketika matahari tepat di langit (istiwa’) sampai bergeser ke arah barat (zawah).

Adanya pelarangan ini memang berdasarkan keterangan dan beberapa hadis. misalnya riwayat dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. melarang shalat setelah shalat Ashar hingga mahari terbenam, dan setelah shalat Subuh sampai matahari terbit (HR Bukhari Muslim).

Hadis-hadis yang lain dapat ditemukan pada kitab Bulugh Al-Maram hal 44-45 karangan Ibn Hajar A1-Asqalani yang sangat populer di kalangan pesantren dan madrasah.

Salah satu alasan pelarangan tersebut menurut satu hadis karena ketika matahari terbit, terbenam, dan tepat berada di tengah langit, setan mendekatkan diri ke matahari agar disembah orang.

Sebagian ulama berendapat, pada waktu itu kaum penyembah matahari sedang menyembahnya. Jadi pelarangan itu supaya umat Islam tidak menyerupai mereka.

Kala itu yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki sebab, yaitu shalat Sunah Mutlaq dan shalat Tasbih atau mempunyai sebab yang mengiringi sesudah shalat itu seperti shalat Sunah ihram dan istikharah.

Adapun shalat yang mempunyai sebab yang mendahului atau bersamaan dengan shalat itu, hukumnya diperbolehkan. Contohnya meng-qadha shalat fardhu, shalat tahiy’atul masjid, shalat jenazah, istisqa’ (minta hujan), dan sunah wudhu.

Meng-qadha’ shalat Zhuhur dikatakan mempunyai sebab yang mendahuluinya, karena kewajiban meng-qadha’ shalat Zhuhur disebabkan karena waktunya telah masuk sebelumnya dan belum dikerjakan sampai habis. Begitu juga shalat tahiyatul masjid dikarenakan seseorang memasuki masjid. Jelas, memasuki masjid terjadi sebelum dan masih berlangsung ketika shalat.

Berbeda dan shalat sunah ihram yang dikerjakan ketika akan ihram. Sebabnya adalah ihram yang jauh setelah shalat (Al-Ha wasy Al Madaniyyah I, 212-214).

Mengenai shalat tahiyratul masjid dua rakaat ketika khotib berada di atas mimbar bagi orang yang baru datang ke masjid hukumnya diperbolehkan asal tidak diperpanjang atau menurut sebagian ulama, hanya menjalankan pekerjaan shalat yang wajib saja supaya dapat mengikuti khotbah (Al-Ha wasyi Al-Madaniyyah: I, 213).

Hal itu berdasarkan sebuah hadis dan sahabat Jabir ra. bahwa beliau berkata:
Artinya: “Seorang lelaki datang ke masjid pada hari jumat ketika Rasulullah Saw. berkhotbah. Lalu beliau (Rasulullah Saw.) bertanya, ‘Apakah kamu sudah shalat?’ Lelaki tadi menjawab, ‘Belum/tidak’ (laa). Rasulullah Saw. kemudian bersabda, ‘Berdirilah, lalu shalatlah dua rakaat.“ (Muttafaq alaih)

Hadis ini dijadikan pegangan segolongan ahli hadis dan fuqaha (ahli fikih) bahwa shalat tahiyratul masjid dua rakaat di tengah-tengah khotbah diperbolehkan bagi orang yang baru datang ke masjid. (Bulugh Al-Mararn, 99).

Apa Hukum Shalat Jumat Bagi Muslimah (Wanita) ?

Tanya : Bagaimana kalau muslimah melakukan shalat Jumat ? Apakah dengan mengerjakan shalat Jumat kemudian shalat Zhuhurnya gugur? (Widi, Boyolali)

Jawab :
Para ulama sepakat, hukum shalat Jumat itu wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, bila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah mengingat kepada Allah, dan tinggalkan jual beli, karena yang demikian ini lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “(QS. A1-Jumu’ah: 9)

Shalat Jumat, termasuk kewajiban-kewajiban ainiy’ah (fardhu‘ain) sehingga berlaku atas setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat wajibnya (syuruth al-wujub). Di antara syarat wajib tersebu t adalah adz-dzhukura li dzhukuriah, artinya sifat kelaki-lakian. Karenanya, perempuan tidàk wajib menjalankan shalat tersebut.

Ketentuan itu didasarkan atas sebuah hadis riwayat Thariq Ibn Syihab ra. yang menyatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Mendirikan Jumatan adalah hal yang wajib (haqqun wajibun) atas setiap Muslim kecuali empat orang, yakni budak, perempuan anak kecil, dan orang sakit. “(HR. Abu Dawud)

Keempat kelompok yang terbebas dari kewajiban itu masth ditambah lagi dengan musafir, yaitu orang yang bepergian dengan jarak tempuh kurang lebih 90 kilometer.

Jika kita perhatikan, meski di mata agama Islam lelaki dan perempuan itu sama dan sederajat, tetapi dalam beberapa hukum mereka dibedakan.

Selain kewajiban shalat Jumat, bisa kita sebutkan antara lain dalam masalah warisan. Bagian perolehan bagi mereka yang berjenis kelamin laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Di samping itu, kekhususan lain yang dibebankan kepada laki-laki dan tidak dibebankan kepada perempuan adalah dalam hal kewajiban mengikuti jihad.

Adanya perbedaan dalam kasus-kasus tertentu itu, sama sekali tidak berlawanan dengan jiwa dan semangat egaliter (kesamaan) yang dijunjung tinggi oleh ajaran Islam.

Perbedaan itu diperlukan, karena dalam batas-batas tertentu antara laki-laki dan perempuan berlainan secara fisik dan mental. Ini adalah suatu kenyataan yang tidak mungkin diingkari.

Dalam kasus shalat Jumat kalau diperhatikan secara mendalam, pembebasan perempuan dari ikatan kewajiban shalat tersebut justru mengandung hikmah yang sangat hesar.

Kalau perempuan dituntut sebagaimana laki-laki, maka akan segera muncul sederetan masalah yang perlu pemecahan.

Persoalan itu antara lain siapa yang harus menjaga rumah? Dan jika perempuan masih mengasuh anak kecil, tidakkah terlalu berbahaya jika sang anak ditinggal sendirian? Jika dia sedang hamil, tidakkah terlalu memberatkan baginya melakukan perjalanan menuju masjid yang cukup jauh dari rumah? Padahal secara syar’i dalam satu daerah hanya diperbolehkan melakukan satu kegiatan shalat Jumat, kecuali ada kebutuhan yang mendesak.

Meski perempuan tidak diwajibkan, sah-sah saja dia ikut shalat Jumat. Andaikan ini dilaksanakan, maka dengan sendirinya bisa menggugurkan kewajiban shalat Zhuhur. Pendapat ini sebagaimana diterangkan dalam kitab Al-Bajuri (Syarah Fath Al-Qarib).

Dan tentu saja perempuan yang memilih untuk tidak melaksanakan shalat Jumat (jumatan) hendaknya segera melakukan shalat Zhuhur secara berjamaah di rumahnya. Karena menunaikan shalat pada awal waktu adalah termasuk sebaik-baik amal ibadah (afdhal al-a’inal).

Bagimana Hukum Khotib Jumat Tidak Duduk ?

Tanya : Bagaimana hukumnya khotib Jumat tidak duduk antara dua khotbah? (Slamet Widodo, Semarang)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, khotbah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan shalat Jumat yang hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki dan mempunyai persyaratan tertentu. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat tanpa menyelenggarakan khotbah. Bahkan, shalat itu sendiri tidak sah tanpa khotbah terlebih dahulu.

Menurut sebagian ulama, shalat Jumat adalah shalat Zhuhur yang diringkas menjadi dua rakaat (zhuhrun maqshurah). Sedangkan dua rakaat sisanya, diganti khotbah. Karena itu dalam penyelenggaraannya, khotbahnya dua kali, sama dengan jumlah rakaat shalat yang dikurangi.

Dengan demikian, khotbah Jumat merupakan ibadah, tidak sekedar media dakwah semata sebagaimana pengajian umum, ceramah keagamaan, kuliah shubuh, siraman rohani dan sejenisnya. Meskipun semuanya mengandung unsur dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan yang benar dan diridhai Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘adah add arain), sebagaimana dicita-citakan umat Islam.

Sebagaimana ibadah, sudah barang tentu pelaksanaannya terikat oleh aturan-aturan berupa syarat rukun yang semuanya diteladani dan dipahaini dari praktik Rasulullah Saw. Hanya dengan meneladani praktik beliau, ibadah kita diterima oleh Allah.

Dalam masalah ibadah berlaku kaidah, segala ibadah itu haram kecuali yang diperintahkan. Kebalikan dari bidang muamalah, segala sesuatunya diperbolehkan kecuali yang dilarang agama. Dalam masalah ibadah, kita tidak bisa melakukan inovasi dan kreasi sendiri.

Jika hal tersebut kita kaitkan dengan permasalahan penanya, maka mau tidak mau kita harus menengok praktik khotbah Rasulullah Saw. Langkah itu dapat diupayakan lewat dua cara, yakni melihat hadis secara langsung atau menelaah kitab-kitab fikih yang salah satu obyek kajianya adalah seluk-beluk ibadah.

Sebab fikih diformulasikan berdasarkan dalil-dalil dan Al Quran dan hadis, di samping hasil ijtihad. Langkah kedua (kitab fikih) lebih praktis bagi kalangan awam.

Berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab fikih, khotbah Jumat memiliki perbedaan-perbedaan tatacara pelaksanaan dan kriteria pelakunya (khotib) dibandingkan dengan pengajian umum. misalnya, khotbah harus berisi puji-pujian terhadap Allah (hamdalah), pembacaan shalawat kepada Rasulullah, pesan bertakwa, membaca ayat Al-Quran, dan berdoa.

Khotib harus suci dari dua hadas dan najis, baik badan, tempat, pakaian yang dikenakannya, serta menutup aurat. Selain itu khotib harus berdiri selama berkhotbah apabila mampu dan duduk di antara dua khotbah sekedar tuma‘ninah. Mungkin sekitar sepuluh detik sudah cukup. Menurut para ulama, hal itu disunahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca surat Al-Ikhlas.

Kalau khotbah dilakukan dengan duduk lantaran khotih tidak mampu berdiri, maka dua khotbah tadi dipisahkan dengan cara berdiam sejenak. Demikian juga jika ada orang yang mampu berdiri tapi tidak bisa duduk karena penyakit yang dideritanya.

Keharusan berdiri dan duduk ini semata-mata mengikuti apa yang dipraktikkan Rasulullah Saw., bisa juga hikmahnya untuk beristirahat bagi khotib, sehingga dapat nieneruskan khotbah yang kedua dengan tenang.

Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dan sahabat Jabir Ibn Samurah ra. yang menyatakan:
Artinya “Sesungguhnya Nabi Saw khotbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri dan berkhotbah. “(HR. Muslim)

Dalam hadis ini, jelas bahwa Rasulullah kalau berkhotbah dengan berdiñ lalu duduk dan berdiri lagi sebagaimana yang kalian semua lakukan sekarang. Berdiri pada khotbah pertama dan kedua serta duduk di antara dua khotbah itu.

Beraitan dengan waktu khotbah, dikerjakan setelah masuk waktu shalat zhuhur dan sebelum shalat Jumat. Antara khotbah dan shalat tidak boleh dipisahkan terlalu lama. Jadi, berbeda dengan khothah shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang shalatnya didahulukan dan mengakhirkan khotbah.

Semua itu selain yang berupa rukun berjumlah lima, yaitu memuji Allah, membaca sha1awat, wasiat agar bertakwa, membaca ayat Al Quran dan berdoa, adalah syarat sahnya khotbah Jumat.

Dengan demikian, duduk di antara dua khotbah adalah syarat yang sudah barang tentu harus dipenuhi, meskipun umpamanya khotib tidak lelah dan masih segar bugar. Sebab, dalam hal ini yang harus diprioritaskan adalah mengenai khotbah yang dikerjakan agar persis dan sesuai dengan apa yang dipraktikkan Rasulullah. Hal itu sekaligus sebagai bukti ketaatan kita kepada beliau yang seperti pula ketaatan kita kepada Allah Swt. yang telah mengutusnya.

Saturdan lain hal yang perlu diketahui bahwa saat khotib duduk di antara dua khotbah, menurut para ulama merupakan waktu yang mustajab. Artinya kalau seseorang berdoa pada saat itu kemungkinan dikabulkan lebih besar. Sangat disayangkan bila kita tidak pergunakan sebaik-baiknya kesempatan tersehut dengan berdoa kepada Allah secara khusu’.

Bagaimana Mengulang Shalat Saat Bepergian ?


Tanya : Saat bepergian, kita diperkenankan menjama’ shalat, setelah sampai di tujuan temyata waktu masih ada. Apakah shalat tersebut wajib diulang ?

Jawab : Allah berfirman dalam Al-Quran tepatnya surat AnN isa’, 103 sebagai berikut:
Artinya: ‘Bahwa sesungguhnya shalat orang mukinin adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An-Nisa’: 102)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasamya kewajiban menjalankan ibadah shalat adalah pada waktunya masing-masing yang telah ditetapkan, tidak dapat didahulukan atau diakhirkan dari semestinya.

Namun deinikian, ada kondisi khusus seseorang diperkenankan menjalankan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, yaitu dengan melakukan cara shalat yang lazim disebut jama.

Yang dimaksud dengan menjama‘ shalat adalah melaksana kan shalat Ashar pada waktu Zhuhur atau Isya’ pada waktu Maghrib atau sebaliknya, yaitu Zhuhur pada waktu Ashar dan Maghrib pada waktu Isya’. Yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua jama’ ta’khir.

Diperbolehkannya melakukan jama’ shalat merupakan suatu rukhsah (dispensasi) dari Allah terhadap para hamba Nya. Karena itu merupakan suatu kemudahan, tidak dalam segala kondisi seseorang dapat melakukannya.

Dalam literatur fikih disebutkan adanya dua kondisi yang memperkenankan seseorang men-jama’ shalat. Pertama, bila berada dalam kondisi perjalanan. Kedua, seseorang yang terbiasa shalat jamaah di masjid, sementara keadaan hujan yang dikhawatirkan membasahi atau mengotori pakaiannya. Dalam keadaan demikian, dia diperbolehkan melakukan jama‘ shalat.

Khusus yang pertama (dalam perjalanan) seseorang boleh melakukan shalat jama’ bila perjalanannya mencapai batas diperbolehkannya melakukan shalat qashar (masafatu al-qashi) yaitu suatu perjalanan yang telah mencapai dua marhalah.

Menurut kitab Fath Al-Qadii dua marhalah sama dengan sekitar 90 kilometer. Dan mulai boleh menjamá’ shalat bila telah melewati batas daerahnya (saaru al-balad). Hal tersebut masih ditambah lagi dengan suatu ketentuan lain bahwa perjalanan itu bukanlah untuk suatu tujuan yang tidak diperbolekan oleh syariat. Demikianlah di antara ketentuan yang harus diperhatikan dalam menjalankan shalat jamak.

Keterangan di atas lebih mengacu pada kondisi seseorang diperbolehkan melakukan shalat jama’ Sementara cara pelaksanaan shalat tersebut masih ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan.

Dalam kitab Fath A1-Wahhab disebutkan empat syarat ketika seseorang bermaksud melakukan jama’ taqdim.
Pertama, shalat tersebut dilakukan secara urut (tartib), artinya mendahulukan shalat Zhuhur sebelum Ashar dan Maghrib sebelum Isya’. Tidak dapat dilakukan yang sebaliknya.

Kedua, niat akan melakukan shalat jama ‘pada saat melaksanakan shalat yang pertama, dalam hal ini saat melaksanakan shalat Zhuhur atau Maghrib. Bila niat tersebut tidak ada, maka seseorang tidak diperbolehkan melakukan shalat jama

Ketiga, dilakukan secara berkesinambungan (al-wila) dalam artian setelah melaksanakan shalat yang pertama lalu dilanjutkan dengan shalat yang kedua, tidak diselingi dengan kegiatan apapun yang menurut adat dianggap lama.

Yang (keempat) terakhir, seseorang masih berada di dalam perjalanan ketika waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’) telah mulai masuk (dawamu as-safar ila ‘aqdin tsaniyah).

Dengan kata lain, ketika seseorang telah sampai tinggalnya, atau daerah lain yang dia niatkan akan bermukim dalam jangka waktu yang lama, sementara dia belum menjama shalat maka dia tidak dapat lagi melakukannya.

Sementara untuk jama ta’khir hanya dipersyaratkan berniat pada waktu yang pertama dia akan melakukan shalat jama’ ta’khir. Hal itu untuk membedakannya dari shalat qadha’yang notabene adalah juga meletakkan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Disyaratkan juga seseorang masih berada dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah masuk, sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian pertama.

Merujuk pada pertanyaan tersebut di atas, tentang wajib atau tidaknya mengulangi shalat yang dilakukan secara jama’ ketika telah sampai di tempat tujuan, sementara waktunya masih ada, kita dapat memperhatikan syarat yang terakhir dan kitab itu, yakni dawamu as-safar, dengan jalan mengambil mafhum dan keterangan tersebut. Yang dipersyaratkan hanyalah bahwa seseorang tersebut masih dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah mulai masuk, bukan waktu kedua yang telah berakhir. Dengan demikian, bila memang shalat jama’ tersebut dilakukan melalui suatu perkiraan, yang kemudian memang terjadi seseorang masih berada dalam perjalanan saat waktu yang kedua telah masuk, shalat tesebut tidak perlu diulang, sekalipun waktu masih ada dan lama.

Bahkan tindakan tersebut (mengulangi) dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi sikap keberagamaan seseorang bila dibarengi dengan motivasi bermain-main dalam masala ibadah (tala‘ub fi Ad-din).

Friday 4 September 2015

Hukum Dan Cara Mengqadha Shalat Yang Benar

Tanya : Saya meninggalkan shalat, dan mau mengqadha’nya, tetapi tidak tahu secara pasti berapa jumlahnya. Kapan men gqadha’ dikerjakan? dan apa wiridan untuk bertobat?

Jawab : Shalat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam agama Islam. Ia adalah rukun Islam kedua dan terpenting setelah syahadat, ibadah yang paling utama, menjadi tiang agama, dan kewajiban yang pertamakali dihisab. Pada sisi lain, shalat mengandung banyak hikmah, misalnya menjadikan hati lebih tenteram, menghapus dosa dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sangat tidak layak bagi setiap muslim mengabaikannya dalam keadaan apapun. Pada kondisi dan situasi yang sulit, Allah Swt. telah memberikan pelbagai kemudahan. Ketika bepergian diperkenankan mengqashar dan menjama. Jika tidak mampu berdiri, diperbolehkan duduk atau tidur sesuai dengan kemampuan. Pada saat tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakannya, disyari’atkan tayamum.

Sebenarnya shalat itu tidak berat, asal dibiasakan. Mendirikan shalat dengan ikhlas dan khusyu justru mendatangkan kelezatan rohani tersendiri. Supaya terbiasa, orang tua diperintahkan menyuruh anaknya mengerjakan shalat sejak berumur 7 (tujuh) tahun, dan memberinya pelajaran atau sanksi (at-tadib) apabila meninggalkan pada umur 10 (sepuluh) tahun.

Shalat termasuk ibadah formal (muqayyadah) yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya. Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang ukmin.” (QS. An-N isa’, 103)

Tidak sah menjalankan shalat sebelum waktunya tiba. Dilarang meninggalkan shalat tanpa udzur sampai waktunya habis. Menjalankan shalat pada waktunya dinamakan ada’, kebalikannya adalah qadha yaitu mengerjakan shalat di luar waktunya.

Mengqadha’shalat hukumnya wajib,
baik meninggalkannya karena ada udzur atau tidak. Hanya saja, jika ada udzur pelakunya tidak berdosa. Kalau terdapat unsur kesengajaan, pelakunya berdosa. Perintah mengqadha didasarkan pada sabda
Rasulullah:
Artinya: “Barangsiapa lupa tidak mengerjakan shalat maka dia harus melakukakannya (mengqadha‘nya) ketika mengingatnya. “(HR Bukhari dan Muslim)

Shalat yang ditinggalkan tanpa udzur wajib secepatnya diqadha’ (‘ala al-faur). Jika ada udzur sebaiknya dipercepat, supaya lekas lepas dari tanggungan (bara’ah adz-dzimmah). Hal ini sebagaimana dianut oleh Madzhab Syafi’i.

Kewajiban mengqadha‘ shalat tetap berlaku sampai kapanpun. Ini artinya, shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun masih tetap menjadi tanggungan. Jenis dan jumlah shalat yang diqadha’ disesuaikan dengan jumlah dan jenis yang ditinggalkan. Oleh karena itu, harus diketahui terlebih dahulu, apakah shalat yang ditinggalkan itu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ ataukah Subuh, dan berapa kali terjadi.

Kalau tidak diketahui secara pasti jumlah shalat yang ditinggalkan, ada 3 (tiga) pendapat. Pertama, mengqadha - shalat kecuali yang diyakini telah dikerjakan. Kedua, mengqadha’ shalat yang diyakini belum dikerjakan. Ketiga, menggunakan pendapat pertama bagi orang yang sering meninggalkan, dan pendapat kedua jika jarang melalaikan shalat. (Al-Fiqh Al-island, 1161, juga Qalizbi I, 118).

Sebagai wujud kehati-hatian dalam beragama (al-thtiyath), sebaiknya kita memilih pendapat pertama. Ia adalah pendapat terkuat, dan sejalan dengan salah satu kaidah fikih, al-ashl al adam. ini sekaligus pengamalan dari kaidah yang lain, al-khuruj min al-hilaf musfahab.

Kalau seseorang meyakini telah meninggalkan shalat tetapi lupa jenisnya, apakah Zhuhur ataukah lainnya, maka ia harus mengqadha’ shalat fardhu lima waktu secara keseluruhan. Hanya dengan begitu, ia dipastikan. telah mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan.

Mengqadla’dapat dilakukan kapan saja. Mengingat Anda meninggalkannya dengan sengaja, tanpa udzur, maka Anda harus mengqadha’ secepatnya. Jangan sampai ditunda-tunda lagi. Mengqadha’ shalat secepat mungkin hukumnya wajib. Dalam kaidah fikih kita kenal ungkapan al-wajib la yutrak illa li wajib, sebuah kewajiban tidak bia ditinggalkan kecuali untuk melakukan kewajiban yang lain.

Menurut Madzhab Syafi’i, mengqadha‘ shalat dalam jumlah banyak tidak diwajibkan secara berurutan. Artinya, boleh mengqadha’Ashar, lalu Zhuhur, disusul Isya’ misalnya. Lebih baik berurutan, karena hukumnya sunah. (Mughni Al-Muhtaj I, 127).

Perlu diingat, bahwa selain mengqadha Anda harus bertobat atas kesalahan tersebut. Mengqadha‘ shalat tidak secara otomatis membebaskan Anda dari dosa. Mengqadha’ justru merupakan bagian dari tobat. Tobat adalah meninggalkan perbuatan yang dilarang syara, menyesalinya dan berketetapan hati tidak akan mengulangi lagi pada masa mendatang. Wiridan yang dianjurkan adalah memperbanyak bacaan istirhfar. Tapi jangan hanya di mulut. Ucapan itu harus keluar dari lubuk hati yang terdalam, dan diwujudkan dalam tindakan nyata, berupa perubahan sikap dan perilaku dari yang tidak diridhai Allah menuju amal yang diridhai-Nya.

Hukum Meninggalkan Shalat Jumat Saat Di Luar Negeri

Tanya : Saya ini bingung apakah boleh meninggalkan shalat Jumat (saya sekarang ada di luar negeri,). Kata teman saya sih boleh, dengan bermacam alasan. Tapi saya ingin kejelasan. 

Jawab : Pada hari Jumat, sekali dalam seminggu umat Islam diwajibkan melakukan shalat Jumat. Kewajiban ini bersifat fardhu’ain. Perintah shalat Jumat berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Rasulullah bersabda, yang artinya: ‘Mendatangi shalat Jumat wajib atas setiap orang baligh.” (HR. Nasai dan Khafshah ra.)

Karena dalil-dalilnya sangat kuat dan jelas, mengingkari perintah ini dapat menyebabkan seseorang (muslim) keluar dari agama Islam, sebab dianggap tidak percaya kepada Al-Quran dan hadis.

Praktik shalat Jumat secara umum sama dengan shalat-shalat yang lain, kecuali beberapa persyaratan khusus. Shalat Jumat terdiri dari dua rakaat, dilakukan secara berjamaah dengan jumlah peserta minimal (40) empat puluh orang dan didahului khotbah dua kali.

Oleh sehab itu, untuk mengikuti shalat Jumat, seseorang harus menghadiri masjid jami’. Aturan pelaksanaan shalat Jumat tidak sebebas shalat fardhu yang lain. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat sendirian di dalam rumah, inisalnya.

Keharusan tersebut sudah barang tentu menyulitkan sebagian orang karena alasan-alasan tertentu yang tidak memungkinkannya menghadiri masjid jami’. Oleh sebab itu, kewajiban shalat Jumat tidak berlaku bagi orang sakit dan musafir. Untuk musafir tidak ada persyaratan jarak yang ditempuh harus mencapai masafah aI-qashr, jarak meng-qashar shalat, yaitu 90 km menurut sebagian ulama. Dengan catatan bepergiannya bersifat mubah (diperkenankan agama), dan sudah berangkat sebelum fajar terbit (A1-Madzahib Al-Arba ‘ah: I, 383, Al-Hawasyly Al-Madaniyah II, 56).

Dalam terminologi fikih, dispensasi tersebut dinamakan rukhshah, yaitu perubahari hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Sedangkan sebab terjadinya hukum asal tetap berlaku (Thariqah Al-Hushul, 40). Salah satu udzur penyebab timbulnya rukhshah adalah bepergian (as-safai). Di tengah perjalanan setiap orang pasti mengalami kepayahari, meskipun dalam kadar yang berbeda-beda (al-safarqith’ah nun aI-’azhab). Padahal untuk memenuhi kebutuhari hidupnya, manusia tidak bisa lepas dari bepergian. Sangat dimungkinkan dan dalam kenyataannya sering terjadi, seseorang masih berada dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat telah tiba.

Dan sisi lain, pemberian dispensasi di atas sejalan dengan salah satu karakteristik agama Islam, yaitu ‘adam al-kharaj dalam artian tidak ada yang memberatkan atau menyulitkan dalam pengamalan ajaran-ajarannya. Sehagai ganti shalat Jumat, musafir dapat mengerjakan shalat Zhuhur seperti biasa.

Kebalikan dari musafir adalah mukim. Status musafir menjadi hilang apabila ia niat bermukim selama empat hari. Jika seseorang dari Semarang pergi ke Surabaya lalu niat menginap di hotel selama lima hari misalnya, maka tidak berlaku lagi baginya dispensasi bepergian (rukhshah as-safai). Lain halnya kalau hariya dua atau tiga hari (Al-Fiqh Al-Islami. 1287).

Bila hariya niat bermukim secara mutlak, tanpa menentukan jumlah hari, hukumnya sama dengan niat bermukim empat hari. Lain lagi kalau bermukim pada suatu tempat untuk sebuah keperluan yang sewaktu-waktu keperluannya selesai ia pulang, maka status musafir masih disandangnya selama delapan belas hari (Al-Ha wasyi)’ Al-Madaniyyah 2, 47-48).

Pengertian bermukim (al-iqamah) yang mewajibkan jumatan tidak mengharuskan seseorang menetap atau berdomisili pada suatu tempat untuk selamanya, yang dalam terininologi fikih disebut al-istithari atau al-tawatthun. Bertempat tinggal di asrama, hotel atau rumah sanak keluarga dalam waktu tertentu, untuk suatu ketika kembali lagi ke kampung halaman sudah dianggap bermukim dan menggugurkan status sebagai musafir, asalkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, misalnya mencapai empat hari (Al-Madzahib Al-Arba‘ah: I, 382).

Untuk itu, tujuan saudara penanya berada di luar negeri perlu dipenjelas: Apakah sebagai wisatawan, mengunjungi saudara, bekerja, ataukah untuk kepentingan studi. Lalu dipertegas pula berapa lamanya tinggal di sana. Kalau umpamanya menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk studi sudah barang tentu wajib jumatan. Bila menengok saudara satu atau dua hari, jumatan tidak wajib. Ataukah untuk sebuah kebutuhari yang sewaktu-waktu bila sudah beres, tanpa mengetahui secara persis kapan waktunya, langsung pulang kembali. Untuk kasus terakhir, selama dalam masa delapan belas hari, jumatan boleh ditinggalkan.

Apa Hukum Shalat Dengan Pakaian Yang Terkena Najis ?

Tanya: Bagaimana caranya mengerjakan shalat dengan pakaian yang kena percikan air seni padahal kala itu tidak ada pakaian suci sebagai gantinya?

Jawab: Seperti dimaklumi, agar shalat yang kita lakukan sah menurut syara ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, memenuhi semua persyaratan, menjalakan semua rukun dan meninggalkan semua yang membatalkan.

Syarat sahnya shalat ada 6 (enam). Salah satunya menutup aurat. Keharusan ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya: :Ambillah zinah kalian semua ketika berembahyang. (QS. A1-A’raf: 31)

Menurut Ibnu Abbas,
seorang ahli tafsir dari generasi sahabat, zinah dalam ayat itu mempunyai arti pakaian (al-libas). Sedangkan menurut para ulama, kewajiban menutup aurat telah menjadi konsesus ulama (ijma) sebagaimana diterangkan dalam kitab Asy-Syarqawi.

Alat menutup aurat harus berupa benda suci yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit si pemakai. Pegertian henda disini, tidak terbatas pada pakaian atau kain yang terbuat dari benang atau bulu binatang. Diperbolehkan menutup aurat dengan kulit, kertas, plastik, tikar dan sebagainya asal suci serta menghalangi terlihatnya warna kulit. Bahkan seperti diterangkan dalam kitab-kitab fikih, sudah dipandang mencukupi menutup aurat dengan melumuri badan kita dengan tanah, dan berendam dengan air yang keruh. Dengan demikian belum dipandang mencukupi, penutup aurat yang terbuat dari kaca tembus pandang dan kain yang sangat tipis, sehingga tidak diperkenankan menutup dengan pakaian yang najis.

Kewajiban menutup aurat hanya berlaku untuk orang-orang yang mampu melakukannya meskipun dengan jalan membeli, meminjam atau menyewa. Artinya, penutup aurat tidak harus menjadi imilik pemakainya. Kalau tidak ada pakaian, dapat dilakukan dengan benda-benda lain yang saya sebutkan tersebut. Jika pakaian terkena najis harus dicuci dengan air. Shalat tidak diharuskan menggunakan penutup yang kering.

Karena kewajiban tersebut terbatas pada orang yang mampu (li qadir‘ala as-sali), dengan sendirinya menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu. Seseorang dianggap tidak mampu jika tidak dapat menutup auratnya dengan berbagai cara sebagaimana tersebut di atas. Jadi, jika tidak menemukan pakaian, tetapi masih ada benda lain yang dapat dijadikan penutup, itu masih dianggap mampu.

Melihat segala variasinya benda-benda yang dapat dijadikan penutup aurat, pada zaman ini dalam keadaan normal sangat sulit membayangkan seseorang tidak mampu menutupi auratnya. 

Meski demikian, tetap tidak mustahil hal itu terjadi juga. Contohnya, orang dalam keadaan telanjang dikurung dalam suatu bangunan terkunci, yang tak ditemukan apa-apa kecuali tembok dan atap.

Dalam kodisi seperti itu, ia terbebas dari tuntutan menutup aurat. Dengan demikian ia diperbolehkan shalat dalam keadaan telanjang. Allah Swt tidak menjadikan agama ini (Islam) menyulitkan bagi hamba-Nya, sebagaimana ayat berikut:
Artinya: “... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ... “(QS. A1-Hajj: 78)

Kalau kita hanya mendapat sebagian penutup aurat, tetap harus dipakai, meski nantinya masih ada anggota badan yang terlihat. Kita hanya dituntut menjalankan perintah sesuai dengan kemampuan.

Inti mendirikan shalat adalah dzikrullah, mengingat Allah, yang dari aktivitas itu dtharapkan timbul sikap dan perilaku yang positif berupa menghindari perbuatan yang keji dan mungkar. Semua kejahatan apapun bentuknya sebetulnya berakar pada satu sebab, lupa kepada Allah Swt. Lupa kepada Allah Swt, berarti lupa kepada perintah, larangan ancaman dan siksa-Nya. Tujuan dari hikmah shalat yang demikian itu, sudah tentu tidak perlu ditinggalkan hanya gara-gara tidak ada penutup aurat. Dzikrullah itu letaknya di hati, sehingga ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa khusyu merupakan rohnya shalat. Tanpa khusyu maka shalat bagaikan makhluk tanpa roh, artinya tidak sah.

Tidak hanya menutup aurat, syarat-syarat yang lain jika tidak bisa dipenuhi juga dimaafkan. Orang sakit parah yang kesulitan menghadap ke arah kiblat -atau dekat ke arah selain kiblat- gugur di atasnya keharusan menghadap ke arah kiblat kalau ingin shalat. (Al-Bajuri, Syarah Fath AJ-Qarib, juz I).

Demikian juga dengan syarat bersuci dari najis dan hadas. Jika tidak menernukan air dan debu, dalam .agama Islam kita diperbolehkan shalat meskipun dalam keadaan berhadas.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan lahwa shalat dengan memakai pakaian najis tidak sah. Selanjutnya ada heberapa alternatif yang bisa dilakukan penanya dalam menghadapi kasus yang diutarakan. Pertama, mencuci pakaian yang terkena percikan air kencing atau air seni. Kedua, membeli, meminjam, atau menyewa pakaian kepada orang lain. Ketiga, menutup aurat kecuali dengan pakaian, bisa dengan lainnya seperti tikar, anyaman-anyaman daun, kertas buram dan lain-lain asal suci dan mencegah terlihatnya warna kulit. Keempat, melumuri diri dengan tanah atau membenamkan diri ke dalam air keruh.

Alternatif terakhir mungkin sulit dilakukan, tapi yang lainnya saya kira sangat mudah. Penanya tidak boleh langsung shalat telanjang sebelum alternatif-alternatif itu tidak dapat dikerjakan semuannya.

Kelihatannya dengan kasus tersebut, saya menjadi teringat sabda Rasulullah Saw. dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dan sahabat Abu Hurairah:
Artinya: “Pada umumnya siksa kubur itu disebabkan kencing. “ (HR. Daruquthni)

Hadis tersebut menuntut kita supaya berhati-hati sewaktu membuang air kencing dan istinja. Jangan sampai badan atau pakaian kita terkena percikan air kencing tersebut. Oleh karena itu, Syekh Muhammad Al-Banjari, seorang ulama besar dari daerah Banjar (Kalimantan Selatan) dalam kitabnya, Sabil Al-Muhtadin menyatakan, sebaiknya kalau kencing jangan menghadap mata angin. Kalau angin bertiup dari arah selatan ke utara, sebaiknya Anda ketika kencing menghadap ke arah utara, jangan ke selatan. Karena kalau memaksakan kencing menghadap ke arah selatan, besar kemungkinan air kencing akan mengenai pakaian kita.

Berangkat dari hadis ini pula, sangat disesalkan jika pada zaman modern dimana aspek kebersihan menjadi sangat penting, kita masih sering menjumpai sebagian masyarakat yang tidak melakukan istinja setelah buang air kencing. Padahal Islam telah memberikan kelonggaran, boleh dengan batu dan sejenisnya. Apalagi hal itu sampai dijadikan alasan untuk tidak melakukan shalat gara-gara pakaiannya najis.

Dalam hal ini ada baiknya kita pakai kaidah para dokter, mencegah penyakit lebih baik daripada mengobati. Lebih baik kita menghindari najis daripada nanti mencucinya.

Syarat Sholat Menggunakan Sepatu (Menyapu Sepatu)

Menyapu sepatu dilakukan oleh orang yang sering dan sedang dalam perjalanan jauh (musafir), bagi orang yang sedang dalam kondisi ini Allah SWT memberikan keringanan untuk mengambil wudu. Hal ini dikarenakan pada zaman Nabi dahulu jarak antara kota satu dengan kota lain berjauhan dan hanya ditempuh dengan jalan kaki, terlebih jalan yang dilalui adalah padang pasir.

Orang yang terus-menerus memakai sepatu, apabila ia berwudu boleh menyapu atau mengusap bagian atas kedua sepatunya saja dengan air. Hal itu sebagal pengganti membasuh kaki dengan syarat-syarat yang akan diterangkan.

Waktunya ialah sehari semalam bagi orang yang tetap di dalam negeri, dan tiga hari tiga malam bagi orang musafir (dalam perjalanan). Masa tersebut terhitung dan ketika berhadas (batal wudu) sesudah memakai sepatu.
Sabda Rosulullh SAW :
“Dari Mugirah bin Syu’bah. Ia berkata, “Saya lihat Rasulullah Saw. menyapu bagian luar kedua sepatu beliau.” (RIWAYAT AHMAD DAN TIRMIZI, DAN DIKATAKAN HADIS HASAN)

“Dari Abu Bakrah. Bahwasanya Rasulullah Saw. telah memberi kelonggaran bagi orang musafir tiga hari tiga malam dan bagi orang mukim (tetap) sehari semalam apabila ia suci, kemudian dtpakainya kedua sepatunya. Ia boleh mengusap bagian atas kedua sepatunya dengan air. (RIWAYAT IBNU KHUZAIMAH DAN DARUQUTNI)

Tidak boleh menyapu salah satu kaki dan membasuh yang lain, sebab ada kaidah yang mengatakan, “Apabila agama menyuruh memilih antara dua perkara, tidak boleh mengadakan cara yang ketiga”

Syarat-syarat menyapu sepatu
1. Kedua sepatu itu hendaklah dipakai sesudah suci secara sempurna. Dalilnya ialah hadis tersebut di atas (yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Daruqutni).
2. Kedua sepatu itu hendaklah sepatu panjang, yaitu menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh (dan tumit sampai ke mata kaki).
3. Kedua sepatu itu kuat, bisa dipakai berjalan jauh, dan terbuat dari benda yang suci.

Yang membatalkan menyapu sepatu
1. Apabila keduanya atau salah satu di antaranya terbuka, baik dibuka dengan sengaja ataupun tidak sengaja.
2. Habis masa yang ditentukan (sehari semalam bagi orang tetap, tiga hari tiga malam bagi orang musafir).
3. Apabila ia berhadas besar yang mewajibkan mandi.

Tuesday 1 September 2015

Apakah Hukum Memakai Campuran Alkohol Saat Shalat ?

Tanya: Dalam keseharian kita sering memakai bahan-bahan yang mengandung campuran alkohol. Najiskah hukumnya? Bagaimana jika kita memakainya bersama wewangian untuk shalat? (Ayu, Jakarta)

Jawab: Alkohol mnurut ahli kesehatan adalah zat cair yang dihasilkan dan proses fermentasi atau diproduksi secara kimiawi, berwarna bening seperti air, mempunyai bau khusus, dan memiliki efek pati rasa atau mengurangi pengaruh syaraf tertentu (memabukkan) bila digunakan pada bagian tubuh secara berlebihan. Karena efek pati rasa itu alkohol memiliki potensi madharat (negatif) yang tidak kecil bagi kehidupan manusia bila disaiah gunakan, sekaligus manfaat yang sangat besar bila digunakan secara benar.

Sisi madharat alkohol yang biasa kita tahu adalah manakala ia dijadikan unsur dasar minuman keras yang memabukkan. Karena memabukkan itu, para ulama sepakat bahwa alkohol najis hukumnya sehingga dengan sendirinya haram dikonsumsi. (Hal ini pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-23 di Solo, lihat Ahkam Al-Fuqaha, 245). Dan karena alkohol najis, maka tidak boleh digunakan dalam ibadah-ibadah yang dalam pelaksanaannya membutuhkan kesucian. 

Namun demikian, Syafi’iyah berpendapat bahwa campuran sedikit zat cair yang najis dalam hal ini alkohol terhadap obat-obatan atau minyak wangi untuk sekedar menjaga kebaikannya hukumnya ma’fu atau dimaafkan. Jadi, meskipun najis boleh digunakan untuk shalat. (Madzahib Al-A rba ‘ah I, 15)

Terlepas dari pendapat di atas, sebenarnya hukum alkohol masih menjadi perselisihan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran surat Al-Maidah, 90: 

“Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. “(QS., A1-Maidah: 90)

Sebagian ulama memaknai kata rijs dengan najis dan sebagian yang lain (ulama ahli hadis atau al-muhadditsin) berpendapat bahwa khamer meskipun diharamkan hukumnya suci karena najis yang dimaksud adalah najis maknawi. Hal iin sebagaimana Al-Quran menyebut orang musyrik sebagai najis. ini bukan berarti orang musyrik najis dalam pengertian najis yang membatalkan shalat tetapi karena perbuatan syirik merupakan perbuatan paling buruk menurut akal sehat.

Pendapat kedua itu juga ditegaskan lagi oleh Lembaga Fiqh Islam Dunia pada Muktamar ke delapan di Brunai Darussalam, (21-27 Juni 1993 M atau 1-7 Muharram 1414 H) yang memutuskan bahwa akohol hukumnya tidak najis. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih “al-ashlu fi al-asyyaai at-thaharah.”Alasanya sama karena kenajisan khamer dan semua yang memabukan itu bersifat maknawi bukannya hissi atau kenyataan.

Di samping sisi rnadharat, disadari maupun tidak sebenarnya kita telah banyak memanfaatkan alkohol yang memang penting itu. Dalam bidang kesehatan misalnya, alkohol biasanya digunakan untuk membersihkan luka, membunuh kuman penyakit, bius dan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari alkohol dijumpai sebagai campuran minyak wangi ataü makanan dan minuman baik sebagai pengawet ataupun unsur pengurai. Menurut keputusan lembaga fikih Islam dunia, penggunaan alkohol untuk kepentingan-kepentingan semacam itu tidak termasuk khamer. Jadi, minyak wangi yang menggunakan sedikit campuran dan alkohol atau makanan minuman ataupun obat yang dalam pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk menguraikan bahan-bahan yang tidak bisa diuraikan dengan air atau untuk sekedar mengawetkan, boleh dikonsumsi atau digunakan karena dirasa sulit untuk menghindarinya (li‘umum al-balwa). (A1-Fiqh Al-Islami, VII, 5264-5265).

Apakah Hukum Dan Bagaimana Cara Meng Qadha Shalat Untuk Orang Yang Meninggal ?

Tanya: Saya punya seorang ibu yang baru saja meninggal dunia karena sakit. Selama beliau sakit, tidak melaksanakan shalat. Bagaimana hukumnya jika shalat yang ditinggal tersebut di-qadha’ oleh anak? Kalau memang boleh, bagaimana caranya? (Supranto, Purbalingga)

Jawab: Kasus pengabaian shalat oleh orang-orang yang sedang mendapat cobaan dari Allah berupa sakit memang sering terjadi. Apalagi dalam keadaan sakit. Dalam keadaan sehat saja tidak jarang kaum Muslimin melalaikannya, baik karena alasan kesibukan ataupun lebih disebabkan pengetahuan agama kurang, yang berakibat pada kelemahan keimanan dan ketakwaan seseorang.

Padahal, shalat merupakan salah satu rukun Islam dan tiang agama (‘imad ad-din), barang siapa yang menegakkannya (melaksanakannya) berarti menegakkan agama. Sebaliknya, barangsiapa merobohkannya (meninggalkan) secara tidak langsung dia telah merobohkan agamanya sendiri. 

Kalau kita cermati, tindak kejahatan yang merebak akhir-akhir ini merupakan bukti paling kongkrit terjadi dekadensi moral di tengah masyarakat. Tidaklah terlalu mengada-ada bila kejadian salah satu faktor yang dominan adalah karena orang-orang mulai mengabaikan perintah shalat.

Perlu diketahui, jika ibadah shalat dilakukan dengan benar dan dihayati secara mendalam, maka ibadah ini memiliki potensi besar untuk dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Hal ini terjadi karena tertanamnya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan seseorang selalu dimonitor oleh Allah Swt. Perhatikan ayat berikut mi: 

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya) dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “(QS. A1-’Ankabut: 45)

Dalam kenyataan sehari-hari, dimensi spiritual seperti itulah yang sering dilupakan orang dalam memecahkan masalah, sehingga solusmya kurang aktif.

Pada dasarnya waktu shalat telah ditentukan (muaqqatah). Shalat yang satu, tidak boleh diletakkan pada pada waktu yang lain kecuali karena alasan men-jama (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) yang memang diperkenankan ketika seseorang sedang melakukan perjalanan (bepergian).

Dalam praktiknya, ada saja di antara kita yang melanggar ketentuan tersebut, dalam artian melaksanakan shalat di luar waktunya, atau yang biasa disebut qadha. Hal itu, jika dilakukan dengan sengaja, tanpa udzur syar’i (lupa atau tertidur). Padahal melalaikan perintah shalat adalah termasuk al-kabair atau dosa besar.

Mereka yang dengan sengaja atau tanpa ada udzur syar’i seperti itulah yang kemudian dimaksudkan dengan kelompok orang yang melalaikan shalat. Dalam Al-Quran khususnya surat Al-Ma’un orang seperti itu diancam dengan al-wail (mendapat celaka atau siksa). Kelengkapan ayat dimaksud adalah sebagai berikut: 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS. A1-Maa’un: 4-5)

Yang cukup disayangkan, kadang-kadang shalat dianggap rutinitas belaka, dan meninggalkannya sama sekali atau melakukan bukan waktunya dianggap masalah sepele. Ironisnya, ada beberapa orang yang memiliki “hobi” shalat tertentu, misalnya Maghrib, sementara shalat-shalat yang lain tidak pernah diperhatikan. Padahal.. semuanya sama-sama diwajibkan, dan sama-sama rukun Islam. Orang demikian bisa dikatan ber-Islam tidak secara kaffah (paripurna).

Namun kepada orang-orang yang meninggalkan shalat baik dengan maupun tanpa sengaja diwajibkan untuk meng-qadha

Dan hal yang perlu diperhatikan bahwa meng-qadha shalat dalam konteks ini tidak secara otomatis akan menghapus dosa seperti yang dipersepsikan banyak orang. Dosa tersebut hanya bisa terhapus dengan bertobat, berupa rasa penyesalan yang mendalam disertai niat tidak akan mengulangi.

Lazimnya, yang meng-qadha’ shalat adalah pihak yang meninggalkan shalat.

Permasalahannya, jika yang bersangkutan telah meninggal apakah bisa digantikan oleh pihak lain, semisal anaknya?

Berdasarkan keterangan kitab Fath Al-Mu’in, dalam menanggapi masalah itu ada dua pendapat. Menurut qaul mu’tamad, orang yang masih hidup tidak bisa mengganti orang yang telah meninggal, untuk meng-qadha’ shalat. Lain halnya pendapat Imam Al-’Ubbadi dan Imam As-Subki, keduanya menyatakan boleh.

Cara meng-qadha’ shalat adalah sama dengan shalat yang kita lakukan sehari-hari. Hanya yang membedakannya adalah niatnya, mengingat statusnya sebagai pengganti, misalnya “ushalli fard azh-zh uhri arba‘a raka‘atin ‘an fulan “(saya shalat fardhu Zhuhur empat rakaat atas nama si Polan).

Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, dilakukan secara berurutan, sesuai dengan aslinya. Pertama Dhuhur, lalu Ashar, Maghrib dan seterusnya. Tidak diharuskan menentukan kapan hari, bulan, dan tahunnya. Pokoknya shalat yang ditinggalkan Si mayat.

Apakah Menyemir Atau Mewarnai Rambut Membatalkan Shalat ?

Tanya: Apakah dengan menyemir rambut dapat membatalkan shalat?
(M. Adiatma Noer, Ciledug Tangerang)

Jawab: Menyemir (memberi warna) rambut bukanlah fenomena baru zaman sekarang yang disebut modern. Di kalangan umat Islam, kebiasaan menyemir rambut sudah ada pada masa Rasulullah. Menurut keterangan .beberapa hadis, Khalifah Abu Bakar dan Umar Ibn A1-Khaththab pemah menyemir rambutnya. Begitu juga pada periode tabi’in dan sesudahnya.

Ulama salaf generasi shahabat dan tabi’in berbeda pendapat. Sebagian menyatakan menyemir rabut lebih utama. Sebagian yang lain berpendirian sebaliknya. Pendapat pertama berdasarkan pada kenyataan adanya sekelompok shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka yang menyemir rambut sebagaimana diinfomiasikan beberapa hadis. Sedangkan pendapat kedua merujuk pada sunah Rasulullah yang memang tidak pernah menyemir rambut.

Khilaf juga terjadi pada pemilihan warna semir. Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat memperbolehkan warna selain hitam. Khusus semir warna hitam, menurut Syafi’iyah hukumnya haram. Selain Syafi’iyah hanya menghukumi makruh. Perbedaan pendapat ini dirunut dari sebuah hadis yang menceritakan peristiwa pada masa penaklukan Mekkah. Waktu itu, Abu Quhafah, orang tua Sayidina Abu Bakar dibawa menghadap kepada Rasulullah, dalam keadaan kepalanya disemir dengan warna putih  (tsughamah). Melihat hal itu, Rasulullah berkata kepada para shahabat, “Bawalah dia kepada salah satu istrinya, agar mengubah warna rambutnya, dan hindarilah warna hitam.”

Dalam hadis ini, Rasulullah memerintahkan agar menghindari warna hitam. Dalam ushul fikih, perintah bisa bersifat wajib (li al-wujub) dan sunah (li an-nadb). Yang menyatakan wajib, mengharamkan warna hitam. Sebaliknya, yang menganggap sunah, memakruhkan. (Ghayah Al-Wushul: Al-Fiqh Al-Islam, IV, 2679-2680, kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba‘ah: II 46-47).

Penyemiran tidak mempunyai kaitan langsung dengan keabsahan atau batalnya shalat. Ia tidak termasuk perkara yang membatalkan shalat, sehingga harus ditinggalkan. Bukan pula syarat dan rukunnya, yang harus dilakukan.

Penyemiran hanya berhubungan dengan salah satu persyaratan shalat. Keabsahan shalat mensyaratkan kesucian dan hadas dan najis. Hadas dihilangkan dengan mandi dan wudhu. Salah satu syarat mandi dan wudhu adalah tiadanya benda atau zat penghalang yang mencegah sampainya air ke seluruh tubuh, termasuk rambut kepala. Dari sisi ini, semir rambut yang menghalangi sampainya air ke rambut dapat menjadi penyebab ketidak absahan shalat, karena wudhu atau mandinya tidak sah. Dari sisi lain, menyemir rambut dapat mencegah keabsahan shalat bila semir yang dipakai berasal dan bahan yang najis.

Dengan demikian, asal semir terbuat dari bahan yang suci, serta tidak menghalangi air sampai ke rambut, maka shalatnya tetap sah.

Tabir Wanita