Tanya : Bagaimana hukumnya khotib Jumat tidak duduk antara dua khotbah? (Slamet Widodo, Semarang)
Jawab : Seperti kita maklumi bersama, khotbah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan shalat Jumat yang hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki dan mempunyai persyaratan tertentu. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat tanpa menyelenggarakan khotbah. Bahkan, shalat itu sendiri tidak sah tanpa khotbah terlebih dahulu.
Menurut sebagian ulama, shalat Jumat adalah shalat Zhuhur yang diringkas menjadi dua rakaat (zhuhrun maqshurah). Sedangkan dua rakaat sisanya, diganti khotbah. Karena itu dalam penyelenggaraannya, khotbahnya dua kali, sama dengan jumlah rakaat shalat yang dikurangi.
Dengan demikian, khotbah Jumat merupakan ibadah, tidak sekedar media dakwah semata sebagaimana pengajian umum, ceramah keagamaan, kuliah shubuh, siraman rohani dan sejenisnya. Meskipun semuanya mengandung unsur dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan yang benar dan diridhai Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘adah add arain), sebagaimana dicita-citakan umat Islam.
Sebagaimana ibadah, sudah barang tentu pelaksanaannya terikat oleh aturan-aturan berupa syarat rukun yang semuanya diteladani dan dipahaini dari praktik Rasulullah Saw. Hanya dengan meneladani praktik beliau, ibadah kita diterima oleh Allah.
Dalam masalah ibadah berlaku kaidah, segala ibadah itu haram kecuali yang diperintahkan. Kebalikan dari bidang muamalah, segala sesuatunya diperbolehkan kecuali yang dilarang agama. Dalam masalah ibadah, kita tidak bisa melakukan inovasi dan kreasi sendiri.
Jika hal tersebut kita kaitkan dengan permasalahan penanya, maka mau tidak mau kita harus menengok praktik khotbah Rasulullah Saw. Langkah itu dapat diupayakan lewat dua cara, yakni melihat hadis secara langsung atau menelaah kitab-kitab fikih yang salah satu obyek kajianya adalah seluk-beluk ibadah.
Sebab fikih diformulasikan berdasarkan dalil-dalil dan Al Quran dan hadis, di samping hasil ijtihad. Langkah kedua (kitab fikih) lebih praktis bagi kalangan awam.
Berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab fikih, khotbah Jumat memiliki perbedaan-perbedaan tatacara pelaksanaan dan kriteria pelakunya (khotib) dibandingkan dengan pengajian umum. misalnya, khotbah harus berisi puji-pujian terhadap Allah (hamdalah), pembacaan shalawat kepada Rasulullah, pesan bertakwa, membaca ayat Al-Quran, dan berdoa.
Khotib harus suci dari dua hadas dan najis, baik badan, tempat, pakaian yang dikenakannya, serta menutup aurat. Selain itu khotib harus berdiri selama berkhotbah apabila mampu dan duduk di antara dua khotbah sekedar tuma‘ninah. Mungkin sekitar sepuluh detik sudah cukup. Menurut para ulama, hal itu disunahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca surat Al-Ikhlas.
Kalau khotbah dilakukan dengan duduk lantaran khotih tidak mampu berdiri, maka dua khotbah tadi dipisahkan dengan cara berdiam sejenak. Demikian juga jika ada orang yang mampu berdiri tapi tidak bisa duduk karena penyakit yang dideritanya.
Keharusan berdiri dan duduk ini semata-mata mengikuti apa yang dipraktikkan Rasulullah Saw., bisa juga hikmahnya untuk beristirahat bagi khotib, sehingga dapat nieneruskan khotbah yang kedua dengan tenang.
Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dan sahabat Jabir Ibn Samurah ra. yang menyatakan:
Artinya “Sesungguhnya Nabi Saw khotbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri dan berkhotbah. “(HR. Muslim)
Dalam hadis ini, jelas bahwa Rasulullah kalau berkhotbah dengan berdiƱ lalu duduk dan berdiri lagi sebagaimana yang kalian semua lakukan sekarang. Berdiri pada khotbah pertama dan kedua serta duduk di antara dua khotbah itu.
Beraitan dengan waktu khotbah, dikerjakan setelah masuk waktu shalat zhuhur dan sebelum shalat Jumat. Antara khotbah dan shalat tidak boleh dipisahkan terlalu lama. Jadi, berbeda dengan khothah shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang shalatnya didahulukan dan mengakhirkan khotbah.
Semua itu selain yang berupa rukun berjumlah lima, yaitu memuji Allah, membaca sha1awat, wasiat agar bertakwa, membaca ayat Al Quran dan berdoa, adalah syarat sahnya khotbah Jumat.
Dengan demikian, duduk di antara dua khotbah adalah syarat yang sudah barang tentu harus dipenuhi, meskipun umpamanya khotib tidak lelah dan masih segar bugar. Sebab, dalam hal ini yang harus diprioritaskan adalah mengenai khotbah yang dikerjakan agar persis dan sesuai dengan apa yang dipraktikkan Rasulullah. Hal itu sekaligus sebagai bukti ketaatan kita kepada beliau yang seperti pula ketaatan kita kepada Allah Swt. yang telah mengutusnya.
Saturdan lain hal yang perlu diketahui bahwa saat khotib duduk di antara dua khotbah, menurut para ulama merupakan waktu yang mustajab. Artinya kalau seseorang berdoa pada saat itu kemungkinan dikabulkan lebih besar. Sangat disayangkan bila kita tidak pergunakan sebaik-baiknya kesempatan tersehut dengan berdoa kepada Allah secara khusu’.
Jawab : Seperti kita maklumi bersama, khotbah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan shalat Jumat yang hukumnya wajib atas setiap muslim laki-laki dan mempunyai persyaratan tertentu. Kita tidak boleh melakukan shalat Jumat tanpa menyelenggarakan khotbah. Bahkan, shalat itu sendiri tidak sah tanpa khotbah terlebih dahulu.
Menurut sebagian ulama, shalat Jumat adalah shalat Zhuhur yang diringkas menjadi dua rakaat (zhuhrun maqshurah). Sedangkan dua rakaat sisanya, diganti khotbah. Karena itu dalam penyelenggaraannya, khotbahnya dua kali, sama dengan jumlah rakaat shalat yang dikurangi.
Dengan demikian, khotbah Jumat merupakan ibadah, tidak sekedar media dakwah semata sebagaimana pengajian umum, ceramah keagamaan, kuliah shubuh, siraman rohani dan sejenisnya. Meskipun semuanya mengandung unsur dakwah, yaitu mengajak manusia ke jalan yang benar dan diridhai Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‘adah add arain), sebagaimana dicita-citakan umat Islam.
Sebagaimana ibadah, sudah barang tentu pelaksanaannya terikat oleh aturan-aturan berupa syarat rukun yang semuanya diteladani dan dipahaini dari praktik Rasulullah Saw. Hanya dengan meneladani praktik beliau, ibadah kita diterima oleh Allah.
Dalam masalah ibadah berlaku kaidah, segala ibadah itu haram kecuali yang diperintahkan. Kebalikan dari bidang muamalah, segala sesuatunya diperbolehkan kecuali yang dilarang agama. Dalam masalah ibadah, kita tidak bisa melakukan inovasi dan kreasi sendiri.
Jika hal tersebut kita kaitkan dengan permasalahan penanya, maka mau tidak mau kita harus menengok praktik khotbah Rasulullah Saw. Langkah itu dapat diupayakan lewat dua cara, yakni melihat hadis secara langsung atau menelaah kitab-kitab fikih yang salah satu obyek kajianya adalah seluk-beluk ibadah.
Sebab fikih diformulasikan berdasarkan dalil-dalil dan Al Quran dan hadis, di samping hasil ijtihad. Langkah kedua (kitab fikih) lebih praktis bagi kalangan awam.
Berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab fikih, khotbah Jumat memiliki perbedaan-perbedaan tatacara pelaksanaan dan kriteria pelakunya (khotib) dibandingkan dengan pengajian umum. misalnya, khotbah harus berisi puji-pujian terhadap Allah (hamdalah), pembacaan shalawat kepada Rasulullah, pesan bertakwa, membaca ayat Al-Quran, dan berdoa.
Khotib harus suci dari dua hadas dan najis, baik badan, tempat, pakaian yang dikenakannya, serta menutup aurat. Selain itu khotib harus berdiri selama berkhotbah apabila mampu dan duduk di antara dua khotbah sekedar tuma‘ninah. Mungkin sekitar sepuluh detik sudah cukup. Menurut para ulama, hal itu disunahkan selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca surat Al-Ikhlas.
Kalau khotbah dilakukan dengan duduk lantaran khotih tidak mampu berdiri, maka dua khotbah tadi dipisahkan dengan cara berdiam sejenak. Demikian juga jika ada orang yang mampu berdiri tapi tidak bisa duduk karena penyakit yang dideritanya.
Keharusan berdiri dan duduk ini semata-mata mengikuti apa yang dipraktikkan Rasulullah Saw., bisa juga hikmahnya untuk beristirahat bagi khotib, sehingga dapat nieneruskan khotbah yang kedua dengan tenang.
Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dan sahabat Jabir Ibn Samurah ra. yang menyatakan:
Artinya “Sesungguhnya Nabi Saw khotbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri dan berkhotbah. “(HR. Muslim)
Dalam hadis ini, jelas bahwa Rasulullah kalau berkhotbah dengan berdiƱ lalu duduk dan berdiri lagi sebagaimana yang kalian semua lakukan sekarang. Berdiri pada khotbah pertama dan kedua serta duduk di antara dua khotbah itu.
Beraitan dengan waktu khotbah, dikerjakan setelah masuk waktu shalat zhuhur dan sebelum shalat Jumat. Antara khotbah dan shalat tidak boleh dipisahkan terlalu lama. Jadi, berbeda dengan khothah shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang shalatnya didahulukan dan mengakhirkan khotbah.
Semua itu selain yang berupa rukun berjumlah lima, yaitu memuji Allah, membaca sha1awat, wasiat agar bertakwa, membaca ayat Al Quran dan berdoa, adalah syarat sahnya khotbah Jumat.
Dengan demikian, duduk di antara dua khotbah adalah syarat yang sudah barang tentu harus dipenuhi, meskipun umpamanya khotib tidak lelah dan masih segar bugar. Sebab, dalam hal ini yang harus diprioritaskan adalah mengenai khotbah yang dikerjakan agar persis dan sesuai dengan apa yang dipraktikkan Rasulullah. Hal itu sekaligus sebagai bukti ketaatan kita kepada beliau yang seperti pula ketaatan kita kepada Allah Swt. yang telah mengutusnya.
Saturdan lain hal yang perlu diketahui bahwa saat khotib duduk di antara dua khotbah, menurut para ulama merupakan waktu yang mustajab. Artinya kalau seseorang berdoa pada saat itu kemungkinan dikabulkan lebih besar. Sangat disayangkan bila kita tidak pergunakan sebaik-baiknya kesempatan tersehut dengan berdoa kepada Allah secara khusu’.
0 komentar:
Post a Comment