Tanya : Shalat
sebelum atau sesudah shalat wajib biasa kita lakukan. Saya pernah
mendengar, sewaktu matahari akan tenggelam di ufuk timur, kita
diharamkan melakukan shalat sunah sehingga tidak ada shalat sunah
sesudah shalat shubuh dan sebelum shalat Maghrib. Nyatanya saya sering
melihat orang shalat Tahiyatul Masjid menjelang shalat Maghrib. Apakah
ini bukan termasuk Jarangan? Bagaimana dengan shalat Tahiyatul Masjid
saat khotib berkhotbah di mimbar shalat Jumat? Bukankah kita harus
mendengar khotbah?
Jawab : Memang ada waktu-waktu tertentu yang diharamkan dan tidak sah untuk shalat. Menurut keterangan kitab-kitab fikth ada lima yang tidak diperkenankan seseorang melaksanakan ibadah shalat. Waktu-waktu itu adalah setelah shalat Ashar, setelah shalat Subuh, waktu matahari berwarna kuning menjelang tenggelam pada waktu sore sampai tenggelam, waktu matahari terbit sampai naik sekedar tinggi lembing (setinggi 18 derajat dari horizon atau empat hasta) menurut pandangan mata, dan ketika matahari tepat di langit (istiwa’) sampai bergeser ke arah barat (zawah).
Adanya pelarangan ini memang berdasarkan keterangan dan beberapa hadis. misalnya riwayat dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. melarang shalat setelah shalat Ashar hingga mahari terbenam, dan setelah shalat Subuh sampai matahari terbit (HR Bukhari Muslim).
Hadis-hadis yang lain dapat ditemukan pada kitab Bulugh Al-Maram hal 44-45 karangan Ibn Hajar A1-Asqalani yang sangat populer di kalangan pesantren dan madrasah.
Salah satu alasan pelarangan tersebut menurut satu hadis karena ketika matahari terbit, terbenam, dan tepat berada di tengah langit, setan mendekatkan diri ke matahari agar disembah orang.
Sebagian ulama berendapat, pada waktu itu kaum penyembah matahari sedang menyembahnya. Jadi pelarangan itu supaya umat Islam tidak menyerupai mereka.
Kala itu yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki sebab, yaitu shalat Sunah Mutlaq dan shalat Tasbih atau mempunyai sebab yang mengiringi sesudah shalat itu seperti shalat Sunah ihram dan istikharah.
Adapun shalat yang mempunyai sebab yang mendahului atau bersamaan dengan shalat itu, hukumnya diperbolehkan. Contohnya meng-qadha shalat fardhu, shalat tahiy’atul masjid, shalat jenazah, istisqa’ (minta hujan), dan sunah wudhu.
Meng-qadha’ shalat Zhuhur dikatakan mempunyai sebab yang mendahuluinya, karena kewajiban meng-qadha’ shalat Zhuhur disebabkan karena waktunya telah masuk sebelumnya dan belum dikerjakan sampai habis. Begitu juga shalat tahiyatul masjid dikarenakan seseorang memasuki masjid. Jelas, memasuki masjid terjadi sebelum dan masih berlangsung ketika shalat.
Berbeda dan shalat sunah ihram yang dikerjakan ketika akan ihram. Sebabnya adalah ihram yang jauh setelah shalat (Al-Ha wasy Al Madaniyyah I, 212-214).
Mengenai shalat tahiyratul masjid dua rakaat ketika khotib berada di atas mimbar bagi orang yang baru datang ke masjid hukumnya diperbolehkan asal tidak diperpanjang atau menurut sebagian ulama, hanya menjalankan pekerjaan shalat yang wajib saja supaya dapat mengikuti khotbah (Al-Ha wasyi Al-Madaniyyah: I, 213).
Hal itu berdasarkan sebuah hadis dan sahabat Jabir ra. bahwa beliau berkata:
Artinya: “Seorang lelaki datang ke masjid pada hari jumat ketika Rasulullah Saw. berkhotbah. Lalu beliau (Rasulullah Saw.) bertanya, ‘Apakah kamu sudah shalat?’ Lelaki tadi menjawab, ‘Belum/tidak’ (laa). Rasulullah Saw. kemudian bersabda, ‘Berdirilah, lalu shalatlah dua rakaat.“ (Muttafaq alaih)
Hadis ini dijadikan pegangan segolongan ahli hadis dan fuqaha (ahli fikih) bahwa shalat tahiyratul masjid dua rakaat di tengah-tengah khotbah diperbolehkan bagi orang yang baru datang ke masjid. (Bulugh Al-Mararn, 99).
Jawab : Memang ada waktu-waktu tertentu yang diharamkan dan tidak sah untuk shalat. Menurut keterangan kitab-kitab fikth ada lima yang tidak diperkenankan seseorang melaksanakan ibadah shalat. Waktu-waktu itu adalah setelah shalat Ashar, setelah shalat Subuh, waktu matahari berwarna kuning menjelang tenggelam pada waktu sore sampai tenggelam, waktu matahari terbit sampai naik sekedar tinggi lembing (setinggi 18 derajat dari horizon atau empat hasta) menurut pandangan mata, dan ketika matahari tepat di langit (istiwa’) sampai bergeser ke arah barat (zawah).
Adanya pelarangan ini memang berdasarkan keterangan dan beberapa hadis. misalnya riwayat dari sahabat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. melarang shalat setelah shalat Ashar hingga mahari terbenam, dan setelah shalat Subuh sampai matahari terbit (HR Bukhari Muslim).
Hadis-hadis yang lain dapat ditemukan pada kitab Bulugh Al-Maram hal 44-45 karangan Ibn Hajar A1-Asqalani yang sangat populer di kalangan pesantren dan madrasah.
Salah satu alasan pelarangan tersebut menurut satu hadis karena ketika matahari terbit, terbenam, dan tepat berada di tengah langit, setan mendekatkan diri ke matahari agar disembah orang.
Sebagian ulama berendapat, pada waktu itu kaum penyembah matahari sedang menyembahnya. Jadi pelarangan itu supaya umat Islam tidak menyerupai mereka.
Kala itu yang dilarang adalah shalat yang tidak memiliki sebab, yaitu shalat Sunah Mutlaq dan shalat Tasbih atau mempunyai sebab yang mengiringi sesudah shalat itu seperti shalat Sunah ihram dan istikharah.
Adapun shalat yang mempunyai sebab yang mendahului atau bersamaan dengan shalat itu, hukumnya diperbolehkan. Contohnya meng-qadha shalat fardhu, shalat tahiy’atul masjid, shalat jenazah, istisqa’ (minta hujan), dan sunah wudhu.
Meng-qadha’ shalat Zhuhur dikatakan mempunyai sebab yang mendahuluinya, karena kewajiban meng-qadha’ shalat Zhuhur disebabkan karena waktunya telah masuk sebelumnya dan belum dikerjakan sampai habis. Begitu juga shalat tahiyatul masjid dikarenakan seseorang memasuki masjid. Jelas, memasuki masjid terjadi sebelum dan masih berlangsung ketika shalat.
Berbeda dan shalat sunah ihram yang dikerjakan ketika akan ihram. Sebabnya adalah ihram yang jauh setelah shalat (Al-Ha wasy Al Madaniyyah I, 212-214).
Mengenai shalat tahiyratul masjid dua rakaat ketika khotib berada di atas mimbar bagi orang yang baru datang ke masjid hukumnya diperbolehkan asal tidak diperpanjang atau menurut sebagian ulama, hanya menjalankan pekerjaan shalat yang wajib saja supaya dapat mengikuti khotbah (Al-Ha wasyi Al-Madaniyyah: I, 213).
Hal itu berdasarkan sebuah hadis dan sahabat Jabir ra. bahwa beliau berkata:
Artinya: “Seorang lelaki datang ke masjid pada hari jumat ketika Rasulullah Saw. berkhotbah. Lalu beliau (Rasulullah Saw.) bertanya, ‘Apakah kamu sudah shalat?’ Lelaki tadi menjawab, ‘Belum/tidak’ (laa). Rasulullah Saw. kemudian bersabda, ‘Berdirilah, lalu shalatlah dua rakaat.“ (Muttafaq alaih)
Hadis ini dijadikan pegangan segolongan ahli hadis dan fuqaha (ahli fikih) bahwa shalat tahiyratul masjid dua rakaat di tengah-tengah khotbah diperbolehkan bagi orang yang baru datang ke masjid. (Bulugh Al-Mararn, 99).
0 komentar:
Post a Comment