Tuesday 1 September 2015

Apakah Hukum Memakai Campuran Alkohol Saat Shalat ?

Tanya: Dalam keseharian kita sering memakai bahan-bahan yang mengandung campuran alkohol. Najiskah hukumnya? Bagaimana jika kita memakainya bersama wewangian untuk shalat? (Ayu, Jakarta)

Jawab: Alkohol mnurut ahli kesehatan adalah zat cair yang dihasilkan dan proses fermentasi atau diproduksi secara kimiawi, berwarna bening seperti air, mempunyai bau khusus, dan memiliki efek pati rasa atau mengurangi pengaruh syaraf tertentu (memabukkan) bila digunakan pada bagian tubuh secara berlebihan. Karena efek pati rasa itu alkohol memiliki potensi madharat (negatif) yang tidak kecil bagi kehidupan manusia bila disaiah gunakan, sekaligus manfaat yang sangat besar bila digunakan secara benar.

Sisi madharat alkohol yang biasa kita tahu adalah manakala ia dijadikan unsur dasar minuman keras yang memabukkan. Karena memabukkan itu, para ulama sepakat bahwa alkohol najis hukumnya sehingga dengan sendirinya haram dikonsumsi. (Hal ini pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-23 di Solo, lihat Ahkam Al-Fuqaha, 245). Dan karena alkohol najis, maka tidak boleh digunakan dalam ibadah-ibadah yang dalam pelaksanaannya membutuhkan kesucian. 

Namun demikian, Syafi’iyah berpendapat bahwa campuran sedikit zat cair yang najis dalam hal ini alkohol terhadap obat-obatan atau minyak wangi untuk sekedar menjaga kebaikannya hukumnya ma’fu atau dimaafkan. Jadi, meskipun najis boleh digunakan untuk shalat. (Madzahib Al-A rba ‘ah I, 15)

Terlepas dari pendapat di atas, sebenarnya hukum alkohol masih menjadi perselisihan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran surat Al-Maidah, 90: 

“Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. “(QS., A1-Maidah: 90)

Sebagian ulama memaknai kata rijs dengan najis dan sebagian yang lain (ulama ahli hadis atau al-muhadditsin) berpendapat bahwa khamer meskipun diharamkan hukumnya suci karena najis yang dimaksud adalah najis maknawi. Hal iin sebagaimana Al-Quran menyebut orang musyrik sebagai najis. ini bukan berarti orang musyrik najis dalam pengertian najis yang membatalkan shalat tetapi karena perbuatan syirik merupakan perbuatan paling buruk menurut akal sehat.

Pendapat kedua itu juga ditegaskan lagi oleh Lembaga Fiqh Islam Dunia pada Muktamar ke delapan di Brunai Darussalam, (21-27 Juni 1993 M atau 1-7 Muharram 1414 H) yang memutuskan bahwa akohol hukumnya tidak najis. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih “al-ashlu fi al-asyyaai at-thaharah.”Alasanya sama karena kenajisan khamer dan semua yang memabukan itu bersifat maknawi bukannya hissi atau kenyataan.

Di samping sisi rnadharat, disadari maupun tidak sebenarnya kita telah banyak memanfaatkan alkohol yang memang penting itu. Dalam bidang kesehatan misalnya, alkohol biasanya digunakan untuk membersihkan luka, membunuh kuman penyakit, bius dan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari alkohol dijumpai sebagai campuran minyak wangi ataĆ¼ makanan dan minuman baik sebagai pengawet ataupun unsur pengurai. Menurut keputusan lembaga fikih Islam dunia, penggunaan alkohol untuk kepentingan-kepentingan semacam itu tidak termasuk khamer. Jadi, minyak wangi yang menggunakan sedikit campuran dan alkohol atau makanan minuman ataupun obat yang dalam pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk menguraikan bahan-bahan yang tidak bisa diuraikan dengan air atau untuk sekedar mengawetkan, boleh dikonsumsi atau digunakan karena dirasa sulit untuk menghindarinya (li‘umum al-balwa). (A1-Fiqh Al-Islami, VII, 5264-5265).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita