Monday 21 September 2015

Bagaimana Hukum Akad Nikah Dengan Internet (Alat Komunikasi)

Tanya : Kami ingin menanyakan satu permasalahan yang berkaitan dengan akad nikah. Yang selama in kami ketahui adalah akad nikah harus dengan adanya seorang wali dari pihak perempuan secara langsung (dalam satu tempat). Ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman, sempat menemukan satu permasalahan yaitu “bolehkah akad nikah dilakukan melalui internet atau alat komunikasi lainnya?” (M. Hadafi, International University of Afrika-Khartum-Sudan)

Jawab : Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu ia adalah syari’atun azhimatun (syariat yang agung) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah Swt. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.

Pernikahan merupakan bentuk ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanaannya diikat dan diatur oleh ketentuan syarat dan rukun.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut jurnhur Al-Ulama (mayoritas pendapat ulama) ada empat macam meliputi, shighat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali, ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al-ulama memandang keduanya sebagai Syarat. (Al-Fiqh Al-Islami: IX, 6521-6522. Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, 4).

Dan ketentuan di atas kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka sepakat hal itu, namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur al-ulama memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan aqad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al-ulama, ijab memiliki pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau dari seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al-ulama yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.

Di masa dulu, akad nikah (ijab qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke majlis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telephone, faks dan lain-lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad nikah dalam hal ini ijab qabul.

Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah dengan menu e-mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangakan email atau chating menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.

Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khithab min al-gha‘ib bi manzilah al-khithab min al-h adhir) dengan syarat dihadiri oleh dua orang saksi. Atau bisa juga mengirim seorang utusan untuk melakukan akad nikah dengan syarat yang sama, yaitu dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga sah asal disaksikan oleh dua orang saksi.

Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan akad nikah melaui komunikasi jarak jauh, namun pendapat itu ditentang oleh jumhur al-ulama. ini mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kukuh), yang bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, rahmah bahkan tatanan sosial yang kukuh pula. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi. (Tanwir Al-Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyai)

Pengertian dihadiri di sini mengharuskan mereka secara fisik berada dalam satu majlis untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak memiliki peluang untuk mengingkarinya.

Dengan demikian, akad nikah melalui media komunikasi (internet, faks, telephone dan lain-lain) tidaklah sah, karena tidak satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping atu sesuai dengan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah. (Al-Fiqh Al-Islami : IX, 2531).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Friday 18 September 2015

Apa Hukum Suntik Dan Infus Saat Puasa ?

Tanya : Apa hukumnya disuntik atau diinfus kala berpuasa?

Jawab : Suntik dan infus, sama-sama memasukkan cairan ke dalam tubuh dengan alat bantu jarum. Bedanya, suntik berisi cairan obat-obatan, sedangkan infus biasanya berupa nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Pada galibnya, orang sakit tidak memiliki nafsu makan, atau karena pertimbangan tertentu tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan menurut cara normal. Di sini, infus menjadi sebuah solusi.

Karena perbedaan zat yang dikandung, suntik dan infus memiliki efek yang tidak sama. Setelah diinfus, tubuh akan terasa relatif segar dan tidak lapar, meskipun juga tidak kenyang. Sementara suntik murni obat untuk menyembuhkan penyakit, bukan menggantikan makanan dan mmuman.

Suntik dan infus dengan fungsi yang berbeda, pada hakikatnya saling melengkapi. Penyakit susah disembuhkan jika tubuh kekurangan vitamin dan zat-zat lain yang sangat dibutuhkan. Sementara terpenuhinya kebutuhan gizi, tidak secara otomatis melenyapkan penyakit, tanpa ditunjang obat-obatan.

Definisi puasa yang paling praktis adalah meninggalkan makan/minum dan berhubungan s*ksual. Pengertian makan dan minum dalam konteks berpuasa, ternyata lebih luas dari sekedar memasukkan makanan dan minuman lewat mulut. Ia mencakup masuknya benda ke dalam rongga tubuh (al-jawf) lewat organ yang berlubang terbuka (manfadz maftuh), yaitu mulut, telinga, dubur, kemaluan, dan hidung.

Melihat ketentuan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suntik tidak membatalkan puasa. Sebab proses masuknya obat tidak melalui organ berlubang terbuka, tetapi jarum khusus yang ditancapkan ke dalam tubuh. Lagi pula, suntik tidak menghilangkan lapar dan dahaga sama sekali.

Adapun infus, menurut penuturan Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatawi Mu’ashirah, 324, merupakan penemuan baru, sehingga tidak diketemukan keterangan hukumnya dari hadis, shahabat, tabiin dan para ulama terdahulu. Oleh karena itu, ulama kontemporer berbeda pendapat, antara membatalkan dan tidak. Dr. Yusuf Qardhawi, meskipun cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan, menyarankan agar penggunaan infus dihindari pada saat berpuasa. Alasannya, meskipun infus tidak mengenyangkan, tetapi cukup menjadikan tubuh terasa relatif segar.

Intinya, infus dapat dilihat dari dua sisi, proses masuk dan efek yang ditimbulkan. Ditinjau dari sisi pertama, infus tidak membatalkan puasa, seperti suntik, sebab masuknya cairan tidak melalui organ tubuh yang berlubang terbuka. Tetapi, melihat fakta bahwa ia berpotensi menyegarkan badan dan menghilangkan lapar serta dahaga, kita patut bertanya: apakah menyatakan infus tidak membatalkan puasa tidak berlawanan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni merasakan lapar dan dahaga sebagai wahana latihan mengendalikan nafsu dan menumbuhkan empati kepada kaum mustadh‘afin?

Untuk menghadapi masalah yang disangsikan hukumnya, cara paling aman adalah meninggalkannya, sebagai diajarkan Rasulullah kaitannya dengan perkara syubhat (tidak jelas halal haramnya). ini artinya, pendapat infus membatalkan puasa lebih mencerminkan sikap berhati-hati (al-ahwath) dalam beragama. Toh orang sakit mendapat dispensasi berbuka pada bulan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bagaimana Puasa Ramadhan Bagi Pengantin Baru ?

Tanya : Sebagai pengantin buru, datangnya bulan puasa bagi kami merupakan siksaan tersendiri. Kalau kami berdua tidak mampu lagi menahàn nafsu, apakah boleh kami mokel (berbuka) lalu berkumpul? Bagaimana cara yang benar agar teihindar dari ancaman puasa dua bulan berturut-turut? (NN Arjasa, Jember)

Jawab : Ada macam-macam hal yang membatalkan puasa Ramadhan dan beragam pula konsekuensinya. Ada yang sekedar harus meng-qadha’(mengganti di hari lain), tetapi ada pula yang mengakibatkan sanksi berat. Terhitung yang berat adalah hubungan s*ks (Jima).

Dasar hukum sanksi ini hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang lelaki yang mengaku telah melakukan pelanggaran ini. Rasulullah lalu mengurutkan tiga sanksi untuk menjadi kaffarah (penebus): pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin.

Tiga kaffarah itu tidak dapat dipilih begitu saja, tetapi berlaku urut. Karena di zaman ini sanksi pertama tidak berlaku lagi, dengan sendirinya pelakunya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika karena sebab yang dibenarkan syariat hukuman itu tidak mungkin dilakukan, baru dapat ditempuh sanksi terakhir berupa pemberian paket kepada 60 fakir-miskin, masing-masing 1 mud (± 6 ons) bahan makanan pokok.

Kaffarah ini berlaku antara lain jika hubungan s*ks itulah yang mengakibatkan batalnya puasa. Jika sebelumnya puasanya sudah batal atau dibatalkan, maka kaffarah di atas tidak berlaku.

Tetapi itu tidak berarti sanksinya menjadi lebih ringan. Meninggalkan atau membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah sebuah dosa yang sangat besar. Diriwayatkan At-Turmudzi, Rasulullah bersabda, yang artmya:
“Barangsiapa meninggalkan/membatalkan sehari puasa Ramadhan tanpa alasan yang meringankan dan tidak pula karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup sebagai gantinya.”

Membatalkan puasa sebelum berhubungan s*ks bukan hanya berarti memangkas sanksi. Setidaknya ada dua alasan moral untuk tidak melakukannya.

Pertama, puasa dua bulan berturut-turut adalah hukum yang secara spesifik telah ditetapkan Allah. Apakah Anda ingin lari dari hukum-Nya?

Kedua, dengan membatalkan puasa untuk menghindarkan kaffarah, maka sesungguhnya seseorang telah melakukan akal-akalan, bermain siasat atas hukum Allah. Pertanyaannya, secerdik itukah Anda?

Bagaimanapun beratnya, begitulah hukum telah ditetapkan. Jika tidak ingin tertimpa beratnya hukum, sebaiknya Anda berhati-hati. Tidak ada salahnya untuk mengurangi tindakan-tindakan lahiriah yang lazim digunakan untuk mengekspresikan rasa sayang, cinta, dan kemesraan suami-istri. Jika dianggap perlu, ciptakan jarak (sementara). Ikuti kegiatan-kegiatan kerohanian yang banyak diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Prinsipnya, hindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan Anda jatuh dalam pelanggaran ini.

Inilah sesungguhnya makna puasa : menahan diri dari godaan nafsu, tidak untuk menghancurkannya tetapi untuk mampu mengendalikannya. Bukankah akan sampai juga waktu di mana dorongan nafsu itu dapat dipenuhi tanpa ancaman murka Tuhan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mencium Istri Membatalkan Puasa ?

Tanya : Selama bulan Ramadhan tepatnya di siang hari. apakah kami sebagai pasangan suami-istri tidak diperkenankan berciuman seperti biasa kami lakukan saat pergi kerja misalnya. Apakah ketika terlanjur berciuman kemudian dapat membatalkan puasa?

Jawab : Puasa itu menghindari segala hal yang membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ej*kulasi (inzal) akibat persentuhan kulit, dan bersenggama walaupun tanpa ej*kulasi.
Pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, dapat mengakibatkan ej*kulasi, dan menyeret seseorang menuju interaksi s*ksual, maka pembahasan hukumnya tidak bisa sesederhana itu lagi.

Para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam berpuasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak menimbulkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. VI, 354, Mughni Al-Muhtaj. I, 431-436). Tentu hukum ini berlaku untuk ciuman kepada istri. Selain istri, jelas hukuninya haram.

Menurut pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku atas mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun makruh (yang definisi dasarnya adalah tak mengapa jika dilakukan) jika dilakukan juga maka si pelaku mendapat dosa. Untuk sekedar diketahui, selain makruh tahrim terdapat juga kategori hukum makruh tanzih, di mana melakukannya tidak mengkonsekuensikan apa pun (baik dosa atau pahala). Seperti halnya haram, hal-hal yang berhukum makruh tahrim harus dihindari. Sementara pada makruh tanzih, penghindaran itu hanya bersifat anjuran.

Hukum tersebut di-istinbath-kan para ulama dari hadis riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melarang kaum muda mencium (pada saat berpuasa), dan memperbolehkan itu pada orang yang telah berusia lanjut (tua).

Mengapa Rasulullah membedakan orang tua dan pemuda? Para ulama merasionalisasi pembedaan ini dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan s*ksualnya. Sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi s*ksualnya telah banyak menurun. Secara praktis, ciuman pada usia muda dikhawatirkan mengakibatkan ej*kulasi, atau menggoda pelakunya untuk menindaklanjutinya dengan interaksi s*ksual langsung karena kekurangmarnpuan orang muda untuk mengendalikan nafsu.

Dalam pengertian itu, maka batasan tua atau muda hanya merujuk pada kondisi umum saja. Jika ada pemuda yang sepenuhnya mampu mengendalikan diri atau orang tua yang masih sangat tinggi hasrat dan kemampuan s*ksualnya, maka hukum yang berlaku bagi keduanya berbanding terbalik dengan keterangan di atas. Ini karena masalah utamanya memang bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak.

Hukum ini sesuai dengan kaidah fikih “li al-wasa-il hukm al-ma qashid”, terhadap hal-hal yang mendukung atau mendorong atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama dengan hasil akhirnya. Ketika ditentukan bahwa interaksi s*ksual langsung dan ej*kulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada keduanya harus pula dihindari jauh-jauh.

Pelukan, genggaman, dan yang sejenisnya, dengan nalar dan pertimbangan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.

Tetapi hukum ini tidak serta-merta mempengaruhi sah tidaknya puasa. Jika Anda suatu saat di siang hari bulan Ramadhan mencium istri, dan tak terjadi suatu akibat atau tindak lanjut apa-apa, maka puasa Anda tetap sah, tidak batal tetapi tingkat kesempurnaannya berkurang. (Al-Majmu’ Syarh A1-Muhadzdzah VI, 355).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Mandi Keramas Boleh Saat Puasa ?

Tanya : Saat siang hari bulan Ramadhan adalah kondisi dimana tubuh dalam keadaan lemas. Bolehkan dalam keadaan seperti itu melakukan mandi keramas agar badan kembali segar?

Jawab : Dalam kitab Nihayah Az-Zain dinyatakan bahwa muntah secara sengaja (istiqa‘ah) dan masuknya segala jenis benda berwujud (‘ayn) ke bagian dalam tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, mata, kemaluan, dan dubur adalah dua di antara beberapa hal yang membatalkan puasa (mubthilat ash-shaum).

Pengertian ‘ayn sebetulnya mencakup segala macam benda yang kasat mata, tetapi dalam konteks batalnya puasa, diberlakukan berbagai perkecualian, termasuk di antaranya air mandi dan ludah, dengan beberapa catatan untuk diperhatikan.

Air masuk yang tidak membatalkan puasa adalah air yang masuk ke dalam tubuh karena seseorang melaksanakan mandi wajib (bik karena junub, haid, maupun nifas) atau mandi sunah (karena mau shalat Jumat, misalnya). Jika karena melakukan mandi itu secara tidak sengaja ada air yang masuk, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Dalam kasus ini berlaku kaidah hukum “Ridha bi sya-I ridha bi ma yatawalladu minhu” menerima atau membenarkan sesuatu berarti menerima atau membenarkan pula segala sesuatu yang timbul darinya. Karena mandi wajib atau sunan adalah tuntutan (baik sebagai keharusan maupun sekedar anjuran) syariat, maka konsekuensi wajar yang timbul darinya (termasuk masuknya air secara tidak sengaja) harus diterima atau dibenarkan pula.

Atas dasar ini pula, hukum yang sama tidak berlaku pada mandi yang tidak dianjurkan atau diharuskan, semisal mandi untuk menyegarkan badan (tabarrud) atau mandi dengan cara menyelam (slulup atau inghimas). Dalam kedua kasus itu, maka masuknya air tetap membatalkan puasa, karena tidak ada anjuran untuk melakukan mandi karena alasan dan atau dengan cara seperti itu.

Jadi, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, pada prinsipnya mandi keramas dalam keadaan berpuasa boleh-boleh saja, asal dapat dijaga agar tidak terjadi efek samping yang membatalkan puasa.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apakah Ej*kulasi Karena Film Porno Batal Puasa ?

Tanya : Menonton film porno sehingga mengeluarkan mani (ej*kulasi) apakah bisa membatalkan puasa?

Jawab : Puasa sah jika telah memenuhi syarat dan rukunnya serta meninggalkan hal-hal yang bisa membatalkannya (mubthilat. Di antara yang membatalkan puasa adalah inzal (ej*kulasi, keluar mani), dengan catatan hal itu terjadi ‘an mubasyarah atau akibat persentuhan fisik, seperti mencium, saling menggenggam tangan, dan lain-lain. Jika ej*kulasi terjadi bukan karena persentuhan (‘an ghair mubasyarah) semisal karena pandangan atau lamunan, maka hal itu tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga jika ejakulasi diperoleh sebagai akibat mimpi basah (ihtilam).

Dan keterangan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa puasa tidak batal karena menonton film porno meskipun sampai terjadi ej*kulasi. Tetapi batalnya puasa hanyalah satu aspek saja dari pertanyaan ini. Dua aspek lainnya, yaitu menonton film porno dan puasa, memiliki aspek hukum dan moral yang terpisah dari masalah sah-tidaknya puasa.

Pornografi tidak mungkin dilepaskan dari perzinaan, baik dalam proses produksinya, maupun sebagai akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan zina itu sendiri adalah perbuatan yang sangat dikutuk dan dilarang oleh agama. Sedemikian terlarangnya zina, sehingga Allah tidak hanya melarang melakukannya, tetapi bahkan melarang mendekatinya. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Itupun masih ditambah dengan keterangan, “sungguh, zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” Maka sempurnalah keharaman perbuatan nista ini.

Termasuk dalam larangan ini adalah pornografi, karena pornografi adalah titik potensial yang menghubungkan seseorang dengan perzinaan. Ini mengikuti kaidah “ma adda ila al-haram fa huwa haram” (segala sesuatu yang bisa mengantar kepada hal yang haram maka hukumnya juga haram) dan kaidah lain yang bermakna serupa yaitu: “li al-wasa-il hukm al-maqashid” (terhadap pendukung, pendorong, penyebab suatu perkara diberlakukan hukum yang sama dengan perkara yang dihasilkannya). Tetapi, tidakkah berlebihan kalau menganggap pornografi sebagai pendorong perzinaan.

Tentu saja tidak semua perzinaan diakibatkan oleh pornografi sebagaimana tidak semua pornografi mengakibatkan (secara langsung) perzinaan. Tetapi barangkali kita dapat mengambil kasus-kasus kejahatan s*ksual sebagai indikator. Sepuluh tahun lalu, misalnya, pornografi tentu telah ada tetapi tidak semudah, sebebas dan seluas peredaraannya saat ini. Sejalan dengan itu, dalam waktu yang sama kejahatan s*ksual juga sangat meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di sisi lain, tidak pantas rasanya berpuasa tetapi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, apalagi hal itu juga mempunyai potensi mer*ngsang serta membangkitkan gairah s*ksual. Sedangkan gairah s*ksual tu sendiri adalah perwakilan absolut nafsu, sesuatu yang seharusnya justru menjadi sasaran ibadah puasa untuk ditaklukkan dan dikendalikan.

Lagi pula, ada sebagian ulama yang menganggap puasa tidak hanya sekedar pengekangan diri terhadap hal-hal fisik/ biologis (makan, minum, s*ks) semata. Lebih daripada itu, dalam berpuasa seseorang dituntut untuk bisa menjaga pancaindera serta segenap anggota badan lainnya untuk tidak terjatuh dalam segala bentuk maksiat dan perbuatan rendah.

Kita tentu,tidak ingin seperti orang-oiang yang digambarkan Rasulullah dalam hadisnya tentang mereka yang melakukan puasa tetapi tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan puasa kecuali dalam hal tidak makan dan minum.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Wednesday 16 September 2015

Syarat Azan Dan Iqamah Serta Yang Disunnahkannya

1. Orang yang menyerukan azan dan iqamah itu hendaklah orang yang sudah mumayiz (berakal, walaupun sedikit). 

2. Hendakah dilakukan sesudah masuk waktu salat, kecuali azan Subuh, boleh dikumandangkan sejak tengah malam.
Menurut hadis:
“Dari Jabir bin Sam urah. Ia bercerita, “Bilal azan apabila matahari telah tergelincir, tidak dikuranginya lafaz azan itu, kemudian ia belum iqamah (qamat) sehingga Nabi Saw keluar. Apabila beliau telah keluar, barulah Bilal iqamah, yaitu setelah melihat beliau.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda, “Janganlah terhalang salah seorang kamu dari makan sahur karena azannya Bilal, sesungguhnya Bilal itu azan agar orang yang sedang beramal kembali beristirahat, dan orang yang tidur agar bangun bersiap-siap untuk salat’ (RIWAYAT JAMAAH KECUALI T1RMLZI)

3. Orang yang azan dan iqamah hendaklah orang Islam (muslimin). Orang kafir tidak boleh azan dan iqamah. 

4. Kalimat azan dan iqamah hendaklah berturut-turut, berarti tidak diselang dengan kalimat yang lain atau diselang dengan berhenti yang lama. 

5. Tertib, artinya kalimat-kalimatnya teratur, sebagaimana yang tersebut di atas.

Yang disunatkan dalam azan dan iqamah

1. Orang yang azan dan iqamah hendaklah menghadap ke kiblat. 

2. Hendaklah berdiri, karena dengan berdiri itu lebih pantas dalam arti pemberitahuan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Hai Bilal, berdirilah, lalu azanlah untuk salat.” (RIWAYAT MUSLIM)

3. Hendaklah dilakukan di tempat yang tinggi, agar lebih jauh terderigar. 

4. Muazin hendaklah orang yang keras dan baik suaranya, agar lebih banyak menarik pendengar untuk datang ke tempat salat. Sabda Rasulullah Saw.:
“Rasulullah Saw telah berkata kepada Abdullah bin Zaid, ajarkanlah lafaz azan kepada Bilal, karena sesungguhnya suaranya lebih keras dan lebih baik daripada suaratnu.” RIWAYAT ABU DAWUD) 

5. Muadzin hendaklah suci dan hadas dan najis. 

6. Membaca salawat atas Nabi Saw. sesudah selesai azan, kemudian berdoa dengan doa ini:


“Ya Allah, Tuhan yang mempunyai seruan yang sempurna mi dan salat yang sedang didirikan mi, berilah Nabi Muhammad Saw derajat yang tinggi dan pangkat yang mulia, dan berilah dia kedudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN lAIN- LAIN NYA)

7. Disunatkan membaca doa di antara azan dan iqamah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas bin Malik. Ia berkata, “Rasulullah telah berkata, ‘Doa (permintaan) di antara azan dan iqamah tidak ditolak’.” (RIWAYAT AHMAD, ABU DAWUD DAN TIRMIZI)

Pendengar azan hendaklah turut pula menyebut dengan perlahan-lahan seperti kalimat azan yang diucapkan oleh muadzin, kecuali sewaktu muain menyebut kalimat:
“Hayya ‘alas-slah, hayya ‘alal-falah”
yang mendengar hendaklah membaca:
“La haula wala quwwata illa billa”.

Begitu juga yang mendengar iqamah, hendaklah turut membaca apa-apa yang dibaca oleh muazin, kecuali sewaktu ia membaca:
“Qad qomatis-salah,
Yang mendengar hendaklah membaca:
“Aqamahallahu wa adamaha”
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila kamu mendengar azan, hendaklah kamu berkata seperti yang dikatakan oleh muazin.”(RIWAYAT BUKHAR1 DAN MUSLIM). Pada riwayat Muslim dikatakan, kecuali sewaktu mendengar Hayya ‘alas-shalah. Hayya ‘alal-falah, maka yang mendengar hendaklah berkata la haula wala quwwata illa billah.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

“Dari Syahar bin Husyab, “Sesungguhnya Bilal telah qamat (iqamah) tatkala ia mengucapkan qad qomatis-salah, Rasulullah Saw menyebut aqamahallahu wa addmaha.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Syarat Wajib Shalat

1. Islam.
Orang yang bukan Islam tidak diwajibkan salat, berarti ia tidak dituntut untuk mengerjakannya di dunia hingga ia masuk Islam, karena meskipun dikerjakannya, tetap tidak sah. Tetapi ia akan mendapat siksaan di akhirat karena tidak salat, sedangkan ia dapat mengerjakan salat dengan jalan masuk Islam terlebih dahulu. Begitulah seterusnya hukum-hukum furu’ terhadap orang yang tidak Islam. (baca juga : Syarat Sah Shalat) dan (baca juga : Rukun Shalat)
Firman Allah Swt.:
“Berada di dalam surga, mereka tanya-menanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Karm dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin’.” (AL-MUDDASSIR: 40-44)

Apabila orang kafir masuk Islam, maka dia tidak diwajibkan mengqada salat sewaktu ia belum Islam, begitu juga puasa dan ibadat lainnya; tetapi amal kebaikannya sebelum Islam tetapakan mendapat ganjaran yang baik.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Islam itu menghapuskan segala kejahatan yang telah ada sebelum Islam (maksudnya yang dilakukan seseorang sebelum Islam).” (RIWAYAT MUSLIM)

“Beliau berkata kepada Hakim bin Huzam, “Engkau Islam atas amal kebaikanmu yang telah lain.” (RIWAYAT MUSLIM)

2. Suci dari haid (kotoran) dan nfas.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Beliau berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Apabila datang haid, tinggalkanlah salat.” (RIWAYAT BUKHARI)

Telah diterangkan bahwa nifas ialah kotoran yang berkumpul tertahan sewaktu perempuan hamil.

3. Berakal.
Orang yang tidak berakal tidak diwajibkan salat. 

4. Balig (dewasa).
Umur dewasa itu dapat diketahul melalui salah satu tanda berikut:
a. Cukup berumur lima belas tahun.
b. Keluar mani.
c. Mimpi bersetubuh.
d. Mulai keuar haid bagi perempuan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Yang terlepas dari hukum ada tiga macam; (1) kanak-kanak hingga ia dewasa, (2) orang tidur hingga ia bangun, (3) orang gila hingga ia sembuh.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH. HADIS INI SAHIH)

Orang tua atau wali wajib menyuruh anaknya salat apabila ia sudah berumur tujuh tahun. Apabila ia sudah berumur sepuluh tahun tetapi tidak salat, hendaklah dipukul.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Suruhlah olehmu anak-anak itu untuk salat apabila ia sudah berumur tujuh tahun. Apabila ia sudah berumur sepuluh tahun, hendaklah kamu pukul jika ia meninggalkan salat.” (RIWAYAT TIRMIZI)

5. Telah sampai dakwah (perintah Rasulullah Saw. kepadanya)
. Orang yang belum menerima perintah tidak dituntut dengan hukum.
Firman Allah Swt.:
“Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutus_Nya rasul-rasul.” (AN-NISA: 165)

6. Melihat atau mendengar
Melihat atau mendengar menjadi syarat wajib mengerjakan salat walaupun pada suatu waktu untuk kesempatan mempelajari hukum-hukum syara’. Orang yang buta dan tuli sejak dilahirkan tidak dituntu dengan hukum karena tidak ada jalan baginya untuk belajar hukumh ukum syara 

7. Terjaga.
Maka orang yang tidur tidak wajib salat; begitu juga orang yang lupa.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Yangter lepas dari hukum ada tiga macam; (1) kanak-kanak hingga ia dewasa, (2) orang tidur hingga ia bangun, (3) orang gila hingga ia sembuh.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH. HADIS INI SAHIH)

Peringatan….!!!
Apabila seseorang meninggalkan salat karena tidur atau lupa, maka Ia wajib salat apabila ia bangun atau ingat, dan Ia tidak berdosa. Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila seseorang tertidur dalam waktu salat atau lupa dari salat, hendaklah ia salat apabila ingat. Sesungguhnya Allah Azza Wajalla berfirman, ‘Kerjakanlah salat karena ingat kepada-Ku’.” RIWAYAT MUSLIM).

Yang mu’tamad (lebih kuat) ialah salat orang lupa atau tidur itu bukan qada, tetapi ada’an bagi keduanya, karena hadis tersebut (maka hendaklah ia salat apabila Ia telah ingat) mengandung pengertian bahwa waktu salat bagi keduanya ialah waktu ingat, dan waktu salat yang telah ditentukan bukan waktu bagi kedua-duanya.

Syarat Sah Shalat

1. Suci dari hadas besar dan hadas kecil
Yang dimaksud Hadas besar yaitu junub, haid, nifas dan baru melahirkan. Bersucinya dengan mandi. Hadas kecil yaitu tidak dalam keadaan berwudu. (baca juga : Rukun Sholat) dan (baca juga : Syarat Wajib Shalat)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Allah tidak menerirna salat seseorang di antara kamu apabila ia berhadas hingga ia berwudu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Firman Allah Swt.:
“Jika kamu junub, maka mandilah.” (ALMA’IDAH: 6)

2. Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis.
Firman Allah Swt.:
“Dan bersihkanlah pakaianmu.”- (AL-MUDDA1R: 4)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Ketika orang Arab Badui kencing di dalam masjid, Rasulullah berkata, “Tuangi olehmu kencing itu dengan setimba air.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Najis yang sedikit atau yang sukar memeliharanya (menjaganya) -seperti nanah bisul, darah khitan, dan darah berpantik yang ada di tempatnya- diberi keringanan untuk dibawa salat. Kaidah: “Kesukaran itu membawa kemudahan.”

3. Menutup aurat.
Aurat ditutup dengan sesuatu yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit. Aurat laki-laki antara pusat sampai lutut, aurat perempuan seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan.
Firman Aflah Swt.:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid.” (AI-ARAF: 31)

Yang dimaksud dengan “pakaian” dalam ayat ini malah pakaian untuk salat. Sabda RasuluNah Saw.:
“Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut.” (RIWAYAT DARUQUTNI DAN BAIHAQI)

Firman Allah Swt.:
“Katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, supaya mereka memejamkan mata mereka dari yang tidak halal, dan hendaklah mereka menjaga kehormatan mereka, janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka selain dari yang biasa nyata kelihatan (sukar menutupnya), dan hendaklah mereka tutupkan kerudung (telekung) mereka ke kuduk dari dada mereka, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, bapak mereka, mertua mereka, anak mereka, anak saudara mereka, saudara mereka, anak saudara mereka yang laki-laki atau perempuan, perempuan muslim, hamba yang mereka miliki, atau orang yang mengikutinya (pelayan) laki-laki yang tidak mempunyai syahwat (nafsu) kepada perempuan, atau kepada kanak-kanak yang belum bernafsu melihat aurat perempuan.” (AN-NUR: 31)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Aisyah. Bahwa Nabi Saw. telah berkata, ‘Allah tidak menerima salat perempuan yang telah balig (dewasa) melainkan dengan bertelekung (kerudung).” (RIWAYAT LIMA AHLI HADIS SELAIN NASAI)


“Dari Ummu Salamah. Sesungguhnya ia telah bertanya kepada Nabi Saw, “Bolehkah perempuan salat hanya memakai baju kurung dan kerudung (telekung) saja, tidak memakai kain?” Jawab Nabi Saw, “Boleh, kalau baju kurung itu panjang sampai menutupi kedua tumitnya.” (RIWAYAT ABU DAWUD)


4. Mengetahui masuknya waktu salat.

Di antara syarat sah salat ialah mengetahul bahwa waktu salat sudah tiba. Keterangannya telah tersebut dalam pasal yang menerangkan waktu salat. (baca : waktu sholat fardu)

5. Menghadap ke kiblat (ka’bah).
Selama dalam salat, wajib menghadap ke kiblat. Kalau salat berdiri atau salat duduk menghadapkan dada. Kalau salat berbaring, menghadap dengan dada dan muka. Kalau salat menelentang, hendaklah dua tapak kaki dan mukanya menghadap ke kiblat; kalau mungkin kepalanya diangkat dengan bantal atau sesuatu yang lain.
Firman Allah Swt.:
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (AL-BAQARAH: 144)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Nabi Saw. berkata kepada Khallad bin Rafi “Apabila engkau hendak salat, sempurnakanlah wudumu, kemudian menghadaplah ke kiblat.” (RIWAYAT MUSLIM)

Tuesday 15 September 2015

Waktu Shalat Fardu Menurut Fikih Islam

Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (AN-NISA : 103)

Salat yang fardu atau wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap mukailaf (orang yang telah balig lagi berakal) ialah lima kali sehari semalam. Sabda Rasulullah Sa’w.:
“Telah difardukan Allah atas umatku pada malam Isra’ lima puluh salat. Maka senantiasa saya kembali ke hadirat Ilahi, dan saya minta keringanan sehingga dijadikan-Nya menjadi lima kali dalam sehari semalam “(SEPAKAT AHLI HADIS)

(baca juga : Syarat Sah Shalat)

1. Salat Lohor. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengahan langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya, selain dari bayang-bayang yang ketika matahari menonggak (tepat di atas ubun-ubun). 

2. Salat Asar. Waktunya mulai dari habisnya waktu lohor, bayang-bayang sesuatu lebih daripada panjangnya selain dari bayang-bayang yang ketika matahari sedang menonggak, sampai terbenam matahari. 

3. Salat Magrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenamnya syafaq (teja) merah (Cahaya matahari yang terpancar di tepi langit sesudah terbenamnya. Ada dua macam, mula-mula merah, sesudah hilang yang merah ini datang cahaya putih kedua cahaya dinamakan “syafaq)

4. Salat Isya.
Waktunya mulai dan terbenam syafaq merah (sehabis waktu Magrib) sampai terbit fajar kedua (Cahaya matahari sewaktu akan terbit, bertebaran melintang di tepi langit sebelah timur)

5. Salat Subuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.

Dalil waktu-waktu salat
Sabda Rasulullah Saw.:
“Saya telah djadikan imam oleh Jibril di Baitullah dua kali, maka Ia salat bersama saya; salat Lohor ketika tergelincir matahari, salat Ashar ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, salat Magrib ketika terbenam matahari, salat Isya ketika terbenam syafaq, dan salat Subuh ketika fajar bercahaya. Maka besoknya salat pulalah Ia bersama saya; salat Lohor ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, salat Asar ketika bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya, salat Magrib ketika orang puasa berbuka, salat Isya ketika sepertiga malam, dan salat Subuh ketika menguning cahaya pagi. Lalu Jibril berkata, ‘Inilah waktu salat nabi-nabi sebelum engkau, dan waktu salat ialah antara dua waktu.” (R1WAYAT ABU DAWUD DAN LAIN-LAINNYA)

“Waktu Lohor ialah apabila tergelincir matahari ke sebelah barat, selama belum datang waktu Asar.” (RIWAYAT MUSLIM)

“Ashar waktunya sebelum terbenam matahari.” (RIWAYAT MUSLIM)

“Magrib waktunya sebelum hilang syafaq.” (RIWAYAT MUSLIM)

“Tidur itu tidak sia-sia, tetapi sesungguhnya yang sia-sia ialah orang yang tidak salat hingga masuk pula waktu salat yang lain.” (RIWAYAT MUSLIM)

Pengertian hadist ini ialah, apabila habis waktu Lohor datanglah waktu Asar, dan seterusnya, kecuali antara salat Subuh dengan salat Lohor, karena ada dalil yang lain.
Sabda Rasulullah Saw :
“Waktu salat Subuh ialah dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (RIWAYAT MUSLIM)

Yang lebih baik hendaklah salat itu dikerjakan di awal waktunya, dan haram mengakhirkan (melalaikan) salat sampai habis waktunya, makruh tidur sesudah masuk waktu salat, sedangkan ia belum salat. Firman Allah Swt.:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.” (AL-MAUN: 4-5)

Rukun Dalam Shalat

1. Niat.
Arti nat ada dua :
a. Asal makna niat ialah “menyengaja” suatu perbuatan. Dengan adanya kesengajaan ini, perbuatan dinamakan ikhtiyari (kemauan sendiri, bukan dipaksa). (baca juga : Syarat Sah Shalat) dan (baca juga : Syarat Wajib Shalat)

b. Niat pada Syara’ (yang menjadi rukun salat dan ibadat yang lain), yaitu menyengaja suatu perbuatan karena mengikuti perintah Allah supaya diridhai-Nya. Inilah yang dinamakan ikhlas

Maka orang yang salat hendaklah sengaja mengerjakan salat karena mengikuti perintah Allah semata-mata agar mendapat keridaan-Nya; begitu juga ibadat yang lain.
Firman Allah Swt.:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” AL-BAYYINAH: 5)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Mazhab yang empat bersepakat bahwa niat pada salat lima waktu hukumnya wajib. Berarti niat itu harus ada pada salat lima waktu. Akan tetapi, mereka berbeda paham tentang apakah niat itu rukun atau syarat.

Golongan Syafi'i dan Maliki sepaham bahwa niat itu menjadi rukun pada salat lima waktu. Hanafiyah dan Hanabilah sepakat pula bahwa niat itu menjadi syarat pada salat lima waktu.

Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah beralasan dengan ayat dan hadis tersebut di atas, sedangkan Hanafiyah beralasan dengan ijma’ ulama, karena yang dimaksud dengan ibadat dalam ayat di atas menurut tafsiran mereka termasuk urusan tauhid (ketuhanan), bukan ibadat amaliyah seperti salat. Mereka menafsirkan hadis tersebut dengan mentaqdirkan awab (pahala). Oleh sebab itu, tafsir hadis tersebut menurut mereka adalah pahala amal yang bergantung pada niat.

Maka orang yang beramal dengan tidak berniat, amalnya sah hanya tidak mendapat pahala. Apakah arti sah kalau tidak mendapat pahala? Mereka menjawab, arti sah di sini ialah orang beramal tidak berniat, terlepas dari tuntutan walaupun ia tidak mendapat pahala.

Yang perlu dalam niat salat yang lima waktu ialah “sengaja mengerjakan salat” supaya berbeda dengan perbuatan yang lain, dan “menentukan salat yang dikerjakan”’ seperti Lohor, Asar, dan lain-lainnya; dan “menyengaja atau meniatkan bahwa salat itu fardu” salah satu contohnya adalah niat Lohor, yaitu; “sengaja aku salat fardu Lohor”; demikian juga yang lain.

2. Berdiri bagi orang yang kuasa.
Orang yang tidak kuasa berdiri, boleh salat sambil duduk; kalau tidak kuasa duduk, boleh berbaring; dan kalau tidak kuasa berbaring, boleh menelentang; kalau tidak kuasa juga demikian, salatlah sekuasanya, sekalipun dengan isyarat. Yang penting salat tidak boleh ditinggalkan selama iman masih ada. Orang yang di atas kendaraan, kalau takut jatuh atau takut mabuk, ia boleh salat sambil duduk. Juga ia boleh percaya akan nasihat tabib yang mahir.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Amran bin Husban berkata, “Saya berpenyakit bawasir, maka saya bertanya kepada Nabi Saw tentang salat. Beliau berkata, ‘Salatlah sambil berdiri; kalau tidak kuasa, salatlah sambil duduk; kalau tidak kuasa duduk, salat sambil berbaring” (RIWAYAT BUKHARI, DAN NASAl MENAMBARKAN. “Kalau tidak juga kuasa, salatlah sambil menelentang. Allah tidak memberati seorang melainkan sekuasanya.”)

Pada salat fardu diwajibkan berdiri karena berdiri adalah rukun salat. Tetapi pada salat sunat, berdiri itu tidak menjadi rukun.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa salat sambil berdiri, mendapat ganjaran yang sempurna, barang siapa salat sambil duduk, mendapat seperdua ganjaran orang yang salat sambil berdiri; barang siapa salat sambil berbaring, mendapat ganjaran seperdua dari orang yang salat sambil duduk.” (RIWAYAT BUKHARI)

Ganjaran duduk dan berbaring itu kurang dari ganjaran berdiri, apabila dilakukan ketika mampu. Tetapi jika dilakukan karena berhalangan, ganjarannya tetap sempurna seperti salat berdiri.

3. Takbiratul ihram (membaca “Allahu Akbar”)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw masuk ke masjid, kemudian masuk pula seorang laki-laki, lalu dia mengerjakan salat. Sesudah salat, laki-laki itu datang kepada Nabi dan memberi salam. Nabi menjawab salam laki-laki itu. Kemudian beliau berkata. “Salatlah kembali, karena engkau belum salat.” Laki-laki itu lalu salat kembali seperti tadi, sesudah itu ia memberi salam kepada Nabi, dan Nabi berkata, “Salatlah kembali, karena engkau belurn salat.” Hal itu terjadi sampai tiga kali. Laki-laki itu lalu berkata, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu membawa kebenaran, saya tidak dapat melakukan cara lain selain cara yang tadi. Sebab itu, ajarlah saya.”

Sabda Nabi, “Apabila engkau berdiri memulai salat, takbirlah, sesudah itu bacalah mana yang engkau dapat membacanya dari Al-Q ur’an, kemudian rukuklah sehingga ada turna’ninah (diam sebentar) dalam rukuk itu, dan bangkitlah sampai engkau berdiri lurus. Sesudah itu sujudlah sampai engkau diam pula sejenak dalam sujud itu, kemudian bangkitlah dan sujud sampai engkau diam pula sebentar dalam duduk itu, sesudah itu sujudlah kembali sampai engkau diam pula sebentar dalam sujud itu. Kerjakanlah seperti itu dalarn setiap salatmu.” -Sepakat ahli hadis dan pada riwayat Ibnu Majah disebutkan, “Kemudian bangkitlah sehingga engkau diam pula sejenak ketika berdiri itu.” (HADIS INI DISEBUT HADIS MUSIUS SALAH)

“Kunci salat itu wudu, permulaannya takbir, dan penghabisannya salam.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN TIRMIZI


4. Membaca surat Fatihah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Tiadalah salat bagi seseorang yang tidak membaca surat Fatihah.” (RIWAYAT BUKHARI)

“Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca surat Fatihah.” (RIWAYAT DARUQUTNI)


“Bismillahir rahmnirrahim itu satu ayat daru surat Fatihah.” (RIWAYAT DARUQUTNI)

Imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan jumhurul ulama telah bersepakat bahwa membaca Al-Fatihah pada tiap-tiap rakaat salat itu wajib dan menjadi rukun salat, baik salat fardu ataupun salat sunat. Mereka beralasan kepada hadis-hadis tersebut di atas. Al-Hanafiyah berpendapat bahwa yang fardu dibaca ialah Al-Qur’an, tidak tertentu pada Al-Fatihah saja. Pendapat ini berdasarkan pada ayat Al-Qur’an.
Firman Allah Swt.:
“Bacalah apa yang mudah bagimu dan Al-Qur’n. (AL-MUZAMMIL : 20)

Pihak pertama menjawab tentang pendapat bahwa ayat tersebut mujmai (tidak jelas), surat atau ayat mana yang dimaksudkan mudah itu. Maka hadis-hadis tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mudah itu ialah AI-Fatihah.

5. Rukuk serta tuma’ninah (diam sebentar)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Kemudian rukuklah engkau hingga engkau diam sebentar untuk rukuk.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Adapun rukuk bagi orang yang salat berdiri sekurang-kurangnya adalah menunduk kira-kira dua tapak tangannya sampai ke lutut, sedangkan yang baiknya ialah betul-betul menunduk sampai datar (lurus) tulang punggung dengan lehernya (90 derajat) serta meletakkan dua tapak tangan ke lutut. Rukuk untuk orang yang salat duduk sekurang-kurangnya ialah sampai muka sejajar dengan lututnya, sedangkan yang baiknya yaitu muka sejajar dengan tempat sujud.

6. I’tidal serta tuma’ninah (diam sebentar)
Artinya berdiri tegak kembali seperti posisi ketika membacaAI-Fatihah. Sabda Rasulullah Saw.:
“Kemudian bangkitlah engkau sehingga berdiri tegak untuk i’tidal (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

7. Sujud dua kali serta tuma’ninah (diam sebentar)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Kemudian sujudlah engkau hingga diam sebentar untuk sujud, kemudian bangkitlah engkau hingga diam untuk duduk, kemudian sujudlah engkau hingga diam untuk sujud.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sekurang-kurangnya sujud adalah meletakkan dahi ke tempat sujud. Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila engkau sujud, letakkanlah dahimu, dan janganlah engkau mencotok seperti cotok ayam.” (RIWAYAT IBNU HIBBAN DAN IA MENGESAHKAN)
Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud itu wajib dilakukan dengan tujuh anggota, dahi, dua tapak tangan, dua lutut, dan ujung jari kedua kaki.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Saya disuruh supaya sujud dengan tujuh tulang, yaitu dahi, dua tapak tangan, dua lutut, dan ujung kedua kaki.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sujud hendaknya dengan posisi menungkit, berarti pinggul lebih tinggi daripada kepala.

8. Duduk di antara dua sujud serta tuma’ninah (diam sebentar) Sabda Rasulullah Saw.:

“kemudian sujudlah engkau hingga diam untuk sujud, kemudian bangkitlah engkau hingga diam untuk duduk, kemudian sujud engkau hingga diam pula untuk sujud.”RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

9. Duduk akhir
Untuk tasyahud akhir, salawat atas Nabi Saw. dan atas keuarga beliau, keterangan yaitu amal Rasulullah Saw. (beliau selalu duduk ketika membaca tasyahud dan salawat).

10. Membaca tasyahud akhir

Lafaz tasyahud : 


 Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud. Rasulullah Saw berkata, ‘Apabila salah seorang di antara kamu salat, hendaklah ia membaca tasyahud: ‘Segala kehormatan, segala doa, dan ucapan-ucapan yang baik kepunyaan Allah. Mudah-mudahan turunlah sejahtera atasmu hai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan karunia-Nya. Mudah-mudahan dilimpahkan pula sejahtera atas kita sekalian dan atas hamba Allah yang saleh-saleh (baik-baik). Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu hamba dan utusan-Nya’.” Sambungan hadis “Kemudian hendaklah ia memilih doa yang dikehendakinya.” RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Ada lafaz lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dan lbnu Abbas, yaitu:


11. Membaca salawat atas Nabi Muhammad Saw.
Waktu membacanya ialah ketika duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir. Adapun salawat atas keluarga beliau menurut Syafi’i tidak wajib melainkan hanya sunat.
Lafaz salawat : 


Artinya:
“Dari Ibnu Mas’ud. Rasulullah Saw. telah datang kepada kami, maka Basyir berkata kepada beliau, “Allah telah menyuruh kami supaya membacakan salawat atas engkau?” Bagaimanakah cara kami membaca salawat atas engkau? Beliau menjawab, “Katakanlah olehmu, ‘Ya Tuhanku, berilah rahmat atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya sebagaimana Engkau telah memberi rahmat atas keluarga Nabi Ibrahim, dan berilah karunia atas Nabi Muhammad dan atas keluarga beliau sebagaimana Engkau telah memberi karunia atas keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkaulah Yang Amat Terpuji dan Amat Mulia’.” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, NASAI DAN TIRMIZI)

Sekurangkurangnya membaca salawat seperti berikut:  


“Ya Tuhanku, berilah rahmat atas Muhammad dan keluarganya.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca salawat ketika duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir tidaklah wajib. Hadis tersebut tidak memberikan ketentuan apakah salawat itu dibaca dalam salat dan sesudah tasyahud akhir, yang dapat disimpulkan dari hadis tersebut hanya membaca salawat di luar salat. Yang berpendapat wajib dibaca dalam salat sesudah membaca tasyahud akhir mengemukakan alasan bahwa pertanyaan dalam hadis tersebut menurut riwayat lain adalah pertanyaan mengenai cara membaca salawat dalam salat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Allah telah menyuruh kami supaya membaca salawat atas engkau. Maka bagaimanakah cara kami membaca salawat atasmu. Kapan kami membaca salawat atasmu dalam salat kami?” Rasulullah Saw menjawab, “Katakanlah olehmu Allahumma... dan seterusnya seperti yang tersebut dalam hadis pertama tadi.” (RIWAYAT IBNU KHUZAIMAH DARUQUTNI, DAN IBNU HIBBAN)

Dengan riwayat ini maka jelaslah bahwa yang dipersoalkan ialah membaca salawat dalam salat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Mas’ud, dan Nabi Saw, ‘”Apabila salah seorang di antara kamu telah membaca tasyahud dalam salat, hendaklah ia membaca Allahumma salli ... (salawat) sampai akhir.” (RIWAYAT BAIHAQI DAN HAKIM)

12. Memberi salam yang pertana (ke kanan)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Permulaan salat itu takbir dan penghabisannya salam.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN TIRMIZI)

“Rasulullah Saw memberi salam hanya sekali pada salat witir. (RIWAYAT IBNU HIBBAN)

Lafaz salam yang sempurna, yaitu:
“Assalamu‘alaikum warahmatulla” yang artinya “Mudah-mudahan selamatlah kamu dengan rahmat dan berkah Allah. (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU HIBBAN)

Sekurang-kurangnya mengucapkan:
“Assalamu‘alaikum” yang artinya “Mudah-mudahan kesejahteraan bagi kamu.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi salam itu wajib dua kali, ke kanan dan ke kiri. Mereka mengambil alasan hadis berikut:
“Dari Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya Nabi Saw. memberi salam ke kanan dan ke kiri. Beliau mengucapkan, ‘Assalamu‘alaikum warahmatullah. Assalamu‘alaikurn Warahmatullah.” sehingga kelihatan putih pipi beliau. (RIWAYAT LIMA AHLI HADIS DAN DISAHKAN OLEH TIRMIZI)

Ulama yang pertama menjawab bahwa salam kedua yang tersebut dalam hadis ini sunat, bukan wajib. Dengan demikian, kedua hadis yang seolah-olah berlawanan itu dapat dipergunakan bersama-sama.

13. Menertibkan rukun
Artinya meletakkan tiap-tiap rukun pada tempatnya masing-masing menurut susunan yang telah disebutkan di atas.
Sabda Rasutullah Saw.:
“Salatlah kamu sebagaimana kamu lihat saya salat.” (RIWAYAT BUKHARI).

Memahami Shalat Dan Yang Disunnahkan Sebelum Shalat

Asal makna salat menurut bahasa Arab ialah “doa”, tetapi yang dimaksud di sini ialah “ibadat yang tersusun dari beberapa perikataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan.
Firman Allah Swt.:
“Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dan (perb uatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (AL-ANKABUT: 45)

Salat fardu (salat lima waktu)
Salat yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal ialah lima kali sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib salat itu ialah pada malam isra setahun sebelum tahun Hijriah. Hal itu akan dijelaskan satu per satu berikut ini.

Yang sunat dilakukan sebelum salat
1. Azan

Asal makna azan ialah “memberitahukan’ Yang dimaksud di sini ialah “memberitahukan bahwa waktu salat telah tiba dengan lafaz yang ditentukan oleh syara” Dalam lafaz azan itu terdapat pengertian yang mengandung beberapa maksud penting, yaitu sebagal akidah, seperti adanya Allah yang Maha besar bersifat Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya; serta menerangkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang cerdik dan bijaksana untuk menerima wahyu dari Allah. (baca juga : Syarat Adzan Dan Iqomah)

Sesudah kita bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad Utusan-Nya, kita diajak menaati perintah-Nya, yakni mengerjakan salat, kemudian diajaknya pula pada kemenangan dunia dan akhirat. Akhirnya disudah, dengan kalimat tauhid.

Azan dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa waktu salat telah tiba dan menyerukan untuk melakukan salat berjamaah. Selain itu untuk mensyiar agama Islam di muka umum.
Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada han Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (salat) dan tinggalkanlah jual beli. Yang deinikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (AL-JUMUKH: 9)

Lafaz azan : 
 
Kalau azan salat Subuh, sesudah “Hayya alal falah” ditambah dengan “Assalatu khairum minan-naum” (2x).

Artinya : Allah Mahabesar (4 x), aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah (2 x), aku bersaksi bahw Nabi Muhammad utusan Allah (2 x), marilah salat (2 x), marilah’ menuju kebahagiaan selama-lamanya (2 x), Allah Maha besar (2 x), tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah.

Arti tambahan azan Subuh: “Salat itu lebih baik daripada tidur.” (RIWAYAT MUSLIM DAN NASAl).

2. Iqamah
Yaitu memberitahukan kepada hadirin supaya siap berdiri untuk salat, dengan lafaz yang ditentukan oleh syara.

Lafaz iqamah:
 
Artinya : Allah Maha besar (2 x), aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah, aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, marilah salat, marilah menuju kebahagiaan selama-lamanya, sesungguhnya salat telah didirikan (2 x), Allah Maha besar (2 x), tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah. (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD)

Azan dan iqamah hukumnya sunat menurut pendapat kebanyakan ulama. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa azan dan iqamah itu adalah fardu kifayah karena keduanya menjadi syiar Islam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Malik bin Huwairi. Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda, “Apabila datang waktu salat, hendaklah azan salah seorang di antara kamu, dan hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi imam.” (RIWAYAT BUKHAR1 DAN MUSLIM)

Azan dan iqamah hanya disyariatkan untuk salat fardu (salat lima waktu) saja, baik salat berjamaah maupun salat sendiri.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila engkau sedang mengurus kambing atau di tengah padang, maka azanlah untuk (menyerukan) salat, dan keraskan suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya ini, manusia, dan apa pun yang mendengar selama suara orang azan itu, pada hari kiamat nanti akan menjadi saksi baginya.” (RIWAYAT BUKHARI)

Adapun untuk salat-salat sunat -seperti salat jenazah, salat nazar, dan sebagainya- tidak disunatkan azan dan iqamah. Hanya bagi salat-salat tersebutkalau dilakukan dengan berjamaah disyariatkan hendaklah diserukan “assalatal jami’ah” (marilah salat jamaah). 

Iqamah perempuan

Bagi jamaah perempuan, menurut kata yang masyhur dalam mazhab Syafil, disunatkan iqamah saja; azan tidak disunatkan karena azan itu diucapkan dengan suara nyaring (keras). Hal itu tidak layak bagi perempuan, sebab dikhawatirkan akan menjadi fitnah bagi pendengar.

Azan dan iqainah untuk anak yang baru lahir
Disunatkan azan pada telinga kanan-anak yang baru lahir, dan iqamah pada telinganya yang kiri.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa yang lahir anaknya, maka azanlah pada telinga kanannya dan iqamahlah pada telinga kirinya, maka anak itu tidak dimudaratkan oleh jin (tidak kena penyakit kanak-kanak)’ (DIRIWAYATKAN DALAM KITAB IBNU SUNNI DARI HASAN BIN AUF)

Faedahnya, supaya kalimat yang mula-mula didengrnya sewaktu ia lahir didunia ini ialah kalimat tauhid. Demikian juga sewaktu ia akan meninggal dunia, hendaklah diajarkan dan diperingatkan dengan kalimat itu.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Ajarilah orang yang hampir mati dengan kalimat “La Ilaha Illallah”. Tidak ada Tuhan yang sebenarnya patut disembah melainkan Allah.” (RIWAYAT MUSLIM DAN YANG LAINNYA)

3. Membatasi tempat salat
Di antara beberapa hal yang dilakukan sebelum salat ialah membatasi tempat salat dengan dinding, dengan tongkat, dengan menghamparkan sajadah (tikar untuk salat) atau dengan garis, supaya orang tidak lewat di depan orang yang sedang salat, sebab lewat di depan orang salat itu hukumnya haram.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Kalau orang yang lewat di depan orang salat mengetahui dosa yang akan didapatinya, tentu lebih baik ia berbenti (menanti) empat puluh tahun daripada lewat di depan orang salat.“ (SEPAKAT AHLI HADIS)

“Apabila seseorang salat menghadap sesuatu yang membatasinya dari manusia, kemudian ada orang hendak lewat di depannya hendaklah dicegahnya orang itu. Jika orang itu tidak menghiraukan, hendaklah dibunuhnya; sesungguhnya dia adalah setan. (SEPAKAT AHLI HADIS)

Hukum Membaca Surat Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah hukumnya membaca Al-Fatihah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang timbul dari cara mereka memahami ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis seperti : 

a. Firman Allah Swt.:
“Dan apabila dibacakan A1-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (AL-ARAF : 204)
b. Hadis Bukhari dan Daruquni yang disebutkan di atas.
c. Sabda Rasulullah Saw.
“Janganlah seseorang di antara kamu membaca sesuatu pun dari A1 Qur’an apabila aku keraskan bacaanku, kecuali Ummul Qur’an (A1 Fatihah)” (RIWAYAT DARUQUTNI)

Ia berkata, semua orang yang meriwayatkan hadis ini dapat dipercaya Sabda Rasulullah Saw.:
“Saya mendengar kamu membaca di belakang imam.” Jawab kami ya hadir, “Benar, kami membaca. Beliau berkata lagi, “Janganlah kamu lakukan yang demikian, kecuali membaca Ummul-Qur’an (Al Fatihah). Sesungguhnya orang yang tidak membaca Al-Fatihah itu tidaklah salat namanya.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN TIRMIZI)

Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah bagi makmum yang mendengar bacaan imamnya termasuk rukun salat. Berarti apabila ia tidak membaca Al-Fatihah, salatnya tidak sah. Pendapat ini beralasan pada beberapa hadis yang telah disebutkan di atas.

Cara mereka mengambil dalil dan hadis tersebut ialah, mereka pahamkan hadis-hadis itu sebagai ketentuan terhadap makmum, dan ayat tersebut di atas mereka pandang umum meliputi segala waktu dan terhadap tiap-tiap orang, baik yang sedang salat ataupun yang di luar salat.

Ayat yang bersifat umum tersebut mereka batasi dengan maksud hadis-hadis tersebut, artinya “semua orang yang mendengar bacaan Qur’an wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan itu, kecuali orang yang sedang salat; ia tidak wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan Qur’an itu karena Ia sedang melakukan kewajiban yang lain ketika itu, yaitu membaca Al-Fatihah. Ketentuan kewajiban ini mereka ambil dari beberapa hadis tersebut, sebab memang sudah disepakati oleh semua golongan bahwa hadis-hadis dipergunakan sebagai jalan untuk memahami (menafsirkan) ayat Al-Qur’an karena Qur’an adalah pokok, sedangkan penjelasannya diambil dari hadis-hadis Rasulullah Saw.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa makmum yang mendengar bacaan imamnya tidak wajib -bahkan tidak boleh- membaca Al-Fatihah. Mereka mengemukakan alasan ayat tersebut secara umum (global). Mereka tidak menghubungkan ayat dengan hadis-hadis tersebut karena menurut pendapat mereka derajat kekuatan hadis tersebut tidak sama dengan kekuatan ayat.

Maka menurut paham mereka, yang lebih kuat tidak dapat dikalahkan oleh yang kurang kuat. Dengan kata lain, hadis yang tidak sampai ke derajat mutawatir tidak boleh dipakai untuk menafsirkan atau mengurangi maksud ayat.

Orang yang tidak dapat membaca sebagian surat Al-Fatihah, hendaklah membaca sekemampuannya, walaupun satu ayat; dan jika sama sekali tidak dapat, hendaknya ia berdiri saja selama masa membaca Al-Fatihah itu.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesuatu yang saya perintahkan kepada kamu hendaklah kamu kerjakan semampumu.” (SEPAKAT AHLI HADIS)
Setiap orang mukallaf wajib belajar membaca Surat AI-Fatihah sampai hafal dengan bacaan yang fasih menurut makhraj huruf Arab.

Cara Menghadap Kiblat Yang Benar Menurut Fiqih Islam

Kiblat Ka’bah atau jihat-nya
Tidaklah ada perbedaan paham antara kaum muslim, bahwa menghadap kiblat itu wajib untuk sahnya salat. Hanya, perbedaan paham tentang apakah yang wajib dihadapi itu. Apakah benar-benar menghadap ke Ka’bah (‘am Ka’bah) ataukah cukup menghadap kejihat (arah) Ka’bah? Dalam hal ini pendapat mereka ada dua macam :

1. Mazhab Syafi’i dan orang-orang yang sepaham dengan mereka berpendapat: Untuk orang yang melihat Ka’bah, ia wajib benar-benar menghadap Ka’bah itu (‘am Ka’bah). Tetapi orang yang jauh dan Ka’bah, wajib atasnya menyengaja menghadap ‘am Ka’bah, walaupun pada hakikatnya ia hanya menghadap ke jihat (arah) Ka’bah.

2. Mazhab Hanafi
dan orang-orang yang sependapat dengan mereka, mengemukakan bahwa orang yang melihat Ka’bah dan memungkinkan menghadap ‘am Ka’bah wajib menghadap Ka’bah itu sungguh-sungguh, tetapi bagi orang yang jauh cukuplah menghadap ke jihat (arah) Ka’bah itu saja.

Masing-masing golongan (mazhab) tersebut beralasan dengan surat Al-Baqarah: 144.

Penjelasan
Cara menghadap kiblat adalah sebagai berikut :

1. Orang yang berada di Mekah dan memungkinkan menghadap Ka’bah, Ia wajib menghadap Ka’bah sungguh-sungguh. 

2. Orang yang berada di lingkungan masjid Nabi di Madinah,
wajib mengikuti mihrab masjid itu; sebab mihrab masjid itu ditentukan oleh wahyu, maka dengan sendirinya tepat menghadap ke Ka’bah. 

3. Orang yang jauh dari Ka’bah sah menghadap ke jihat Ka’bah.

Alasannya yaitu:
a. Menurut arti yang terkandung dalam surat AI-Baqarah: 144 tersebut di atas.
b. Hadis Ibnu Umar.
“Dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Ketika orang-orang salat Subuh di masjid Quba tiba-tiba datang seseorang kepada mereka. Kata orang itu, ‘Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi Saw. pada malam ini Qur’an, dan beliau disuruh menghadap kiblat. Maka hendaklah kamu menghadapnya.’ Ketika itu mereka menghadap ke Syam (kiblat lama), lantas mereka berputar menghadap ke Ka’bah.” (RIWAYAT SEPAKAT AFILI HADIS)

Perbuatan tersebut tidak dibantah oleh Rasulullah Saw. Menurut hadis tersebut, mereka langsung berputar dalam salat dengan tidak mengadakan penyelidikan lebih dahulu. Hal ini menandakan bolehnya menghadap kejihat Ka’bah, sebab menghadap ke Ka’bah sungguh-sungguh tentunya tidak dapat apabila tidak dengan perhitungan secara ilmu ukur.

c. Karena menghadap ke jihat itulah yang mungkin baginya, dan den gan kemungkinan itulah terletak hukum wajib atas seorang mukallaf 

d. Mereka mengakui sahnya salat orang-orang yang tersebut di bawah ini :
  • 1) Salat orang yang safnya (barisannya) panjang berlipat ganda dari lintang Ka’bah.
  • 2) Salat orang di atas bukit menghadap ke lapangan di atas Ka’bah.
  • 3) Salat orang di atas tanah yang rendah menghadap ke bawah dari Ka’bah.
Diperbolehkan tidak menghadap kiblat pada beberapa keadaan seperti yang tersebut di bawah ini :
1. Ketika sangat takut sehingga tak dapat tetap menghadap ke kiblat, umpamanya dalam peperangan. Pada bagian lain akan dijelaskan tentang salat prajurit sewaktu dalam peperangan. Atau takut oleh binatang buas, takut oleh api, takut kebanjiran, dan lain-lain.
Firman Allah Swt.:
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (A1-BAQOROH: 239)
Menurut tafsir lbnu Umar, yang dimaksud dengan “berjalan kaki atau berkendaraan” di dalam ayat tersebut ialah menghadap ke kiblat atau tidak menghadap ke kiblat. (Riwayat Bukhari). 

2. Orang yang dalam penjalanan di atas kendaraan
. Apabila melakukan salat sunat diatas kendaraan, boleh menghadap ke arah tujuan perjalanannya, walaupun tidak menghadap ke kiblat; hanya diwajibkan menghadap ke kiblat sewaktu takbiratul ihram.
Menurut hadis:
“Dari Jabir. Rasulullah Saw. salat di atas kendaraan menuruti arah kendaraannya. Maka apabila beliau hendak salat fardu beliau turun dari kendaraan; lantas beliau menghadap ke kiblat. (RIWAYAT BUKHARI)

“Rasulullah Saw. apabila hendak salat sunat di atas kendaraan, beliau menghadap ke kiblat, lalu takbiratul ihram, kemudian beliau salat menghadap ke tujuan kendaraan beliau. (RIWAYAT ABU DAWUD)

3. Bila kblat tidak dapat diketahui.
“Dari Amir bin Rabi’ah, “Kami bersama-sarna Rasulullah Saw. pada malam gelap gulita, kami tidak mengetahui di mana kiblat. Kami salat menurut pendapat masing-masing. Setelah waktu Subuh kami beritahukan hal itu kepada Nabi Saw, maka ketika itu turunlah ayat (Ke mana saja kamu menghadap, maka di situlah arah yang disukai Allah).” (RIWAYAT AHMAD DAN TIRMIZI)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Mu’ai, “Kami telah salat bersama Rasulullah Saw dalam suatu perjalanan -ketika itu hari gelap karena mega- dengan tidak menghadap ke kiblat. Maka tatkala sudah selesai salat dan sudah memberi salam, matahari kelihatan keluar dari balik mega. Kami berkata kepada Rasulullah, Kita salat tidak menghadap ke kiblat.’ Jawab beliau, ‘Salat kamu sudah dinaikkan ke hadirat Allah Azza Wajalla dengan hak-Nya’.” (RIWAYAT TABRANI).

Monday 14 September 2015

Apa Hukum Puasa Dalam Keadaan Junub ?

Tanya : Saya seorang suamii. Seringkali dalam bulan Ramadhari saya berpuasa masih dalam kondisi junub setelah malamnya kami berkumpul. Karena lupa, rasa malas dan udara dingin saya tidak segera mandi sebelum fajar. Bagaimanakah puasa saya itu? (Toni, Wonokromo, Surabaya)

Jawab : Seseorang dikatakan junub apabila mengalamii dua hal: berhubungan s*ks (meski tidak sampai ej*kulasi), dan atau mengeluarkan sperma (karena mimpi basah, on*ni, melihat gambar erotis, dan lain-lain).

Setiap ibadah memiliki syarat-rukun sendiri-sendiri. Syarat rukun suatu ibadah bisa tidak sama dengan ibadah lain. misalnya shalat dan puasa. Dalam shalat, seseorang disyaratkan suci dari hadas kecil dan besar, serta haid dan nifas. Melakukan shalat dalam keadaan junub tidak sah, dan hukumnya haram. Dengan demikian, orang yang akan melakukan shalat apabila berstatus junub harus mandi terlebih dulu, sebagaimana diwajibkan wudhu bagi penyandang hadas kecil.

Dalam ibadah puasa, tidak terdapat persyaratan pelakunya harus suci dari hadas besar atau kecil. Menjalankan puasa dalam kondisi junub, sehabis berkumpul dengan istri atau mimpi basah pada malam harinya tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar, sah-sah saja. Yang tidak dibenarkan adalah melakukan hubungan suami-istri pada siang hari, sejak fajar sampai matahari terbenam. Karena Jima’ termasuk perkara yang membatalkan puasa dengan sanksi sangat berat, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, di samping kewajiban mengqadha.

Demikian halnya, sah puasa perempuan yang telah berhenti darah haid atau nifasnya pada malam hari tanpa mandi terlebih dulu sebelum fajar.

Meskipun begitu, syariat menganjurkan agar seseorang berpuasa dalam keadaan suci. Oleh karena itu, orang yang berstatus Junub, disunahkan mandi sebelum terbitnya fajar. hariya sebatas anjuran, bukan kewajiban. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu III, 1.686).

Keabsah dari puasa dalam keadaan junub merupakan hasil pemahaman terhadap firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Dihalaikan bagi kalian pada malam hari bulan puasa untuk berkumpul jima’ dengan istri-istrimu. “(QS. A1-Baqarah: 187)

Malam hari bulan puasa (lailah asy-shiam) adalah rentang waktu mulai Maghrib sampai detik-detik terakhir sebelum Shubuh. Berangkat dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa puasa dalam keadaan junub diperbolehkan. Sebab dengan diperbolehkannya Jima ‘semalam suntuk, secara otomatis diperkenankan puasa dalam keadaan junub sebagai konsekuensi logisnya. Karena tidak mungkin orang yang Jima’ satu detik sebelum fajar memiliki kesempatan untuk mandi sebelum fajar tiba.

Ayat tersebut, meskipun pada mulanya hanya dimaksudkan untuk menjelaskan bolehnya Jima’ pada malam bulan Ramadhan, tetapi lalu menimbulkan hukum lain, yaitu sahnya puasa dalam kedaan Junub, sebagai akibatnya. Proses penyimpulan hukum semacam ini dalam ushul fikih disebut dengan dilaiah isyarah. (Ghayah Al-Wushul, 37).

Persoalan puasa orang Junub, pada masa Rasulullah juga pernah ditanyakan oleh sahabat, dan beliau menjawab sah. Bahkan menurut hadis riwayat Aisyah dan Umini Salamah:
Artinya: “Nabi Saw. pernah memasuki waktu Shubuh dalam kondisi junub karena jima’ kemudian dia mandi dan tetap berpuasa.” (Mukhtashar Shahih Muslim, 158, Subul As-Salam: II, 165).

Memang ada hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Apabila adzan Shubuh telah dikumandangkan dan kalian dalam keadaan junub, maka jangan berpuasa pada hari itu.”

Hadis ini memberikan pengertian bahwa puasa dalam keadaan junub tidak sah. Tetapi menurut jumhur al-ulama (mayoritas ulama), hadis tersebut telah di-nasakh (direvisi) oleh hadis riwayat Aisyah di atas. Lagi pula, dari segi sanad, hadis riwayat Aisyah dianggap lebih kuát daripada riwayat Abu Hurairah, sehingga jika terjadi pertentangan, maka riwayat Aisyah yang lebih layak dijadikan dasar hukum. (Subul As-Salam II, 165).

Thursday 10 September 2015

Pengertian, Dasar Hukum Dan Tata Cara Sujud Tilawah

Tanya : Saya pernah mendengar sujud itu bermacam-macam. Salah satunya adaiah sujud tilawah. Mohon jelaskan ihwal tentang sujud tilawah itu.

Jawab : Kita semua kaum muslimin sudah sangat akrab dengan kata sujud. Paling tidak, sujud kita pahami sebagai salah satu rukun shalat, yang paling tidak dikerjakan lima kali sehari semalam. Yaitu dengan cara meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi ke tanah atau alas tertentu. Sebenarnya sujud itu seperti dikatakan penanya, banyak macamnya. Paling tidak ada tiga di samping sujud sebagai rukun shalat. Ketiganya adalah sujud sahwi. sujud syukur dan titawah.

Sujud sahwi lebih dikenal dan lebih banyak dipraktikkan daripada sujud syukur dan tilawah. Pada zaman ini, sangat jarang kita temui kaum muslimin yang mengamalkan sujud syukur dan tilawah. Penyebab utamanya adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang keduanya.

Dalam kesempatan ini kita akan mengkhususkan pembahasan pada sujud tilawah saja sesuai dengan pertanyaan penanya. Pembahasan tentang sujud tilawah meliputi status hukum serta tata cara pelaksanaannya. Tulisan ini sepenuhnya didasarkan pada kitab At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, karya Imam Nawawi. Hal itu kami lakukan karena dalam kitab tersebut telah memberikan uraian yang sangat memadai mengenai sujud tilawah dalam satu pasal khusus.

Semua ulama sepakat. sujud tilawah diperintahkan oleh agama. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat. Kesepakatan semua ulama mujtahid tentang suatu masalah semacam ini, dalam ushul fikih dinamakan ijma’. Perbedaan timbul dalam menentukan jenis atau kadar perintah tersebut. Pendapat mayoritas ulama, menyatakan perintah sujud tilawah bersifat mandub atau sunah. Pendapat ini disokong oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Auza’i, Ishaq, Dawud, dan lain-lain.

Pendapat ini disimpulkan dari pernyataan Umar Ibn Khaththab pada sebuah penyelenggaraan shalat Jumat. Beliau berseru: “Wahai manusia! Kita melewati ayat sajdah. Barangsiapa melakukan sujud tilawah maka Ia benar. Barangsiapa tidak mengerjakan maka tiada dosa baginya.” Sayyidina Umar sendiri pada saat itu, termasuk orang yang tidak melakukan sujud tilawah. (Shahih Bukhari, II: 260-261). Perkataan Umar tadi dapat dijadikan sandaran hukum karena para sahabat pada saat itu tidak ada yang menyangkal. Sementara itu, Imam Abu Hanifah dengan merujuk pada Al Quran surat Al-Insyiqaq, 20-21 menyatakan perintah tersebut bersifat wajib.

Sujud tilawah dilakukan ketika selesai membaca ayat-ayat sajdah. Hal itu juga dianjurkan ketika mendengar bacaan orang lain baik dalam keadaan shalat ataupun tidak. Jarak antara bacaan ayat sajdah dan sujud tilawah tidak boleh terlalu lama.

Menurut Imam Syafii dan kebanyakan ulama,ayat sajdah ada empat belas. Keempat belas ayat itu adalah A1-A’raf, 206, Ar-Ra’d, 15, An-Nahi, 50, Al-Isra’, 109, Maryam, 58, A1-Haj, 18, 77, Al-Furqan, 60, An-Naini, 26, As-Sajdah, 15, Shaad, 24, Fushilat, 38, An-Najm, 62, A1-Insyiqaq, 21, dan A1-Alaq, 19.

Persyaratan-persyaratari yang harus dipenuhi dalam mengerjakan shalat, juga berlaku untuk sujud tilawah. Orang yang mengerjakan sujud tilawah harus suci dari hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup auratnya.

Seperti saya sebutkan di atas, sujud tilawah dianjurkan bagi orang yang sedang shalat atau tidak. Bagi orang yang tidak sedang mengerjakan shalat, caranya adalah berdiri, kemudian takbiratul ihram seraya fiat dalam hati mengerjakan sujud tilawah dengan mengangkat kedua tangan sampai di atas pundak seperti halnya takbiratul ihram kala shalat. Setelah itu lalu turun untuk sujud dengan meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi di tanah atau alas tertentu. Ada baiknya, pada saat turun diiringi bacaan takbir.

Pada waktu sujud membaca bacaan yang biasa dibaca dalam shalat, yaitu “Subhaana rabiyal a ‘Ia” sebanyak tiga kali. Lalu disambung dengan membaca :


Dan diteruskan dengan “Subbuhun qudusun rabbul malakati warruh.”

Setelah itu, bangun dari sujud kemudian duduk dan diakhiri dengan salam tanpa membaca tasyahud terlebih dahulu.

Adapun ketika seseorang sedang menjalankan shalat, maka ketika berdiri langsung sujud sambil membaca takbir tanpa mengangkat kedua tangan. Dan setelah membaca “subhana rabiyal a‘la” tiga kali dan seterusnya, kemudian berdiri kembali meneruskan shalatnya. Intinya dari segi persyaratan, sujud tilawah tidak berbeda dengan shalat. Dan dari segi pelaksanaan sama dengan sujud yang menjadi rukun shalat.

Sunday 6 September 2015

Hukum Meragukan Sperma Sesudah Shalat

Tanya : Kala dua hari yang lalu saya shalat seperti biasa, tetapi kemudian saya melihat di sarung yang saya pakai ada sperma yang sudah kering, setelah saya ingat-ingat saya masih ragu apakah memang sperma saya waktu tidur atau bukan. Sebab, ada juga teman di sebelah saya, bagaimana hukum shalat saya? (Salim, Kudus)

Jawab : Perlu ditelusuri terlebih dahulu siapa pemilik dari sperma yang menempel di sarung itu. Mungkin memang sperma Anda, mungkin teman tidur Anda yang spermanya menempel di sarung Anda. Sehingga Anda ragu dan mungkin benar-benar sperma orang lain. Kalau memang tidak ada yang memakai sarung dimaksud kecuali Anda dan Anda tidur sendirian sehingga tidak memungkinkan sperma orang lain menempel, maka yakinkanlah bahwa itu adalah sperma Anda.

Jika sudah ada kepastian dan benar adanya bahwa itu sperma Anda maka wajib bagi Anda untuk mandi kemudian i’adah atau mengulangi shalatnya. ini berarti shalat dua hari yang telah dilaksanakan itu tidak sah karena ternyata Anda berhadas besar.

Dalam kaidah fikih dinyatakan la‘ibrata bidzanni al bayyznu khata’uhu, tidak dianggap atau tidak sah sebuah anggapan (dzan) yang sudah jelas salahnya. Sebaliknya, kalau Anda yakin bahwa itu adalah sperma orang lain, maka Anda tidak wajib mandi atau i’adah shalat. Adapun kalau Anda tidak yakin itu sperma Anda -maka untuk kehati-hatian- Anda disunahkan untuk mandi dan i’adah shalat. (I’anah Ath-Thalibin: I, 71).

Apakah Menyentuh Istri Batalkan Wudhu, Apa Dasar Hukumnya ?

Tanya : Apakah suami jika menyentuh istrinya dapat membatalkan wudhu? Saya pernah melihat seorang suami menyentuli istrinya, lalu shalat tanpa berwudhu lebth dahulu. (Ny. Tin Farina)

Jawab : Seperti kita makiumi bersama bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas dan najis. Untuk menghilangkan hadas kecil, kita diwajibkan berwudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas besar kita diharuskan mandi.

(baca juga postingan Hal Yang Membatalkan Wudhu)

Ketika kita menanggung hadas kecil dan hendak mengerjakan shalat diharuskan berwudhu terlebih dahulu. Sebaliknya dalam keadaan suci yang perlu kita perhatikan adalah mempertahankan atau menjaga status kesucian itu dengan cara menghindari semua perkara yang dapat membatalkan wudhu. Atau hal ini secara populer dinamakan mubthilatal-wudhu atau asbab al-hadats.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu? Permasalahan ini diajukan penanya setelah dalam satu kesempatan melihat seorang lelaki menyentuh istrinya langsung shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.

Kebimbangan penanya sangat wajar sekali karena dalam banyak hal istri itu secara hukum dibedakan dari perempuan lain. Perlu kita ketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu akibat persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan secara umum.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: II, 30 menjelaskan paling tidak ada 7 pendapat dalam masalah tersebut.

Pertama, persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) dapat membatalkan wudhu baik dengan atau tanpa sengaja disertai atau tanpa sahwat.

Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Umar demikian halnya Makhul Asy-Sya’bi, Al-Nakhai dan lain-lain.

Kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Pendapat ini kebalikan dari pendapat pertama. Para pelopornya antara lain lbn Abbas, Atho, Masruq, dan Abu Hanifah termasuk beberapa tokoh yang mendukung pendapat kedua ini.

Ketiga, persentuhan tersebut membatalkan bila disertai sahwat. Dengan demikian, persentuhan itu tidak batal kalau terjadi tanpa dengan sahwat.

Keempat, membatalkan jika dilakukan dengan sengaja.

Kelima, membatalkan kalau menyentuhnya dengan anggota wudhu.

Keenam, membatalkan jika disertai sahwat walaupun terdapat penghalang yang tipis.

Ketujuh, kalau menyentuh perempuan yang halal (istri) tidak batal. (Lihat pula Al-nzan Al-Kubra: I, 120).

Dan keterangan Imam Nawawi tampak jelas bahwa menurut madzhab Syafi’i yang selama ini kita amalkan menyentuh perempuan membatalkan wudhu. Tentu saja yang dimaskud di sini adalah perempuan yang sudah cukup dewasa dalam arti sudah dapat menarik lawan jenisnya, secara tidak tergolong mahram, yakni perempuan yang haram dinikah akibat hubungan nasab, hubungan perkawinan dan susuan.

Adapun istri, karena tidak termasuk mahram, menyentuhnya tetap membatalkan wudhu.

Kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab timbul perbedaan di atas adalah ketidaksamaan dalam memakai kata lamastun pada ayat 43 surat An-Nisa’sebagai berikut:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berialu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.“ (QS. An-Nisa’: 43)

Terhadap ayat ini, sebagian ulama mengartikannya dengan “menyentuh”. Sedangkan sebagian yang lain menginterpretasikannya dengan “bersetubuh”. Keduanya dari segi bahasa memang dimungkinkan. Keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada kitab Rawa’i A1-Bayan  I, 477-490.

Dengan denkian, kalau penanya pernah melihat suami menyentuh istrinya langsung shalat ada beberapa kemungkinan untuk menjelaskannya.

Fertama, persentuhan tersebut tidak secara langsung, dalam arti terdapat penghalang antara kulit suam dan istri berupa kain, plastik, dan lain sebagainya.

Kedua, dia mengikuti madzhab yang tidak menganggap kejadian tersebut membatalkan wudhu, misalnya pendapat kedua.

Ketiga, orang tersebut lupa bahwa dia menyentuh istrinya.

Keempat, suami tersebut tidak mengetahui tindakannya dapat membatalkan wudhu.

Kalau dirasa sulit menghindari persentuhan kulit dengan istri khususnya atau perempuan pada umumnya, dapat saja kita berpindah madzhab dengan mengikuti madzhab Hanafi yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.

Sudah barang tentu mengikutinya harus secara total dalam satu qadhiyah, dalam hal in meliputi tata cara berwudhu dan hal-hal yang bersangkutan dengannya secara komplit, yang meliputi rukun, syarat, dan perkara yang membatalkan.

Rukun wudhu menurut Mazhab Hanafi ada empat, yakni membasuh muka, kedua tangan dan kaki, dan mengusap seperempat kepala. Sedangkan perkara yang membatalkan meliputi keluarnya sesuatu dari jalan depan dan belakang, hilangnya kesadaran, tertawanya orang shalat dengan terbahak-bahak, bersetubuh, mengalirnya najis seperti darah dan nanah dari badan, muntah-muntah sampai memenuhi mulut. (Khulashah Al-Kalam fi Arkan Al-Islam, 33-34).

Tabir Wanita