Friday 18 September 2015

Apakah Mencium Istri Membatalkan Puasa ?

Tanya : Selama bulan Ramadhan tepatnya di siang hari. apakah kami sebagai pasangan suami-istri tidak diperkenankan berciuman seperti biasa kami lakukan saat pergi kerja misalnya. Apakah ketika terlanjur berciuman kemudian dapat membatalkan puasa?

Jawab : Puasa itu menghindari segala hal yang membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ej*kulasi (inzal) akibat persentuhan kulit, dan bersenggama walaupun tanpa ej*kulasi.
Pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, dapat mengakibatkan ej*kulasi, dan menyeret seseorang menuju interaksi s*ksual, maka pembahasan hukumnya tidak bisa sesederhana itu lagi.

Para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam berpuasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak menimbulkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. VI, 354, Mughni Al-Muhtaj. I, 431-436). Tentu hukum ini berlaku untuk ciuman kepada istri. Selain istri, jelas hukuninya haram.

Menurut pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku atas mencium istri ketika berpuasa adalah makruh tahrim. Artinya, meskipun makruh (yang definisi dasarnya adalah tak mengapa jika dilakukan) jika dilakukan juga maka si pelaku mendapat dosa. Untuk sekedar diketahui, selain makruh tahrim terdapat juga kategori hukum makruh tanzih, di mana melakukannya tidak mengkonsekuensikan apa pun (baik dosa atau pahala). Seperti halnya haram, hal-hal yang berhukum makruh tahrim harus dihindari. Sementara pada makruh tanzih, penghindaran itu hanya bersifat anjuran.

Hukum tersebut di-istinbath-kan para ulama dari hadis riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melarang kaum muda mencium (pada saat berpuasa), dan memperbolehkan itu pada orang yang telah berusia lanjut (tua).

Mengapa Rasulullah membedakan orang tua dan pemuda? Para ulama merasionalisasi pembedaan ini dengan argumen bahwa pada usia muda seseorang sedang berada pada puncak hasrat dan kemampuan s*ksualnya. Sedangkan pada orang tua biasanya hasrat dan potensi s*ksualnya telah banyak menurun. Secara praktis, ciuman pada usia muda dikhawatirkan mengakibatkan ej*kulasi, atau menggoda pelakunya untuk menindaklanjutinya dengan interaksi s*ksual langsung karena kekurangmarnpuan orang muda untuk mengendalikan nafsu.

Dalam pengertian itu, maka batasan tua atau muda hanya merujuk pada kondisi umum saja. Jika ada pemuda yang sepenuhnya mampu mengendalikan diri atau orang tua yang masih sangat tinggi hasrat dan kemampuan s*ksualnya, maka hukum yang berlaku bagi keduanya berbanding terbalik dengan keterangan di atas. Ini karena masalah utamanya memang bukan tua atau muda, tetapi apakah tindakan itu akan mengarahkan pelakunya pada hal yang membatalkan puasa atau tidak.

Hukum ini sesuai dengan kaidah fikih “li al-wasa-il hukm al-ma qashid”, terhadap hal-hal yang mendukung atau mendorong atau menyebabkan diberlakukan hukum yang sama dengan hasil akhirnya. Ketika ditentukan bahwa interaksi s*ksual langsung dan ej*kulasi karena persentuhan kulit membatalkan puasa, maka perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada keduanya harus pula dihindari jauh-jauh.

Pelukan, genggaman, dan yang sejenisnya, dengan nalar dan pertimbangan serupa, disamakan hukumnya dengan mencium.

Tetapi hukum ini tidak serta-merta mempengaruhi sah tidaknya puasa. Jika Anda suatu saat di siang hari bulan Ramadhan mencium istri, dan tak terjadi suatu akibat atau tindak lanjut apa-apa, maka puasa Anda tetap sah, tidak batal tetapi tingkat kesempurnaannya berkurang. (Al-Majmu’ Syarh A1-Muhadzdzah VI, 355).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita