Friday 30 September 2016

Apa Sebenarnya Hukum Menonton Film Porno Menurut Fikih Islam ?

hukum menonton film bokep, hukum menonton film porno, hukum menonton bf
Tanya : Apakah hukumnya menonton film porno atau blue film (BF)? (Bu Titi, Semarang) 

Jawab : Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Teknologi sangat tergantung pada bagaimana cara menggunakannya. Selain dapat digunakan untuk kebaikan, dapat juga untuk kejelekan. Salah satu gejala yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah makin mudah akses terhadap perangkat maupun alat hiburan yang tidak layak dilihat.

Manusia oleh Allah Swt. dilengkapi dengan 3 (tiga) potensi, al-quwa al-a qliya (daya intelektual), al-quwa al-syahwiyah (nafsu, syahwat), al-quwa al-ghadhabiah (emosi). 

Karena nafsu, manusia tertarik kepada lawan jenisnya. Sifat ini adalah alamiah dan sesuai dengan kodratnya. Karenanya nafsu tidak harus dihilangkan secara total. Sebab hal itu tidak mungkin. Dan sama dengan makhluk hidup lainnya, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan di muka bumi ini. Dan ini dapat dilakukan dengan kecenderungan untuk tertarik dengan lawan jenis tersebut.

Bisa kita bayangkan kalau manusia tidak mempunyai nafsu untuk makan dan minum maupun keinginan s*ksual, niscaya sudah lama punah atau mati, dan tidak lagi berkembang biak seperti sekarang. 

Namun nafsu (s*ksual) tidak lantas boleh dipuaskan sesuka hati, apalagi dengan perilaku s*ks bebas. Sebab dampak yang diakibatkan dan s*ks menyimpang itu tidak kalah negatif. 

Untuk menghindari semua itu, Islam mengambil jalan tengah dan mengatur cara penyaluran kebutuhan biologis tersebut sedemikian rupa lewat lembaga pernikahan.

Pernikahan dianjurkan, bahkan terkadang wajib dan termasuk sunah nabi. Sebaliknya, sistem kependetaan (rahbaniyah) yang menganulir kebutuhan biologis tersebut sangat dikecam dan dilarang. Demikian pula mengumbar hawa nafsu tanpa aturan dan ikatan yang jelas (zina) juga merupakan hal yang diharamkan agama. 

Status hukum zina, semua kaum muslimin sudah maklum yaitu haram. Keharaman zina termasuk al-ma‘lum min ad-din bi adh-dharurah, suatu hal yang sangat jelas dan gamblang dalam agama.

Sehingga, bila ada yang mengingkari kenyataan ini bisa berakibat fatal. Sebab secara tidak langsung hal ini berarti mengingkari pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis atau ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. 

Hanya yang sering kurang dipahami, pengharaman zina itu tidak terbatas pada melakukan zina secara langsung, melainkan menetapkan hal-hal yang bisa menjerat atau mendorong orang ke arah perzinahan (muqaddimah az-zina). 

Menarik sekali ketika Al-Quran melarang zina. Redaksi yang dipakai, “janganlah kalian semua mendekatinya,” sebagaimana termaktul, dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al sra’: 32) 

Jadi, bukan “janganlah melakukan zina.”. Dengan demikian yang diharamkan dalam ayat tersebut bukan hanya zina, melainkan juga mendekatinya.

Pengharaman mendekati zina secara otomatis (al-mahfum bi al-aula) membawa konsekuensi pengharaman zina.

Perbuatan-perbuatan yang potensial mendekatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina, jumlahnya banyak sekali. Misalnya melihat aurat orang lain (bukan istrinya) atau berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Termasuk di dalamnya melihat sesuatu yang mer*ngsang nafsu birahinya, di antaranya film p*rno (blue film atau film biru). 

Dalam satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, sebagaimana termaktub dalam kitab Jawahir Al-Bukhari dinyatakan, melihat sesuatu yang membangkitkan gairah (an nazhar bi syahwah) dinamakan zina (zina mata) dan hukumnya haram. Menurut sebagian ulama, adanya pelarangan itu karena pandangan tersebut dapat mendorong seseorang untuk melakukan zina yang sesungguhnya.

Dalam fikih ada kaidah adz-dzarai, yang intinya adalah hukum suatu perbuatan itu terkait erat dengan akibat lanjutannya. Memang tidak selamanya melakukan perkara yang mendekati zina pasti akan berakibat pada perzinaan. Begitu pula tidak semua orang yang zina diawali dengan tindakan yang menjurus ke arah itu.

Dalam konteks ini, yang dititik beratkan adalah sikap kehati-hatian, dan langkah-langkah yang bersifat preventif atau pencegahan. Karena pada umumnya, satu kejadian itu ada proses dan tahapan-tahapan yang mendahuluinya, di samping situasi yang memang kondusif.

Begitu pula dengan zina. Dalam kenyataannya tidak secara tiba-tiba seseorang ingin melakukan tindakan asusila itu. Kebanyakan ada rangs*ngan-rangs*ngan (stimulus) yang datang dari dalam atau dari luar dirinya.

Perlu juga disadari, manusia itu bermacam-macam. Di satu pihak ada yang memiliki nafsu besar, ada pula yang sedang, dan ada pula yang kecil. Di pihak lain, ada yang mampu mengendalikan nafsunya dan ada yang justru sebaliknya. 

Yang jelas, bila nafsu sudah bergejolak dan membara, akan makin sulit dihindari. Kalau boleh diibaratkan dengan api yang membara, maka sangat sulit untuk dipadamkan. 

Karena itu, termasuk kebaikan tertinggi adalah sikap mujahadah an-nafsi, yaitu memerangi hawa nafsu. Bahkan, lebih berat daripada perang secara fisik. Sebab nafsu tidak terlihat menyatu di depan mata kita dan tidak pernah mati. Sedangkan mujahadah an-nafsi akan makin mudah bila kita tidak membangun nafsu itu sendiri.

Sebaliknya, akan makin sulit, bahkan mungkin menjadi tak terbendung lagi, jika nafsu telah demikian membara, sehingga membutakan akal pikiran dan kesadaran kita. Apalagi jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa yang kuat serta pemahaman ajaran agama secara memadai, maka kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang nantinya akan menjadi aib ini semakin menjadi-jadi.

Akibat negatif film-film p*rno, sudah sering dimuat di media rnassa. Ada anak kedil yang masih duduk di bangku SD melakukan hubungan s*ksual setelah melihat film tersebut. Itu hanya salah satu contoh kasus, dan yang lain tentunya masih banyak.

Berangkat dari semua itu, hendaknya semua pihak menaruh kepedulian terhadap merebaknya film-film yang tidak layak ini. Masing-masing pihak sesuai kemampuan, wewenang dan tugasnya hendaknya diharapkan perannya untuk menanggulangi dampak buruk dari hal tersebut. Keluarga, masyarakat, sekolah dan aparat pemerintah serta keamanan, semua berkewajiban menanggulangi dekadensi moral khususnya perzinaan, yang salah satu faktor penyebabnya adalah merebaknya p*rnografi dalam berbagai bentuk.

Apakah Ilmu Sains Itu Bid'ah Menurut Fikih Islam ?

hukum ilmu sins
Tanya : Ada orang berpendapat pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang tidak bersumber dari syariah adalah bid’ah, kekejian atau kemusyrikan. Bagaimana dengan pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang bersumber dari sains, terutama ilmu pengetahuan ? Bukankah ilmu alam dapat memantapkan keimanan manusia tentang adanya Tuhan? (Agung Widiyoutomo, Magelang)

Jawab : Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan memahami aspek-aspek apa saja yang dimuat dalam syariat, dan dengan cara bagaimana kebenaran atau pengetahuan itu didapat. 

Sumber ajaran Islam adalah wahyu yang terbuktikan dalam Al-Quran dan hadis. Ruang lingkup ajaran Islam dapat diketahui dari kedua sumber primer itu. Para pakar telah mengamati dengan seksama terhadap Al-Quran dan hadis menyimpulkan, ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa komponen. Yakni akidah (keyakinan atau kredo), ibadah dan akhlak, muamalah, jinayah, siyasah, munakahat, dan lain-lain. 

Sedangkan sumber kebenaran dari pengetahuan minimal ada 3 (tiga). Salah seorang kontemporer, Syaikh Al-Maraghi dalam tafsirnya -yang diberi nama sesuai pengarangnya Al Maraghi- menjelaskan, hidayah Allah diberikan lewat berbagai cara. Di antaranya hidayah diniyyah (petunjuk agama) yang bersumber dari wahyu. Selain itu juga ada hidayah ‘aqliyah, yakni petunjuk atau kebenaran yang diperoleh dengan akal pikiran. Ada pula hidayah inderawi lewat pancaindera.

Kalau hidayah yang pertama hanya dimiliki manusia-manusia tertentu (nabi dan rasul) yang memang telah ditunjuk dan dipilih Allah, maka hidayah kedua dan ketiga bisa dinikmati oleh semua orang yang sehat jasmani dan rohaninya. Selain itu hidayah dapat diperoleh dari mimpi, ilham, kasyf, dan lain-lain. 

Melihat ruang lingkup ajaran Islam dan bervariasinya sumber hidayah (petunjuk) tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan tidak semua hal telah dibahas secara tuntas dalam Al-Quran dan hadis, misalnya sains dan teknologi. Syariat -atau lebih tepatnya Al Quran dan hadis- sebagai sumber kebenaran adalah benar tetapi tidak satu-satunya. 

Manusia dengan akal pikirannya mampu menemukan kebenaran. Namun perlu disadari tidak semua masalah mampu dipecahkan dengan akal semata. Bagaimanapun juga kapasitas akal ada batasnya. Sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat membuktikan hal itu. Berapa banyak ilmuwan dan fiosof yang pendapatnya saling bertentangan. 

Selain itu banyak teori yang secara mapan dianut banyak orang, suatu ketika dikritik bahkan dibatalkan generasi sesudahnya. Pendapat seseorang dalam masalah yang sama sering berubah-ubah dan tidak bertentangan sesuai dengan perkembangan informasi dan kematangan intelektualnya. 

Karena itu, benarlah pendapat yang menyatakan, akal itu laksana timbangan emas. Pendapat tersebut mengisyaratkan tidak semua masalah bisa diatasi dengan bantuan alat, sebagaimana tidak semua benda dapat diketahui beratnya dengan timbangan emas.

Berangkat dari itulah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul untuk menjelaskan perkara-perkara yang sama sekali di luar akal (fauq al-’aql) atau dapat dicapai dengan akal, tetapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Padahal informasi tentang hal itu sangat urgen (penting) untuk diketahui, misalnya informasi tentang Tuhan, metafisika, akhirat dan moral.

Berangkat dari kenyataan tersebut, dalam menyikapi suatu perkara kita mesti merujuk pada tiap-tiap sumbernya. Harus diadakan pemilahan antara bidang agama dan bidang akal. Dalam masalah-masalah yang memang menjadi otoritas agama, sudah tentu harus kembali kepada sumbernya, yaitu Al-Quran dan hadis. 

Demikian halnya, jika masalah tersebut termasuk dalam wilayah akal pikiran, kita dipersilahkan mendayagunakannya semaksimal mungkin. Intinya pada bidang agama sumbernya Al-Quran dan hadis. Dalam masalah duniawi termasuk di dalamnya sains dan ilmu pengetahuan adalah akal. 

Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu sendiri.”

Jelas sekali, Rasulullah dalam masalah duniawi menyerahkan sepenuhnya kepada manusia dengan catatan tidak menyimpang dari syariat Islam. 

Berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Islam merupakan agama yang paling menghargai akal pikiran. Banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan umatnya berpikir, dan bersikap kritis serta melarang taklid. 

Demikian pula halnya dengan hadis, Islam meninggikan derajat para ulama atau ilmuwan, dan memerintahkan umatnya mencari ilmu, baik ilmu agama maupun non agama yang bermanfaat bagi kehidupan. Dalam satu hadisnya Rasulullah Saw. menyuruh mencari ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Padahal Cina saat itu terkenal dengan industrinya, bukan pusat kajian agama. 

Memang dijumpai sejumlah ayat dalam Al-Quran yang membicarakan ilmu pengetahuan, misalnya, proses terciptanya alam semesta, tahapan-tahapan perkembangan janin, berputarnya bumi pada porosnya, madu mengandung obat dan lain-lain. Namun bukan berarti Al-Quran merupakan buku ensikiopedia ilmu pengetahuan yang memuat informasi yang mendetail tentang sains. 

Al-Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia untuk menggapai keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Quran dengan menyinggung beberapa fenomena ilmiah, dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran Allah dan membuktikan Dia adalah pencipta alam semesta ini.

Bukankah setiap pencipta mengetahui proses dari karakter ciptaannya ? Lebih dari itu Al-Quran ingin menandaskan tidak ada pertentangan antara ayat Quraniyah dan ayat kauniyah, atau antara agama di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Sebab keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt.

Ilmu pengetahuan diperoleh manusia lewat pengamatan dan penyelidikan terhadap alam semesta, dengan kernampuan akal dan inderanya. Sebagai bukti, bangsa-bangsa yang maju dalam sains justru tidak pernah membaca Al-Quran dan hadis, sumber syariat.

Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran dan pengamatan indera bukanlah bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan, karena berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sekaligus dapat mempertebal iman. Sebab ada sebagian kebesaran Allah yang hanya dapat diketahui lewat ayat-ayat-Nya. Ayat-ayat (tanda-tanda) itu ada yang berupa tulisan, tetapi ada pula yang berwujud hukum-hukum alam atau sunnatullah.

Apa Hukum Jual Beli Narkoba Menurut Fikih Islam ?

hukum menjual narkoba
Tanya : Bagaimana hukum jual beli narkoba ? Soalnya ada yang berpendapat yang dilarang cuma mengkonsumsinya. (Muhyiddin, Demak) 

Jawab : Akhir-akhir ini merebak sekali kampanye tentang bahaya narkoba yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan memasang spanduk-spanduk dan iklan layanan masyarakat lewat televisi atau media cetak.

Aparat keamanan seperti diberitakan media massa, gencar melakukan penggerebekan pengedar narkoba dan menangkap pemakainya. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya narkoba, khususnya di kalangan generasi muda, pemilik masa depan dan penerus perjuangan bangsa. 

Sebelum membicarakan hukum jual beli narkoba, perlu ditegaskan terlebih dahulu narkoba sepenuhnya dilarang oleh agama (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 75-76). Hukumnya sama dengan minuman keras dalam bahasa Al-Quran disebut al-khamr. Baik narkoba maupun miras, keduanya sama-sama menghilangkan kesadaran dan membuat akal pikiran tidak berfungsi. 

Padahal akal pikiran adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dan binatang. Salah satu fungsi akal adalah pengendali moral. 

Nah, ketika akal tidak berfungsi, perbuatan menjadi lepas kontrol dan menimbulkan berbagai kesalahan. Karena itu, dalam literatur agama, miras dianggap “Ibu pelbagai keburukan/kejelekan” (ummu al-khaba‘its). Artinya, miras menjadi sumber berbagai tindakan negatif dan amoral. 

Memang, mengkonsumsi narkoba ada “manfaatnya” misalnya bisa merasakan kenikmatan saat mengalami ekstase. Karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Paling tidak menurut pikiran pelaku sendiri secara subjektif. 

Begitu juga dengan miras. Namun dibandingkan dengan kenikmatan sekejap yang dijanjikan, akibat negatif dan kerugian yang dialami jauh lebih besar secara fisik, mental intelektual dan sosial-ekonomi. Dalam Al-Quran, Allah mengakui adanya manfaat dan madharat dalam miras, pada surat Al-Baqarah :
Artinya: “Mereka bertanya tentang khamr dan judi, Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. A1-Baqarah: 219) 

Kata dosa dalam ayat diatas (al-itsm) menunjukkan adanya dampak negatif. Karena dosanya lebih besar, berarti kerugiannya lebih besar juga. Allah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu kecuali mengandung hikmah berupa jalb al-mashalih (memperoleh maslahah) atau daf’u al-mafasid (menolak mafsadah). 

Meskipun ayat tadi berbicara tenang miras/khamr, tetapi dapat diterapkan juga pada narkoba karena keduanya terdapat kesamaan, yakni madharatnya lebib besar daripada manfaatnya. 

Karena mengkonsumsi narkoba diharamkan, maka memperjualbelikannya juga dilarang (Madzahib Al-Arba‘ah. 5/39). Sebagaimana diterangkan literatur-literatur fikih, dalam masalah jual-beli terdapat persyaratan, benda yang diperjualbelikan harus bermanfaat menurut ukuran syara’ (Kifayah Al-Akhyar. I, h. 241)

Benda-benda yang diharamkan oleh agama, tidak termasuk dalam kategori bermanfaat. 

Ketentuan fikih diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Jabir ra. bahwa Rasulullah hersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung’.

Dari hadist ini, dapat disimpulkan segala sesuatu yang dilarang dikonsumsi oleh agama, tidak diperkenankan diperjualbelikan. (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 137) 

Agama menyuruh umatnya melakukan hal-hal positif dan menghindari yang tidak berguna, apalagi yang jelas-jelas merugikan. Salah satu kaidah fikih menyatakan adh-dhararu yuzal, segala hal yang negatif/membawa madharat harus dihilangkan atau dihindari. Tidak menjual narkoba termasuk perbuatan preventif sebagai upaya menghindari madharat.

Dari sisi lain, pelarangan jual-beli narkoba dapat pula dirujukkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengrjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) 

Memang, pada dasarnya manusia dalam menjalani hidupnya membutuhkan kerja sama dan tolong menolong. Tetapi kerjasama itu tidak boleh dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menjual narkoba pada orang lain dapat dimaknai sebagai sikap bekerjasama dengan orang itu dan membantunya melakukan dosa, seperti mengkonsumsi narkoba. Intinya, seperti kita dilarang melakukan dosa, dilarang pula membantu dalam bentuk apapun kepada orang lain untuk melakukan dosa itu.

Dengan kata lain, membantu orang lain melakukan dosa adalah dosa juga. (al-i’anah ‘ala al-itsm itsm) 

Dengan demikian, pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan, “tidak apa-apa menjual narkoba asal tidak mengkonsumsi”, sama sekali tidak dibenarkan, begitu juga dengan minuman keras dan sejenisnya, yang meliputi semua produk atau barang yang dilarang oleh agama. 

Keharaman jual-beli narkoba membawa koksekuensi tidak halal keuntungan yang diperoleh darinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat dan Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah itu kalau mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula tsaman-ny.” (Madzahib Al-A rba‘ah, V, h. 41) 

Tsaman adalah sesuatu yang ditukar dengan benda yang dijual, berupa uang atau barang. Cuma sayang, orang sekarang cenderung tidak peduli apakah yang dimakan itu halal atau tidak. 

Dalam upaya memberantas narkoba, terdapat pertanyaan yang mendasar, sebenarnya orang menjual narkoba banyak yang membutuhkan/konsumen, ataukah konsumen itu banyak karena peredaran merebak ?. 

Saya kira keduanya bisa sama-sama benar. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan dua jalur, yakni mengurangi konsumen dan membatasi peredaran secara simultan. Karena itu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari semua pihak.

Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Seperti itulah kondisi rumah yang penuh berkah, cinta, dan kasih sayang. Khadijah tidak pernah berhenti berusaha memberikan kebahagiaan bagi Rasulullah saw. Hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. pulang ke rumah, sang istri yang sangat penyayang itu menyampaikan kabar gembira yang luar biasa. Khadijah memberi tahu beliau bahwa dia mengandung. Hati Rasulullah saw. bergetar karena kegembiraan yang luar biasa ketika mendengar kabar gembira tersebut. 


Khadijah pun sangat merasakan kegembiraan dan keceriaan yang sangat karena dia merasakan dan mengetahui betul bahwa sang suami memang sangat berharap Allah akan memberinya keturunan. Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Khadijah melahirkan putra pertama Rasulullah saw. yang diberi nama Al-Qasim. Dengan nama inilah Rasulullah saw. kemudian digelari (Abul Qasim). 

Setelah itu, Khadijah juga dianugerahi oleh Allah beberapa putri, yairu Zainah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Semuanya lahir sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi. Setelah beliau menjadi Nabi, Khadijah melahirkan seorang anak lagi, yaitu Abdullah, yang juga dinamakan dengan At-Thayyib Ath-Thahir (anak yang baik dan suci). 

Ibnu Abbas pernah memaparkan nama putra-putri Rasulullah saw. dan Khadijah ra. Dia berkata, “Khadijah telah melahirkan untuk Rasulullah saw. dua orang putra dan empat orang putri, yaitu Al-Qasim, Abdullah, Fatimah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Ruqayyah. Adapun Ibrahim adalah anak yang diperoleh Rasulullah dari Maria Al- Qibthiyya ra. Namun, seluruh putra beliau meninggal dunia ketika mereka masih kecil. Semua putri beliau sempat merasakan periode Islam, dan mereka pun masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah. 

Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan Utsman bin Affan ra. (Utsman tidak menikahinya secara bersamaan), sementara Zainab menikah dengan Abul Ash bin Ar-Rabi’ bin Abd Syams, sedangkan Fatimah menikah dengan Ali bin Abu Thalib ra. 

Semua putrinya meninggal dunia pada saat Rasulullah saw masih hidup, kecuali Fatimah yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat. 

Khadijah ra. adalah istri yang sangat ideal. Dia tahu betul bagaimana membahagiakan suaminya dan anak-anaknya. Semakin lama mendampingi Rasulullah saw., dia semakin mencintai beliau dan terkagum-kagum oleh sosok hamba yang zuhud, yang hatinya selalu terikat dengan Allah swt. 

Dari rumah yang penuh berkah ini hadir Fatimah yang di kenuidian hari akan banyak melakukan pengorbanan. Dialah pemimpin para wanita penghuni surga. Ibunda Hasan dan Husain; dua pemimpin para pemuda ahli surga, dan istri dari salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah. Sebuah rumah yang penuh berkah yang menyebarkan keberkahan dan keimanan ke seluruh penjuru alam. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Pada sebuah kesempatn yang dipenuhi oleh cahaya ilahi, Rasulullah saw, berbincang-bincang dengan Khadijah ra. Suara beliau begitu lembut menyentuh hatinya. Pembicaraan beliau yang penuh dengan hikmah memenuhi jiwa Khadijah dengan kebahagiaan yang luar biasa hingga seolah-olah dia terbang oleh kebahagiaan yang merasuk ke dalam jiwanya itu. 


Tiba-tiba salah seorang pembantu Khadijah datang dan berkata, “Halimah bin Abdullah bin Al-Harits As-Sa’diyah datang bertamu.” 

Ketika Rasulullah saw. mendengar nama Halimah As-Sa’diyah, hatinya berdebar penuh kerinduan. Terbayang oleh beliau berbagai kenangan ketika beliau tinggal di tengah-tengah kaum Bani Sa’d dan memperoleh kasih sayang dan air susu ibu di sana. Kenangan masa kecilnya yang tumbuh besar dalam pelukan dan pemeliharaan Halimah. Sebuah kenangan yang sangat indah dan sulit dilupakan. 

Khadijah serta-merta berdiri untuk menyambut Halimah ra. dan mempersilakannya untuk masuk. Setiap kali Rasulullah saw. bercerita kepada Khadijah tentang Halimah, tersirat rasa sayang yang amat dalam. Ketika Rasulullah saw. melihat sosok Halimah, Khadijah mendengar suara lembut Rasulullah saw memanggil, “Ibu... Ibu...” dengan penuh kasih sayang. 

Lalu, Khadijah melihat Rasulullah saw. mengembangkan kainnya untuk sang ibu yang telah menyusuinya. Beliau lalu meraih tangan Halimah dengan penuh kelembutan. Di wajah beliau tampak kehahagiaan yang luar biasa. Matanya berbinar-binar. seolah-olah beliau sedang berada dalam dekapan ibunya, Aminah binti Wahab. 

Dalam pertemuan yang penuh kehangatan antara Rasulullah saw. dan Halimah, beliau bertanya tentang keadaannya. Halimah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang kesulitan hidup yang dialaminya dan kekeringan yang menimpa kaum Bani Sa’d sehingga mereka saat ini hidup dalam kemiskinan dan kesempitan hidup yang luar biasa. Rasulullah saw. pun berjanji akan menolongnya. 

Kemudian, Rasulullah saw. menceritakan kepada Khadijah apa yang dialami oleh Ibu yang menyusuinya itu dan kaumnya. Khadijah pun langsung terenyuh mendengarnya dan serta-merta memberikan bantuan kepadanya berupa 40 ekor kambing. Khadijah juga memberinya seekor unta pembawa air minum dan membekalinya dengan perbekalan yang cukup untuk kembali ke perkampungannya. 

Khadijah memang selalu berusaha untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan hartanya dalam rangka meraih ridha suaminya Muhammad saw. Beliau pun sangat berterimakasih kepada Khadijah. Lalu berbagai pemberian Khadijah itu pun diserahkan oleh Rasuhillah saw. kepada Halimah, Ibu yang telah menyusui beliau.

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Thursday 29 September 2016

Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Kebahagiaan serta-merta melingkupi rumah Khadijah ra. Sang wanita suci telah menemukan pada diri sosok tepercaya, Muhammad saw., pernikahan yang terbaik. Beliau adalah pribadi yang lembut. Kasih sayangnya meliputi semua orang, seluruh makhluk hidup, bahkan segala sesuatu. 

Akhlak Muhammad saw., yang bersumber dari fitrahnya begitu sempurna dan seimbang. Kesabarannya selaras dengan keberaniannya, sementara keberaniannya selaras dengan kedermawanannya. Kedermawanannya seperti kemurahan hatinya. Kemurahan hatinya sejalan dengan kasih sayangnya. kasih sayangnya seimbang dengan keperwiraannya dan berbagi, sifat yang dimilikinya adalah sifat yang paling utama. 


Di antara bentuk kebaikan hati Muhammad saw., adalah beliau tidak pernah melupakan sosok wanita agung yang telah berperan sebagai ibunya setelah kepergian ibu kandungnya, yaitu Ummu Aiman ra. Beliau mengajaknya serta untuk tinggal bersama di rumah tempat beliau tinggal bersama Khadijah. Beliau begitu memuliakan dan mengasihinya. Di samping itu, beliau juga amat menyayangi putra dan putri Khadijah ra. sepenuh hati. 

Anak-anak Khadijah lebih memilih tinggal bersama ibu mereka setelah Khadijah menikah dengan beliau. Bahkan, para budak di rumah itu sangat senang dapat tumbuh besar dalam peliharaan orang yang memiliki kepribadian paling baik. Rasulullah saw. sangat menyayangi salah seorang budak bernama Zaid bin Haritsah dengan kasih sayang yang tidak pernah didapatnya dari orang lain sebelumnya. 

Melihat hal itu, Khadijah lalu menyerahkan Zaid kepada beliau dan langsung dimerdekakannya. Tidak berhenti sampai di situ, setelah memberinya kebebasan, Rasulullah saw. juga memuliakannya dengan menasahkannya kepada dirinya sehingga Zaid sempat dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. 

Cinta Khadijah terhadap suaminya Muhammad saw. begitu besar. Cinta yang dihiasi dengan keluhuran budi dan akhlak. Seiring perjalanan waktu, Khadijah semakin yakin bahwa lelaki pilihannya ini adalah manusia yang paling tepat untuk mengemban Risalah Ilahiyah, lalu bangkit bersama umatnya. 

Khadijah selalu berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi Rasulullah saw. Jika beliau memberi isyarat sesuatu, Khadijah akan menjawab isyarat itu dengan sepenuh hati dan kerelaan jiwa, serta tangan terbuka. Dia tidak pernah pelit dalam memberikan hartanya, seperti hatinya tidak pernah sungkan memberikan cinta dan kasih sayangnya. Tidak hanya kepada sang suami, tapi juga kepada setiap orang yang disayangi oleh suaminya. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas dan gembira.

Kelanjutan biografi Khadijah bisa dibaca pada artikel berjudul : Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.).

Inilah “Al-Amin” (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. memang telah mengetaui akhlak Nabi saw. dengan baik dan banyak mendengar tentang kemuliaan dan keutamaan beliau yang begitu menyenangkan hati setiap orang yang mengenal beliau. Akan tetapi, dia juga tahu posisi Nabi saw. di tengah-tengah kaumnya yang pernah menjuluki beliau dengan julukan “Al-Ainin”. Bahkan, mereka seringkali meminta bantuan beliau untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di antara mereka.


Seperti yang terjadi ketika suku Quraisy membangun kembali Ka’bah A1-Musyarrafah (yang mulia). Hampir saja bangunan Ka’bah hilang. Sebuah riwayat mengatakan bahwa penyebabnya adalah banjir bandang yang terjadi lima tahun sebelum diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi, dan ini adalah pendapat yang paling kuat. Maka tidak ada jalan lain bagi suku Quraisy selain harus membangun kembali Ka’bah. 

Cukup banyak hadits shahih yang menceritakan peristiwa tersebut. Imam Al-Bukhari ra. meriwayatkan dari Aisyah ra. hahwa sesungguhnya, Rasulullah saw pernah bercerita kepadanya, “Tahukah engkau ketika kaummu membangun kembali Ka’bah, mereka mengabaikan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” Maka aku bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya pada fondasi Nabi Ibrahim saw?” J awab beliau, “Kalau bukan karena kaummu melakukannya karena kekafiran mereka, aku pasti sudah melakukannya.” 

Lalu Abdullah ra. berkata, Meski Aisyah ra. mendengar hal itu dari Rasulullah saw, aku tidak melihat bahwa Rasulullah saw. membiarkan penyerahan dua tiang di samping tempat peletakkan Hajar Aswad, kecuali kalau ternyata Baitullah (Ka’bah) tidak diselesaikan sesuai dengan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” 

Dalam upaya membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mensyaratkan agar biaya pembangunannya harus berasal dari sumber yang baik dan tidak boleh dicampuri oleh dana-dana yang haram dan tidak jelas seperti hasil rampokan, riba, atau menzalimi seseorang. 

Ibnu Ishaq menceritakan, “Kemudian, seluruh kabilah Quraisy pun bergotong-royong mengumpulkan batu untuk pembangunan Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri, kemudian mereka langsung membangunnya. 

Ketika pembangunan sampai ke bagian sudut bangunan, terjadi perselisihan di antara mereka. Setiap kabilah menginginkan agar sudut tempat peletakkan Hajar Aswad itu berada di bagian yang mereka bangun. Situasi pun sempat memanas sampai-sampai mereka telah bersiap-siap untuk berperang. 

Kabilah Bani Abdud-Dar sempat membawa semangkuk besar berisi darah, lalu mereka bersepakat dengan Bani Adi bin Ka’ab bin Lu’ay untuk berperang sampai mati. Maka, mereka memasukkan tangan ke dalam mangkuk yang berisi darah tersebut. Peristiwa itu disebut dengan ‘Jilatan Darah’. Ketegangan tersebut berlangsung selama empat sampai lima hari, hingga kemudian mereka mengadakan musyawarah di masjid. 

Seseorang dari mereka berseru, “Wahai bangsa Quraisy, buatlah sebuah kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan di antara kalian bahwa yang paling pertama masuk masjid besok adalah orang yang berhak memutuskan perkara ini.” 

Mereka pun menyepakati hal itu. Ternyata orang yang pertama masuk masjid adalah Rasulullah saw. Ketika mereka melihatnya, mereka lantas berseru, “Itu adalah Muhammad, dia orang yang tepercaya. Kami rela kalau dia yang memutuskan perkara ini.” 

Ketika semua telah sama-sama sepakat dan menyampaikan hal itu kepada Muhammad saw., beliau lalu berkata, “Beri aku selembar kain.” Maka, diberikanlah kepadanya selembar kain. Beliau lalu mengambil bagian sudut Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya di atas kain itu, kemudian berkata, “Setiap kabilah agar memegang ujung kain ini, lalu angkatlah bersama-sama.” 

Mereka pun mengangkat kain tersebut besama-sama ke tempat peletakkan bagian sudut itu. Setelah itu, Rasulullah saw. mengambil batu itu dari kain dan meletakkannya di tempat yang seharusnya dengan tangannya sendiri. Lalu, dibangunlah sudut Hajar Aswad di atas batu itu. 

Biografi selanjutnya bisa divaca pada artikel berjudul : Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.).

Kebijaksanaan Dan Kecerdasan Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Tidak ada bukti yang paling tepat untuk menggambarkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Khadijah selain pilihannya yang dijatuhkan kepada Muhammad saw. untuk menjadi suaminya meski beliau pada saat itu adalah orang miskin, sementara Khadijah sendiri adalah wanita yang kaya raya dan sangat didambakan oleh para bangsawan Quraisy. Hal itu terjadi tidak lain karena dengan kebijaksanaan dan kecerdasan akalnya. Dia dapat mengetahui bahwa kesempurnaan seorang laki-laki, kemuliaan akhlak, lurusnya tabiat merupakan hal yang jauh lebih penting dari sekadar kekayaan materi dan kebangsawanan.


Sesungguhnya, dia mencari bentuk lain dari kekayaan dan kebangsawanan, yaitu kekayaan jiwa, kebangsawanan hati, dan kemuliaan akhlak. Pada diri siapa dia akan menemukan kesempurnaan seperti itu selain pada diri Muhammad saw. 

Beberapa penulis sejarah menyebutkan bahwa motif Khadijah menikahi beliau adalah karena melihat kehebatan beliau dalam berdagang dan kejujuran serta sifat amanahnya dalam bidang tersebut. Namun menurut kami, meski hal tersebut merupakan salah satu hal yang membuat Khadijah menyukai beliau, apalagi dia adalah seorang pedagang besar dan membutuhkan seseorang yang dapat menjalankan perdagangannya, itu hanyalah motif yang tampak di permukaan yang dapat dijadikan alasan mengapa Khadijah memilih menikah dengan Muhammad saw. yang umurnya jauh lebih muda darinya. Waktu itu Khadijah ra. lebih tua lima belas tahun dari beliau. Dia berumur empat puluh tahun, sedangkan Muhammad saw. berumur dua puluh lima tahun. 

Meski Muhammad saw. hanya memiliki sedikit harta dan tidak memiliki jabatan dan kedudukan apa pun di masyarakat, Khadijah menganggap bahwa kejujuran, sifat amanah, dan kehebatannya berdagang, serta garis keturunannya yang baik telah cukup menjadi alasan untuk menikahi Muhammad saw. di hadapan kaumnya. 

Tàpi kami mencoba untuk meneliti motif sesungguhnya, dari pernikahan wanita mulia ini dengan Muhammad saw. padahal dia waktu itu telah berumur empat puluh, usia yang sangat matang bagi seorang wanita. Dia bukanlah seorang gadis yang labil, bukan juga orang tua yang pikun. 

Begitu juga halnya dengan Muhammad saw. Beliau mungkin tidak akan bersedia menikahi Khadijah kalau hanya melihat kekaynan atau kecantikannya, tanpa melihat kebijaksanaan dan kecerdasannya. Apalagi Khadijah itu di mata kaumnya terkenal dengan kepribadian yang mulia, tingkah laku yang terpuji, kehormatan yang terjaga, dan keturunan yang baik juga. Dengan demikian, bertemulah keinginan Khadijah dengan keinginan Muhammad saw. 

Sungguh tepat perkiraan beliau tentang Khadijah ra. karena dia memang seorang istri yang sangat baik dan bijaksana. Kecerdasan dan kebijaksanaannya itu telah membuatnya mengimani apa yang dibawa oleh beliau dan mengikuti setiap perilakunya dalam hal keimanan dan ketaatan. 

Suatu hari, Rasulullah saw. pulang ke rumah Khadijah ra., dan Malaikat Jibril baru saja mengajarinya tata cara shalat. Beliau pun memberitahu Khadijah ra. tentang hal itu. Serta-merta Khadijah berkata, “Perlihatkan kepadaku sebagaimana dia memperlihatkan kepada engkau!” 

Maksudnya, ajarkan aku apa yang diajarkan Jibril tentang tata cara shalat. 

Rasulullah saw. pun memperlihatkannya kepada Khadijah dan mengajarkannya. Maka dia pun berwudhu sebagaimana wudhunya Rasulullah saw., lalu melaksanakan shalat bersama beliau. Lalu dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullab saw.” 

Biografi Khadijah selanjutnya bisa dibaca dalam artikel berjudul : Inilah “Al-Amin”  (Biografi Khadijah ra.)

Tabir Wanita