Wednesday 2 September 2015

Hal-hal Yang Dilarang Karena Mempunyai Hadas

A. Hal-hal yang dilarang karena hadas kecil 

1. Mengerjakan salat, baik salat fardu ataupun salat sunat. Begitu juga sujud tilawah, sujud syukur, dan khotbah jumat. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Allah tidak menerima salat salah seorang kamu apabila ia berhadas, hingga ía berwudu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

2. Tawaf; baik tawaf fardu ataupun tawaf sunat.

Sabda RasuluNah Saw.:
“Tawaf itu salat. Hanya, Allah Swt. halalkan sewaktu tawaf bercakap-cakap. Maka barang siapa berkata-kata, hendaklah ia tidak berkata melainkan dengan perkataan yang baik.” (RIWAYAT HAKIM)

3. Menyentuh, membawa, atau mengangkat Muhaf (Qur’an) kecuali jika dalam keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak, jangan terbakar atau tenggelam. Dalam keadaan demikian mengambil Qur’an menjadi wajib, untuk menjaga kehormatannya.
Sabda Rasutullah Saw.: 

“Dari Abu Bakri bin Muhammad. Sesungguhnya Nabi besar Saw telah berkirim surat kepada penduduk Yaman. Dalam surat itu beliau menyebutkan kalimat: “Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang suci.” (RIWAYAT DARUQUTNI)

Sebagian utama berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi orang yang berhadas kecil untuk menyentuh Qur’an, sebab tidak ada dalil yang kuat, sedangkan hadis di atas tidak sah menurut penyelidikan mereka, atau makna tahir dalam hadis tersebut mereka tafsirkan dengan suci dari hadas besar, begitu juga ayat Qur’an yang serupa itu, mereka takwilkan.

B. Hal-hal yang dilarang karena hadas junub
1. Salat, baik salat fardu ataupun salat sunat.
2. Tawaf, baik tawaf fardu ataupun tawaf sunat.
3. Menyentuh, membawa, atau mengangkat Mushaf (Qur’an).
Keterangan ketiga larangan ini ialah beberapa hadis yang telah tercantum dalam larangan hadas kecil. 

4. Membaca AI-Qur’an. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Tidak boleh bagi orang junub dan orang haid membaca sesuatu dari Al-Qur’an.” (RIWAYAT TIRMIZI, ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH)

Adapun membaca zikir-zikir yang tersebut dalam Al-Qur’an diperbolehkan, asal tidak berniat untuk membaca Al-Qur’an.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang junub tidak dilarang (tidak haram) membaca Al-Qur’an, sebab tidak ada dalil yang kuat, sedangkan hadis tersebut menurut penyelidikan mereka tidak sah. 

5. Berhenti dalam masjid. 

Firman Allah Swt.:
“Hal orang-orang yang beniman, janganlah kamu salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan; (jangan pula hampiri masjid), sedangkan kamu dalarn keadaanjunub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (AN-NISA: 43)

Yang dimaksud dengan salat dalam ayat itu ialah termpat salat yang dengan qarinah abiri sabil, karena yang dapat dilalui hanya tempat salat itu.

Yang diperbolehkan dalam ayat tersebut hanya melalui ternpat salat. Yang dimaksud dengan tempat salat dalam ayat ini ialah masjid. Jadi, berhenti atau duduk dalam masjid tidak diperbolehkan. 

Sabda Rosulullah SAW.
 “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid, dan tidak pula bagi orang yang sedang junub.”(RIWAYAT ABU DAWUD)

C. Hal-hal yang dilarang karena hadas, haid, atau nifas. 

Jenis Darah Yang Keluar Dari Rahim Perempuan Menurut Fiqih Islam

Karena beberapa hukum yang penting bersangkut-paut dengan beberapa macam darah yang keluar dari rahim perempuan, maka disini perlu diterangkan satu-persatu agar dapat diketahui perbedaannya. Dengan perbedaan itu dapatlah disesuaikan hukum yang bersangkutan dengan keadaan masing-masing. 

1. Darah haid (kotoran)
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah sampai umur (balig) dengan tidak ada penyebabnya, melainkan memang sudah menjadi kebiasaan perempuan. Sekecil-kecilnya perempuan, mulai haid umur sembilan tahun. Biasanya pada perempuan yang telah berumur 60 tahun ke atas haid itu akan berhenti dengan sendirinya. Lamanya haid paling sedikit sehari semalam, paling lama 15 hari 15 malam. Kebiasaannya enam hari enam malam atau tujuh hari tujuh malam. Suci antara dua haid paling sedikit 15 hari 15 malam, sebanyak-banyaknya tidak ada batas karena ada sebagian perempuan yang hanya satu kali haid selama hidupnya. Menurut pemeniksaan ulama-ulama masa dahulu, hal ini dinamakan “istisqa.” 

2. Darah nifas
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan sesudah ia melahirkan anak. Masa nifas sedikitnya sekejap, kebiasaannya (kebanyakan perempuan) keluar darah nifas selama 40 hari, dan selama-lamanya 60 hari.

3. Darah penyakit
Yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan karena sesuatu penyakit bukan di waktu haid atau nifas. Perempuan yang sedang berdarah penyakit itu wajib salat, dan tetap pula mengerjakan ibadat yang lain, sebagaimana yang diwajibkan bagi orang berpenyakit lainnya. Maka dari itu hendaklah ia dapat membedakan darah penyakit dengan darah haid, sebab kalau darah itu darah haid, ia tidak boleh salat atau berpuasa serta mengerjakan ibadat lain. Tetapi kalau darah itu darah penyakit wajiblah ia salat dan mengerjakan ibadat lain. Maka perempuan yang berdarah periyakit hendaklah mengerjakan sebagal berikut: 

a. Kalau ia dapat membedakan antara dua jenis darah itu dengan sifat-sifat darah, hendaklah ia jalankan kewajibannya menurut keadaan sifat-sifat itu. Berarti kalau kelihatan sifat darah haid, hendaklah ia berhenti salat. Sebaliknya jika kelihatan sifat-sifat darah penyakit, hendaklah ia mengerjakan salat dan ibadat lain.
“Dan Aisyah. Sesungguhnya Fatimah binti Abi Hubaisy telah berdarah penyakit. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Sesungguhnya darah haid itu berwarna hitam, dikenal oleh kaum perempuan. Maka apabila ada darah semacam itu, hendaklah engkau tinggalkan salat; apabila keadaan darah tidak seperti itu, hendaklah engkau berwudu dan salat (RIWAYAT ABU DAWUD DAN NASAI) 

b. Kalau darah haidnya keluar sebelum ia mengeluarkan darah penyakit tetap waktunya, umpamanya selalu diawal bulan atau diakhir bulan, maka hendaklah ia mempergunakan ketentuan itu. Artinya, waktu haidnya yang dahulu itu ditetapkan pula sekarang menjadi waktu haid yang biasa. Ia tidak boleh salat selain pada waktu yang dipandang sebagai waktu suci. Selama waktu yang demikian itu Ia wajib salat, puasa, dan mengerjakan ibadat wajib lainnya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Aisyah, bahwa Ummu Habibah binti Jahsy telah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hukum darah. Beliau berkata kepada Ummu Habibah, “Diamlah engkau selama masa haidmu yang biasa kemudian hendaklah engkau mandi dan berwudu untuk tiap-tiap salat.”RIWAYAT BUKHAR1 DAN MUSLIM) 

c. Kalau ia tidak dapat membedakan darah haid dan darah penyakit dari waktu haidnya yang biasa tidak menurut waktu yang tertentu, atau ia lupa waktunya, hendaknya masa haidnya dijadikannya sebagai kebiasaan kebanyakan perempuan dalam hal yang semacam itu (yaitu enam atau tujuh hari). Hendaklah ia meninggalkan salat dan ibadat yang lain dalam masa tujuh atau enam hari tiap-tiap bulan. Selain dari waktu yang ditentukan itu dirinya dipandang suci, maka ia wajib salat dan melakukan ibadat yang lain selama 23 atau 24 hari tiap-tiap bulan. 

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Hamnah binti Jahsy. Ia berkata, “Saya pernah haid yang sangat banyak (lama), maka saya datang kepada Nabi Saw. untuk menanyakannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya itu tipu daya (godaan) dari setan. Oleh karenanya jadikanlah haidmu enam atau tujuh hari, sesudah itu hendaklah engkau mandi. Apabila telah cukup bilangan hari haidmu (yaitu enam atau tujuh hari), hendaklah engkau salat 24 atau 23 hari, lalu puasa dan salatlah. Sesungguhnya yang demikian sah untukmu, dan juga hendaklah engkau lakukan tiap-tiap bulan sebagaimana haid perempuan yang lain’” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM).

Syarat-Syarat Dan Rukun Dalam Wudhu

Perintah wajib wudu bersamaan dengan perintah wajib salat lima waktu, yaitu satu tahun setengah sebelum tahun Hijriah.
Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (AL-MA’IDAH: 6)

Syarat-syarat Wudu
  1. Islam.
  2. Mumayiz, karena wudu itu merupakan ibadat yang wajib diniati, sedangkan orang yang tidak beragama Islam dan orang yang belum mumayiz tidak diberi hak untuk berniat.
  3. Tidak berhadas besar.
  4. Dengan air yang suci dan menyucikan.
  5. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit, seperti getah dan sebagainya yang melekat di atas kulit anggota wudu. 

1. Niat. Hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas atau menyengaja berwudu.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Yang dimaksud dengan nat menurut syara yaitu kehendak sengaja melakukan pekerjaan atau amal karena tunduk kepada hukum Allah SM. Firman Allah Swt.: 

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (AL-BAYYINAH: 5)

2. Membasuh muka, berdasarkan ayat di atas (Al-Ma’idah: 6). Batas muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu sebelah bawah; lintangnya, dari telinga ke telinga; seluruh bagian muka yang tersebut tadi wajib dibasuh, tidak boleh tertinggal sedikit pun, bahkan wajib dilebihkan sedikit agar kita yakin terbasuh semuanya. Menurut kaidah ahli fiqh,”Sesuatu yang hanya dengan dia dapat disempurnakan yang wajib, maka hukumnya juga wajib.” 

3. Membasuh dua tangan sampai ke siku. Maksudnya, siku juga wajib dibasuh. Keterangannya pun adalah ayat tersebut di atas. (Al-Ma’idah: 6) 

4. Menyapu sebagian kepala, walaupun hanya sebagian kecil, sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun, baik yang disapu itu kulit kepala ataupun rambut. Alasannya juga ayat tersebut.

5. Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata kaki. Maksudnya, dua mata kaki wajib juga dibasuh. Keterangannya juga ayat tersebut di atas. 

6. Menertibkan rukun-rukun di atas. Selain dari niat dan membasuh muka, keduanya wajib dilakukan bersama-sama dan didahulukan dari yang lain.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Mulailah pekerjaanrnu dengan apa yang dimulai oleh Allah Swt.” (RIWAYAT NASAI).

Tuesday 1 September 2015

Biografi Al-Farghani (Pelopor Peradaban Islam)



(WAFAT SETELAH 247 H /861 M) 

Abu’AI-Abbas ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Kathir al-Farghani, dikenal di dunia Barat sebagai Alfraganus, lahir di Farghana dan tinggal di Baghdad pada masa kepemimpinan al-Mamun. Ia adalah salah seorang ahli astronomi terpilih yang bekerja dalam melayani al-Mamun dan pendampingya. Sarton mengatakan tentang dia bahwa “ia masih aktif sampai tahun 861 M.” AI-Farghani adalah seorang yang satu masa dengan al-Khawarizmi, Bani Musa, dan Sanad Ibnu Ali.

Kontribusi Ilmiahnya

AI-Afghani adalah seorang ahli astronomi, astrologi, dan insinyur. Ia menentukan diameter bumi sebesar 6.500 mil, dan menemukan diameter planet

Aldo Milli berkata: “Pengukuran Al-Farghani tentang jarak planet dan diameter banyak digunakan para ahli astronomi yang disebut Copernicus, yang hampir seluruhnya tanpa mengalami perubahan. Kemudian, ahli astronomi Muslim ini mempunyai pengaruh yang sangat besar atas pembangunan kembali ilmu astronomi di Eropa. Pada tahun 861, pemimpin al-Mutawakkil, memercayainya untuk mengawasi pembangunan Nilometer di al-Fustat. Ia mengawasinya sampai selesai dan namanya telah diabadikan atas karyanya ini.

Karya-karya Besarnya

-    AI-Farghani meninggalkan sebuah buku yang penuh nilai, yaitu: Kitab Jawami ilm al-Nujum Wal Harakat al-Samawiya, adalah sebuah buku tentang ilmu perbintangan dan gerakan yang berhubungan dengan angkasa, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh Gerard Cremona. Buku ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yahudi. Buku ini mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap ilmu astronomi bangsa Eropa pada periode sebelum Regiomontanus, ahli astro-matematika yang tumbuh subur pada abad ke-15. Terjemahan buku ini telah diperbaiki dan diterbitkan beberapa kali selama abad ke-1, 5 dan 16.
-    Fi aI-Usturlab (berhubungan dengan Astrolabe) dan Al-Jama’ wa Tafrik (Penjumlahan dan Pembagian).

Ibnu Rabban Al-Tabrani (Pelopor Peradaban Islam)


(WAFAT 247H/861 M) 

Abu al-Hasan Ali lbnu Sahi Rabban al-Tabari lahir di Marv, Tabristan tahun 780 atau 770 M. Menurut Aldo Milli dan lbnu Khalkan, Ia diterima dari sebuah keluarga Kristen Persia. Kemudian, Ia masuk Islam dibimbing oleh AI-Mua’tassim. Dalam kata-kata Mohamad Zubair Siddiki, penulis catatan tentang risalah “al Firdous aI-Hikmat” : “ini adalah catatan risalah yang mengantarkannya kepada Islam dan mengantarkannyya melayani pemberi perintah terhadap orang yang percaya. Keahliannya mengantarkan dirinya mendapatkan kepercayaan dari pimpinan yang mengangkatnya menjadi seorang anggota pengadilannya.

Mengenai nama keluarga Rabban yang menyatakan secara tidak langsung merupakan istilah “profesor” menurut Aldo Milli berkata:”nama keluarga Siryac Rabban digunakan kebanyakan orang Kristen seperti sebuah persamaan untuk kata profesor yang kita gunakan.”

Ayahnya Sahi adalah seorang sarjana yang pintar dalam bidang obat-obatan, ilmu geometri, ilmu astrologi, ilmu matematika, dan ilmu filsafat. Menurut laporan, Ia adalah orang pertama yang berhasil dalam menerjemahkan buku Ptolomeus yaltu Almajest. Ali mendapatkan pendidikannya dalam disiplin ilmu obat-obatan, ilmu geometri, dan ilmu filsafat dari ayahnya. Ia juga ahli bahasa Syria dan Yunani. Setelah kematian ayahnya, dia mendalami bidang ilmu obat-obatan dan menjadi seorang dokter yang terkenal. Ia melakukan praktik obat-obatan pada awalnya di kota Array kemudian pindah ke Baghdad. Akhirnya, dia menetap di “suraman raa” (Samaraa), di mana dia menjadi sekretaris pemimpin, al-Muatassim, al-Quatik dan al-Mutawakil.

Kontribusi Ilmiahnya terhadap Ilmu Kedokteran

Kontribusi keilmuan yang utama dari Ali Ibnu Rabban terdapat dalam pengelompokannya tentang beberapa topik ilmu kedokteran yang ia geluti secara mendalam dalam risalahnya Firdous aI-Hikmat, termasuk prinsip-prinsip umum obat-obatan dan aturan untuk menjaga kesehatan yang baik, perhitungan secara menyeluruh tentang penyakit khusus yang berhubungan otot; penjelasa1 tentang diet untuk mempertahankan kesehatan yang baik. Di samping itu, Ia mendiskusikan semua penyakitdalam bukunya yang Iengkap mulai dan kepala sampai jan kaki, yang disebut penyakit kepala dan otak; mata, hidung, telinga, mulut, dan penyakit gigi; penyakit otot: penyakit dada dan paru-paru; penyakit sekitar perut; penyakit liver; penyakit kandung kemih empedu dan limpa, penyakit usus, dan mengenai perbedaan jenis-jenis penyakit demam. Dia juga menjelaskan selera, rasa, dan warna obat-obatan penangkal racun.

Karya-karya Besarnya

Ali lbnu Rabban meninggalkan beberapa buku ilmu kedokteran, buku-buku yang diketahui antara lain:
  • Risalah Firdous aI-Hikmat (850 M) adalah sebuah buku ensiklopedia ilmu kedokteran yang menggabungkan semua bagian ilmu kedokteran, sebagai tambahan untuk mempelajari ilmu filsafat, ilmu psikologi, ilmu zoologi, ilmu astronomi, fenomena mateorologi. Al-Tabari menulis Firdous aI-Hikmat dalam bahasa Arab dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Syria. Beberapa salinan buku ini diterbitkan di beberapa negara. Dr. Mohammed Zubair Siddiqi menguji dan membuat keterangan naskah. Buku ini diterbitkan di India tahun 1928. Buku ini juga diterbitkan oleh Institut Arab dan Ilmu-ilmu Islam di Universitas Frankfurt tahun 1996.
  • Kitab Tuhfatu al-mulouk, Hifdh aI-Sehhat (Buku tentang menjaga kesehatan dengan baik) dan Kitab fi Tartib al-Aghdiya (Buku tentang pengelompokan makanan) Manafi’a al-At’ima wal as-Shriba wal Akakir (Buku tentang manfaat makanan, minuman, dan obat-obatan).
  • Az-Zarkali menambahkan dalam karyanya buku yang berjudul Addin wa Dawla (Agama dan Negara) di mana Ibnu Rabban mempertahankan Islam.

Induk Munculnya Aliran Sesat Dalam Islam

Sebenarnya timbul dan tumbuhnya aliran-aliran dalam tubuh umat Islam pada saat ini tidak terlepas dari firqah-firqah sesat induknya yang muncul pada zaman dahulu, diantara mereka ada yang masih menggunakan nama sama seperti induknya dan ada juga yang menggunakan nama lain, namun ajarannya sama.

Yusuf bin Asbath dan Abdullah bin Mubarak menyebutkan bahwa induk aliran sesat yang tumbuh saat ini adalah ada empat yaitu:
1. Rawafidh yaitu kelompok Syi’ah pembangkang.
2. Khawarij yaitu pembangkang terhadap khalifah Mi bin Abu Thalib.
3. Qadariyah.
4. Murji’ah.

Imam Syatiby mengatakan: ”Adalah para Ulama berpendapat bahwa pokok-pokok Bid’ah itu ada 4 dan ke 72 golongan yang ada bermuara pada 4 golongan sesat tersebut, yaitu: Khawarij, Rawafidh, Qadariyah dan Murji’ah”.

Sebagian Ulama menambahkan aliran lain dari induk golongan yang sesat yaitu :
1 Jahmiyyah
2. Jabariyyah
3. Mu’tazilah Najjariyyah (Majmuk Fatawa III/351 dan A1-I’tishani II/206)

Peringatan Nabi Akan Munculnya Aliran-Aliran Dalam Islam

Sebagai antisipasi, jauh-jauh hari Rasulullah SAW, telah memberi tahu dan memperingatkan kepada para shahabat dan umatnya akan timbulnya aliran-aliran dalam Islam dimana ummat Islam akan terpecah belah menjadi 73 golongan, Nabi juga menegaskan bahwa dari ke 73 golongan tersebut tidak semua ajarannya benar, lebih banyak yang menyimpang dari A1-Qur’an dan Sunah sehingga mayoritas aliran tersebut sesat dan menyesatkan karena mereka menambah dan mengurangi, merubah dan bahkan membuat ajaran sendiri, mereka lebih mendahulukan omongan Imam atau Amirnya daripada firman atau sabda Nabi.

Rasulullah SAW bersabda:
“Dan sesungguhnya kaum Bani Israel terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semua gobongan tersebut masuk Neraka kecuali satu golongan, para shahabat bertanya: Siapakah satu golongan yang selamat tersebut wahai Rasulullah saw ? Rasulullah saw menjawab yaitu golongan yang mengikuti ajaranku dan shahabatku “. (HR. Tirmidzi dan Abdullah bin Amr.)

Rasulullah SAW bersabda:
“Demii dzat yang diriku ada padanya, sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, salu golongan masuk Surga dan 72 golongan masuk Neraka, para Shahabal bertanya :Siapakah yang masuk Surga, wahai Rasulullah saw? Jawab nabi saw adalah golongan Ahlul Sunah wal Jamaah” (HR. Ibnu Majah dan Auf bin Malik )

Dan dalam Riwayat Tirmidzi disebutkan dengan Lafadh:
“Yaitu mereka yang mengikuti Sunnahku dan sunnah shahabatku” (HR.Tirmidzi dalam kitab al-Iman No. 2565.)

Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum Bani israil akan berpecah menjadi 71 atau 72 golongan dari umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali golongan mayoritas”(HR. Ibnu Abi Ashim dan Thabarany dan Abu Umamah.)

Terdapat sebagian Ulama yang meragukan keshahihan hadits tersebut, namun karena didukung oleh beberapa riwayat, maka menjadi kuat. Demikian menurut mayoritas Ulama Ahli hadist, pendapat ini berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm salah seorang mu’tazilah yang menilai bahwa hadist-hadist tersebut lemah dan tidak dapat digunakan dalil.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“Meskipun hadits tentang akan adanya perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan tidak masuk dalam shahih Bukhari dan Muslim, dan Ibnu Hazm mengatakan hadits lemah, namun hadist tersebut hasan dan shahih menurut Ulama Ahli hadist yang lainnya, diantaranya adalah Al-Hakim, dan para Ulama ahli hadits juga telah meriwayatkannya dari banyak jalan maka haditsnya shahih” (Minhajus Sunnah V/48/49).

Dalam Majmuk Fatawa Ibnu Taimiyyah mengatakan:
‘Hadits tersebut shahih masyhur dan terdapat dalam Kitab-kitab Sunan dan Masanid seperti dalam kitab Sunan Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i “( Majmuk Fatawa: Ibnu Taimiyah III/345).

Dalam Kitab ‘Aunul Ma’buud disebutkan komentar Al-Aiqami berkaitan dengan Hadits iftiraqu Al-ummah: 
“Syaikh kami berkata bahwa imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir At-tamimy menyusun sebuah kitab yang isinya penjelasan tentang hadist tersebut. Dalam buku tersebut beliau menerangkan:”para Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi, tentang kelompok yang saling berselisih adalah bukan dalam urusan fiqih yang erat kaitannya dengan hukum halal haram, namun yang dimaksudkan nabi, adalah mereka yang menyalahi prinsip ahlul haq dalam urusan aqidah, penentuan mana yang baik dan yang buruk, tentang syarat-syarat nubuwwah dan risalah, perwalian terhadap para shahabat, serta hal-hal yang hampir serupa dengan pembahasan diatas, sebab orang yang berselisih dalam urusan ini seringkali terbawa kepada sikap saling mengkafirkan, beda dengan persoalan pertama, dimana ketika mereka berbeda pendapat dalam persoalan tersebut tidak sampai terbawa kepada sikap saling mengkafirkan dan menfasikkan. Oleh karenanya, maksud hadist iftiraqu AI-ummah ini dikembalikan kepada pengertian ini”(Aunu al-Ma’buud XII/340).

Awal Mula Timbulnya Aliran (Firqah) Dalam Islam

Pada masa Nabi Muhammad SAW, dan para Khulafaurra-syidin, umat Islam bersatu, mereka satu Aqidah, satu Syari’ah dan satu firqoh, kalau ada perselisihan pendapat diantara mereka, dapat diatasi dengan wahyu, hanya setelah hembusan fitnah yang dilancarkan oleh Abdullah bin Saba’ salah seorang Yahudi tulen yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ulsman bin Affan dan berlanjut pada masa pemerintahan khalifah Ali, perbedaan dikalangan umat Islam akhimya memicu pada timbulnya perpecahan diantara mereka. Namun kebatilan dan kesesatan pasti akan sirna, karena tidak ada kebenaran yang hakiki selain yang datangnya dan dan Rasul-Nya dan tidak ada Agama yang benar selain Agama yaitu agama Islam yang disampaikan kepada umat manusia oleh Rasul-Nya.

Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Agama yang benar yang diridlal Allah hanyalah Agama Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah di beri Al-kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada diantara mereka. Barang siapa Kafir (ingkar) terhadap Ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”(Ali Imron : 19)

Firman dalam Surat Ali Imran Ayat 85:
“Barangsiapa mengambil ajaran selain ajaran agama Islam, maka tidak akan ditenima oleh Allah dan diakhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi (QS. Mi imron: 85)

Penulis Buku” Miftahus Sa’adah” mengatakan:
“Para shahabat hidup pada masa nabi, dalam aqidah yang satu, karena mereka menjumpai masa-masa turunnya wahyu, mereka dimuliakan karena pershahabatannya dengan nabi, dan dihilangkan keraguan dari dada mereka” (Miftahus Sa’adah 1/162)

Ibnu Qayyim Al-jauzy mengatakan:
“Para sahahbat telah berselisih dalam banyak masalah hukum dan mereka adalah pemuka-pemuka kaum muslimin dan umat yang paling sempurna imannya, akan tetapi segala puji bagi mereka tidak berselisih dalam satu persoalan, yakni Asma’, sifat dan af’al (perbuatan), dalam artian mereka tidak berselisih dalam masalah Aqidah” (I’lamu al-Muwaqqiin 1/49).

Fitnah dan firqah diantara kaum muslimin baru muncul diakhir kekhalifahan Ulsman bin Affan, yaitu ketika ada sekelompok orang yang menuduh Utsman berkolusi dengan mengangkat para Gubernur dari keluarga dan kerabatnya.

Fitnah tersebut berbuntut terbunuhnya Utsman bin affan ditangan kaum pembrontak, pada saat itu rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontrak selama 16 hari dan selama itu tidak boleh ada makanan dan minuman yang boleh masuk ke rumah Utsman, kemudian klimaknya salah seorang pemberontak yang bernama Al-ghqary langsung masuk dan menikam Utsman kemudian menarik janggutnya lalu memenggalnya, maka beliau wafat di tangan pemberontak pada usia 82 tahun, beliau wafat tahun 35 H /650 M.

Ketika pemerintahan dijabat oleh Khalifal Ali bin Abu Thalib , sebagai pengganti Utsman bin Affan , sebagian kaum muslimin menuntut kepada khalifah agar segera memperlakukan hukum Qisash terhadap para pembunuh Utsman, namun Ali tidak segera memenuhi permintaan tersebut karena suatu pertimbangan lain yaitu pengangkatan para Gubernur baru yang meliputi:

1. Ustman bin Hunaif diganti menjadi Gubernur Bashrah.
2. Sahi bin Hanif sebagai Gubernur Syam.
3. Qais bin Sa’ad menjadi Gubernur Mesir.
4. Umroh bin Syihab menjadi Gubernur Kufah.
5. Ubaidah bin Abbas Menjdi Gubernur Yaman.

Dan sini akhimya terjadi pertumpahan darah antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan pendukung Aisah yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang dikenal dengan perang Jamal. Kemudin terjadi pertumpahan darah antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Sff in, dan berakhir dengan adanya tahkim diantara kedua belah pihak.

Setelah terjadinya tahkim maka muncullah golongan khawarij yang mengkafirkan kedua belah pihak, karena berhukum dengan hukum manusia, kebencian mereka kepada Ali bin Abu Thalib sangat membara, mereka juga membenci Mu’awiyah karena telah melawan khalifah yang sah, selanjutnya muncul pula Miran atau golongan yang menamakan dirinya Syi’ah yaitu kelompok yang berlebihan dalam membela dan memuja Ali bin Abu Thalib

Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Ahlul Bid’ah yang pertama kali muncul dari kalangan ummat Islam adalah golongan Khawarij“

Setelah munculnya aliran tersebut, maka satu demi satu aliran lainnya bermunculan, dari situlah akhinya timbul aliran-aliran baru yang mengakibatkan perpecahan ditubuh umat Islam, yang pada mulanya bersatu dalam satu ikatan al-Qur’an dan Sunnah.

Perpecahan tersebut diwarisi secara kolektif hingga imbasnya sampai pada masa sekarang, dan sulit dihilangkan, kecuali bila kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah.

Tabir Wanita