Tanya : Bagaimana hukum jual beli narkoba ? Soalnya ada yang berpendapat yang dilarang cuma mengkonsumsinya. (Muhyiddin, Demak)
Jawab : Akhir-akhir ini merebak sekali kampanye tentang bahaya narkoba yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan memasang spanduk-spanduk dan iklan layanan masyarakat lewat televisi atau media cetak.
Aparat keamanan seperti diberitakan media massa, gencar melakukan penggerebekan pengedar narkoba dan menangkap pemakainya. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya narkoba, khususnya di kalangan generasi muda, pemilik masa depan dan penerus perjuangan bangsa.
Sebelum membicarakan hukum jual beli narkoba, perlu ditegaskan terlebih dahulu narkoba sepenuhnya dilarang oleh agama (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 75-76). Hukumnya sama dengan minuman keras dalam bahasa Al-Quran disebut al-khamr. Baik narkoba maupun miras, keduanya sama-sama menghilangkan kesadaran dan membuat akal pikiran tidak berfungsi.
Padahal akal pikiran adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dan binatang. Salah satu fungsi akal adalah pengendali moral.
Nah, ketika akal tidak berfungsi, perbuatan menjadi lepas kontrol dan menimbulkan berbagai kesalahan. Karena itu, dalam literatur agama, miras dianggap “Ibu pelbagai keburukan/kejelekan” (ummu al-khaba‘its). Artinya, miras menjadi sumber berbagai tindakan negatif dan amoral.
Memang, mengkonsumsi narkoba ada “manfaatnya” misalnya bisa merasakan kenikmatan saat mengalami ekstase. Karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Paling tidak menurut pikiran pelaku sendiri secara subjektif.
Begitu juga dengan miras. Namun dibandingkan dengan kenikmatan sekejap yang dijanjikan, akibat negatif dan kerugian yang dialami jauh lebih besar secara fisik, mental intelektual dan sosial-ekonomi. Dalam Al-Quran, Allah mengakui adanya manfaat dan madharat dalam miras, pada surat Al-Baqarah :
Artinya: “Mereka bertanya tentang khamr dan judi, Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. A1-Baqarah: 219)
Kata dosa dalam ayat diatas (al-itsm) menunjukkan adanya dampak negatif. Karena dosanya lebih besar, berarti kerugiannya lebih besar juga. Allah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu kecuali mengandung hikmah berupa jalb al-mashalih (memperoleh maslahah) atau daf’u al-mafasid (menolak mafsadah).
Meskipun ayat tadi berbicara tenang miras/khamr, tetapi dapat diterapkan juga pada narkoba karena keduanya terdapat kesamaan, yakni madharatnya lebib besar daripada manfaatnya.
Karena mengkonsumsi narkoba diharamkan, maka memperjualbelikannya juga dilarang (Madzahib Al-Arba‘ah. 5/39). Sebagaimana diterangkan literatur-literatur fikih, dalam masalah jual-beli terdapat persyaratan, benda yang diperjualbelikan harus bermanfaat menurut ukuran syara’ (Kifayah Al-Akhyar. I, h. 241)
Benda-benda yang diharamkan oleh agama, tidak termasuk dalam kategori bermanfaat.
Ketentuan fikih diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Jabir ra. bahwa Rasulullah hersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung’.
Dari hadist ini, dapat disimpulkan segala sesuatu yang dilarang dikonsumsi oleh agama, tidak diperkenankan diperjualbelikan. (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 137)
Agama menyuruh umatnya melakukan hal-hal positif dan menghindari yang tidak berguna, apalagi yang jelas-jelas merugikan. Salah satu kaidah fikih menyatakan adh-dhararu yuzal, segala hal yang negatif/membawa madharat harus dihilangkan atau dihindari. Tidak menjual narkoba termasuk perbuatan preventif sebagai upaya menghindari madharat.
Dari sisi lain, pelarangan jual-beli narkoba dapat pula dirujukkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengrjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Memang, pada dasarnya manusia dalam menjalani hidupnya membutuhkan kerja sama dan tolong menolong. Tetapi kerjasama itu tidak boleh dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menjual narkoba pada orang lain dapat dimaknai sebagai sikap bekerjasama dengan orang itu dan membantunya melakukan dosa, seperti mengkonsumsi narkoba. Intinya, seperti kita dilarang melakukan dosa, dilarang pula membantu dalam bentuk apapun kepada orang lain untuk melakukan dosa itu.
Dengan kata lain, membantu orang lain melakukan dosa adalah dosa juga. (al-i’anah ‘ala al-itsm itsm)
Dengan demikian, pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan, “tidak apa-apa menjual narkoba asal tidak mengkonsumsi”, sama sekali tidak dibenarkan, begitu juga dengan minuman keras dan sejenisnya, yang meliputi semua produk atau barang yang dilarang oleh agama.
Keharaman jual-beli narkoba membawa koksekuensi tidak halal keuntungan yang diperoleh darinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat dan Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah itu kalau mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula tsaman-ny.” (Madzahib Al-A rba‘ah, V, h. 41)
Tsaman adalah sesuatu yang ditukar dengan benda yang dijual, berupa uang atau barang. Cuma sayang, orang sekarang cenderung tidak peduli apakah yang dimakan itu halal atau tidak.
Dalam upaya memberantas narkoba, terdapat pertanyaan yang mendasar, sebenarnya orang menjual narkoba banyak yang membutuhkan/konsumen, ataukah konsumen itu banyak karena peredaran merebak ?.
Saya kira keduanya bisa sama-sama benar. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan dua jalur, yakni mengurangi konsumen dan membatasi peredaran secara simultan. Karena itu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari semua pihak.