Friday, 30 September 2016

Apa Hukum Jual Beli Narkoba Menurut Fikih Islam ?

hukum menjual narkoba
Tanya : Bagaimana hukum jual beli narkoba ? Soalnya ada yang berpendapat yang dilarang cuma mengkonsumsinya. (Muhyiddin, Demak) 

Jawab : Akhir-akhir ini merebak sekali kampanye tentang bahaya narkoba yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan memasang spanduk-spanduk dan iklan layanan masyarakat lewat televisi atau media cetak.

Aparat keamanan seperti diberitakan media massa, gencar melakukan penggerebekan pengedar narkoba dan menangkap pemakainya. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya narkoba, khususnya di kalangan generasi muda, pemilik masa depan dan penerus perjuangan bangsa. 

Sebelum membicarakan hukum jual beli narkoba, perlu ditegaskan terlebih dahulu narkoba sepenuhnya dilarang oleh agama (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 75-76). Hukumnya sama dengan minuman keras dalam bahasa Al-Quran disebut al-khamr. Baik narkoba maupun miras, keduanya sama-sama menghilangkan kesadaran dan membuat akal pikiran tidak berfungsi. 

Padahal akal pikiran adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dan binatang. Salah satu fungsi akal adalah pengendali moral. 

Nah, ketika akal tidak berfungsi, perbuatan menjadi lepas kontrol dan menimbulkan berbagai kesalahan. Karena itu, dalam literatur agama, miras dianggap “Ibu pelbagai keburukan/kejelekan” (ummu al-khaba‘its). Artinya, miras menjadi sumber berbagai tindakan negatif dan amoral. 

Memang, mengkonsumsi narkoba ada “manfaatnya” misalnya bisa merasakan kenikmatan saat mengalami ekstase. Karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Paling tidak menurut pikiran pelaku sendiri secara subjektif. 

Begitu juga dengan miras. Namun dibandingkan dengan kenikmatan sekejap yang dijanjikan, akibat negatif dan kerugian yang dialami jauh lebih besar secara fisik, mental intelektual dan sosial-ekonomi. Dalam Al-Quran, Allah mengakui adanya manfaat dan madharat dalam miras, pada surat Al-Baqarah :
Artinya: “Mereka bertanya tentang khamr dan judi, Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. A1-Baqarah: 219) 

Kata dosa dalam ayat diatas (al-itsm) menunjukkan adanya dampak negatif. Karena dosanya lebih besar, berarti kerugiannya lebih besar juga. Allah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu kecuali mengandung hikmah berupa jalb al-mashalih (memperoleh maslahah) atau daf’u al-mafasid (menolak mafsadah). 

Meskipun ayat tadi berbicara tenang miras/khamr, tetapi dapat diterapkan juga pada narkoba karena keduanya terdapat kesamaan, yakni madharatnya lebib besar daripada manfaatnya. 

Karena mengkonsumsi narkoba diharamkan, maka memperjualbelikannya juga dilarang (Madzahib Al-Arba‘ah. 5/39). Sebagaimana diterangkan literatur-literatur fikih, dalam masalah jual-beli terdapat persyaratan, benda yang diperjualbelikan harus bermanfaat menurut ukuran syara’ (Kifayah Al-Akhyar. I, h. 241)

Benda-benda yang diharamkan oleh agama, tidak termasuk dalam kategori bermanfaat. 

Ketentuan fikih diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Jabir ra. bahwa Rasulullah hersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung’.

Dari hadist ini, dapat disimpulkan segala sesuatu yang dilarang dikonsumsi oleh agama, tidak diperkenankan diperjualbelikan. (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 137) 

Agama menyuruh umatnya melakukan hal-hal positif dan menghindari yang tidak berguna, apalagi yang jelas-jelas merugikan. Salah satu kaidah fikih menyatakan adh-dhararu yuzal, segala hal yang negatif/membawa madharat harus dihilangkan atau dihindari. Tidak menjual narkoba termasuk perbuatan preventif sebagai upaya menghindari madharat.

Dari sisi lain, pelarangan jual-beli narkoba dapat pula dirujukkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengrjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) 

Memang, pada dasarnya manusia dalam menjalani hidupnya membutuhkan kerja sama dan tolong menolong. Tetapi kerjasama itu tidak boleh dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menjual narkoba pada orang lain dapat dimaknai sebagai sikap bekerjasama dengan orang itu dan membantunya melakukan dosa, seperti mengkonsumsi narkoba. Intinya, seperti kita dilarang melakukan dosa, dilarang pula membantu dalam bentuk apapun kepada orang lain untuk melakukan dosa itu.

Dengan kata lain, membantu orang lain melakukan dosa adalah dosa juga. (al-i’anah ‘ala al-itsm itsm) 

Dengan demikian, pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan, “tidak apa-apa menjual narkoba asal tidak mengkonsumsi”, sama sekali tidak dibenarkan, begitu juga dengan minuman keras dan sejenisnya, yang meliputi semua produk atau barang yang dilarang oleh agama. 

Keharaman jual-beli narkoba membawa koksekuensi tidak halal keuntungan yang diperoleh darinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat dan Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah itu kalau mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula tsaman-ny.” (Madzahib Al-A rba‘ah, V, h. 41) 

Tsaman adalah sesuatu yang ditukar dengan benda yang dijual, berupa uang atau barang. Cuma sayang, orang sekarang cenderung tidak peduli apakah yang dimakan itu halal atau tidak. 

Dalam upaya memberantas narkoba, terdapat pertanyaan yang mendasar, sebenarnya orang menjual narkoba banyak yang membutuhkan/konsumen, ataukah konsumen itu banyak karena peredaran merebak ?. 

Saya kira keduanya bisa sama-sama benar. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan dua jalur, yakni mengurangi konsumen dan membatasi peredaran secara simultan. Karena itu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari semua pihak.

Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Seperti itulah kondisi rumah yang penuh berkah, cinta, dan kasih sayang. Khadijah tidak pernah berhenti berusaha memberikan kebahagiaan bagi Rasulullah saw. Hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. pulang ke rumah, sang istri yang sangat penyayang itu menyampaikan kabar gembira yang luar biasa. Khadijah memberi tahu beliau bahwa dia mengandung. Hati Rasulullah saw. bergetar karena kegembiraan yang luar biasa ketika mendengar kabar gembira tersebut. 


Khadijah pun sangat merasakan kegembiraan dan keceriaan yang sangat karena dia merasakan dan mengetahui betul bahwa sang suami memang sangat berharap Allah akan memberinya keturunan. Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Khadijah melahirkan putra pertama Rasulullah saw. yang diberi nama Al-Qasim. Dengan nama inilah Rasulullah saw. kemudian digelari (Abul Qasim). 

Setelah itu, Khadijah juga dianugerahi oleh Allah beberapa putri, yairu Zainah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Semuanya lahir sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi. Setelah beliau menjadi Nabi, Khadijah melahirkan seorang anak lagi, yaitu Abdullah, yang juga dinamakan dengan At-Thayyib Ath-Thahir (anak yang baik dan suci). 

Ibnu Abbas pernah memaparkan nama putra-putri Rasulullah saw. dan Khadijah ra. Dia berkata, “Khadijah telah melahirkan untuk Rasulullah saw. dua orang putra dan empat orang putri, yaitu Al-Qasim, Abdullah, Fatimah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Ruqayyah. Adapun Ibrahim adalah anak yang diperoleh Rasulullah dari Maria Al- Qibthiyya ra. Namun, seluruh putra beliau meninggal dunia ketika mereka masih kecil. Semua putri beliau sempat merasakan periode Islam, dan mereka pun masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah. 

Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan Utsman bin Affan ra. (Utsman tidak menikahinya secara bersamaan), sementara Zainab menikah dengan Abul Ash bin Ar-Rabi’ bin Abd Syams, sedangkan Fatimah menikah dengan Ali bin Abu Thalib ra. 

Semua putrinya meninggal dunia pada saat Rasulullah saw masih hidup, kecuali Fatimah yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat. 

Khadijah ra. adalah istri yang sangat ideal. Dia tahu betul bagaimana membahagiakan suaminya dan anak-anaknya. Semakin lama mendampingi Rasulullah saw., dia semakin mencintai beliau dan terkagum-kagum oleh sosok hamba yang zuhud, yang hatinya selalu terikat dengan Allah swt. 

Dari rumah yang penuh berkah ini hadir Fatimah yang di kenuidian hari akan banyak melakukan pengorbanan. Dialah pemimpin para wanita penghuni surga. Ibunda Hasan dan Husain; dua pemimpin para pemuda ahli surga, dan istri dari salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah. Sebuah rumah yang penuh berkah yang menyebarkan keberkahan dan keimanan ke seluruh penjuru alam. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Pada sebuah kesempatn yang dipenuhi oleh cahaya ilahi, Rasulullah saw, berbincang-bincang dengan Khadijah ra. Suara beliau begitu lembut menyentuh hatinya. Pembicaraan beliau yang penuh dengan hikmah memenuhi jiwa Khadijah dengan kebahagiaan yang luar biasa hingga seolah-olah dia terbang oleh kebahagiaan yang merasuk ke dalam jiwanya itu. 


Tiba-tiba salah seorang pembantu Khadijah datang dan berkata, “Halimah bin Abdullah bin Al-Harits As-Sa’diyah datang bertamu.” 

Ketika Rasulullah saw. mendengar nama Halimah As-Sa’diyah, hatinya berdebar penuh kerinduan. Terbayang oleh beliau berbagai kenangan ketika beliau tinggal di tengah-tengah kaum Bani Sa’d dan memperoleh kasih sayang dan air susu ibu di sana. Kenangan masa kecilnya yang tumbuh besar dalam pelukan dan pemeliharaan Halimah. Sebuah kenangan yang sangat indah dan sulit dilupakan. 

Khadijah serta-merta berdiri untuk menyambut Halimah ra. dan mempersilakannya untuk masuk. Setiap kali Rasulullah saw. bercerita kepada Khadijah tentang Halimah, tersirat rasa sayang yang amat dalam. Ketika Rasulullah saw. melihat sosok Halimah, Khadijah mendengar suara lembut Rasulullah saw memanggil, “Ibu... Ibu...” dengan penuh kasih sayang. 

Lalu, Khadijah melihat Rasulullah saw. mengembangkan kainnya untuk sang ibu yang telah menyusuinya. Beliau lalu meraih tangan Halimah dengan penuh kelembutan. Di wajah beliau tampak kehahagiaan yang luar biasa. Matanya berbinar-binar. seolah-olah beliau sedang berada dalam dekapan ibunya, Aminah binti Wahab. 

Dalam pertemuan yang penuh kehangatan antara Rasulullah saw. dan Halimah, beliau bertanya tentang keadaannya. Halimah mengadu kepada Rasulullah saw. tentang kesulitan hidup yang dialaminya dan kekeringan yang menimpa kaum Bani Sa’d sehingga mereka saat ini hidup dalam kemiskinan dan kesempitan hidup yang luar biasa. Rasulullah saw. pun berjanji akan menolongnya. 

Kemudian, Rasulullah saw. menceritakan kepada Khadijah apa yang dialami oleh Ibu yang menyusuinya itu dan kaumnya. Khadijah pun langsung terenyuh mendengarnya dan serta-merta memberikan bantuan kepadanya berupa 40 ekor kambing. Khadijah juga memberinya seekor unta pembawa air minum dan membekalinya dengan perbekalan yang cukup untuk kembali ke perkampungannya. 

Khadijah memang selalu berusaha untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan hartanya dalam rangka meraih ridha suaminya Muhammad saw. Beliau pun sangat berterimakasih kepada Khadijah. Lalu berbagai pemberian Khadijah itu pun diserahkan oleh Rasuhillah saw. kepada Halimah, Ibu yang telah menyusui beliau.

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Thursday, 29 September 2016

Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Kebahagiaan serta-merta melingkupi rumah Khadijah ra. Sang wanita suci telah menemukan pada diri sosok tepercaya, Muhammad saw., pernikahan yang terbaik. Beliau adalah pribadi yang lembut. Kasih sayangnya meliputi semua orang, seluruh makhluk hidup, bahkan segala sesuatu. 

Akhlak Muhammad saw., yang bersumber dari fitrahnya begitu sempurna dan seimbang. Kesabarannya selaras dengan keberaniannya, sementara keberaniannya selaras dengan kedermawanannya. Kedermawanannya seperti kemurahan hatinya. Kemurahan hatinya sejalan dengan kasih sayangnya. kasih sayangnya seimbang dengan keperwiraannya dan berbagi, sifat yang dimilikinya adalah sifat yang paling utama. 


Di antara bentuk kebaikan hati Muhammad saw., adalah beliau tidak pernah melupakan sosok wanita agung yang telah berperan sebagai ibunya setelah kepergian ibu kandungnya, yaitu Ummu Aiman ra. Beliau mengajaknya serta untuk tinggal bersama di rumah tempat beliau tinggal bersama Khadijah. Beliau begitu memuliakan dan mengasihinya. Di samping itu, beliau juga amat menyayangi putra dan putri Khadijah ra. sepenuh hati. 

Anak-anak Khadijah lebih memilih tinggal bersama ibu mereka setelah Khadijah menikah dengan beliau. Bahkan, para budak di rumah itu sangat senang dapat tumbuh besar dalam peliharaan orang yang memiliki kepribadian paling baik. Rasulullah saw. sangat menyayangi salah seorang budak bernama Zaid bin Haritsah dengan kasih sayang yang tidak pernah didapatnya dari orang lain sebelumnya. 

Melihat hal itu, Khadijah lalu menyerahkan Zaid kepada beliau dan langsung dimerdekakannya. Tidak berhenti sampai di situ, setelah memberinya kebebasan, Rasulullah saw. juga memuliakannya dengan menasahkannya kepada dirinya sehingga Zaid sempat dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad. 

Cinta Khadijah terhadap suaminya Muhammad saw. begitu besar. Cinta yang dihiasi dengan keluhuran budi dan akhlak. Seiring perjalanan waktu, Khadijah semakin yakin bahwa lelaki pilihannya ini adalah manusia yang paling tepat untuk mengemban Risalah Ilahiyah, lalu bangkit bersama umatnya. 

Khadijah selalu berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi Rasulullah saw. Jika beliau memberi isyarat sesuatu, Khadijah akan menjawab isyarat itu dengan sepenuh hati dan kerelaan jiwa, serta tangan terbuka. Dia tidak pernah pelit dalam memberikan hartanya, seperti hatinya tidak pernah sungkan memberikan cinta dan kasih sayangnya. Tidak hanya kepada sang suami, tapi juga kepada setiap orang yang disayangi oleh suaminya. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas dan gembira.

Kelanjutan biografi Khadijah bisa dibaca pada artikel berjudul : Pemilik Hati Yang Amat Penyayang (Biografi Khadijah ra.).

Inilah “Al-Amin” (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. memang telah mengetaui akhlak Nabi saw. dengan baik dan banyak mendengar tentang kemuliaan dan keutamaan beliau yang begitu menyenangkan hati setiap orang yang mengenal beliau. Akan tetapi, dia juga tahu posisi Nabi saw. di tengah-tengah kaumnya yang pernah menjuluki beliau dengan julukan “Al-Ainin”. Bahkan, mereka seringkali meminta bantuan beliau untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di antara mereka.


Seperti yang terjadi ketika suku Quraisy membangun kembali Ka’bah A1-Musyarrafah (yang mulia). Hampir saja bangunan Ka’bah hilang. Sebuah riwayat mengatakan bahwa penyebabnya adalah banjir bandang yang terjadi lima tahun sebelum diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi, dan ini adalah pendapat yang paling kuat. Maka tidak ada jalan lain bagi suku Quraisy selain harus membangun kembali Ka’bah. 

Cukup banyak hadits shahih yang menceritakan peristiwa tersebut. Imam Al-Bukhari ra. meriwayatkan dari Aisyah ra. hahwa sesungguhnya, Rasulullah saw pernah bercerita kepadanya, “Tahukah engkau ketika kaummu membangun kembali Ka’bah, mereka mengabaikan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” Maka aku bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengembalikannya pada fondasi Nabi Ibrahim saw?” J awab beliau, “Kalau bukan karena kaummu melakukannya karena kekafiran mereka, aku pasti sudah melakukannya.” 

Lalu Abdullah ra. berkata, Meski Aisyah ra. mendengar hal itu dari Rasulullah saw, aku tidak melihat bahwa Rasulullah saw. membiarkan penyerahan dua tiang di samping tempat peletakkan Hajar Aswad, kecuali kalau ternyata Baitullah (Ka’bah) tidak diselesaikan sesuai dengan fondasi yang telah diletakkan oleh Nabi Ibrahirn saw.” 

Dalam upaya membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mensyaratkan agar biaya pembangunannya harus berasal dari sumber yang baik dan tidak boleh dicampuri oleh dana-dana yang haram dan tidak jelas seperti hasil rampokan, riba, atau menzalimi seseorang. 

Ibnu Ishaq menceritakan, “Kemudian, seluruh kabilah Quraisy pun bergotong-royong mengumpulkan batu untuk pembangunan Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu tersebut secara sendiri-sendiri, kemudian mereka langsung membangunnya. 

Ketika pembangunan sampai ke bagian sudut bangunan, terjadi perselisihan di antara mereka. Setiap kabilah menginginkan agar sudut tempat peletakkan Hajar Aswad itu berada di bagian yang mereka bangun. Situasi pun sempat memanas sampai-sampai mereka telah bersiap-siap untuk berperang. 

Kabilah Bani Abdud-Dar sempat membawa semangkuk besar berisi darah, lalu mereka bersepakat dengan Bani Adi bin Ka’ab bin Lu’ay untuk berperang sampai mati. Maka, mereka memasukkan tangan ke dalam mangkuk yang berisi darah tersebut. Peristiwa itu disebut dengan ‘Jilatan Darah’. Ketegangan tersebut berlangsung selama empat sampai lima hari, hingga kemudian mereka mengadakan musyawarah di masjid. 

Seseorang dari mereka berseru, “Wahai bangsa Quraisy, buatlah sebuah kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan di antara kalian bahwa yang paling pertama masuk masjid besok adalah orang yang berhak memutuskan perkara ini.” 

Mereka pun menyepakati hal itu. Ternyata orang yang pertama masuk masjid adalah Rasulullah saw. Ketika mereka melihatnya, mereka lantas berseru, “Itu adalah Muhammad, dia orang yang tepercaya. Kami rela kalau dia yang memutuskan perkara ini.” 

Ketika semua telah sama-sama sepakat dan menyampaikan hal itu kepada Muhammad saw., beliau lalu berkata, “Beri aku selembar kain.” Maka, diberikanlah kepadanya selembar kain. Beliau lalu mengambil bagian sudut Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya di atas kain itu, kemudian berkata, “Setiap kabilah agar memegang ujung kain ini, lalu angkatlah bersama-sama.” 

Mereka pun mengangkat kain tersebut besama-sama ke tempat peletakkan bagian sudut itu. Setelah itu, Rasulullah saw. mengambil batu itu dari kain dan meletakkannya di tempat yang seharusnya dengan tangannya sendiri. Lalu, dibangunlah sudut Hajar Aswad di atas batu itu. 

Biografi selanjutnya bisa divaca pada artikel berjudul : Kebahagiaan Melingkupi Sebuah Rumah Yang Agung (Biografi Khadijah ra.).

Kebijaksanaan Dan Kecerdasan Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Tidak ada bukti yang paling tepat untuk menggambarkan tentang kebijaksanaan dan kecerdasan Khadijah selain pilihannya yang dijatuhkan kepada Muhammad saw. untuk menjadi suaminya meski beliau pada saat itu adalah orang miskin, sementara Khadijah sendiri adalah wanita yang kaya raya dan sangat didambakan oleh para bangsawan Quraisy. Hal itu terjadi tidak lain karena dengan kebijaksanaan dan kecerdasan akalnya. Dia dapat mengetahui bahwa kesempurnaan seorang laki-laki, kemuliaan akhlak, lurusnya tabiat merupakan hal yang jauh lebih penting dari sekadar kekayaan materi dan kebangsawanan.


Sesungguhnya, dia mencari bentuk lain dari kekayaan dan kebangsawanan, yaitu kekayaan jiwa, kebangsawanan hati, dan kemuliaan akhlak. Pada diri siapa dia akan menemukan kesempurnaan seperti itu selain pada diri Muhammad saw. 

Beberapa penulis sejarah menyebutkan bahwa motif Khadijah menikahi beliau adalah karena melihat kehebatan beliau dalam berdagang dan kejujuran serta sifat amanahnya dalam bidang tersebut. Namun menurut kami, meski hal tersebut merupakan salah satu hal yang membuat Khadijah menyukai beliau, apalagi dia adalah seorang pedagang besar dan membutuhkan seseorang yang dapat menjalankan perdagangannya, itu hanyalah motif yang tampak di permukaan yang dapat dijadikan alasan mengapa Khadijah memilih menikah dengan Muhammad saw. yang umurnya jauh lebih muda darinya. Waktu itu Khadijah ra. lebih tua lima belas tahun dari beliau. Dia berumur empat puluh tahun, sedangkan Muhammad saw. berumur dua puluh lima tahun. 

Meski Muhammad saw. hanya memiliki sedikit harta dan tidak memiliki jabatan dan kedudukan apa pun di masyarakat, Khadijah menganggap bahwa kejujuran, sifat amanah, dan kehebatannya berdagang, serta garis keturunannya yang baik telah cukup menjadi alasan untuk menikahi Muhammad saw. di hadapan kaumnya. 

Tàpi kami mencoba untuk meneliti motif sesungguhnya, dari pernikahan wanita mulia ini dengan Muhammad saw. padahal dia waktu itu telah berumur empat puluh, usia yang sangat matang bagi seorang wanita. Dia bukanlah seorang gadis yang labil, bukan juga orang tua yang pikun. 

Begitu juga halnya dengan Muhammad saw. Beliau mungkin tidak akan bersedia menikahi Khadijah kalau hanya melihat kekaynan atau kecantikannya, tanpa melihat kebijaksanaan dan kecerdasannya. Apalagi Khadijah itu di mata kaumnya terkenal dengan kepribadian yang mulia, tingkah laku yang terpuji, kehormatan yang terjaga, dan keturunan yang baik juga. Dengan demikian, bertemulah keinginan Khadijah dengan keinginan Muhammad saw. 

Sungguh tepat perkiraan beliau tentang Khadijah ra. karena dia memang seorang istri yang sangat baik dan bijaksana. Kecerdasan dan kebijaksanaannya itu telah membuatnya mengimani apa yang dibawa oleh beliau dan mengikuti setiap perilakunya dalam hal keimanan dan ketaatan. 

Suatu hari, Rasulullah saw. pulang ke rumah Khadijah ra., dan Malaikat Jibril baru saja mengajarinya tata cara shalat. Beliau pun memberitahu Khadijah ra. tentang hal itu. Serta-merta Khadijah berkata, “Perlihatkan kepadaku sebagaimana dia memperlihatkan kepada engkau!” 

Maksudnya, ajarkan aku apa yang diajarkan Jibril tentang tata cara shalat. 

Rasulullah saw. pun memperlihatkannya kepada Khadijah dan mengajarkannya. Maka dia pun berwudhu sebagaimana wudhunya Rasulullah saw., lalu melaksanakan shalat bersama beliau. Lalu dia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullab saw.” 

Biografi Khadijah selanjutnya bisa dibaca dalam artikel berjudul : Inilah “Al-Amin”  (Biografi Khadijah ra.)

Wednesday, 28 September 2016

Pernikahan Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Ibnu Ishaq meriwayatkan, “Khadijah binti Khuwailid ra. adalah seorang saudagar wanita yang sangat kaya dan dihormati. Dia banyak mempekerjakan orang untuk mengurus perdagangannya atau terkadang bekerjasama dengan mereka dengan cara bagi basil”. Kaum Quraisy waktu itu memang dikenal sebagai kaum pedagang. 

Ketika sampai ke telinganya berita tentang Rasulullah saw., tentang kejujurannya, sifat amanahnya, dan kemuliaan akhlaknya, Khadijah mengirim utusan untuk menemui beliau dan menawarkannya untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam bersama pembantunya yang bernama Maisarah. Sebagai imbalan, Khadijah memberinya persentasi keuntungan yang jauh lebih besar daripada yang biasa diberikannya kepada para pedagang lain. Rasulullah saw. pun menerima penawaran tersebut, lalu beliau pun berangkat bersama Maisarah ke Syam membawa barang dagangan milik Khadijah.


Sesampainya di Syam, Rasulullah saw. berhenti di bawah sebatang pohon di dekat rumah ibadah seorang rahib. Sang rahib lalu bertanya-tanya kepada Maisarah, “Siapa orang yang beristirahat di bawah pohon itu?” Jawab Maisarah, “Dia dari suku Quraisy, termasuk penduduk Tanah Haram (Mekah) .“ 

Rahib itu lalu herkata, “Tidak ada yang berhenti di bawah pohon ini sama sekali, kecuali seorang nabi.” 

Lalu Rasulullah saw. pun menjual barang dagangan yang dibawanya dari Mekah. Setelah barang dagangannya habis, beliau membeli barang-barang yang diinginkannya. Kemudian langsung berangkat pulang menuju Mekah bersama Maisarah. 

Dalam perjalanan pulang itu, sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli sejarah, setiap kali matahari sedang berada tepat di atas kepala dan ketika terik matahari begitu menyengat, Maisarah melihat dua awan memayungi beliau selama beliau berjalan di atas untanya. Setibanya di Mekah, beliau menyerahkan hasil penjualan yang diperolehnya di Syarn kepada Khadijah seraya menawarkan barang-barang yang dibawanya dari sana. 

Maisarah pun menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya selama perniagaannya bersama Rasulullah saw. Diceritakanlah apa yang disampaikan oleh sang rahib kepadanya, dan diceritakan juga apa yang dia lihat ketika awan memayungi Rasulullah saw. sepanjang perjalanannya. Khadijah adalah seorang wanita yang berpendirian kuat, memiliki sifat kemuliaan, dan berusaha untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Allah atas dirinya. 

Pada hari-hari berikutnya pikiran Khadijah selalu disibukkan oleh berbagai ucapan dan cerita yang disampaikan oleh Maisarah tentang sosok Muhammad saw. Terutama ketika sepupunya Waraqah bin Naufal dengan tegas mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya, Muhammad itu adalah Nabi saw. yang diutus kepada umat ini.” 

Dia kembali teringat kepada mimpinya, yaitu ketika dia melihat bintang jatuh dari langit Mekah dan masuk ke dalam rumahnya. Ucapan Waraqah pun kembali terngiang-ngiang di telinganya: “Bergembiralah sepupuku. Jika Allah benar-benar mewujudkan mimpimu itu, cahaya kenabian akan masuk ke dalam rumahmu, lalu tersebarlah darinya cahaya penutup para nabi.” 

Khadijah lalu berusaha membanding-bandingkan antara apa yang diingatnya itu dengan kenyataan yang dilihatnya dan didengarnya. Dia lantas semakin memperhatikan sosok Muhammad saw. dan memikirkannya sehingga angan dan pikirannya selalu dipenuhi oleh bayangan tentang beliau. 

Setelah melihat berbagai tanda dan kenyataan yang ada, Khadijah begitu yakin hahwa Muhamrnadlah sosok yang akan diangkat oleh Allah sebagai penutup para nabi. Khadijah tidak ingin berlama-lama hanyut dalam angan dan pikirannya. Dia ingin segera mewujudkan semua itu menjadi sebuah kenyataan dalam hidupnya. Dia sangat berharap sosok tersebut benar-benar dapat menjadi suami baginya. Namun, dia tidak tahu harus bagaimana? 

Selama ini Khadijah dikenal sebagai wanita keturunan bangsawan dan dikaruniai dengan kekayaan yang melimpah. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai wanita yang kuat pendiriannya dan cerdas. Wajar, sebagaimana yang biasa terjadi pada diri seorang wanita bangsawan kalau dia kerap meremehkan kaum laki-laki dan menganggap bahwa mereka hanya mengincar hartanya, bukan dirinya. Pandangan mereka hanya tertuju kepada kekayaannya walaupun ketamakan mereka ditutup-tutupi oleh sebuah pernikahan. 

Narnun, setelah mengenal sosok Muhammad saw., Khadijah seolah menemukan pribadi laki-laki yang berbeda dari kaum laki-laki lainnya. Dia melihat bahwa beliau adalah sosok yang tidak tergiur oleh gelimang harta. 

Ketika dia bekerja sama dengan banyak pedagang lain, dia selalu melihat adanya ketamakan dan kecurangan pada diri mereka. Sementara ketika dia bekerja sama dengan Muhammad saw., tidak ditemukannya hal-hal yang demikian. Beliau tidak pernah mau mengusik hartanya dan tidak juga terusik oleh keelokan parasnya. Beliau hanya melaksanakan apa yang harus dikerjakannya, lalu pergi dengan perasaan saling ridha. Khadijah mendapati dirinya terpesona oleh sosok tersebut. 

Ketika Khadijah masih larut dalam keraguan dan rasa bimbang, datanglah salah seorang sahabatnya bernama Nafisah binti Munabbih. Mereka lalu berbincang-bincang, saling berbagi cerita, dan saling mengungkapkan isi hati. Sang sahabat pun dapat menangkap sebuah rahasia yang tersimpan dalam hai Khadijah lewat kata-kata yang keluar dari lisannya. 

Nafisah berusaha menenangkan Khadijah dan mengingatkannya bahwa dia adalah seorang wanita terhormat dan keturunan bangsawan, memiliki kekayaan yang melimpah dan wajah yang cantik rupawan. Banyaknya kaum bangsawan yang datang untuk melamarnya adalah bukti bahwa dia sangat didambakan oleh setiap lelaki. 

Kemudian, Nafisah pun pamit pulang. Namun dia tidak langsung menuju rumahnya, melainkan pergi menemui Muhammad saw. dan menawarkan kepadanya untuk menikahi Khadijah. Nafisah mengajukan sebuah pertanyaan, “Hai Muhammad saw., mengapa engkau belum juga menikah?” Jawab beliau, “Aku tidak memiliki harta untuk melakukan sebuah pernikahan.” 

Nafisah bertanya lagi, “Jika ada yang menjamin semua itu dan engkau diminta untuk menikah dengan seorang wanita kaya, cantik, terhormat, dan cerdas, apakah engkau bersedia?” 

Beliau balik bertanya, “Siapa yang mau melakukan itu?” Jawab Nafisah, “Khadijah binti Khuwailid.” 

Nabi saw. berkata, “Kalau dia memang setuju, aku bersedia.” 

Nafisah pun langsung kembali ke rumah Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira itu. Sementara Rasulullah saw. juga memberitahu paman-pamannya tentang keinginannya untuk menikah dengan Khadijah. Maka pergilah Abu Thalib, Hamzah. dan paman-paman beliau yang lain ke rumah paman Khadijah yang bernama Amr bin Asad untuk meminang Khadijah seraya menyerahkan mahar.
Pada perternuan yang syahdu itu Abu Thalib sempat menyampaikan sebuah pidato. sebagaimana disebutkan oleh Abu Al-Abbas Al-Mubarrad rahimahullah, dan yang lain. Abu Thalib berkata: 

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk keturunan Nabi Ibrahim saw. dan garis keturunan Nabi Ismail saw., dari asal Ma’ad, bagian dari Mudhar. yang telah menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pemelihara kehormatannya, menjadikan bagi kita rumah yang terjaga, Tanah Haram yang aman, dan menjadikan kita penguasa atas yang lain. Sesungguhnya, keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak ada tandingannya dan tidak sama dengan laki-laki lain dalam hal kebaikan dan keutamaannya. J uga dalam hal kemuliaan dan kecerdasannya.” 

Jika dari segi harta dia berkekurangan, maka harta itu suatu saat akan habis dan sirna. Muhammad saw. yang telah kalian kenal kerabatnya ini meminang Khadijah binti Khuwailid ra. dan menyerahkan untuknya mahar sebesar 20 bakrah (dalam riwayat lain disebutkan: dia memberinya mahar 12 1/2 gram emas). Lalu Abu Thalib berkata, “Demi Allah, suatu saat nanti, dia akan datang dengan berita besar, maka nikahkanlah dia dengan Khadijah.” 

Setelah akad dilangsungkan, disebelihlah beberapa ekor kambing dan dibagikan kepada fakir miskin, lalu para keluarga dan kerabat berdatangan ke rumah Khadijah untuk memberi selamat. 

Waktu itu, Khadijah telah mencapai usia 40, usia yang matang bagi seorang ibu. Sementara Muhammad saw. baru berusia dua puluh lima tahun, usia yang matang bagi seorang pemuda, Dalam pernikahan tersebut, Khadijah berperan sebagai seorang istri yang sangat mencintai suaminya sekaligus berperan sebagai seorang ibu yang mengayomi anaknya dengan penuh cinta, kasih dan sayang. 

Artikel biografi lanjutan bisa dilihat pada postingan yang berjudul : Kebijaksanaan Dan Kecerdasan Khadijah (Biografi Khadijah ra.)

Mimpi Memeluk Bintang (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Khadijah ra. adalah wanita yang memiliki cita-cita yang tinggi, perasaan yang kuat, dan wawasan yang luas, serta senantiasa berjalan di jalur agama. Kehidupannya bersih dan suci sehingga dia dikenal di kalangan wanita Quraisy sebagai seorang wanita suci. Dengan sifat yang dimilikinya ini Khadijah memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia. 

Khadijah ra. sering mendengarkan sepupunya bercerita tentang para nabi dan tentang agama. Angannya seringkali terbang tinggi menggapai langit yang penuh dengan keutamaan. Tidak ada seorang pun di antara masyarakat yang hidup dimasanya memiliki angan seperti itu. 


Hingga pada suatu malam tanpa bintang dan gelap gulita Khadijah duduk di kediamannya untuk melepas lelah setetah melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) berkali-kali. Tak lama berselang, dia pun beranjak menuju pembaringannya dengan wajah penuh keridhaan dan senyuman senantiasa menghiasi. bibirnya. Tidak ada sesuatu pun yang terlintas di benaknya saat itu. Baru saja dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur, dia telah tenggelam dalam tidur yang lelap. 

Dia pun bermimpi melihat sebuah bintang jatuh dari 1angit Mekah ke atas rumahnya sehingga rumahnya itu menjadi terang-benderang. Bahkan, sinarnya menembus ke luar rumahnya sehingga menerangi segala sesuatu yang berada di sekitarnya dengan cahaya yang menyilaukan hati; tidak hanya menyilaukan mata karena cahayanya yang begitu kuat. 

Khadijah pun terhangun dari tidurnya dan matanya serta-merta menyapu sekeliling rumahnya dengan perasaan kagum dan heran. Tapi ternyata, didapatinya malam masih meliputi dunia dengan kegelapannya dan masih menyembunyikan segala sesuatu yang ada. Namun, tentu saja cahaya yang begitu menyilaukan dalam tidurnya masih terus bersinar di dalam relung hatinya, menerangi jiwanya yang paling dalam. 

Ketika malam telah berganti pagi, Khadijah pun beranjak dari pembaringannya. Ketika semburat cahaya matahari baru muncul dari timur dan keheningan pagi masih meliputi dunia. Dia pun bergegas untuk pergi ke rumah sepupunya, Waraqah bin Naufal, berharap bisa memperoleh keterangan atas mimpinya yang luar biasa tadi malam. 

Ketika Khadijah masuk ke rumah Waraqah bin Naufal, sepupunya itu sedang membaca lembaran-lembaran yang berisi ayat- ayat Allah swt. Waraqah selalu membiasakan diri membacanya setiap pagi dan sore hari. Ketika dia mendengar suara Khadijah, dia langsung mempersilakannya masuk seraya bertanya keheranan. Mengapa engkau datang pagi-pagi seperti ini? 

Khadijah pun duduk, lalu bercerita tentang apa yang dilihatnya di dalam mimpinya secara perlahan dan detail. Waraqah seolah terhipnotis oleh cerita Khadijah sehingga dia melupakan lembaran-lembaran yang berada di genggarnannya seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia mengikuti dengan seksama alur cerita mimpi yang dikisahkan oleh Khadijah sampai selesai. 

Ketika Khadijah selesai bercerita, wajah Waraqah tampak berbinar-binar. 

Sebuah senyuman yang menghiasi bibirnya menandakan keikhlasan dan ridha. Sejurus kemudian, dia berkata kepada Khadijah dengan tenang, “Bergembiralah sepupuku. Jika Allah benar-benar mewujudkan mimpimu itu, cahaya kenabian akan masuk ke dalam rumahmu, lalu tersebarlah darinya cahaya penutup para nabi.... Allahu Akbar...” 

Apa yang baru saja didengar oleh Khadijah, Apa yang baru saja disampaikan oleh sepupunya, Hati Khadijah berbunga-bunga, tubuhnva bergetar karena gembira. Dadanya dipenuhi oleh berbagai perasaan yang silih berganti, antara angan dan harapan. 

Selanjutnya. Khadijah ra. hidup dalam indahnya harapan dan angan yang diperolehnya dari mimpinya. Dia sangat berharap mimpinya itu benar-benar terwujud sehingga dia menjadi sumber kebaikan bagi umat manusia dan sumber cahaya bagi dunia. Sebelumnya hati Khadijah memang merupakan sumber kebaikan, sedangkan akalnya dapat menangkap setiap kejadian yang terjadi di sekitarnya yang sejalan dengan kehidupannya. 

Sejak saat itu, setiap kali datang kepadanya pembesar Quraisy untuk melamarnya, dia mencoba membanding-bandingkannya dengan apa yang dilihatnya di dalam mimpinya dan dengan penafsiran yang didengarnya dari sepupunya Waraqah bin Naufal. Namun, setelah lama berselang, ciri-ciri yang dilihatnva dalam mimpinya tak kunjung terwujud. Dia tidak melihat pada diri orang-orang yang melamarnya sifat-sifat penutup para nabi. sehingga dia pun harus menolak mereka dengan penolakan yang halus dan beralasan bahwa dia sedang tidak memiliki keinginan untuk menikah. Dia masih memiliki harapan bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang luar biasa bagi dirinya, dan dia merasakan ketenangan yang luar biasa di dalam hatinya

Postingan biografi khadijah selanjutnya bisa dilihat pada artikel :  Pernikahan Yang Penuh Berkah (Biografi Khadijah ra.)

Tabir Wanita