Kemarahan penduduk Mekah semakin hari sernakin menjadi disebabkan pengetahuan mereka bahwa Islam di Madinah telah mengalami kemajuan yang pesat. Mereka khawatir, orang-orang Islam akan membalas kekejaman-kekejaman yang pernah mereka lakukan. Perdagangan mereka dengan Suriah pun terhalang. Untuk pergi ke Damaskus, mau tidak mau mereka harus melalui Madinah yang sekarang telah dikuasai Islam.
Di samping itu, dikisahkan bahwa sebelum Nabi hijrah ke Madinah, seorang tokoh yang bernama Abdullah bin Ubay yang mempunyai pengaruh yang cukup besar -menurut rencana akan diangkat sebagai pemimpin besar oleh sebagian besar penduduk Madinah- dengan kehadiran Nabi di Madinah, pupuslah rencana tersebut. Oleh karena itu, timbullah rasa dengki dan marah terhadap diri Nabi.
Kemarahan juga mereka tujukan kepada penduduk Madinah yang memberikan perlindungan kepada Nabi saw. dan pengikut-pengikutnya. Mereka menganggap hahwa penduduk Madinah sebagai pemberontak dan mereka ingin menghukum penduduk Madinah bersama Nabi Muhammad saw. Mereka mencarii-cari kesempatan untuk melaksanakan maksud itu sampai suatu kesempatan datang dari segolongan orang Madinah.
Walaupun penduduk Madinah menerima ajaran Nabi saw., tetapi banyak juga yang meragukannya. Mereka tidak dapat menyetujui kekuasaan Muhammad saw. dan mengadakan gerakan gelap untuk menyingkirkan Nabi dari negeri mereka. Dalam kedaan seperti itu, penduduk Mekah sudah bersiap-siap pula hendak menyerang orang Islam dengan kekuatan yang besar. Hal ini menyebabkan kedudukan orang Islam mulai sulit dan berada dalam kondisi bahaya. Setiap waktu, orang Islam berada dalam kecemasan; kekhawatiran kalau-kalau datang serangan dari luar atau timbul pemberontakan dalam negeri.
Dalarn keadaan kritis seperti itu, turunlah wahyu Allah yang berbunyi :
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah) dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu) maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah [2]: 190-191)
Ayat di atas memberi isyarat kepada kaum muslimin untuk mengangkat senjata dalam rangka melindungi diri. Tetapi dilarang melewati hatas atau mendahului menyerang. Agama Islam berdiri di atas keadilan yang sempurna, tidak mau menyerang dan tidak suka diserang.
Dengan adanya perintah tersebut, Nabi mulai menyusun pasukan, mengatur pertahanan dan perlengkapan. Pada awalnya, Nabi mengutus beberapa orang mata-mata untuk mengetahui rencana dan kekuatan musuh serta menarik kepala-kepala suku Badui ke pihak Islam.
Pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriah, Nabi mengutus 12 orang Muhajirin dengan diketahui oleh Abdullah bin Jashy untuk bertolak ke selatan. Sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah membukanya setelah dua hari perjalanan. Perintah itu pun dipatuhi. Setelah dua hari perjalanan, sesuai pesan Nabi, Abdulab membuka surat tersebut.
Adapun isi surat tersebut adalah, “Kalau sudah kau baca surat ini, teruskan perjalananmu sampai Nakhlah dan awasi keadaan mereka kemudian laporkan hasilnya.”
Di Nakhlah kelompok yang dipimpin Ahdullah itu bertemu kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Amr bin Hazrami. Mereka sedang menuju Mekah. Kelompok ini teringat akan perlakuan Quraisy dahulu ketika harta benda mereka dirampas. Kelompok yang
dipimpin oleh Ahdullah ini menyerang kafilah dagang Quraisy di Nakhlah dekat Mekah dan di Skrimish. Mereka membunuh Amr bin Hazrami. Peristiwa Nakhlah ini membangkitkan semangat bangsa Quraisy untuk menyerang kaum muslimin.
Nabi mendapat laporan bahwa kafilah bangsa Quraisy menyerang kaum muslimin. Nabi mendapat laporan bahwa kafilah dagang bangsa Quraisy yang sangat besar, yang terdiri dari 1.000 ekor unta dengan segala muatannya, sedang dalam perjalanan dari Suriah menuju Mekah.
Untuk mengurangi kekuatan musuh yang telah siap menyerang itu, Nabi memerintahkan untuk mencegat kafilah dan merampasnya untuk dijadikan kekuatan perang.
Maksud Nabi ini diketahui oleh Abu Sufyan yang memimpin kafilah itu. Abu Sufyan segera mengirim utusan ke Mekah untuk meminta bantuan tentara sebanyak-banyaknya, sedangkan dalam perjalanan, kafilahnya diperbolehkan melalui satu tempat yang bernama Badar; menyusuri pantai Laut Merah.
Mekah bersegera mengirimkan bantuan yang terdiri dari 1.000 orang tentara. Seratus orang di antaranya berkendaraan kuda dan 700 orang lainnya berkendaraan unta. Pasukan itu dipimpin oleh Abu Jahal. Sebenarnya Abu Sufyan telah mengirim kurir untuk menginformasikan hahwa kafilah dagangnya telah selamat. Namun, Abu Jahal bersikeras melanjutkan perjalanan. Abu Jahal ingin memperlihatkan kekuatan tentaranya kepada orang Madinah.
Sementara itu, pasukan Rasulullah saw. hanya terdiri dan 313 orang: di antaranya dua orang penunggang kuda. Tentara yang kecil ini berangkat bersama Rasulullah menuju ke Badar. Dengan demikian, peperangan antara kaum Quraisy dengan kaum muslimin Madinah tak dapat dihindarkan lagi.
Pada pagi hari, di hari Jum’at, 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah, kedua pasukan ini saling berhadapan. Saat itu, Nabi sendiri yang memimpin kaum muslimin, mengatur barisan. Tetapi, ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang jumlah kaum muslimin sangat sedikit, di samping perlengkapan yang sangat terbatas dibanding dengan perlengkapan Quraisy, Nabi kembali ke kemahnya dengan ditemani oleh Ahu Bakar. Sungguh, beliau cemas terhadap peristiwa yang akan terjadi hari itu. Sungguh pilu hatinya, melihat nasib yang akan menimpa Islam kalau kaum muslimin tidak mendapat kemenangan.
Kini, Nabi saw. menghadap wajahnya ke Kiblat dengan seluruh jiwanya. Beliau menghadapkan diri kepada Allah swt. Beliau memohon kepada Allah akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau membisikkan dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan. Kemudian turunlah wahyu Allah :
“Wahai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabat niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang yang sabar dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar) , niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Anfal [8]: 65-66)
Setelah itu, Nabi bermusyawarah dengan para sahabat,.Abu Bakar dan Umar memberikan pendapat agar pertempuran diteruskan. Begitu pula Miqdad bin Amr dan Muhajirin. Ia berkata kepada Rasulullah, “Teruskan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.”
Sehubungan dengan adanya larangan tidak boleh mendahului menyerang, maka orang-orang Islam menaati larangan itu hingga musuh mendahului menyerang. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa sebelum perang dimulai, terlebih dahulu diadakan perang tanding satu lawan satu.
Tiga orang prajurit dari pihak musuh melawan tiga orang pahlawan Islam, untuk bertanding. Ketika itu, dari pihak muslim yang tampil adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abu Thalib dan ‘Ubaidah bin Harits.
Hamzah tidak lagi memberikan kesempatan kepada Walid. Hamzah dan Ali berhasil membunuh lawan tandingnya masing-masing. Lalu, mereka segera membantu Ubaidah yang sedang diterkam oleh ‘Uthah, sehingga ketiga prajurit musuh, seluruhnya dapat dikalahkan.
Selesai perang tanding, perang dilanjutkan dengan peperangan yang sebenarnya antara kedua belah pihak. Dalam peperangan itu, di pihak Quraisy banyak yang tewas, bahkan Abu Jahal sendiri tewas di tangan pemuda Anshar. Jumlah yang tewas dari pihak musuh sebanyak 70 orang sedangkan di pihak Islam yang gugur sebagai syuhada berjumlah 12 orang.
Pasukan Quraisy pun akhirnya mundur setelah mengetahui banyak pasukan mereka yang tewas. Namun demikian, kaum muslimin telah berhasil mengejar mereka dan menangkap sehanyak 70 orang musuh sebagai tawanan perang.
Dampak kemenangan pasukan islan ini, sedikit banyak memukul psikologis kaum Yahudi dan badui, sehingga mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin kamu muslimin yang hanya sepertiga pasukan Quraisy dapat mengalahkan pasukan musuh yang berjumlah 1 .000 orang?
Sementara itu Nabi sibuk dengan urusan tawanan perang. Dia memisah-misahkan mereka. Kepada para sahabat beliau berkata, “Perlakukanlah mereka dengan sebaik-baiknya.”
Terhadap para tawanan ini, Umar bin Khaththab mengusulkan agar mereka dibunuh semuanya, seimbang dengan kekejaman mereka terhadap orang-orang islam, tetapi Abu Bakar mengusulkan agar tawanan-tawanan yang kaya diwajibkan menebus dirinya masing-masing, lalu dibebaskan. Sedangkan tawanan yang miskin dan tidak berbahaya dibebaskan tanpa uang tebusan.
Setelah bermusyawarah, akhirnya Nabi memutuskan bahwa tebusan diberikan sesuai dengan kemampuan keluarga setiap tawanan, diperkirakan tebusan itu mencapai 400 dirham. Para tawanan yang mempunyai kepandaian menulis, dapat menebus dirinya dengan kepadaiannya itu. Demikian juga terhadap kelompok ahli syair, yang sering menyandungkan syair untuk melawan Nabi, dihadapkan ke muka mahkamah yang dipimpin oleh Nabi saw. Sekalipun mereka adalah tawanan perang yang sedang diadili, Nabi tetap memperlakukannya dengan baik. Bahkan, usulan untuk mencabut gigi tawanan agar mereka tidak mampu menghasut umat ditolak oleh Nabi SAW.
Demikianlah perlakuan kaum muslimin terhadap tawanan perang sebagai salah satu cara untuk menyiarkan Islam pada waktu itu