Saturday, 1 October 2016

Biografi Abul Wafa Al-Buzjani (Pelopor Peradaban Islam)

Pelopor Peradaban Islam

ABUL WAFA AL-BUZJANI 
 (328-387 H I 940-998 M)

Abu al-Wafa Muhammad Ibnu Muhammad lbnu Yahya Ibnu Ismail lbnu Abbas al-Buzjani Adalah seorang insinyur, ahli astronomi dan ahli matematika. Sarton menggambarkannya sebagai salah satu dari ahli matematika terkenal lslam.

Abu al-Wafa lahir di Buzjan di Khurasan tahun 328H/940M. Dia belajar matematika di bawah bimbingan paman dari pihak ayahnya, Abu Umar al-Maghazil, dan paman dari pihak ibu yang dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad lbnu Ataba serta belajar ilmu geometri di bawah bimbingan Abu Yahya al-Marudi dan Abu al-Ala’ lbnu Karnib. Pada tahun 348H /959M dia pindah ke Irak dan tinggal di Baghdad sampai wafatnya pada tahun 387H/998M. Abu al-Wafa mendedikasikan hidupnya untuk menulis, memantau pergerakan benda-benda angkasa, dan mengajar. Ia menjadi anggota dari kelompok observasi yang dibentuk oleh Sharaf ad-Dawla tahun 377H.

Kontribusinya terhadap Ilmu Pengetahuan
Abu al-Wafa adalah salah satu sarjana astronomi dan matematika terkenal. Beberapa sarjana Barat juga mengakui kemasyhurannya yang berjasa di bidang ilmu geometri. Al-buzjani membuat kontribusi penting untuk mengembangkan trigonometri.

AI-Buzjani membuat kontribusi penting untuk pengembangan ilmu trigonometri. “Cara de Faw” mengakui bahwa “usaha perubahan yang dilakukan oleh Abu al-Wafa terhadap ilmu trigonometri tidak berarti menentang. Terima kasih kepadanya, berkat usahanya ini, ilmu pengetahuan ini menjadi lebih mudah dan lebih jelas. Dia menggunakan garis potong (sekan) dan kosekan serta mengembangkan sebuah metode baru untuk menghitung sinus. Dia juga yang pertama sekali mempertunjukkan teori umum sinus yang terdapat pada segitiga berbentuk bola.

Abu al-Wafa adalah seorang jenius yang memiliki kualitas sama baiknya dalam ilmu geometri, dia mampu menyelesaikan beberapa masalah ilmu geometri dengan ketangkasan yang luar biasa. 

Karya-karya Besarnya
AI-Buzjani meninggalkan beberapa buku, temasuk :
  • “Kitab fima Yahtaju ilaihi al-Kuttab wa al-Ummal min‘jim aI-Hisab”(Buku tentang Apakah Ilmu Pengetahuan Aritmatika Penting bagi AhIi Menulis dan Pelaku Bisnis) adalah sebuah buku terapan aritmatika. Dua yang belum lengkap dari risalah ini disimpan di Leyden, Belanda dan Kairo.
  • “Kitab al-Kamil” (Buku yang Lengkap)
  • “Kitab fima Yahtaj Ilaih as- Suna’fi ‘Ama’ al-Handasa” (Buku tentang Seberapa Penting Ilmu Konstruksi Geometri bagi Tukang Kayu) sebuah buku terapan ilmu geometri yang ditulis atas permintaan dari pemimpinan Baha’ad-Dawla. Sebuah salinan dari risalah ini disimpan di perpustakaan Masjid Ayasofya di Istambul.
  • “Kitab al-Majesti” adalah buku yang sangat terkenal darisemua buku-bukunya. Sebuah salinan buku ini yang belum lengkap di simpan di Perpustakaan Nasional di Paris.
  • “Kitab al-Handsa” ( Ilmu Geometri Terapan) sebagian dari risalah-risalah ini, Abu al-Wafa menulis banyak pandangan berharga tentang euklid, Diophantus, dan al khawarizmi, tetapi kesemuanya ini telah hilang. 

Kesimpulannya, penemuan-penemuan al-Buzjani dan buku-bukunya memiliki pengaruh yang berarti dalam kemajuan ilmu pengetahuan, sebagian dalam ilmu astronomi dan ilmu trigonometri. Dia adalah di antara perintis yang memimpin pekerjaan yang berat dan melelahkan terhadap munculnya analitis ilmu geometri dengan menemukan penyelesaian geometri dengan menggunakan beberapa persamaan aljabar.

Biografi Abdurrahman Sufi (Pelopor Peradaban Islam)

pelopor peradaban islam

ABDURRAHMAN SUFI
(291-376 H /903—986 M)


Abu al-Hasan Abdul al-Rahman Ibnu Amir Ibnu Sahi Al-Sufi ar-Razi lahir di Ray. Dia adalah satu di antara ahli astronomi dan ahli astrologi terkenal. Menurut ahli sejarah George Sarton, ia adalah salah satu ahli astronomi Islam terkenal. Ia berteman dengan pemimpin Al-Bouihi Adud Adawla, yang membuat dirinya sebagai ahli astrologi mandiri dan sebagai guru untuk mengajarkan tentang letak statis bintang-bintarig dan pergerakannya

Kontribusinya dalam Ilmu Pengetahuan

Sufi membuat masukan berarti untuk ilmu astronomi yang dapat disimpulkan prestasinya sebagai berikut:
Dia melakukan pemantauan terhadap bintang-bintang, menghitung dan menentukan pergerakannya membujur dan melintang. Observasi ini memperkenankannya untuk menemukan keseimbangan baru bintang-bintang yang sebelumnya belum pernah dipantau. Ia menggambarkan pemetaan langit, di mana Ia membuat daftar letak dan keseimbangan bintang-bintang, jaraknya dan tingkat cahaya beberapa dari bintang-bintang. Dia juga mengembangkan sebuah atlas bintang-bintang untuk memastikan kesalahan para pendahulunya. Bangsa Eropa mengakui kebenaran dari observasi astronominya; Aldo Mull menggambarkannya “sebagai salah satu dari ahli astronomi Arab terkenal dimana melalui dirinya kita mendapatkan sebuah keberlangsungan tentang kebenaran observasi langsung”. Lebih lanjut ia menyatakan: “Ahli astronomi besar ini tidak hanya terpusat pada beberapa bintang yang tidak dikenal Ptolomeus, tetapi ia juga mengoreksi beberapa kesalahan observasinya. Selanjutnya Ia memungkinkan sebagai ahli astronomi masa depan untuk mengenal planet-planet dimana ahil astronomi Yunani memberikan letak posisi tidak akurat.

Karya-karya Besarnya
  • “Kitab al-kawatib Al-thabita” (Buku tentang Keseimbangan Planet-planet) merupakan buku yang dipertimbangkan oleh Sarton sebagai salah satu dari tiga buku besar yang terkenal di antara ahli astronomi Muslim. Dua buku lainnya adalah buku Ibnu Yunus dan Ulugh Beg’s. Buku ini berisikan gambaran warna dari perbintangan dan gambar pergerakan;
  • “Risalat A1-amal bil Usturlab” (Risalah tentang Fungsi Laboratorium Astronomi);
  • “Kitab Tadkira”;
  • “Kitab matarih Chua’at”;
  • "Kitab aI-Urjuza II al-Kawakib Tabita”Salinan dari beberapa karya besar ini disimpan dalam perpustakaan dibeberapa negara seperti Perpustakaan El Escorial di Madrid, Paris, dan Oxford.

Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah melihat bahwa kecintaan Zaid kepada Rasulullah saw. merupakan suatu sikap yang tidak dapat tergantikan oleh dunia dan segala isinya yang hanya merupakan kenikmatan semu. 

Waktu itu, Zaid kecil bepergian bersama ibunya untuk mengunjungi kaumnya. Di perjalanan, sekelompok perampok berkuda menyerang mereka dan menculik Zaid. Mereka lalu menjualnya di Pasar ‘Ukaz, pasar yang sangat terkenal di Mekah waktu itu, di sana juga terdapat perdagangan budak. Dia dibeli oleh Hakim bin Hazam seharga 400 dirham untuk dihadiahkan kepada bibinya Khadijah. 

Ayah Zaid terus berusaha mencari anaknya itu ke seluruh penjuru namun tidak berhasil menemukannya. Hatinya seakan tercabik-cabik oleh kesedihan atas kehilangan anak yang dicintainya itu. Kesedihan yang amat dalam itu membuatnya mampu untuk menyusun sebuah untaian syair yang amat menyayat hati pendengarnya. 


Dia berujar, “Aku menangisi Zaid tanpa aku tahu apa yang dilakukannya sekarang. Apakah aku masih boleh berharap dia hidup atau ajal tetah lebih dulu menjemput…Demi Allah aku sungguh tidak tahu Apakah dia diculik oleh lautan atau pegunungan… Matahari selalu mengingatkanku padanya setiap kali dia terbit…Namun ingatan itu sirna seiring dengan terbenamnya…Aku akan terus berjalan di muka bumi sampai menemukannya…Aku takkan pernah bosan hingga unta-lah yang merasa bosan…Itu kalau aku masih hidup. Kalau ajal lebih dulu menjemput, maka setiap orang memang akan binasa meski penuh dengan cita-cita” 

Pada saat musim haji tiba, beberapa penyair dari suku Zaid melantunnkan untaian syair tersebut seraya melakukan thaaf di sekeliling Baitul Atiq (Ka’bah). Takk disangka mereka berpapasan dengan Zaid. Mereka langsung mengenalinya dan begitu juga halnya dengan Zaid. Mereka lantas saling bertanya tentang keadaan masing-masing. Sctelah selesai dari manasik haji, mereka pun kembali ke rurnah masing-masing. Mereka lalu memberitahu Haritsah tentang apa yang mereka lihat dan dengar.
Mendengar berita tersebut Haritsah langsung bersiap melakukan perjalanan untuk menjemput sang putra. Dia juga menyiapkan sejumlah harta untuk digunakan sebagai penebus anak yang amat disayanginya itu. Bersama saudaranya yang bernama Ka’ab, dia bergegas melakukan perjalanan menuju Mekah. 

Sesampainya di Mekah, mereka bertanya tentang keberadaan Nabi saw. Mereka diberitahu oleh orang-orang yang mereka temui bahwa beliau berada di masjid. Keduanya lalu masuk ke dalam masjid untuk menemui beliau dan berkata, “Wahai putra Hasyim, wahai putra sang pemimpin kaumnya, kalian adalah pemilik Tanah Haram dan tetangganya. Kalian membantu orang yang mengalami kesulitan dan memberi makan para tawanan. Kami datang untuk menjemput anak kami yang berada di tanganmu. Maka kasihanilah kami dan berbaik hatilah kepada kami agar kami dapat rnenebusnya sesuai dengan kemampuan yang kami miliki.” 

Rasulullah saw. bertanya: “Siapa yang kalian maksud?” 

Jawab mereka, “Zaid bin Haritsah.” 

Rasulullah saw. bertanya lagi, “Apa mungkin dengan cara lain?” 

Mereka bertanya, “Cara yang bagaimana?” 

Beliau berkata, “Panggilah dia dan suruh dia untuk memilih. Jika dia memilih kalian, maka dia menjadi milik kalian tanpa tebusan sepeser pun. Jika dia memilih aku, demi Allah bukan aku yang memilihkan untuknya, melainkan itu adalah pilihannya sendiri.” 

Mereka berkata, “Sungguh, engkau telah berbaik hati kepada kami.” 

Rasulullah saw. lalu memanggil Zaid dan berkata kepadanya, “Apa kamu mengenali mereka Zaid ?”
J awab Zaid, “Ya, ini ayahku dan pamanku.” 

Rasulullah saw. berkata lagi padanya, “Kamu pun tentu telah mengenal siapa aku dan bagaimana sayangnya aku kepadamu, maka silakan kamu memilih antara aku dan mereka.” 

Zaid lalu berkata, “Aku tidak mungkin mernilih orang selain engkau. Engkau adalah ayah sekaligus pamanku.” 

Keduanya lalu berkata, “Celakalah engkau hai Zaid, kamu lebih memilih menjadi budak daripada hidup bebas bersama ayah, paman, dan seluruh keluargamu?” 

Zaid menjawab, “Ya, Ayah! Aku telah menemukan pada diri orang ini sesuatu yang membuatku tidak mungkin memilih orang lain selain dia selamanya. 

Ketika Rasulullah saw menyaksikan hal tersebut, beliau lantas keluar menemui khalayak dan berkata, “Wahai semua yang hadir, saksikanlah, sesungguhnya, Zaid adalah anakku. Dia akan menjadi pewirisku dan aku menjadi pewarisnya.” 

Setelah melihat yang demikian, ayah dan paman Zaid pun merelakan sang anak lalu mereka kembali ke kaumnya. 

Sejak saat itu, Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad hingga Islam datang. Rasulullah saw. lalu menikahkannya dengan Zainab binti Jahsy. Ketika Zaid menceraikannya, Rasulullah saw. lalu menikahinya. 

Orang-orang munafik menyebarkan isu negatif, mereka mengatakan, “Muhammad menikahi istri anaknya sendiri.” Maka turunlah ayat, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (A1-Ahzab [33]: 40) Lalu Rasulullah membaca ayat sebelumnya, “Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka....” (A1-Ahzab [33]: 5) Maka Zaid pun kembali dipanggil Zaid bin Haritsah. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada potingan yang berjudul :  Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra., siti khadijah
Khadijah ra. adalah sosok yang sangat dermawan dan suka memberi. Dia menyukai apa saja yang disukai oleh suaminya dan mengorbankan segala yang dimilikinya demi membahagiakan sang suami. Ketika Rasulullah saw. harus mengasuh anak pamannya, Ali bin Abu Thalib ra., dia mendapatkan di rumah “wanita suci” dan penyayang, seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Ali merasa seolah-olah Khadijah itu adalah ibu kandung yang melahirkannya. Khadijah begitu menyayangi Ali dengan penuh kasih. 


Begitu juga ketika Khadijah ra. merasa hahwa Rasulullah saw. sangat menynyangi budaknya, Zaid bin Haritsah. Dia menghadiahkannya kepada beliau sehingga kedudukannya semakin bertambah mulia di hati Rasulullah saw.

Biografi Siti Khadijah selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul : Aku Tidak Mungkin Memilih Orang Selain Dia Selamanya (Biografi Khadijah ra.)

Friday, 30 September 2016

Apa Sebenarnya Hukum Menonton Film Porno Menurut Fikih Islam ?

hukum menonton film bokep, hukum menonton film porno, hukum menonton bf
Tanya : Apakah hukumnya menonton film porno atau blue film (BF)? (Bu Titi, Semarang) 

Jawab : Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Teknologi sangat tergantung pada bagaimana cara menggunakannya. Selain dapat digunakan untuk kebaikan, dapat juga untuk kejelekan. Salah satu gejala yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah makin mudah akses terhadap perangkat maupun alat hiburan yang tidak layak dilihat.

Manusia oleh Allah Swt. dilengkapi dengan 3 (tiga) potensi, al-quwa al-a qliya (daya intelektual), al-quwa al-syahwiyah (nafsu, syahwat), al-quwa al-ghadhabiah (emosi). 

Karena nafsu, manusia tertarik kepada lawan jenisnya. Sifat ini adalah alamiah dan sesuai dengan kodratnya. Karenanya nafsu tidak harus dihilangkan secara total. Sebab hal itu tidak mungkin. Dan sama dengan makhluk hidup lainnya, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan di muka bumi ini. Dan ini dapat dilakukan dengan kecenderungan untuk tertarik dengan lawan jenis tersebut.

Bisa kita bayangkan kalau manusia tidak mempunyai nafsu untuk makan dan minum maupun keinginan s*ksual, niscaya sudah lama punah atau mati, dan tidak lagi berkembang biak seperti sekarang. 

Namun nafsu (s*ksual) tidak lantas boleh dipuaskan sesuka hati, apalagi dengan perilaku s*ks bebas. Sebab dampak yang diakibatkan dan s*ks menyimpang itu tidak kalah negatif. 

Untuk menghindari semua itu, Islam mengambil jalan tengah dan mengatur cara penyaluran kebutuhan biologis tersebut sedemikian rupa lewat lembaga pernikahan.

Pernikahan dianjurkan, bahkan terkadang wajib dan termasuk sunah nabi. Sebaliknya, sistem kependetaan (rahbaniyah) yang menganulir kebutuhan biologis tersebut sangat dikecam dan dilarang. Demikian pula mengumbar hawa nafsu tanpa aturan dan ikatan yang jelas (zina) juga merupakan hal yang diharamkan agama. 

Status hukum zina, semua kaum muslimin sudah maklum yaitu haram. Keharaman zina termasuk al-ma‘lum min ad-din bi adh-dharurah, suatu hal yang sangat jelas dan gamblang dalam agama.

Sehingga, bila ada yang mengingkari kenyataan ini bisa berakibat fatal. Sebab secara tidak langsung hal ini berarti mengingkari pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis atau ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. 

Hanya yang sering kurang dipahami, pengharaman zina itu tidak terbatas pada melakukan zina secara langsung, melainkan menetapkan hal-hal yang bisa menjerat atau mendorong orang ke arah perzinahan (muqaddimah az-zina). 

Menarik sekali ketika Al-Quran melarang zina. Redaksi yang dipakai, “janganlah kalian semua mendekatinya,” sebagaimana termaktul, dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al sra’: 32) 

Jadi, bukan “janganlah melakukan zina.”. Dengan demikian yang diharamkan dalam ayat tersebut bukan hanya zina, melainkan juga mendekatinya.

Pengharaman mendekati zina secara otomatis (al-mahfum bi al-aula) membawa konsekuensi pengharaman zina.

Perbuatan-perbuatan yang potensial mendekatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina, jumlahnya banyak sekali. Misalnya melihat aurat orang lain (bukan istrinya) atau berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Termasuk di dalamnya melihat sesuatu yang mer*ngsang nafsu birahinya, di antaranya film p*rno (blue film atau film biru). 

Dalam satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, sebagaimana termaktub dalam kitab Jawahir Al-Bukhari dinyatakan, melihat sesuatu yang membangkitkan gairah (an nazhar bi syahwah) dinamakan zina (zina mata) dan hukumnya haram. Menurut sebagian ulama, adanya pelarangan itu karena pandangan tersebut dapat mendorong seseorang untuk melakukan zina yang sesungguhnya.

Dalam fikih ada kaidah adz-dzarai, yang intinya adalah hukum suatu perbuatan itu terkait erat dengan akibat lanjutannya. Memang tidak selamanya melakukan perkara yang mendekati zina pasti akan berakibat pada perzinaan. Begitu pula tidak semua orang yang zina diawali dengan tindakan yang menjurus ke arah itu.

Dalam konteks ini, yang dititik beratkan adalah sikap kehati-hatian, dan langkah-langkah yang bersifat preventif atau pencegahan. Karena pada umumnya, satu kejadian itu ada proses dan tahapan-tahapan yang mendahuluinya, di samping situasi yang memang kondusif.

Begitu pula dengan zina. Dalam kenyataannya tidak secara tiba-tiba seseorang ingin melakukan tindakan asusila itu. Kebanyakan ada rangs*ngan-rangs*ngan (stimulus) yang datang dari dalam atau dari luar dirinya.

Perlu juga disadari, manusia itu bermacam-macam. Di satu pihak ada yang memiliki nafsu besar, ada pula yang sedang, dan ada pula yang kecil. Di pihak lain, ada yang mampu mengendalikan nafsunya dan ada yang justru sebaliknya. 

Yang jelas, bila nafsu sudah bergejolak dan membara, akan makin sulit dihindari. Kalau boleh diibaratkan dengan api yang membara, maka sangat sulit untuk dipadamkan. 

Karena itu, termasuk kebaikan tertinggi adalah sikap mujahadah an-nafsi, yaitu memerangi hawa nafsu. Bahkan, lebih berat daripada perang secara fisik. Sebab nafsu tidak terlihat menyatu di depan mata kita dan tidak pernah mati. Sedangkan mujahadah an-nafsi akan makin mudah bila kita tidak membangun nafsu itu sendiri.

Sebaliknya, akan makin sulit, bahkan mungkin menjadi tak terbendung lagi, jika nafsu telah demikian membara, sehingga membutakan akal pikiran dan kesadaran kita. Apalagi jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa yang kuat serta pemahaman ajaran agama secara memadai, maka kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang nantinya akan menjadi aib ini semakin menjadi-jadi.

Akibat negatif film-film p*rno, sudah sering dimuat di media rnassa. Ada anak kedil yang masih duduk di bangku SD melakukan hubungan s*ksual setelah melihat film tersebut. Itu hanya salah satu contoh kasus, dan yang lain tentunya masih banyak.

Berangkat dari semua itu, hendaknya semua pihak menaruh kepedulian terhadap merebaknya film-film yang tidak layak ini. Masing-masing pihak sesuai kemampuan, wewenang dan tugasnya hendaknya diharapkan perannya untuk menanggulangi dampak buruk dari hal tersebut. Keluarga, masyarakat, sekolah dan aparat pemerintah serta keamanan, semua berkewajiban menanggulangi dekadensi moral khususnya perzinaan, yang salah satu faktor penyebabnya adalah merebaknya p*rnografi dalam berbagai bentuk.

Apakah Ilmu Sains Itu Bid'ah Menurut Fikih Islam ?

hukum ilmu sins
Tanya : Ada orang berpendapat pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang tidak bersumber dari syariah adalah bid’ah, kekejian atau kemusyrikan. Bagaimana dengan pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang bersumber dari sains, terutama ilmu pengetahuan ? Bukankah ilmu alam dapat memantapkan keimanan manusia tentang adanya Tuhan? (Agung Widiyoutomo, Magelang)

Jawab : Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan memahami aspek-aspek apa saja yang dimuat dalam syariat, dan dengan cara bagaimana kebenaran atau pengetahuan itu didapat. 

Sumber ajaran Islam adalah wahyu yang terbuktikan dalam Al-Quran dan hadis. Ruang lingkup ajaran Islam dapat diketahui dari kedua sumber primer itu. Para pakar telah mengamati dengan seksama terhadap Al-Quran dan hadis menyimpulkan, ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa komponen. Yakni akidah (keyakinan atau kredo), ibadah dan akhlak, muamalah, jinayah, siyasah, munakahat, dan lain-lain. 

Sedangkan sumber kebenaran dari pengetahuan minimal ada 3 (tiga). Salah seorang kontemporer, Syaikh Al-Maraghi dalam tafsirnya -yang diberi nama sesuai pengarangnya Al Maraghi- menjelaskan, hidayah Allah diberikan lewat berbagai cara. Di antaranya hidayah diniyyah (petunjuk agama) yang bersumber dari wahyu. Selain itu juga ada hidayah ‘aqliyah, yakni petunjuk atau kebenaran yang diperoleh dengan akal pikiran. Ada pula hidayah inderawi lewat pancaindera.

Kalau hidayah yang pertama hanya dimiliki manusia-manusia tertentu (nabi dan rasul) yang memang telah ditunjuk dan dipilih Allah, maka hidayah kedua dan ketiga bisa dinikmati oleh semua orang yang sehat jasmani dan rohaninya. Selain itu hidayah dapat diperoleh dari mimpi, ilham, kasyf, dan lain-lain. 

Melihat ruang lingkup ajaran Islam dan bervariasinya sumber hidayah (petunjuk) tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan tidak semua hal telah dibahas secara tuntas dalam Al-Quran dan hadis, misalnya sains dan teknologi. Syariat -atau lebih tepatnya Al Quran dan hadis- sebagai sumber kebenaran adalah benar tetapi tidak satu-satunya. 

Manusia dengan akal pikirannya mampu menemukan kebenaran. Namun perlu disadari tidak semua masalah mampu dipecahkan dengan akal semata. Bagaimanapun juga kapasitas akal ada batasnya. Sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat membuktikan hal itu. Berapa banyak ilmuwan dan fiosof yang pendapatnya saling bertentangan. 

Selain itu banyak teori yang secara mapan dianut banyak orang, suatu ketika dikritik bahkan dibatalkan generasi sesudahnya. Pendapat seseorang dalam masalah yang sama sering berubah-ubah dan tidak bertentangan sesuai dengan perkembangan informasi dan kematangan intelektualnya. 

Karena itu, benarlah pendapat yang menyatakan, akal itu laksana timbangan emas. Pendapat tersebut mengisyaratkan tidak semua masalah bisa diatasi dengan bantuan alat, sebagaimana tidak semua benda dapat diketahui beratnya dengan timbangan emas.

Berangkat dari itulah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul untuk menjelaskan perkara-perkara yang sama sekali di luar akal (fauq al-’aql) atau dapat dicapai dengan akal, tetapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Padahal informasi tentang hal itu sangat urgen (penting) untuk diketahui, misalnya informasi tentang Tuhan, metafisika, akhirat dan moral.

Berangkat dari kenyataan tersebut, dalam menyikapi suatu perkara kita mesti merujuk pada tiap-tiap sumbernya. Harus diadakan pemilahan antara bidang agama dan bidang akal. Dalam masalah-masalah yang memang menjadi otoritas agama, sudah tentu harus kembali kepada sumbernya, yaitu Al-Quran dan hadis. 

Demikian halnya, jika masalah tersebut termasuk dalam wilayah akal pikiran, kita dipersilahkan mendayagunakannya semaksimal mungkin. Intinya pada bidang agama sumbernya Al-Quran dan hadis. Dalam masalah duniawi termasuk di dalamnya sains dan ilmu pengetahuan adalah akal. 

Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu sendiri.”

Jelas sekali, Rasulullah dalam masalah duniawi menyerahkan sepenuhnya kepada manusia dengan catatan tidak menyimpang dari syariat Islam. 

Berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Islam merupakan agama yang paling menghargai akal pikiran. Banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan umatnya berpikir, dan bersikap kritis serta melarang taklid. 

Demikian pula halnya dengan hadis, Islam meninggikan derajat para ulama atau ilmuwan, dan memerintahkan umatnya mencari ilmu, baik ilmu agama maupun non agama yang bermanfaat bagi kehidupan. Dalam satu hadisnya Rasulullah Saw. menyuruh mencari ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Padahal Cina saat itu terkenal dengan industrinya, bukan pusat kajian agama. 

Memang dijumpai sejumlah ayat dalam Al-Quran yang membicarakan ilmu pengetahuan, misalnya, proses terciptanya alam semesta, tahapan-tahapan perkembangan janin, berputarnya bumi pada porosnya, madu mengandung obat dan lain-lain. Namun bukan berarti Al-Quran merupakan buku ensikiopedia ilmu pengetahuan yang memuat informasi yang mendetail tentang sains. 

Al-Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia untuk menggapai keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Quran dengan menyinggung beberapa fenomena ilmiah, dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran Allah dan membuktikan Dia adalah pencipta alam semesta ini.

Bukankah setiap pencipta mengetahui proses dari karakter ciptaannya ? Lebih dari itu Al-Quran ingin menandaskan tidak ada pertentangan antara ayat Quraniyah dan ayat kauniyah, atau antara agama di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Sebab keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt.

Ilmu pengetahuan diperoleh manusia lewat pengamatan dan penyelidikan terhadap alam semesta, dengan kernampuan akal dan inderanya. Sebagai bukti, bangsa-bangsa yang maju dalam sains justru tidak pernah membaca Al-Quran dan hadis, sumber syariat.

Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran dan pengamatan indera bukanlah bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan, karena berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sekaligus dapat mempertebal iman. Sebab ada sebagian kebesaran Allah yang hanya dapat diketahui lewat ayat-ayat-Nya. Ayat-ayat (tanda-tanda) itu ada yang berupa tulisan, tetapi ada pula yang berwujud hukum-hukum alam atau sunnatullah.

Apa Hukum Jual Beli Narkoba Menurut Fikih Islam ?

hukum menjual narkoba
Tanya : Bagaimana hukum jual beli narkoba ? Soalnya ada yang berpendapat yang dilarang cuma mengkonsumsinya. (Muhyiddin, Demak) 

Jawab : Akhir-akhir ini merebak sekali kampanye tentang bahaya narkoba yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan memasang spanduk-spanduk dan iklan layanan masyarakat lewat televisi atau media cetak.

Aparat keamanan seperti diberitakan media massa, gencar melakukan penggerebekan pengedar narkoba dan menangkap pemakainya. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya narkoba, khususnya di kalangan generasi muda, pemilik masa depan dan penerus perjuangan bangsa. 

Sebelum membicarakan hukum jual beli narkoba, perlu ditegaskan terlebih dahulu narkoba sepenuhnya dilarang oleh agama (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 75-76). Hukumnya sama dengan minuman keras dalam bahasa Al-Quran disebut al-khamr. Baik narkoba maupun miras, keduanya sama-sama menghilangkan kesadaran dan membuat akal pikiran tidak berfungsi. 

Padahal akal pikiran adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dan binatang. Salah satu fungsi akal adalah pengendali moral. 

Nah, ketika akal tidak berfungsi, perbuatan menjadi lepas kontrol dan menimbulkan berbagai kesalahan. Karena itu, dalam literatur agama, miras dianggap “Ibu pelbagai keburukan/kejelekan” (ummu al-khaba‘its). Artinya, miras menjadi sumber berbagai tindakan negatif dan amoral. 

Memang, mengkonsumsi narkoba ada “manfaatnya” misalnya bisa merasakan kenikmatan saat mengalami ekstase. Karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Paling tidak menurut pikiran pelaku sendiri secara subjektif. 

Begitu juga dengan miras. Namun dibandingkan dengan kenikmatan sekejap yang dijanjikan, akibat negatif dan kerugian yang dialami jauh lebih besar secara fisik, mental intelektual dan sosial-ekonomi. Dalam Al-Quran, Allah mengakui adanya manfaat dan madharat dalam miras, pada surat Al-Baqarah :
Artinya: “Mereka bertanya tentang khamr dan judi, Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. A1-Baqarah: 219) 

Kata dosa dalam ayat diatas (al-itsm) menunjukkan adanya dampak negatif. Karena dosanya lebih besar, berarti kerugiannya lebih besar juga. Allah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu kecuali mengandung hikmah berupa jalb al-mashalih (memperoleh maslahah) atau daf’u al-mafasid (menolak mafsadah). 

Meskipun ayat tadi berbicara tenang miras/khamr, tetapi dapat diterapkan juga pada narkoba karena keduanya terdapat kesamaan, yakni madharatnya lebib besar daripada manfaatnya. 

Karena mengkonsumsi narkoba diharamkan, maka memperjualbelikannya juga dilarang (Madzahib Al-Arba‘ah. 5/39). Sebagaimana diterangkan literatur-literatur fikih, dalam masalah jual-beli terdapat persyaratan, benda yang diperjualbelikan harus bermanfaat menurut ukuran syara’ (Kifayah Al-Akhyar. I, h. 241)

Benda-benda yang diharamkan oleh agama, tidak termasuk dalam kategori bermanfaat. 

Ketentuan fikih diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Jabir ra. bahwa Rasulullah hersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung’.

Dari hadist ini, dapat disimpulkan segala sesuatu yang dilarang dikonsumsi oleh agama, tidak diperkenankan diperjualbelikan. (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 137) 

Agama menyuruh umatnya melakukan hal-hal positif dan menghindari yang tidak berguna, apalagi yang jelas-jelas merugikan. Salah satu kaidah fikih menyatakan adh-dhararu yuzal, segala hal yang negatif/membawa madharat harus dihilangkan atau dihindari. Tidak menjual narkoba termasuk perbuatan preventif sebagai upaya menghindari madharat.

Dari sisi lain, pelarangan jual-beli narkoba dapat pula dirujukkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengrjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) 

Memang, pada dasarnya manusia dalam menjalani hidupnya membutuhkan kerja sama dan tolong menolong. Tetapi kerjasama itu tidak boleh dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menjual narkoba pada orang lain dapat dimaknai sebagai sikap bekerjasama dengan orang itu dan membantunya melakukan dosa, seperti mengkonsumsi narkoba. Intinya, seperti kita dilarang melakukan dosa, dilarang pula membantu dalam bentuk apapun kepada orang lain untuk melakukan dosa itu.

Dengan kata lain, membantu orang lain melakukan dosa adalah dosa juga. (al-i’anah ‘ala al-itsm itsm) 

Dengan demikian, pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan, “tidak apa-apa menjual narkoba asal tidak mengkonsumsi”, sama sekali tidak dibenarkan, begitu juga dengan minuman keras dan sejenisnya, yang meliputi semua produk atau barang yang dilarang oleh agama. 

Keharaman jual-beli narkoba membawa koksekuensi tidak halal keuntungan yang diperoleh darinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat dan Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah itu kalau mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula tsaman-ny.” (Madzahib Al-A rba‘ah, V, h. 41) 

Tsaman adalah sesuatu yang ditukar dengan benda yang dijual, berupa uang atau barang. Cuma sayang, orang sekarang cenderung tidak peduli apakah yang dimakan itu halal atau tidak. 

Dalam upaya memberantas narkoba, terdapat pertanyaan yang mendasar, sebenarnya orang menjual narkoba banyak yang membutuhkan/konsumen, ataukah konsumen itu banyak karena peredaran merebak ?. 

Saya kira keduanya bisa sama-sama benar. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan dua jalur, yakni mengurangi konsumen dan membatasi peredaran secara simultan. Karena itu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari semua pihak.

Keturunan Yang Diberkahi (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Seperti itulah kondisi rumah yang penuh berkah, cinta, dan kasih sayang. Khadijah tidak pernah berhenti berusaha memberikan kebahagiaan bagi Rasulullah saw. Hingga pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. pulang ke rumah, sang istri yang sangat penyayang itu menyampaikan kabar gembira yang luar biasa. Khadijah memberi tahu beliau bahwa dia mengandung. Hati Rasulullah saw. bergetar karena kegembiraan yang luar biasa ketika mendengar kabar gembira tersebut. 


Khadijah pun sangat merasakan kegembiraan dan keceriaan yang sangat karena dia merasakan dan mengetahui betul bahwa sang suami memang sangat berharap Allah akan memberinya keturunan. Momen yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Khadijah melahirkan putra pertama Rasulullah saw. yang diberi nama Al-Qasim. Dengan nama inilah Rasulullah saw. kemudian digelari (Abul Qasim). 

Setelah itu, Khadijah juga dianugerahi oleh Allah beberapa putri, yairu Zainah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Semuanya lahir sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi. Setelah beliau menjadi Nabi, Khadijah melahirkan seorang anak lagi, yaitu Abdullah, yang juga dinamakan dengan At-Thayyib Ath-Thahir (anak yang baik dan suci). 

Ibnu Abbas pernah memaparkan nama putra-putri Rasulullah saw. dan Khadijah ra. Dia berkata, “Khadijah telah melahirkan untuk Rasulullah saw. dua orang putra dan empat orang putri, yaitu Al-Qasim, Abdullah, Fatimah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Ruqayyah. Adapun Ibrahim adalah anak yang diperoleh Rasulullah dari Maria Al- Qibthiyya ra. Namun, seluruh putra beliau meninggal dunia ketika mereka masih kecil. Semua putri beliau sempat merasakan periode Islam, dan mereka pun masuk Islam dan ikut hijrah ke Madinah. 

Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan Utsman bin Affan ra. (Utsman tidak menikahinya secara bersamaan), sementara Zainab menikah dengan Abul Ash bin Ar-Rabi’ bin Abd Syams, sedangkan Fatimah menikah dengan Ali bin Abu Thalib ra. 

Semua putrinya meninggal dunia pada saat Rasulullah saw masih hidup, kecuali Fatimah yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat. 

Khadijah ra. adalah istri yang sangat ideal. Dia tahu betul bagaimana membahagiakan suaminya dan anak-anaknya. Semakin lama mendampingi Rasulullah saw., dia semakin mencintai beliau dan terkagum-kagum oleh sosok hamba yang zuhud, yang hatinya selalu terikat dengan Allah swt. 

Dari rumah yang penuh berkah ini hadir Fatimah yang di kenuidian hari akan banyak melakukan pengorbanan. Dialah pemimpin para wanita penghuni surga. Ibunda Hasan dan Husain; dua pemimpin para pemuda ahli surga, dan istri dari salah seorang dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah. Sebuah rumah yang penuh berkah yang menyebarkan keberkahan dan keimanan ke seluruh penjuru alam. 

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel yang berjudul : Kedermawanan Dan Pengorbanan (Biografi Khadijah ra.)

Tabir Wanita