Tanya : Kadang saya menemukan istri yang memaki-maki suaminya. Terhadap prilaku istri ini apakah dapat digolongkan istri salehah?
Jawab : Setiap orang pasti bercita-cita hidup bahagia. Mereka selalu berusaha untuk mendapatkannya dengan segenap kemampuan dan daya upaya yang dimiliki. Namun banyak yang tidak mengerti hakikatnya serta bagaimana memperolehnya.
Kebahagian kata sebagian orang adalah relatif. Antara individu dengan yang lain tidak sama. Pandangan seseorang tentang ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan, kondisi atau situasi, watak dan latar belakang pendidikannya. Orang agamis dengan ateis tenuh akan berbeda. Demikian juga orang yang senantiasa hidup dalam kelaparan dan kekurangan tidak akan sama dalam mempersepsi kebahagiaan dengan orang yang hidup berkecukupan.
Dalam konteks ini ada baiknya kita perhatikan pernyataan Rasulullah Saw. kaitannya dengan masalah kebahagiaan, yang secara garis besar menurut beliau terletak pada empat hal, yakni istri salehah, rumah yang luas, tetangga yang saleh dan alat transportasi yang baik. Ketiadaan empat hal itu dapat juga dijadikan ukuran ketidakbahagiaan seseorang. (Tuhfah Al-Arus).
Yang manarik dari Statemen beliau adalah istri salehah dianggap sebagai salah satu kunci kebahagiaan, sehingga tidak mengherankan jika beliau dalam hadis lain menyatakan :
Artinya: “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan berfaedah setelah takwa kepada Allah, takwalah, daripada istri yang salehah.” HR. Ibnu Majah
Bukankah antara kebahagiaan dan istri salehah terdapat hubungan korelatif ? (Tuhfat Al-’Arus). Karena keberadaan istri salehah adalah cukup menentukan dalam kebahagiaan sebuah rumah tangga, maka adalah sewajarnya bila para laki-laki menganggap keberadaan istri salehah sebagai istri ideal. Permasalahannya, siapakah istri salehah itu? Apakah ciri-ciri dan karakteristiknya?
Dalam Al-Quran, ciri-ciri para istri yang salehah adalah sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisa’ sebagai berikut :
Artinya : “Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memeliliara (mereka).” (QS. An-Nisa’: 34)
Dalam kitab Safwah At-Tafaasir, qanitat artinya taat kepada Allah dan suami dengan jalan menjalankan hak-hak yang menjadi kewajibannya. Adapun hafizhat berarti senantiasa menjaga diri dari harta suaminya serta menutupi rahasia-rahasia antara mereka berdua.
Dalam kapasitasnya sebagai makhluk dan hamba (‘abid) para istri salehah dituntut berbakti kepada Allah (Al-Khaliq) yang sering diistilahkan dengan habl min Allah. Dalam kapasitas sebagai istri, ia dituntut berbakti kepada suaminya sebagai salah satu perwujudan habl min an-nas.
Untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tiap-tiap anggota harus mengerti tugas dan tanggungjawabnya, serta melakukannya dengan penuh keikhlasan. Ketaatan istri diimbangi dengan kewajiban muàsyarah hi al-ma‘ruf dari pihak suami. Dalam rumah tangga islami, antara suami-istri berlomba-lomba berbakti terhadap pasangannya dan berbuat yang terbaik untuknya.
Manusia mempunyai naluri membalas kebaikan yang diterimanya dari orang lain. Reaksi biasanya paralel dengan aksi. Jika istri berbakti kepada suami, akan bertambah rasa sayang di hatinya. Berbuat baiklah kepada manusia, niscaya kamu dapat menaklukkan hatinya dan meraih simpatinya.
Demikian pula antara pasangan untuk saling membersihkan dirinya dari perbuatan tercela (takhalli‘an ar-radza’i) sekaligus menghiasinya dengan nilai-nilai luhur dan keutamaan (takhalli bial-fadhali). Sehingga akhlak yang tidak terpuji seperti memaki-maki atau melontarkan ucapan-ucapan yang kurang simpatik terhadap suaminya sudah barang tentu dijauhinya.
Bertolak belakang dengan ciri qanitat dan hafizhat tersebut, kemampuan menjaga lisan dan perbuatan tercela adalah ciri sosok pribadi muslim yang sejati. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin (masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ahmad)
Didahulukannya lisan dan tangan pada hadis di atas karena dampak yang ditimbulkannya bisa lebih fatal dari tangan. Yang terluka akibat lisan adalah hati dan perasaan, yang jelas lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Ucapan yang tidak baik semakin dicela jika dilakukan terhadap orang-orang yang semestinya dihormati seperti kedua orang tua dan suami atau istri.
Kalau kemudian ditemukan kekurangan-kekurangan atau ketidakpuasan pada pasangannya, sebaiknya diadakan dialog untuk mencari solusi yang efektif. Dan hendaknya tiap-tiap pihak menyadari, tidak ada manusia yang baik dan benar secara mutlak.
Sebaliknya, tidak ada pula manusia yang seluruh perbuatannya jelek. Yang banyak adalah campuran antara amal baik dan buruk. Tingal mana yang lebih banyak, dan seberapa jauh keterpautannya.
Memaki-maki tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan sebaliknya, mempersulit. Ibarat api, mesti dilawan dengan air. Ibarat penyakit, kita harus sabar mengobati dan merawatnya. Jangan langsung diamputasi. Sejauh upaya-upaya yang lebih baik menguntungkan masih dapat ditempuh, maka mengapa hal itu tidak dilakukan ?