Monday 19 September 2016

Hijrah Nabi Muhammad KeTha’if

Hijrah ke thaif
Ketika Nabi masih bersama Abu Thalib, orang-orang Quraisy tidak berani menyakitinya. Akan tetapi, perlindungan yang kuat itu, kini tidak ada lagi dan musuh semakin meningkatkan perlawanan mereka terhadap Nabi saw. 

Sebenarnya, beliau belum bermaksud meninggalkan tanah kelahirannya, walau sebentar. Beliau merasa yakin bahwa pada suatu saat nanti, semenanjung Arab akan menerima kebenaran Islam. Keyakinan bahwa musuh-musuh besarnya itu pada suatu waktu akan menjadi sahabat setianya selalu tertanam dalam hatinya. Namun demikian, karena permusuhan yang semakin menghebat dari orang-orang Quraisy, memaksa beliau untuk pindah ke Tha’if dengan harapan agar penduduk di sana mendengarkan seruannya. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan. Di Tha’if, beliau juga tidak mendapatkan sambutan baik dari penduduknya. Bahkan, Nabi dan pengikutnya dihalau dan diusir dengan kekerasan. Juga dipukuli dan dilempari dengan batu-batu dan kayu-kayu, sehingga Nabi dan pengikutnya terluka. 

Dengan terpaksa Nabi melarikan diri, berlindung di sebuah kebun. Ketika itu, keluarga Rabi’ah sempat memperhatikan dan melihat kemalangan yang diderita oleh Nabi beserta para pengikutnya. Meskipun demikian, Nabi beserta pengikutnya menerima ujian ini dengan tabah dan penuh kesabaran. Beliau tidak mengeluarkan kutukan terhadap mereka. Beliau hanya berdoa kepada Allah swt.

Adapun doa yang dibaca Nabi ketika itu adalah, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu akan kelemahanku dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah yang Maha Pengasih, Tuhan yang Melindungi orang-orang yang lemah, kepada siapa pun Engkau serahkan aku: kepada kawan yang senantiasa berdiri di sampingku atau kepada musuh yang selamanya akan memperlihatkan amarahnya, selama Engkau tidak murka kepadaku, ya Allah, senanglah hatiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang berkuasa mengusir kegelapan dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga kemurkaan-Mu tidak mengenai diriku. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.” 

Sampai beliau selesai berdoa, keluarga Rabi’ah masih terus memperhatikan keadaan tersebut. 

Akhirnya, hati kedua orang anak (keluarga Rabi’ah) itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialami Nabi beserta pengikutnya itu. Budak mereka yang. beragama Nasrani bernama. ‘Addas diutus untuk membawakan buah anggur dari kebun itu kepada mereka2.

Ketika hendak memakan buah anggur itu, Nabi membaca, “Bismillah.” Mendengar bacaan itu, budak tersebut bertanya kepada Nabi, “Apa yang engkau baca itu?” 

Tatkala Nabi menerangkan bahwa itu adalah ajaran agama Islam yang suci, tertariklah hati budak itu dan di kebun itu juga ia masuk Islam. Berarti hanya satu orang inilah, Nabi memperoleh tambahan pengikut dari perjalanan yang sangat mengerikan itu. 

Setelah kembali ke Mekah, orang-orang Quraisy semakin bertambah kejam, bahkan mereka berani menganiaya orang-orang Islam. Nabi bersedih hati memikirkan nasib umatnya yang terus-menerus mendapat gangguan yang berupa ancaman dan penganiayaan. Tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kemauan Nabi untuk menyampaikan dakwah Islam. 

Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim haji, beliau memperkenalkan diri mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus dan beliau mengajak mereka untuk beriman. Tetapi, Abu Lahab tidak ketinggalan pula mendampingi beliau ke mana pun beliau pergi. Ia menghasud orang-orang itu agar jangan mau mengikuti ajaran Muhammad. 

Di antara kabilah-kabilah itu ada yang menolak secara mentah-mentah ajaran yang dibawa Muhammad; ada juga yang menyetujuinya namun mereka tidak dapat meninggalkan agama nenek moyang mereka; dan ada pula yang menyatakan kesanggupannya untuk membantu, tetapi dengan syarat apabila Muhammad mendapat kemenangan, sebagai balasannya, segala persoalan harus berada di tangan mereka. 

Selanjutnya, kepada kabilah yang menyatakan kesanggupannya dengan syarat itu, Muhammad menjelaskan bahwa persoalan ini berada di tangan Allah. Akhirnya mereka pun membuang muka dan menolaknya sebagaimana kabilah-kabilah yang lain.

Tahun Duka Cita Nabi Muhammad

abu thalib meninggal, siti khadijah meninggal
Penderitaan yang dialami oleh Bani Hasyim selama pemboikotan berlangsung di lembah maut menyebabkan banyak diantara mereka yang jatuh sakit. Abu Thalib, pimpinan Bani Hasyim yang telah tua, tak lama setelah kembali ke Mekah, menderita sakit yang kritis. Mengetahui Abu Thalib sakit, pemuka-pemuka Quraisy segera mendatanginya seraya berkata, “Abu Thalib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggilah ia! Kami akan saling memberi dan menerima. Ia angkat tangan dari kami, kami pun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan ia dengan agamanya sendiri pula.” 

Tiba-tiba datanglah Muhammad. Ketika itu, mereka masih berada di tempat pamannya tersebut. Setelah beliau mengetahui maksud mereka, beliau pun berkata, “Katakanlah bahwa tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Tinggalkan penyembahan yang selain Allah.” 

Mereka bertanya, “Wahai Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu Tuhan saja?” Mereka berkata satu sama lain, “Orang ini (sambil menunjuk kepada Muhammad) tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Karena itu, pergilah sekarang!”
Akhirnya, meninggallah Abu Thalib sebagai paman dan pembela Nabi, pada usia 87 tahun. Kendatipun ia tidak masuk Islam, ia telah sehidup semati di samping Nabi. Ia sangat mencintai dan merasa sedih jika berpisah dengan Nabi serta selalu siap untuk membelanya. 

Tiga hari kemudian, setelah Abu Thalib meninggal, datang lagi cobaan yang lebih berat. Khadijah, istrinya yang tercinta, meninggal. Kematian Khadijah membuat diri Nabi bertambah sedih. Bagi Nabi, kematian Khadijah bukan hanya sebagai bentuk kehilangan seorang istri, melainkan juga kehilangan teman seperjuangan yang selalu mendampinginya dalam segala suka dan duka. Begitu besar jasa Khadijah terhadap Islam. Seluruh hartanya telah dikorbankan demi membela perjuangan Islam.

Dengan meninggalnya kedua orang itu, Nabi merasa sangat kehilangan, karena keduanya merupakan tulang punggung bagi perjuangan beliau. Kematian mereka merupakan malapetaka yang amat besar bagi Nabi. Peristiwa ini berlangsung pada tahun ke-10 dari kerasulan, sehingga tahun tersebut terkenal dalarn sejarah Islam sebagai tahun duka cita (kesedihan). 


Dengan meninggalnya kedua orang yang selalu membela perjuangan Nabi, kaum Quraisy semakin keras dan tidak segan-segan lagi melampiaskan kemarahan mereka terhadap Nabi, terutama Abu Lahab. Ia adalah orang yang paling busuk hatinya. Bahkan, bersama kawan-kawannya, ia meletakkan kotoran di atas punggung Nabi pada saat sedang shalat. Mereka juga pernah mencekik leher Nabi sewaktu beliau sujud di Masjid sehingga nyaris tidak bisa bernapas. Untunglah Abu Bakar datang pada waktunya, memberi bantuan seraya menghardik mereka. “Apakah kamu akan membunuh seseorang hanya karena ia mengatakan bahwa tidak ada tuhan selain Allah ?“

Pemboikotan Suku Quraisy Terhadap Bani Hasyim

pemboikoan bani hasyim
Posisi kaum muslimin semakin kuat dengan keislaman Hamzah dan Umar. Sementara itu, pihak Quraisy merasa semakin lemah. Umar bin Khaththab masuk Islam secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi. Bahkan, justru diumumkan di hadapan banyak orang. Keadaan seperti itu menimbulkan reaksi yang begitu keras dari kaum musyrikin Quraisy. 

Kini, kaum Quraisy sadar bahwa kekuatan Muhammad bersumber pada keluarganya, yaitu Bani Hasyim. Bani Hasyim inilah yang selalu melindungi dan membelanya, baik mereka yang sudah masuk Islam maupun yang masih menganut kepercayaan nenek moyangnya. Oleh karena itu, kaum Quraisy bermaksud hendak memusuhi seluruh Bani Hasyim. Mereka bersepakat akan memboikotnya. Mereka memutuskan segala hubungan dengan suku ini. Tak seorang pun di antara penduduk Mekah boleh menjual atau membeli sesuatu kepada atau dari Bani Hasyim. Kesepatan ini mereka tanda tangani bersama, lalu digantung di dinding Ka’bah. 

Dengan adanya ultimatum yang dilaksanakan oleh kaum Quraisy itu, Abu Thalib segera mengajak Bani Hasyim untuk bermusyawarah : apa yang harus dilakukan? Belum seluruh masyarakat Bani Hasyim beragama Islam, tetapi seluruhnya sepakat akan melindungi Nabi secara mati-matian. Perangai Nabi yang baik dan hidupnya yang suci menjadikan ia dicintai olah kaumnya, Bani Hasyim. Sekalipun. Muhammad beragama Islam, mereka tidak akan membiarkan 

Muhammad diserahkan ke tangan musuh. Menurut mereka, lebih baik bersama-sama menahan kesengsaraan daripada harus berpisah dengan Muhammad. 

Begitulah keadaan Bani Hasyim yang kemudian harus memisahkan diri mereka dari orang-orang Mekah yang dinamakan Syi’ib. Tiga tahun lamanya pemboikotan ini diterima oleh Bani Hasyim dengan penuh kesabaran karena cintanya kepada Nabi. Sementara itu, Nabi sendiri semakin teguh berpegang kepada tuntunan Allah. Mereka yang sudah beriman pun makin gigih mempertahankan keimanannya dan mempertahankan agama Allah. 

Akhirnya, setelah menderita kesulitan dalam pengasingan, beberapa orang dari kaum Quraisy mengakui akan kejamnya pengasingan itu. Mereka pergi ke tempat pengasingan Bani Hasyim dan mencabut pemboikotan itu yang selanjutnya diikuti oleh beberapa orang lainnya atas pengakuan pencabutan pemboikotan tersebut.

Tuesday 6 September 2016

Kisah Hamzah Dan Umar Masuk Islam

peta arqam, Kisah Hamzah Dan Umar Masuk Islam
Untuk menghindarkan aniaya dan kekejaman kaum Quraisy, Nabi memilih rumah seorang pengikutnya yang bernama Arqam, sebagai tempat berkumpul dan beribadah karena sampai saat itu, orang-orang Islam belum mau melakukan ibadah secara terang-terangan. 

Setelah Islam mencapai usia genap enam tahun, keadaan menjadi berubah. Pada tahun itu, dua orang pemuka bangsa Arab yang disegani orang, memeluk Islam. Mereka adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi sendiri, dan Umar bin Khaththab. 

Hamzah, saudara dari ayah Nabi, adalah seorang yang mulia dan berani, Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa, pada suatu hari, Abu Jahal melihat Nabi seorang diri sedang beristirahat di bukit Shafa. Dengan terburu-buru, Abu Jahal menghampiri Nabi yang sedang berbaring-baring di sana. Abu Jahal memaki Nabi dengan sepuas hatinya. Nabi berpura-pura tidak mendengarnya dan dibiarkannya Abu Jahal mengoceh sendirian. 

Peristiwa ini dilihat oleh seorang perempuan. Perempuan itu merasa benci terhadap Abu Jahal yang memaki-maki Nabi. Dengan segera, perempuan itu mengadu kepada Hamzah, paman Nabi yang saat itu kebetulan baru pulang berburu. Bahkan, busur panahnya masih tersandang di atas pundaknya. Langkahnya yang tegap dan gagah itu, sesuai dengan orangnya yang berani dan tegas dalam tindakan. 

Mendengar cerita dari perempuan tersebut, seketika itu juga, Hamzah pergi menuju Ka’bah, dengan rasa marah yang sangat. Sesampai di Ka’bah, tanpa berbicara apa-apa, Hamzah langsung memukulkan busur panahnya ke kepala Abu Jahal sehingga kepalanya berlumuran darah. Pada saat itu juga, di hadapan Abu Jahal dan kawan-kawannya, Hamzah telah menyatakan dirinya bahwa ia telah masuk Islam. 

Tidak lama setelah Hamzah masuk Islam, Umar bin Khaththab menyusul masuk Islam. Ia adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara 30-35 tahun. Tubuhnya tegap dan kuat. Umar adalah seorang pemuka Quraisy yang terkenal sangat keras, tegas, dan cepat emosi. Ia sangat suka berfoya-foya dan minum-minuman keras. Namun terhadap keluarganya, ia bijaksana dan lemah lembut. Dari kalangan Quraisy, dialah yang terkenal paling keras memusuhi kaum muslimin. 

Kini, dua pemuka dan pahlawan Quraisy yang terkenal gagah berani, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khaththab, masuk Islam, sekaligus memperkuat barisan Islam. Keduanya terkenal sebagai singa-singa padang pasir, yang sama hebatnya sebelum dan sesudah memeluk Islam. Sebelumnya, mereka hebat melawan Islam dan kini hebat membela Islam. 

Diceritakan bahwa pada saat-saat terakhir sebelum masuk Islam, Umar bin Khaththab telah bertekad akan menghabisi Nabi dengan pedangnya. Saat itu, Muhammad sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut berhijrah, di sebuah rumah, di Shafa. Sahabat yang berkumpul di antaranya adalah Hamzah (paman Nabi), Ali bin Abu Thalib (sepupunya), Abu Bakar bin Abi Quhafa dan sahabat-sahabat lainnya. 

Pertemuan tersebut ternyata diketahui oleh Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka berkumpul dengan satu tujuan, menghabisi nyawa Nabi. Namun demikian, di tengah perjalanan, ia mendengar berita dari Nu’aim bin Abdillah, bahwa adik kandungnya sendiri, yaitu Fatimah binti Khaththab bersama suaminya telah masuk Islam. 

Mendengar berita itu Umar semakin marah. Ia segera pergi ke rurnah adiknya terlebih dahulu untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan adiknya sebelum membunuh Muhammad. 

Sesampainya di tempat adiknya, di tempat itu pula ia mendengar ada orang yang membaca Al-Qur’an. Setelah mereka merasa ada orang yang mendekati, orang yang membaca Al-Qur’an itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan kitabnya. Umar masuk ke dalam rumah seraya sertanya, “Aku mendengar suara bisik-bisik. Apa itu?” 

Karena mereka bungkam, Umar membentak dengan suara keras, “Aku sudah mendengar bahwa kamu telah menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!” katanya sambil menghantam Sa’id (iparnya) keras-keras. 

Fatirnah yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Suami-istri ini menjadi panas hatinya.

Keduanya menjawab secara terus terang, “Ya, kami sudah masuk Islam! Sekarang, lakukan apa saja yang kau kehendaki!” 

Mendengar jawaban adiknya itu serta darah yang mengalir di mukanya, Umar jadi tertegun. Rasa penyesalan terbayang di wajahnya. Ia meminta lembaran ayat Al Qur’an yang mereka baca. Semula mereka menolak, tapi akhirnya mereka memberikan juga. Air muka Umar berubah begitu ia membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an itu berbunyi :


Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi Peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.” (Thaha [201]: 1-6)  

Setelah membaca ayat tersebut, bergetarlah hati Umar. Ada sesuatu yang sangat agung yang ia rasakan. Ada seruan yang sangat luhur. Sikap Umar menjadi bijaksana. Tak lama kemudian, Umar yang beriman dan menyatakan keislamannya di hadapan Nabi. Nabi menyambutnya dengan gembira seraya menyatakan, “Allahu Akbar,” kemudian dibarengi oleh seluruh pengikutnya yang hadir pada saat itu.

Saturday 3 September 2016

Kisah Para Sahabat Hijrah Ke Abessinia (Habasyah)

sejarah nabi, bilik islam
Betapapun kejam dan kerasnya aniaya yang dilakukan kaum Quraisy, selama masih mengenai diri Nabi sendiri, beliau tidak menghiraukannya. Beliau tetap sabar dan semua itu disambutnya dengan balasan kebaikan dan doa kepada Tuhan agar kaumnya ditunjukkan jalan yang lurus. Beliau tetap menyiarkan Islam. Tidak sedikitpun kemurkaan musuh menggetarkan hatinya. 

Namun demikian, melihat para sahabatnya yang tidak bersalah itu dianiaya, hancurlah hati dan bercucuranlah air matanya. Nabi tidak tahan melihat pengikut-pengikutnya menderita karena penganiayaan yang dilakukan kaum Quraisy. Lebih baik melawan musuh seorang diri daripada tidak dapat melindungi para sahabatnya. Untuk itu, Nabi menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berhijrah ke sebuah negeri di benua Afrika, di mana penduduk dan semua golongan mendapat perlindungan di sana. Nabi mengetahui hahwa Negus (Najasi) atau raja di negeri itu adalah seorang yang adil. Tidak pernah ada orang yang teraniaya di sana. Negeri itu adalah Abessinia atau Hahasyah. 

Sebagian kaum muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abessinia untuk menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 dari kerasulan Muhammad saw. Rombongan pertama berangkat sejumlah 10 orang pria dan 4 orang wanita, di antaranya Utsman bin ‘Affan beserta istrinya Ruqayyah binti Rasulullah; Abu Huzai’ah bin Utbah bin Rabi’ah beserta istrinya; Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. 

Mendengar bahwa sebagian kaum muslimin dalam perjalanan hijrah, kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk menangkap orang-orang itu. Namun demikian, kaum muslimin itu telah berlayar lebih dahulu dan akhirnya utusan itu pun kembali dengan perasaan kecewa.

Sekembalinya mereka ke Mekah, kaum Quraisy kembali mengutus dua orang pahlawan mereka, yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amru bin Ash ke Abessinia untuk memohon kepada raja negeri itu agar orang-orang Islam diusir kembali ke tanah airnya. 

Sesampainya kedua orang utusan itu di Abessinia, mereka memberikan berbagai hadiah kepada Raja Negus (Najasi). Setelah itu, mereka mengemukakan permohonan agar orang-orang Islam yang ada di Abessinia dipulangkan kembali atas tuduhan mereka telah mengadakan agama baru yang bertentangan dengan agama bangsa Arab dan agama Nasrani. 

Rupanya Negus tidak mau menerima laporan begitu saja secara sepihak. Sebagai seorang raja yang terkenal adil lagi bijaksana, ia memanggil wakil dari orang-orang Islam untuk didengar keterangannya. Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara dari orang-orang Islam tampil menyampaikan keterangannya secara panjang lebar.
Penjelasan yang disampaikan oleh Ja’far bin Abu Thalib adalah sebagai berikut. “Paduka Raja, dahulu kami adalah masyarakat yang bodoh; kami menyembah berhala; memakan bangkai; melakukan segala kejahatan; memutuskan hubungan silaturahim; saling bermusuhan; dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah. 

Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang kami ketahui asal-usulnya. Ia adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya serta bersih. Ia mengajak kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa dan meninggalkan batu-batu serta berhala-berhala yang selama ini kami dan nenek moyang kami sembah. 

Ia mengajarkan kami untuk tidak berdusta; untuk berkata jujur; serta menyambung hubungan silaturahmi serta saling bertetangga dengan baik. Beliau juga meminta kami menyudahi pertumpahan darah dan meninggalkan perbuatan terlarang lainnya. 

Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan melarang kami berdusta; melarang kami memakan harta anak yatim; atau memfitnah wanita-wanita yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Ia memerintahkan kami melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa, lalu Ja’far menyebutkan beberapa ketentuan Islam. 

Kami pun membenarkannya. Kami taati segala yang diperintahkan Allah. Kami hanya menyembah Allah yang Maha Esa; tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapapun. Segala yang diharamkan kami jauhi dan segala yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasud supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; agar kami membenarkan keburukan yang pernah kami lakukan dulu. 

"Karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami; menghalang-halangi kami dan agama kami, maka kami pun keluar, pergi ke negeri Tuan ini, Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat Tuan. Dengan harapan, di sini tidak ada penganiayaan.” 

Raja kembali bertanya, “Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat dijadikan bukti untuk memperkuat keterangan saudara?” 

“Ada Paduka Raja,” jawab Ja’far. Kemudian Ja’far membacakan beberapa ayat suci Al Qur’an. Alunan suara ja’far yang khusyu’ dan merdu menggema menggetarkan hati Negus (Najasyi), membuatnya terharu. Setelah mendengar semua itu, Negus dengan tegas menolak permohonan utusan Quraisy. Mereka yang telah meninggalkan tanah airnya demi mempertahankan kepercayaan agamanya diperkenankan menetap di sana dengan aman dan kebebasan menjalankan agamanya. 

Dengan hati kecewa, pulanglah utusan Quraisy itu. Keesokan harinya, datang kembali utusan dari Quraisy menghadap Raja. Mereka mengadukan kepada Raja bahwa orang-oran Islam itu tidak mengakui kesucian Nabi Isa. 

Mendengar laporan itu, Raja bertanya kepada Ja’far. Ja’far menjawab bahwa mereka mengakui bahwa Nabi Isa adalah utusan Tuhan yang termulia, hanya mereka tidak memandangnya sebagai tuhan dan anak Tuhan. 

Jawaban Ja’far sesuai dengan kayakinan Negus (Najasyi) dan ia menolak permohonan utusan Quraisy itu. Dua kali sudah mereka merasakan kekecewaan.

Selama di Abessinia (Habasyah) kaum muslimin merasa aman. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa permusuhan kaum Quraisy sudah berangsur reda, mereka kembali ke Mekah untuk yang pertama kalinya dan Muhammad pun masih di Mekah. Akan tetapi, setelah itu, penduduk Mekah (kaum Quraisy) kembali mengganggu. Maka, pada tahun ke-6 sesudah wahyu pertama turun, mereka kembali lagi ke Abessinia. Kali ini mereka berjumlah 80 orang tanpa wanita dan anak-anak.

Ketabahan Nabi Muhammad SAW Dan Para Pengikutnya Diawal Islam Muncul

sejarah nabi muhammad
Apabila muncul suatu gerakan yang rela memikul beban menyiarkan kebenaran dalam kalangan suatu umat yang telah binasa, biasanya muncul di sana suatu golongan yang memusuhi gerakan itu. Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketabahan hati dan kesucian maksud yang dikandung gerakan itu. Demikian pula dengan pimpinan Quraisy. Mereka melakan kampanye mengerahkan orang beramai-ramai menentang gerakan dakwah Rasulullah dengan dalil niempertahankan agama nenek moyang.

Mereka mengira bahwa salah satu kekuatan Nabi terletak pada adanya perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang disegani itu. Mereka mengira bahwa apablia Abu Thalib mau berlepas tangan tentulah gerakan Muhammad beserta pengikut-pengikutnya akan mudah dilumpuhkan. Oleh karena itu, pemuka-pemuka kaum Quraisy yang diketuai oleh Abu Sufyan bin Harb pergi menemui Abu Thalib. 

Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, kemenakanmu itu sudah mencela agama kita, memaki berhala-berhala kita, dan mcnganggap sesat nenek moyang kita. Karena itu, sekarang, kau harus menghentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Karena engkau juga seperti kami, tidak sejalan dengan dia, maka cukuplah engkau dan pihak kami yang menghadapi dia.” 

Mendengar perkataan tersebut, Abu Thalib menjawab dengan baik sekali. Sementara itu, Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dahwahnya dan dakwah itu pun mendapat pengikut yang bertambah banyak. Lalu, datang lagi utusan dan kaum Quraisy, Walid bin Mughirah dengan membawa seorang pemuda seraya berkata, “Wahai Abu Thalib, ini anak muda yang paling tampan di kalangan kaum Quraisy. Ia bernama Umarah bin Walid. Ambillah ia menjadi anak saudara dan serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena ia telah menentang kami dan memecah-belah persatuan kita.” 

Usul orang Quraisy tersebut dengan cepat dijawab oleh Abu Thalib, “Sangat jahat pikiranmu. Kamu serahkan anak kamu agar aku memberinya makan dan aku berikan kemenakanku untuk kamu bunuh. Demi Allah, tidak akan pernah aku berikan ia kepadarnu!” 

Untuk yang kesekian kalinya mereka mendatangi Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, sebelum kau suruh ia diam atau sama-sama kita lawan hingga salah satu pihak menjadi binasa. 

Bagi Abu Thalib, ultimatum seperti itu merupakan dilema, berat rasanya bagi ia untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Demikian halnya rasa berat yang ia rasakan terhadap kemenakannya. Tidak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Karenanya, Abu Thalib meminta agar Muhammad jangan menempatkannya dalam kesulitan yang lebih gawat dalam menghadapi kaum Quraisy.

Sementara itu, pendirian Nabi tetap tegas. Sekali melangkah, pantang mundur. Nabi yang paham akan maksud pamannya tersebut dengan tegas berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti memperjuangkan amanah Allah ini, kendati seluruh anggota keluarga dan sanak saudaranya akan mengucilkanku.” 

Demikianlah besarnya kebenaran serta kedasyatan iman. Abu Thalib gemetar mendengar jawaban Muhammad sehingga tergugahlah ia. Ternyata, ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada. 

Setelah gagal dengan Abu Thalib, kali ini orang-orang Quraisy membujuk langsung Nabi Muhammad saw. Mereka membujuk dan merayu Nabi dengan menawarkan kekayaan, pangkat dan kedudukan yang tinggi, serta dengan menjanjikan dan mencarikan wanita muda yang cantik, berapa pun yang disukainya; dengan syarat, beliau menghentikan segala bentuk kegiatannya dalam menyebarkan ajaran Islam. 

Namun demikian, semua tawaran itu dijawab oleh Rasulullah saw. dengan tegas, “Demi Allah kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud aku meninggalkan amanah ini, sungguh, tidak akan kutinggalkan. Biar Allah yang akan membuktikan kemenangan itu nanti, atau aku biinasa Karenanya. 

Setelah melalui usaha yang mereka lakukan secara halus itu menemui jalan buntu, mereka mencobanya lagi melalui ja1an kekerasan, yaitu melalui teror dan penyiksaan, terutama kepada pemeluk-pemeluk Islam yang berasal dari kalangan bawah, sahabat-sahabat Muhammad yang miskin, yang terdiri dari budak. Jika mereka menemui budak-budak ini memeluk Islam, mereka tidak segan-segan memukulinya dengan kayu dan batu sampai babak belur dengan sepuas hati mereka. Budak-budak itu disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya, sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya di atas pasir, di bawah terik matahari yang membakar; dadanya ditindih batu dan dibiarkan dalam kondisi tersebut. 

Bilal adalah salah seorang sahabat yang mengalami hal ini. Namun, karena keteguhan hatinya, Bilal tetap bertahan dalam Islam. Dalam keadaan seperti itu, Bilal hanya herkata, “Ahad, Ahad.” Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya. Sungguhpun demikian, imannya senantiasa semakin teguh, hingga musuh tercengang melihatnya. 

Sesungguhnya, sangatlah besar jasa Abu Bakar terhadap Islam dan nilai-nilai kemanusiaan. Bilal yang ketika itu disiksa oleh tuannya, begitu Abu Bakar melihatnya, langsung ia menolongnya. Saat itu juga, Abu Bakar membeli Bilal dan langsung memerdekakan nya. 

Intimidasi. yang dilakukan oleh pihak musuh rupanya tidak hanya terhadap budak-budak, melainkan juga mulai ditujukan kepada setiap muslim. Setiap suku diminta menghukum dan menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Seperti halnya dengan Utsman bin ‘Affan. Oleh anggota keluarganya, ia dikurung dalam kamar gelap, lalu dipukuli hingga hampir mati. Meski demikian, keimanannya semakin kuat, ibarat besi tempaan, semakin dipukuli semakin membaja. 

Tak terkecuali Nabi Muhammad, Beliau juga mengalami berbagai gangguan, meskipun sudah dihalangi oleh Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Ummu Jamil, istri Abi Jahal, melempar kotoran ke depan rumah beliau. Namun, beliau cukup membersihaknnya saja. Demikian juga pada waktu shalat, Abu Jahal melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesaji kepada berhala-berhala. Beliau menerima gangguan itu, lalu pergi ke rurnah Fatimah (putrinya) agar dicucikan dan dibersihkan pakaiannya. 

Hal seperti itu berlangsung cukup lama. Namun, kaum muslimin semakin teguh dengan agama mereka, Dengan lapang dada, mereka menerima siksaan dan kekerasan itu, demi akidah dan iman mereka.

Thursday 1 September 2016

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Kurang lebih 3 tahun lamanya Rasulullah saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Mulailah pada tahun ke-4 kerasulan Muhammad saw., beliau berdakwah secara terang-terangan. Adapun yang menjadi dasar hukum daripada pelaksanaan dakwah secara terang-terangan adalah firman Allah :


“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Al-Hijr [15]: 94)
 
Adapun dakwah yang disampaikan Muhammad pada waktu itu meliputi :
  1. Allah itu Tuhan yang Maha Esa. Dialah yang menjadikan dan berkuasa selama-lamanya atas alam semesta beserta segala isinya;
  2. Allah-lah Tuhan yang wajib disembah. Setiap orang wajib bersyukur dan menyembah-Nya. Dia-lah yang menjadikan segala kehidupan di dunia ini;
  3. Sesungguhnya, kemuliaan ada di mata Allah. Derajat manusia tidak diukur dengan keturunan, kekuasaan, kekayaan, dan pangkat, melainkan semata-mata atas dasar ketakwaan dan jasanya, sedangkan perbudakan dikutuk oleh Allah;
  4. Setiap yang kaya menolong yang miskin; yang mampu harus menolong yang tidak mampu;
  5. Hidup manusia tidak berhenti dengan kematian. Setelah mati, masih ada kehidupan di akhirat. Tempat setiap orang mempertanggungjawabkan segala amalnya selama hidup di dunia ini. 

Dakwah tentang nilai-nilai hidup yang disampaikan Muhammad bertentangan dengan tradisi Arab yang feodal dan materialistis pada waktu itu. Oleh karenanya, di antara hadirin ada yang nenanggapi pemhicaraan Nabi dengan lemah-lembut, tetapi Abu Lahab menentang dengan kerasnya seraya berkata kepada Abu Thalib, “Tangkap Muhammad sebelum kamu dikeroyok oleh semua orang Arab! Kalau semua orang Arab sudah menentang kamu gara-gara Muhammad, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Kalau kamu serahkan dia kepada mereka, berarti kamu menghinakan dirimu dan kaummu. Kalau mereka ditentang, berarti kamu berperang dengan semua orang Arab.” 

Mendengar agitasi saudaranya itu, Abu Thalib merasa panas. Dengan semangat ia berkata, “Demi Allah, selama kami masih hidup, Muhammad akan kami bela.” 

Abu Lahab semakin marah. Namun demikian, kemarahan serta sikap permusuhan kaum Quraisy tersebut tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah. Setiap hari, ada saja orang yang masuk Islam menyerahkan diri kepada Allah. Kebanyakan mereka terdiri dari kaum wanita, para budak, pekerja, dan orang-orang miskin, namun mereka adalah orang-orang yang menginginkan agama yang benar sebagai pedoman hidup. 

Sifat dan akhlak serta semangat hidup orang yang menggabungkan diri ke dalam agama ini sungguh menakjubkan. Terlebih, mereka tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekadar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang sudah berkecukupan, baik dari harta Khadijah maupun hartanya sendiri. Harta itu tidak mereka pedulikan. Juga tidak akan membahayakan mereka. Ia mengajak orang hidup dalam kasih sayang, lemah-lembut, kemesraan, dan lapang dada. Bahkan, beliau yang menerima wahyu menyebutkan bahwa menumpuk-numpuk kekayaan adalah kutukan terhadap jiwa. 

Sebenarnya, kaum Quraisy yang menentang ajaran yang dibawa Muhammad saw. hanya berpura-pura. Mereka berbicara atas nama agama atau Tuhan, sedangkan pada hakikatnya, mereka hanya khawatir akan kehilangan pengaruh, baik pengaruh materi maupun pengaruh politik. Sebab, mereka yang paling keras menentang ajaran Muhammad adalah para penguasa. Para penguasa kota Mekah yang ingin mempertahankan tradisi lamanya.

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Beberapa bulan kemudian, Jibril datang kembali menyampaikan wahyu berikutnya, yang antara lain menyuruh Muhammad untuk memulai memimpin hamba Allah ke jalan yang benar. Jalan yang diridhai oleh Allah swt. Wahyu tersebut berbunyi :  


“Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah lalu berilah peringatan!” (A1-Muddatstsir [74]: 1-2) 

Turunnya wahyu tersebut membuat Nabi lebih tenang. Kini, ia siap untuk menyampaikan hakikat kebenaran kepada manusia. Rasulullah memulai tugasnya menegakkan kebenaran secara sembunyi-sembunyi di lingkungan rumah sendiri. Khadijah, istrinya yang setia itulah yang pertama kali beriman kepadanya. Dengan pengetahuannya yang luas dan sempurna tentang keindahan budi pekerti dan kebenaran semua perkataan dan pekerjaan Nabi Muhammad, ia yakin bahwa hanya Nabi Muhammadlah orang yang pantas menerima perintah Tuhan memimpin umat manusia. 

Setelah Khadijah, Zaid bin Haritsah ra., anak angkat Nabi sendiri, seorang hamba yang dimerdekakan oleh Nabi, memeluk Islam. Kasih sayang Rasulullah saw. kepadanya lebih dari ayahnya sendiri. Sewaktu ayahnya datang hendak membawa Zaid pulang ke kampung setelah ia merdeka, ia menyatakan lebih suka tinggal dengan Nabi. Cintanya kepada Nabi yang semata-mata dari kebenaran dan kesucian Nabi, menyebabkan dengan mudah ia menjadi manusia yang pertama memeluk Islam. 

Setelah mereka, menyusul Ali bin Abu Thalib. Ia mengetahui benar kejujuran serta kebenaran Nabi saw. karena sejak kanak-kanak, ia hidup bersama Nabi. Ketika Nabi mengaku menjadi utusan Allah, ia berkata, “Pantaslah orang sesuci ia dipilih menjadi Rasul Allah swt.” 

Selain ketiga orang tersebut, di antara penduduk Mekah yang pertama masuk Islam adalah Abu Bakar, teman akrab Nabi sejak kecil. Ia senang sekali kepada Nabi, karena sudah diketahuinya benar bahwa ia seorang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Karena itu, orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah swt. dan meninggalkan penyembahan berhala adalah Abu Bakar. Ia juga laki-laki pertama tempat mengemukaka isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan juga beriman pada ajakannya itu. 

Mereka berempat itulah orang-orang pertama yang beriman pada kenabian serta kerasulan Muhammad saw. Karena alasan tersebut, mereka disebut sebagai “Assaabiquunal Awwaluun.” Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar. Keempat orang ditambah Muhammad saw. itulah yang memiliki tekad kuat dan semangat yang membaja untuk memperkenalkan dan menyiarkan ajaran agama Islam kepada seluruh umat manusia. 

Keempat orang tersebut juga mencerminkan perwakilan masyarakat. Khadijah dan Abu Bakar mewakili golongan dewasa, wanita dan pria, yang dipandang terhormat dan berpengaruh. Zaid, mewakili pria dari kelompok yang dipandang lemah karena dia mantan budak. Sedangkan Ali bin Abu Thalib mewakili anak muda sebagai kader. 

Abu Bakar sendiri sebagai seorang pedagang yang berpegaruh, berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya di antaranya adalah Utsman bin Affan, Az Zubair bin Al Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Abu Bakar mengajak mereka menemui Nabi dan langsung masuk Islam di hadapan Nabi. Mereka yang jumlahnya masih sedikit itu secara sembunyi-sembunyi berkumpul di rumah Rasulullah saw. untuk mempelajari ajaran yang beliau bawa.

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama
Sejak masa kanak-kanak, Muhammad senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia. Sekalipun ia tidak pernah melakukan pekerjaan keji yang umum dilakukan oleh bangsanya, khususnya dalam masalah ibadah kepada Tuhan. Mereka membuat berhala dari batu lalu mereka sembah dengan cara mereka sendiri. 

Mereka membuat tidak kurang dari 360 buah berhala. Setiap suku memiliki berhala masing-masing. Mereka memberi nama berhala-berhala itu dengan nama macam-macam, seperti Hubal, Latta, ‘Uzza, dan sebagainya. 

Melihat kerusakan yang menimpa umat manusia, dalam hati Muhammad timbul perasaan sedih sehingga tertanamlah dalam kalbunya cita-cita yang teguh, hendak membersihkan alam ini dari kebusukan-kebusukan itu. Dengan semakin bertambahnya usia, maka bertambah kuatlah cita-citanya. Saat usia beliau mendekati 40 tahun, timbullah dalam dirinya keinginan untuk berkhalwat (menyepi). 

Seringkali dan terkadang sampai berhari-hari, beliau mengasingkan diri dari kekalutan yang memenuhi negeri, berpisah ke suatu tempat yang sepi dalam sebuah gua batu yang bernama gua Hira. Gua yang terletak beberapa kilometer di utara Mekah. Gua tersebut gelap dan sempit, terletak di lereng gunung, kurang lebih 20 meter dari puncak. Orang yang tidak memiliki keberanian dan keteguhan hati seperti Muhammad tidak akan sanggup memasuki gua itu karena keadaannya yang mengerikan. 

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu, beliau bangun tengah malam. Kalbu dan kesadarannya dihidupkan. Beliau berpuasa lama sekali. Dengan demikian, beliau hidupkan renungan dalam benak beliau. Kemudian, beliau turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di padang sahara. Beliau kembali ke tempat beliau berkhalwat, hendak menguji, apakah yang berkecamuk dalam perasaannya? Apakah yang terlihat dalam mimpinya ?

Hal tersebut berjalan kurang lebih selama 6 bulan, sampai beliau merasa khawatir akan membawa dampak negatif terhadap diri heliau. Oleh karena itu, beliau nyatakan rasa kekhawatiran itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Beliau khawatir kalau itu adalah gangguan jin. 

Tiba-tiba, pada suatu malam, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahirannya, gua yang di tempatinya itu menjadi terang-benderang memancarkan seberkas cahaya yang kemudian menerangi seluruh ruangan dalam gua itu. Pada saat seperti itu, turunlah makhluk dari langit yang berbentuk manusia dengan kecepatan yang luar biasa, lalu menghampiri Muhammad seraya berkata, “Iqra’. (Bacalah)!”
Dengan perasaan kaget Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari‘in (Aku tidak dapat membaca).”
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian melepasnya lagi seraya berkata, 

“Iqra (Bacalah)! “. Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari’in (Aku tidak dapat membaca).” 

Selanjutnya, malaikat itu memeluk Muhammad hingga Muhammad sulit bernapas, lalu malaikat itu melepaskannya seraya berkata : 


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, (Tuhan) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-’Alaq [96]: 1-5) 

Setelah tersadar dari kekagetan itu, Muhammad lalu keluar gua dan melihat ke arah langit. Tampaklah di depan pandangannya suatu bentuk manusia yang sangat besar. Kedua kakinya saja mencapai ufuk penglihatannya. Orang besar itu berseru kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, kamu adalah Rasul Allah dan aku adalah Jibril.” 

Setelah rupa malaikat itu menghilang, Muhammad pulang dengan wahyu yang disampaikan kepadanya. Hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah seraya berkata, “Selimuti aku.” 

Ia segera diselimuti, tubuhnya menggigil seperti sedang demam. Setelah rasa ketakutannya itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. Muhammad berkata, “Mengapa aku ini Khadijah?”. Diceritakannya peristiwa yang telah dialaminya, dan dinyatakan rasa kekhawatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau ia akan.menjadi ahli nujum. 

Untuk lebih menenteramkan diri suaminya, pagi-pagi Khadijah pergi ke rumah seorang pendeta Kristen, Waraqah bin Naufal. Setelah mendengar peristiwa yang diceritakan Khadijah, ia berkata, “Saudaraku, jangan khawatir! Suamimu telah terpilih sebagai Rasul Allah. Allah telah berbicara dengan dia, sebagaimana Dia telah berbicara dengan Musa di gunung Tursina.” 

Dengan nada sedih Waraqah bin Naufal berkata lagi kepada Nabi. “Sekiranya umurku panjang, aku akan membelamu sekuat tenagaku pada saat engkau diusir oleh kaummu.”

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat
Interaksi Muhammad saw. dengan penduduk kota Mekah tidak pernah terputus. Juga partisipasi beliau dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada saat itu, masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, menimpa dan meratakan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sehab, dinding-dinding itu unumnya sudah tua, hampir mencapai 6.000 tahun; dibangun oleh Nabi Ibrahim as. semasa hidupnya. 

Perbaikan Ka’bah dilakukan secara gotong-royong. Dengan sukarela, penduduk Mekah membantu pekerjaan itu. Tetapi, pada saat yang terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad atau batu hitam ditempat semula, dengan tidak disangka-sangka timbullah perselisihan. Setiap orang berkeinginan untuk dapat mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Setiap orang ingin memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula dengan tangannya sendiri. Demikian pula yang lainnya, berkeinginan yang sama, sehingga Hajar aswad menjadi rebutan.

Karena semuanya menginginkan hal yang sama dan setiap orang mengemukakan argumentasi- argumentasinya, akhirnya terjadilah pertengkaran mulut. Selang beberapa waktu, datanglah Ahu Umayyah bin Mughirab dari Bani Makhzum. Ia adalah orang tertua di antara mereka. Ia dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan seperti itu, ia berkata kepada mereka, “Serahkanlah putusan kalian ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa ini.” 

Semua yang datang setuju dengan usul itu. Tetapi, belum disepakati bahwa mereka wajib mematuhi keputusan hakim yang akan datang itu. Demikianlah, akhirnya, semua menaati orang yang pertama kali masuk melalui pintu Shafa. 

Ketika mereka melihat Muhammad adalah orang yang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru, “Inilah Al-Amin. Kami dapat menerima keputusannya.” Pada awalnya, mereka menceritakan permasalahan yang mereka hadapi kepada Muhammad. Mereka meminta agar Muhammad bersedia menjadi hakim.
 
Muhammad menerima pengangkatan itu karena berbagai pertimbangan antara lain :
  1. Permasalahannya adalah memperbaiki Baitullah “Rumah Allah” yang telah menjadi kewajiban suci bagi setiap orang Quraisy;
  2. Beliau sendiri dengan paman-pamannya telah ikut mengangkat batu-hatu dan gunung untuk perhaikan itu;
  3. Orang-orang telah menaruh kepercayaan atas kemampuannya serta mengharapkan bantuannya; dan
  4. Untuk mencegah pertikaian yang tidak berguna, yang hanya menghambat pembangunan. 
Lalu, dimulailah pekerjaan memindahkan Hajar Aswad. Muhammad meminta kepada setiap kepala suku agar ikut serta merasakan mengangkat dan memindahkan Hajar Aswad pada tempat sernula. Beliau menghamparkan sorban dan Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengahnya seraya berkata, “Aku minta, setiap kepala suku memegang tepi kain ini dan mengangkatnya secara bersama-sama.” 

Mereka menerima dan menyambut ajakan Muhammad dengan perasaan senang, Mereka bersama-sama mengangkat tepi ijung sorbannya dan bersama-sama mengangkatnya sampai ke tempat semula. Setelah sampai di tempat semula, Muhammad memegang Hajar Aswad dengan dua tangannya, lalu mengangkat dan meletakkannya sendiri pada tempatnya semula.

Monday 29 August 2016

Kisah Pernikahan Muhammad SAW. Dengan Khadijah Binti Khuwailid

Kisah Pernikahan Muhammad SAW. Dengan Khadijah Binti Khuwailid, kisah pernikahan nabi, sejarah pernikahan nabi, cerita pernikahan nabi, nabi muhammad menikah dengan khadijah, kisah khadijah, cerita khadijah, sejarah khadijah, khadijah istri nabi, kisah istri nabi, sejarah istri nabi, nama istri nabi.
Dengan sifat serta keluhuran budinya itu, Muhammad menjadi teladan dan buah bibir setiap orang. Tersiarlah nama Muhammad hahwa ia seorang pemuda yang tepercaya. Banyak pedagang-pedagang besar yang ingin menjadikan Muhammad sebagai pelaksana dalam usaha perdagangannya. 

Pada waktu itu, di kota Mekah, hidup seorang janda bangsawan yang kaya raya. Khadijah namanya. Dalarn rangka pengembangan usahanya, Khadijah ingin mencari seorang ahli perdagangan yang ulet serta dapat dipercaya, untuk mengurus barang dagangannya ke Suriah. Setelah ia mendengar nama Muhammad, segera ia mengirim utusan untuk menghubunginya. 

Kemudian, datanglah Muhammad ke rumah Khadijah memenuhi panggilannya. Ketika pertama kali Khadijah melihat Muhammad, ketika itulah Khadijah terpesona, karena Muhammad memang baik rupa dan akhlaknya. Dalam hatinya, Khadijah berkata hahwa pantaslah Muhammad menjadi buah bibir. Kini, Khadijah bukan sekadar mendengar nama Muhammad, melainkan langsung bertemu dengannya, di hadapannya. Muhammad telah bersedia datang untuk memenuhi panggilan dan tawarannya itu. 

Mulailah Muhammad berangkat ke Suriah, membawa barang dagangan Khadijah. Ia diternani oleh Maisaroh dengan pesan khusus agar ia membantu Muhammad sambil mencatat segala kejadian selama dalam perjalanannya ke Suriah. Dengan kejujuran dan kemampuannya, ternyata Muhammad mampu memperdagangkan barang-barang Khadijah; dengan cara perdagangan yang lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada yang dilakukan orang-orang sebelumnya. Demikian juga dengan akhlaknya yang luhur dan parasnya yang baik sehingga ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisaroh kepadanya. Sebelun mereka kembali, mereka membeli barang-barang dagangan dari orang Suriah yang disukai oleh Khadijah. 

Akhirnya, kembalilah Muhammad beserta Maisaroh ke Mekah dengan membawa keuntungan yang sangat memuaskan, melebihi perkiraan Khadijah. Seluruh uang dan keuntungan yang diperoleh dari hasil perdagangan itu diserahkan kepada Khadijah. Seluruhnya telah dicatat dengan rapi oleh Maisaroh. Muhammad pulang ke rumahnya, setelah ia menerima imbalan dari Khadijiah; yang telah menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya. 

Setelah Muhammad meninggalkan Khadijah, Maisaroh melaporkan segala sesuatu yang terjadi dan yang dapat ia amati dari perjalanannya itu. Hasil pengamatannya itu antara lain :
  1. Waktu perjalanan lebih cepat dari kafilah biasa;
  2. Persediaan barang sangat cepat laku;
  3. Muhammad mendapat sambutan hangat di Suriah, terutama dari seorang pendeta Kristen;
  4. Dalam perjalanannya ke Suriah, senantiasa ada segumpal awan yang menyertainya, melindungi serombongan orang yang berjalan dari terik matahari. 

Perhatian Khadijah terhadap pemuda tampan yang cerdas dan berakhlak mulia itu kian bertambah sehingga rasa terima kasih dan kekagumannya lambat-laun berubah menjadi perhatian yang sangat khusus. Hatinya menjadi tertawan oleh Muhammad. Kini, Khadijah berada dalam kebingungan dan perasaan malu. Memang benar, ia seorang bangsawan yang kaya raya, dengan paras yang cantik, sulit mencari tandingannya. Sudah banyak orang-orang terkemuka melamarnya, namun lamaran itu selalu ditolak olelhnya. Ketika itu, Khadijah berusia 40 tahun sedang Muhammad berusia 25 tahun. 

Kini, Khadijah yang berusia lebih tua dari Muhammad, jatuh cinta kepadanya. Pandangan matanya telah menembus kalbu. Pernah pada suatu saat, Nufaisa binti Munya (sahabat perempuan Khadijah) mendatangi Muhammad seraya berkata, “Mengapa engkau tidak mau menikah?” Muhammad menjawab, “Aku belum memiliki sesuatu untuk persiapan pernikahan.”
Nufaisa berkata, “Kalau itu disediakan dan wanita yang melamarmu itu cantik, berharta dan terhormat, apakah engkau tidak mau menerimanya?”
Muhammad bertanya, “Siapa itu, wahai Nufaisa”.
“Khadijah,” jawab Nufaisa. 

Pada mulanya, Muhammad agak terkejut mendengar tawaran Nufaisa itu, karena tidak mengira kalau Khadijah menaruh hati kepadanya. Ia pun belum mempunyai persiapan, padahal setiap melangsungkan pernikahan tentu ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan, Sementara itu, ia tidak ingin memberatkan pamannya. Tetapi, persoalan biaya sepenuhnya telah dijamin oleh Khadijah. Namun demikian, Muhammad merasa perlu memusyawarahkan dengan keluarganya, dcngan paman-pamannya. 

Setelah dimusyawarahkan dengan Abu Thalib, lamaran Khadijah diterima oleh Muhammad. Pernikahan Muhammad dan Khadijah ternyata diberkahi Allah. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhamniad. Dimulainya kehidupan suami-istri yang harmonis. 

Selama kurang lebih 25 tahun, Khadijah hidup hersama Muhammad dan selama itu pula ia melahirkan dua orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Mereka adalah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummi Kulsum, dan Fatimah. Semua anak laki-laki Nabi meninggal dunia sewaktu masih kecil, dan diantara anak perempuannya hanya Fatimah yang hidup sampai Nabi wafat. Ia meninggal dunia 6 bulan sesudah Nabi wafat.

Sebagai seorang kepala keluarga, Muhammad senantiasa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara sempurna, sehingga beliau menjadi teladan bagi niasyarakat. 

Sagai seorang ayah, beliau merawat dan mendidik anak-anaknya sampai kepada hal- hal yang paling remeh sekalipun. Bila anaknya sakit, beliau tidak pernah meninggalkannya. Beliau menjaganya, baik siang maupun malam. 

Sebagai seorang suami, Muhammad senantiasa memperlihatkan cinta dan kasihnya yang mesra dengan cara yang santun terhadap istrinya. Dengan sifat yang demikian itu, tidak mengherankan jika Khadijah mencintai dan patuh kepadanya. Tidak juga mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus seluruh harta kekayaannya. Khadijah rela Muhannad menggunakannya untuk apa pun, karena Ia yakin hahwa suaminya tidak akan membelanjakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Ketika Muhammad mendapatkan Khadijah yang kaya raya sebagai istrinya, mungkin ada yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang suami yang beruntung. Namun, hal itu tidak membuat Muhammad menjadi 

sombong atau bakhil. Beliau adalah seorang yang pemurah, orang yang tidak tega melihat orang lain berada dalam kesulitan. Beliau tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan kepada mereka. Beliau membebaskan budak-budak dengan tebusan yang mahal. Juga membayarkan utang orang-orang miskin.

Kisah Nabi Muhammad SAW Di Masa Muda

Kisah Nabi Muhammad SAW Di Masa Muda, kisah nabi muhammad, cerita nabi muhammad, sejarah nabi muhammad, nabi muhammad saat muda, jaman muda nabi muhammad, kebiasaan nabi muhammad saat muda
Sekembali dari Suriah, Muhammad menyertai pamannya dalam berbagai kegiatan, seperti menyediakan air untuk para pendatang yang akan berihadah di Ka’bah dan aktivitas lain nya. 

Pada usia 15 tahun, Muhammad ikut berperang dalam Perang Fijar, perang antara kaum Quraisy dengan kaum Qais. Disebut Perang Fijar, karena perang tersebut terjadi dan terus berlangsung sampai datangnya bulan suci, yakni bulan tidak diperkenankannya berperang di bulan tersehut. Dalam perang ini, Muhammad tidak pernah membunuh musuh sukunya secara langsung. Beliau hanya bertugas menyediakan anak-anak panah bagi pamannya.

Usai Perang Fijar, Muhammad ikut mendirikan suatu organisasi sosial yang bernarna Hiful- Fudul. Organisasi sosial ini bertujuan untuk membantu orang-orang miskin dan orang-orang yang teraniaya, baik yang berasal dari penghuni setempat maupun pendatang. Mereka mendapat perlindungan dan hak yang sama. 

Mereka yang menjadi anggota organisasi sosial itu bersurnpah, antara lain :
  1. Bahwa setiap anggota Hiful-Fudul, harus bersama-sama membantu orang yang teraniaya atau tertimpa musibah;
  2. Bahwa jika ada barang-barang yang dirampas atau dicuri, mereka akan mengusahakan untuk menuntut pengembalian dari oknum yang merampasnya;
  3. Bahwa jika barang-harang itu tidak berhasil diperoleh kembali, mereka menggantinya secara gotong-royong;

Dengan didirikannya organisasi sosial inilah, kota Mekah menjadi aman dari segala macam kejahatan dan penganiayaan. Penduduk kota Mekah sangat berterima kasih kepada Muhammad atas segala usaha dan jasanya. Beliaulah yang telah mencetuskan ide sekaligus menjadi penggerak organisasi itu. Beliau melaksanakan prinsip-prinsip organisasi secara jujur dan tidak pilih kasih. 

Atas segala keberhasilannya itu, nama Muhammad menjadi populer di kalangan penduduk kota Mekah, dan mereka senang dengan Muhammad sehingga mereka memberikan julukan Muhammad Al Amin. Artinya, orang yang benar-benar dapat dipercaya. Beliau selalu memegang teguh janjinya. Seorang pun belum pernah mendapatkan dia  berbohong.

Thursday 25 August 2016

Nabi Muhammad SAW Di Masa Kanak-Kanak

Nabi Muhammad SAW Di Masa Kanak-Kanak
Menitipkan bayi-bayi yang baru lahir kepada kaum ibu pedesaan merupakan suatu kebiasaan di kalangan pemuka-pemuka kaum Quraisy pada saat itu. Kebiasaan tersehut dimaksudkan supaya si bayi selalu menghirup udara bersih dan segar. Juga untuk menjaga kondisi tuhuh ibunya yang baru saja melahirkan, agar tetap sehat. 

Selain itu, si bayi, sejak masih kanak-kanak bisa belajar berbicara bahasa Arab pedesaan yang dianggap lebih indah dan murni daripada bahasa Arab kota. Kebiasaan itu juga dipandang sebagai suatu usaha yang bernilai kemanusiaan, tolong-menolong antara orang kota dan orang desa, di mana ibu-ibu desa yang menolong, menyusukan dan membesarkan anak-anak orang kota memperoleh imbalan jasa, berupa upah yang layak. 

Menurut suatu riwayat, setelah Muhammad dilahirkan, beliau disusui ibunya hanya beberapa hari. Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, menyusui Muhammad selama tiga hari. Setelah itu, kakeknya, Abdul Muthalib menyerahkan Muhammad kepada seorang ibu desa yang bernama Halimah Sa’diyah, istri Haris, dari kabilah Bani Sa’ad. 

Awalnya Halimah enggan untuk menyusui Muhammad, karena Muhammad adalah anak yatim, sedangkan Halimah tergolong keluarga miskin. Ia khawatir tidak bisa merawat Muhammad dengan baik. Namun demikian, berkat dorongan Suaminya, diambillah Muhammad dari pangkuan Aminah. Aminah dan kakeknya, Abdul Muthalib pun dengan senang hati melepaskannya. 

Halimah pada waktu itu, juga baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Sangat beruntung Muhammad saat itu, karena mendapatkan saudara sepersusuan laki-laki juga. Menurut pengakuan Halimah, pada saat ia baru meletakkan Muhammad di pangkuannya, ketika mereka sampai di tempat persinggahan untanya, ia (Muhammad) terus menyusu sepaus-puasnya. Demikian pula anak kandungnya sendiri, dapat menyusu sekenyang-kenyangnya. Padahal sebelumnya, Halimah merasa air susunya telah habis.

Setibanya di rumah, mereka mulai merawat Muhammad dengan sebaik-baiknya. Halimah dan Harits sangat sayang dengan bayi asuhannya itu. Lama-kelamaan mereka merasakan bahwa anak yatim dari kota itu telah membawa kebahagiaan ke dalam rumah tangga mereka. Mereka bersama empat orang anak kandungnya ternyata amat sayang kepada saudara sepersusuannya itu.

Sesuai dengan pengamatan Halimah, anak itu lain dari yang lain. Sejak kecil, ia mempunyai keistimewaan yang tidak terdapat pada bayi-bayi lainnya. Pertumbuhan badannya begitu cepat. Halimah menyaksikan sendiri, pada umur 5 bulan Muhammad telah pandai berjalan, dan pada umur 9 bulan sudah pandai bicara dengan lancar. Lalu, pada usia 2 tahun, sudah bisa mengembalakan kambing bersama saudara-saudara sepupunya. 

Pada kesempatan lain, Halimah dan Harits memperhatikan pula hahwa dari wajah anak asuhannya itu memancarkan cahaya yang benderang. Setiap kali ia dibawa keluar, ada mega putih bersih yang memayungi dan mengikutinya ke mana saja anak itu dibawa. Pada petang hari, mega itu menjadi hujan, hingga daerah penggembalaan mereka senantiasa hijau. Ternaknya sekarang menjadi gernuk-gemuk dan banyak memberi susu. Mereka sekarang bisa hidup dalam kecukupan.

Kini, tibalah saatnya. Tak terasa, Halimah harus berpisah dengan anak yatim yang sekarang menjadi jantung hatinya. Sesuai perjanjian, dia akan mengantar Muhammad kembali ke pangkuan ibunya, Aminah setelah mencapai umur 2 tahun. Namun demikian, karena ibunya, Aminah, telah terjangkit penyakit menular yang pada saat itu sedang merajalela di kota Mekah, beberapa saat kemudian, Muhammad dititipkan kembali kepada Halimah. 

Untuk yang kedua kalinya Muhammad hidup dalam asuhan Halimah. Itu berarti Muhammad di tangan Halimah selama 6 tahun. Setiap pagi, putra-putra halimah bersama Muhammad pergi ke tengah ladang untuk mengembalakan kambing. Pada saat anak-anak sedang menggembalakan kambing, putra Halimah yang bernama Dimrah melihat Muhammad sedang duduk di atas batu besar. Sekonyong-konyong tanpa diketahui dari mana datangnya, tampak ada dua orang yang berpakaian serba putih duduk di samping kanan kiri Muhammad. Kemudian, baju Muhammad dibuka oleh kedua orang itu. Dibelahnya dada anak yatim itu. Peristiwa itu terjadi ketika Muhammad berumur 4 tahun. 

Melihat kejadian yang luar biasa itu, anak Halimah, Dimrah, herlari-lari sambil menangis. Sesampainya di rumah, ia menuturkan kejadian itu kepada ibunya seraya herkata, “Di tempat kami menggembalakan kambing, ada orang menangkap adikku, Muhammad. Jumlahnya dua orang. Mereka besar-besar dan pakaiannya putih-putih, sedangkan aku tidak mampu mencegahnya.” 

Mendengar berita dan anaknya itu, Halimah menjadi panik dan cemas. Ia hergegas untuk menengok Muhammad ke tempat penggembalaannya itu. Sesampainya di sana, Muhammad tampak berdiri di depan kemahnya dalam keadaan sehat. Dengan napas yang masih terengah-engah, Halimah bertanya kepada Muhammad, “Apa yang telah terjadi terhadap dirimu anakku?” 

Dengan nada tenang Muhammad menjelaskan tentang kejadian itu seraya berkata, “Tidak apa-apa, Bu! Hanya ada dua orang laki-laki yang terlihat masih muda, berpakaian rapi dan bagus. Mereka menghampiriku seraya memberikan salam kepadaku, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, jangan takut. Aku tidak akan menyusahkan dirimu.” Mereka membaringkan diriku di atas rumput. Dibukanya bajuku dan dibelahlah dadaku. Dadaku dibasahi dengan air lalu mereka memasukkan lagi ke dalam dadaku dan menutupnya seperti sediakala. Sedikit pun aku tidak merasakan sakit. Tidak ada bekas luka pada dadaku. Setelah itu, kedua orang tersebut kembali ke ufuk yang tinggi sekali dengan sangat cepat dan menghilang di balik awan.” 

Mendengar cerita Muhammad itu, di satu sisi, Halimah merasa bangga dan gembira mendapati anak-anaknya selamat dari cidera. Hatinya semakin yakin bahwa kelak Muhammad menjadi kebanggaan umat manusia. Namun, di sisi lain, kecemasan hatinya semakin menjadi. Ia merasa khawatir tidak bisa menjaga keselamatan serta keamanan Muhammad. Karena itu, Halimah berpikir lebih baik mengembalikannya kepada ibu kandungnya sendiri, Aminah. Halimah menyerahkan Muhammad kembali kepada ibu kandungnya di Mekah, pada saat Muhammad berusia 6 tahun. 

Kini, kegembiraan beralih kepada Aminah. Melihat anaknya kembali ke pangkuannya dalam keadaan yang memuaskan. Sebagai seorang wanita yang mulia, Aminah berniat hendak menunjukkan kepada anaknya hubungan kekeluargaan ibu dan hapaknya sekaligus herziarah ke makam ayahnya. 

Nabi Muhammad SAW Di Masa Kanak-Kanak
Ia berangkat ke Madinah bersama budak perempuannya, Ummu Aiman. Sesampainya di kampung Abwa, ketika dalam perjalanan pulang kembali ke Mekah, dengan tidak disangka-sangka Aminah jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kini, Muhammad yang baru berusia 6 tahun itu, telah menjadi yatim piatu. 

Selesai acara penguburan Aminah, semua orang kembali ke rumah masing-masing. Di dekat kubur, hanya tinggal Muhammad dan Ummu Aiman. Mereka terdiam, tidak berkata-kata. Air mata beliau mengalir membasahi kubur ibunya, meratapi nasibnya. Selanjutnya, keduanya meneruskan perjalanan ke Mekah. Lalu, Muhammad diserahkan kepada kakeknya, Abdul Muthalib. Abdul Muthalib larut dalam perasaan sedih ketika menerima cucu yang dicintainya itu. Pada usia 6 tahun ini, Muhammad mulai merasa kesepian. Pemeliharaan anak yatim ini diserahkan sepenuhnya kepada kakeknya. Namun demikian, hanya berlangsung selama 2 tahun. 

Di dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Abdul Muthalib dalam keadaan sakit yang sangat kritis, ia memanggil semua anaknya untuk berkumpul. Abdul Muthalib kemudian menyampaikan wasiat kepada mereka seraya berucap, “Wahai anak-anakku, kini aku sedang sakit. Sakitku adalah sakit tua. Kurasa tak lama lagi aku hidup di dunia ini. Aku sengaja memanggil kalian untuk berkumpul bukan untuk mewariskan harta benda, tetapi aku ingin menitipkan cucuku, Muhammad kepada kalian.” 

Abdul Muthalib menerangkan kepada Muhammad keadaan pribadi dan watak anak-anaknya satu per satu agar Muhammad dapat mempertimbangkan siapa di antara mereka yang paling cocok dalam hatinya untuk diikuti dan menyerahkan dirinya. Tak lama kemudian Muhammad mendekati dan merangkul Abu Thalib. Itu berarti Abu Thalib adalah pilihannya. 

Abu Thalib adalah seorang yang sangat mencintai Muhammad. Tak kurang dari kecintaan nenek dan ibunya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah seorang yang miskin. Ayahnya, Abdul Muthalib yang pemurah itu, tidak rneninggalkan harta warisan. 

Karena miskinnya, ia terpaksa menyerahkan kehormatannya untuk menyediakan makanan dan minurnan bagi jamaah haji di musim haji. Muhammad pun terpaksa berusaha untuk dapat meringankan beban pamannya itu. Ia menerima upah sebagai imbalan atas jasanya menggembalakan kambing orang.

Pada usia 12 tahun, Muhammad dibawa pamannya ke Suriah menyertai para kafilah; membawa barang dagangan. Sumber-sumber Islam menceritakan tentang seorang biarawan Kristen, bahwa di suatu dataran tinggi di Syam, berdiamlah seorang pendeta bernama Buhairah. Pendeta tua itu sudah lama juga melihat dari jendela rumahnya, serombongan kafilah yang dipimpin Abu Thalib. Dia sangat tertarik memperhatikan rombongan kafilah itu, karena kafilah itu diikuti segumpal awan putih. Semakin dekat, semakin jelas tampak olehnya bahwa awan itu sebenarnya memayungi seorang anak muda yang mengendarai unta yang berjalan di bagian belakang kafiah. 

Nabi Muhammad SAW Di Masa Kanak-Kanak
Setelah cukup dekat, pendeta tua itu ditakjubkan lagi oleh cahaya perangai yang cemerlang dari anak muda pengendara unta tersehut. Belum pernah ia rasakan dalam hidupnya yang sangat panjang ketakjuban seperti saat itu. Tanpa disadari, ia pun berlari-lari menjemput kepala kafilah tersebut. Rombongan kafilah tersebut dipersilakan singgah di rumahnya. 

Setelah disajikan makanan dan minuman, pendeta itu bertanya kepada Abu Thalib, “Apa huhungan Tuan dengan anak itu ?“ Abu Thalib menjawab, “Dia anakku” Pendeta itu menjawab, “Dia anak yatim bukan?” Terkejut Abu Thalib mendengar ucapan pendeta itu. Ia berkata, “Anak ini kemenakanku. Ayahnya sudah meninggal selagi masih dalam kandungan ibunya. Kini, aku sebagai ganti ayahnya. Aku memeliharanya seperti anak kandungku sendiri.” 

Buhairah bertanya kepada Muhammad, “Pernahkah malaikat muncul kepadamu dan pernahkah kamu mengalami mimpi-mimpi tertentu?” 

Dengan lugu, Muhammad menyampaikan pengalamannya ketika didatangi malaikat waktu dia menggembala kambing bersama anak-anak Halimah. Dia juga menceritakan berbagai mimpinya. 

Buhairah berkata, “Sekarang, hilanglah sernua ganjalan dalam pikiran dan hatiku. Tak salah lagi, engkaulah ruh kebenaran yang dijanjikan Nabi Isa as.” Lalu, Buhairah menyingkap baju Muhammad seraya bekata, “Lihatlah tanda kenabian yang ada dipunggungnya”. Berulang-ulang Buhairah menciumi tanda kenabian itu dan merangkul Muhammad. Dengan air mata yang berlinang, ia berkata lagi, “Semoga umurku dipanjangkan Tuhan untuk menjadi salah satu seorang pengikutmu".

Ketika hendak pamit, Buhairah berpesan ke pada Abuu Thalib, “Aku herharap, Tuan berhati-hati benar menjaga dia. Aku yakin, dialah Nabi akhir zaman yang telah lama ditunggu-tunggu oleh umat manusia.” Memperhatikan pesan Buhairah itu, Abu Thalib memperpendek kunjungannya ke Suriah. Ia segera pulang kembali ke Mekah.

Wednesday 24 August 2016

Kelahiran Nabi Muhammad SAW

sejarah kelahiran nabi muhammad saw, bilik islam
Beberapa wuktu setelah pernikahannya, Alhamdulillah dengan Aminah tinggal di rumah orang tuanya. Tidak lama kemudian, Abdullah berangkat ke Suriah membawa barang dagangan. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Yatsrib. Karena Abdullah meninggal pada masa yang relatife muda, ia tidak banyak meninggalkan warisan. Ia hanya meninggalkan sebuah rumah, lima ekor unta dan sejumlah kambing serta seorang budak perempuan, Ummu Aiman namanya. 

Mendengar suami yang amat dicintainya itu meninggal, Aminah terkejut dan sedih sekali. Kesedihan ini lebih menekan perasaannya karena ia dalam keadaan hamil. Hatinya meratap bila ia membayangkan nasib anaknya yang masih dalam kandungannya itu yang akan lahir sebagai anak yatim. Dengan sabar, ia menunggu kelahiran anaknya, karena setiduk-tidaknya anak yang akan lahir itu kelak menjadi pelipur lara serta penghibur duka yang selama ini meliputi dirinya. 

Akhirnya, tibalah saat yang dinanti-nanti itu. Lahirlah bayi Muhammad. Aminah sendiri tidak menduga bahwa pada malam menjelang dini hari, Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M, ia akan melahirkan bayi yang dikandungnya itu. 

Abdul Muthalib, begitu mendengar cucunya lahir, langsung berlari-lari mendatangi rumah Aminah. Diangkatlah bayi yang baru lahir itu. Diciuminya. Didekapnya, lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia thawaf setengah berlari mengelilingi Ka’bah menggendong bayi yang baru saja lahir itu. 

Sekembalinya dari Ka’bah, ia berkata kepada menantunya, “Bayi ini akan kuberi nama Muhammad. Aku berharap agar seluruh dunia sampai akhir memuji ia (Muhammad).” Sedangkan ibunya sendiri, juga sudah memberi nama bayinya itu, Ahmad. Nama Ahmad ini sudah disebut dalam Taurat dan Injil lebih dahulu. Kedua nama tersebut, yakni Muhammad dan Ahmad, juga telah disebut di dalam AL- Qur’anul Karim.

Peristiwa Luar Biasa Menjelang Lahirnya Nabi Muhammad SAW

Peristiwa Luar Biasa Menjelang Lahirnya Nabi Muhammad SAW, cerita nabi muhammad lahir, keanehan saat nabi muammad lahir, kejadian saat nabi muhammad lahir, pasukan gajah menyerang ka'bah, serita mabi mhammad lengkap.
Pada tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW., ada satu pasukan musuh dengan kendaraan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Kerajaan Hahsyim di Yaman. Ia hendak menghancurkan Ka’bah. OIeh karena itu, tahun tersebut dinamakan tahun Gajah. 

Ka’bah, sebagai rumah Tuhan, dalam setiap tahunnya selalu dikunjungi oleh umat manusia dari berbagai negeri untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini menyebabkan negeri Mekah menjadi semakin ramai dan bangsa Quraisy yang menguasai Ka’bah itu makin terhormat dan mendapat penghidupan yang layak pula. Dengan keadaan yang demikian itu, timbul niat buruk di hati Abrahah. Ia berusaha membelokkan umat manusia agar tidak lagi datang ke Mekah setiap tahunnya, tetapi datang ke Yaman untuk menunaikan ibadab haji. Lalu, ia mendirikan gereja besar di Shan’a yang diberi nama Al-Qullais sebagai pengganti Ka’bah di Mekah itu. 

Namin demikian, tak seorang pun di antara manusia bangsa Arab yang mau menunaikan ibadah haji ke gereja itu. Hati Abrahah semakin panas setelah terbukti bahwa tak seorang pun dan bangsa Arab yang mau mengubah Ka’bah mereka ke Yaman. Abrahab hersumpah akan meruntuhkan Ka’bah yang ada di kota Mekah. Ia mengira jika Ka’bah telah dihancurkan, tentu tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk datang ke Mekah. Kemudian Abrahah mernpersiapkan tentara yang besar jumlahnya dengan berkendaraan gajah untuk meruntuhkan Ka’bah. 

Pasukan bergajah itu menuju ke Mekah. Di dekat Mekah, pasukan itu berhenti. Abrahah mengutus kurir untuk menemui Abdul Muthalib dengan pesan bahwa kedatangan mereka semata-mata hanya untuk meruntuhkan Ka’bah, sama sekali tidak untuk memerangi penduduk Mekah, kecuali bila ada perlawanan. Sementara itu, pasukannya telah merampas harta penduduk di sekitar tempat mereka herkemah termasuk seratus ekor unta milik Abdul Muthalib.

Peristiwa yang tidak mengenal adat orang Arab saat itu, menimbulkan kemarahan yang memuncak di kalangan bangsa Quraisy. Di antara mereka, banyak yang ingin membunuh Abrahah. Namun demikian, mengingat tentara Abrahah yang kuat itu, Abdul Muthalib dan rakyat Mekah sadar bahwa dirinya tidak akan mampu melawan. Karena itu, Abdul Muthalib menganjurkan kepada segenap penduduk mengungsi ke luar kota. 

Dengan tidak disangka-sangka, datanglah seorang utusan Abrahah, membawa sepucuk surat. Surat tersebut antara lain berisi bahwa Abrahah ingin bertemu dengan pimpinan kota Mekah. Tak lama kemudian datanglah Ahdul Muthalib dengan hati yang mantap memenuhi panggilan Abrahah. Dalam pertemuan itu, Abdul Muthalib diperlakukan sebagaj tamu terhormat. Abrahah berkenan duduk bersama-sama Abdul Muthalib. Dalam pembicaraan itu, Abdul Muthalib hanya meminta agar semua unta yang telah dirampas Abrahah dikembalikan kepadanya. 

Mendengar perkataan Abdul Muthalib, Abrahah menyahut dengan sinis, “Semula aku sangat segan kepadamu. Namun, setelah mendengar perkataanmu, akhirnya aku tahu hahwa kamu seorang yang berjiwa kerdil. Aku datang untuk meruntuhkan Ka’bah, mengapa unta yang kamu persoalkan, sedangkan agama dan Ka’bah yang kamu miliki itu kamu lupakan?” 

Abdul Muthalib menjawab, “Unta-unta itu adalah milikku. Aku wajib mempertahankan milikku, sedangkan Ka’bah itu adalah milik Tuhan. Tuhan sendirilah yang akan menjaga dan memeliharanya.” 

Lalu, seluruh unta milik Abdul Muthalib dikembalikan. Kemudian, Abdul Muthalib memohon kepada Allah SWT., “Ya Allah, tidak ada yang kami harapkan dari-Mu. Selamatkanlah rumah-Mu ini dari serangan mereka. Musuh rumah-Mu adalah musuh-Mu juga.”

Selesai berdoa, Abdul Muthalib beserta segenap penduduk kota berduyun-duyun mengungsi ke luar kota Mekah. 

Sementara itu, Abrahah merasa senang karena tidak ada perlawanan dari penduduk kota Mekah dan bahkan, Ahrahah menganggap mudah untuk menghancurkan rumah Allah itu. 

Kota Mekah tampak sunyi. Tentara Abraham mulai bergerak untuk memasuki kota Mekah. Sekonyong-konyong, Allah menurunkan balatentara dengan cara mengutus burung Abaabiil. Setiap burung bergerak dengan membawa batu kerikil yang bernama Sijjiil dengan paruhnya. Batu-batu kerikil itu, oleh burung-burung Abaabiil dijatuhkan tepat mengenai kepala setiap pasukan bergajah, hingga tembus ke otaknya lalu tembus ke badan kendaraannya, hingga pasukan-pasukan bergajah itu mati bersama gajah yang ditungganginya. Peristiwa tersebut membuat Abrahah panik lalu melarikan diri kembali ke Yaman. Akan tetapi, dirinya tak luput dari balatentara Allah, burung Abaabiil, hingga menemui ajal. 

Peristiwa pasukan bergajah yang diazab oleh Allah SWT. dengan mengirimkan sejenis burung yang menyerang mereka sampai binasa dapat disimak dalam surat Al-Fiil dari ayat 1 sampai 5 sebagai berikut.

Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tana yang terbakar, lalu Dia jadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)” (Al Fiil {105} 1-5)

Demikianlah kisah peristiwa pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah yang diazab oleh Allah sehingga mereka mengalami kehancuran yang sangat. 

wadi muhassir, tempat pasukan gajah dihancurkan Allah melalui burung ababil

Beberapa bulan setelah peristiwa serbuan pasukan bergajah itu, lahirlah bayi dari kandungan Aminah. Kelahirannya memberi rahmat bagi seluruh alam. Bayi tersebut adalah Muhammad SAW., Nabi serta Rasul penutup.

Menjelang kelahirannya, kakeknya, Abdul Muthalib bermimpi. Dalam mimpinya pada punggung Abdul Muthalib tumbuh sebatang pohon yang cabang atasnya mencapai langit dan cabang sampingnya merentang dari timur ke barat. Selanjutnya, seberkas cahaya yang lebih terang dari matahari bersinar dari pohon itu, baik orang Arab maupun orang Persia mempercayainya. 

Berdasarkan mimpi itu, para ahli tafsir mimpi menafsirkan mimpi tersebut seraya berkata kepada Abdul Muthalib, hahwa seseorang akan dilahirkan dalam keluarga yang akan menerangi timur dan barat, dan yang akan menjadi Nabi bangsa Arab maupun bangsa Persia. 

Demikian juga ibunya, Aminah, mengalami berbagai mimpi sejak pertama kali mengandung. Ia senantiasa mimpi didatangi oleh para Nabi dengan membawa kabar gembira, hahwa bayi yang dikandungnya itu kelak akan menjadi pelita duni yang menerangi seluruh jagat raya ini, dari timur sampai barat. 

Lebih ianjut, menjelang kelahirannya, Aninah juga bermimpi. Dalam mimpinya Ia mclihat seberkas cahaya yang sangat terang menyi1aukan mata, memancar keluar dari tubuhnya. Cahaya itu menebar dan meluas ke seluruli alam, hingga tidak ada satu sudutpun yang tidak disinarinya. Dengan sinar itu, seluruh permukaan bumi menjadi berubah, dari gelap menjadi terang.

Aniinah merasa heran akan mimpi-mimpinya itu. Dia percaya bahwa mimpinya itu ada hubungannya dengan bayi yang sedang dikandungnya, tetapi ia tau maksud dari mimpi-mimpinya itu. Namun demikian, hati Aminah semakin yakin akan bayi yang sedang dikandungnya itu, bukanlah sembarang bayi. 

Dalam suatu riwayat diceritakan hahwa pada suatu malam, ketika Nabi Muhammad SAW. akan lahir, Aminah didatangi orang perempuan muda, cantik sekali parasnya. Mereka memakai pakaian-pakaian yang indah serta memakai wangi-wangian yang harum semerbak memenuhi ruangan rumahnya. Mereka memperkenalkan diri seraya berkata, “Kami adalah Asiyah dan Maryam. Kami sengaja datang ke sini atas perintah Tuhan untuk menyambut kelahiran putramu yang kelak menjadi Nabi akhir zaman.” 

Aminah menyambut kedatangan kedua tamu perempuan itu dengan senang hati. Seorang demi seorang, menjabat tangannya serta memandang dengan senyum mesra dan mendoakannya. Kedua perempuan itulah yang bertindak sebagai bidan mengurusi bayinya dengan dibantu oleh beberapa orang bidadari teman mereka. Sampai akhirnya, selesailah proses kelahiran itu. Mereka menemaninya hingga waktu subuh tiba kemudian mereka pamit meninggalkannya. Inilah beberapa kejidian luar biasa pada saat Nabi masih dalam kandungan ibunya hingga nenjelang kelahirannya.

Keturunan Nabi Muhammad SAW

Keturunan Nabi Muhammad SAW, silsilah nabi muhammad, nenek moyang nabi muhammad, kelahiran nabi muhammad, bulan kelahiran nabi muhammad, tahun kelahiran nabi muhammad, tanggal kelahiran nabi muhammad, kakek nabi muhammad, ayah nabi muhammad, ibu nabi muhammad.
Nabi Isma’il as. adalah putra Ibrahim dari perkawinannya dengan istri keduanya, Hajar. Suku Quraisy adalah cabang yang terkenal dari bangsa Arab keturunan Isma’il. 

Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy. Artinya, saudagar,Ia hidup pada ahad ke-3 Masehi. Ia adalah keturunan Ma’ad anak Adnan, keturunan langsung dari Ismail as.

Qushay, salah seorang keturunan Fihr, pada ahad ke-5 Masehi herhasil mempersatukan semua suku Quraisy dan berangsur-angsur menguasai seluruh Hijaz. Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan membahas hal- hal yang menyangkut kepentingan umurn. Ia juga menarik pajak dan menyediakan makanan serta air untuk jamaah haji pada musim haji. 

Pada tahun 480 M, Qushay meninggal dunia. Sepeninggal Qushay, tanggung jawab kekuasaannya digantikan oleh anaknya, Ahdul-Daar. Setelah Abdul-Daar meninggal, terjadilah sengketa antara kedua belah pihak, yaitu antara cucu-cucu Abdul-Daar dengan anak-anak Abdul Manaf. Setelah peristiwa ini, diadakan pembagian tugas dan diputuskan bahwa Abdul Syam, anak Abdul Manaf bertugas menyediakan air dan mengumpulkan pajak, sedangkan cucu-cucu Abdul Daar bertugas menjaga Ka’bah, istana dan bendera peperangan. 

Narnun demikian, setelah beberapa waktu, Abdul Syam menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Hasyirn yang dipandang pantas untuk memikul tanggung jawab ini. Hasyim adalah seorang tokoh terkenal di negeri Arab karena keberanian dan kejujurannya. Melihat keadaan Hasyim yang demikian itu, timbullah rasa iri dan dengki dalam hati Umayyah, anak Abdul Syam. Ia selalu berusaha hendak merebut dan menjatuhkannya. 

Hasyim meninggal pada tahun 510 M. Ia digantikan oleh saudaranya, Muthalib. Sepeninggal Muthalib tanggung jawab kekuasaannya dipegang oleh Ahdul Muthalib. Abdul Muthalib masih tetap mempunyai tugas sebagaimana tugas kakek-kakeknya di masa lalu, yakni memelihara keamanan dan ketertiban. Juga menyediakan makanan dan minuman hagi para jamaah yang datang, karena air minum pada waktu itu merupakan masalah yang sulit di sana.

Untuk mengatasi kesulitan air tersebut, Abdul Muthalib bercita-cita dan merencanakan menggali kembali sumur yang telah lama tertimbun. Rencana tersebut tampaknya bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan tenaga yang cukup banyak, padahal waktu itu Abdul Muthalib haru mempunyai seorang anak, Harits. Ia berpikir, meminta bantuan orang lain dirasa sulit diharapkan. Oleh karena itu, Abdul Muthalib mernohon kepada Allah SWT. agar diberi anak yang banyak. Ia pun bernazar, apabila di kemudian hari ia dikaruniai anak yang banyak, ia akan menyembelih salah seorang anaknya untuk kurban sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT. 

Tuhan yang Maha Kuasa mengetahui rencana hamba-Nya itu, sehingga dikabulkanlah apa yang menjadi cita-cita Abdul Muthalib. Tiga puluh tahun kemudian, lahirlah beberapa orang anak. Di antaranya adalah Abu Thalib, Abbas, Hamzah, Abu Lahab, Zubair, dan Abdullah. 

Dilaksanakanlah rencana penggalian kembali sumur tersebut. Setelah menggali sumur tersebut, tibalah saatnya hagi Ahdul Muthalib untuk menunaikan nazarnya berupa kurban. Orang beramai-ramai menyaksikan Abdul Muthalib membawa anak-anaknya ke dekat Ka’bah kepada seseorang yang pandai untuk diundi, siapakah di antara mereka yang akan dijadikan sebagai kurban. 

Pada saat yang telah ditentukan, dilakukanlah undian yang kemudian keluarlah nama Abdullah. Abdul Muthalib membawa Abdullah ke tempat penyembelihan di dekat sumur Zamzam. Tanpa ragu, Abdullah pun menuruti kehendak ayahnya itu. Namun, kerumunan orang banyak itu mengajukan keberatan atas rencana penyembelihan 

Abdullah, putra Abdul Muthalib. Masalah ini dibawa kepada seorang dukun wanita di Yatsrib. Dukun wanita itu menyuruh Abdul Muthalib untuk melakukan undian kembali. Namun, nama Abdullah yang kembali keluar. Ia memerintahkan Abdul Muthalib menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti pembatalan penyembelihan Abdullah. 

Peristiwa tersebut menjadikan Abdul Muthalib dan Abdullah semakin terkenal di seluruh tanah Arab. Sedangkan Abdullah menjadi idola dikalangan gadis-gadis di sana. Setiap gadis mendambakan ingin dipersunting oleh pemuda yang selamat dari penyembelihan itu. Akhirnya, seorang gadis yang paling berbahagia adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah yang menjadi istri Ahdullah bin Abdul Muthalib. Dari pernikahan ini, lahinlah Muhammad SAW., sebagai pembawa rahmat bagi seluru alam.

Mengenai silsilah Nabi Muhammad SAW., penulis buatkan secara sederhana dari Nabi Ibrahim as. Hingga Nabi Muhammad SAW. dengan maksud untuk memudahkan pembaca memahaminya. Silsilah tersehut adalah sehagai berikut. 

silsilah nabi mhammad

Tabir Wanita