Thursday, 10 September 2015

Kisah Nabi Hud AS (Cerita Untuk Anak)

Nabi Hud adalah Nabi yang diutus pada penduduk/kaum ‘Ad, nama ‘Ad diambil dari keturunan nenek moyangnya yang bernama Ad bin Audi bin Aram bin Sam. Sedangkan Nabi Hud adalah putera dari Abdullah bin Rabah bin Al-Khuiud bin ‘Ad. Sehingga kerasulan dan Kenabian Nabi Hud adalah untuk memperingati dan mengingatkan kaum dan sukunya sendini.

Bangsa ‘Ad adaiah bangsa yang dianugenahi Allah dengan fisik yang kuat dan baik, dan diberikan keadaan daerah yang subur oleh Allah SWT.

Anugerah alam yang subur dan makmur membuat kaum ‘Ad terlena dan membuat mereka menjadi sombong karena mereka merasa bahwa apa yang mereka miliki dan mereka rasakan adalah karena kerja mereka. Mereka ingkar terhadap Allah Tuhan yang memberikan segala kenikmatan. Nabi Hud tidak bosan-boSannya rnemperingatkan untuk mereka kembali ke jalan yang benar, dengan meninggaikan sesembahan mereka yang bernama Shoda, Shamud dan Hara. Akan tetapi mereka ingkar, menolak ajaran dan ajakan Nabi Hud yang memperingatkan mereka dengan kejadian-kejadian yang menimpa kaum Nabi-nabi sebelum meraka, sampai-sampai Nabi Hud-pun dianggapnya gila.

Maka Allah menepati janji dengan menurunkan azab yang pedih dalam dua tahap:
- Pertama Allah menahan hujan, maka terjadilah kekeringan selama 3 tahun, membuat mereka menderita kelaparan dan kesakitan. Nabi Hud tetap memperingatkan mereka untuk bertaubat akan tetapi tetap tidak dihiraukan. 

- Kedua turun siksaan yaitu berupa angin yang tak henti-henti selama tujuh malam delapan hari. Dan akhirnya mereka beterbangan dan bergelimpangan seperti pohon kurma yang terbawa angin. Musnahlah kaum ‘Ad beserta kebesaran dan harta kekayaannya. “Ingatlah, kaum ‘Ad itu ingkar kepada Tuhan mereka. Sungguh, binasalah kaum Ad, Umat Nabi Hud itu.”(QS. 1 1/Hud:60).

Kisah Nabi Nuh AS (Cerita Untuk Anak)

Nabi Nuh AS. adalah keturunan Nabi Adam yang ke Sembilan ayahnya bernama Lamik bin Motusyalih . Menurut AI-Qur’an usia Nabi Nuh AS. mencapai 950 tahun, dan diangkat menjadi nabi dan rasul pada usia 450 tahun.

Beberapa abad sepeninggal Nabi Idris, kaumnya memiliki orang yang dianggap sebagai pemuka dan pimpinan mereka, dan ketika pemuka itu wafat mereka membuatkan patung sebagai pengingat akan jasa-jasanya, akan tetapi lambat laun ternyata berbeda dari tujuan awal karena patung-patung itu disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka, dan melupakan ajaran Nabi Idris yaitu ajaran Allah SWT. Dan Nabi Nuh ada ditengah-tengah mereka ketika dalam kekosongan tidak ada Nabi dan Rasul masa itu disebut ‘Fatrah” artinya masa kekosongan tidak adanya Nabi dan Rasul.

Nama-nama berhala yang mereka sembah adalah sesuai dengan nama-nama tokoh yang dulu mereka anggap sebagai tokoh yang dihormati yaitu Wadd, Suwa, Va’ud, dan Nasr. Nabi Nuh menghadapi kaum yang sudah tersesat di jalan Allah. Bukan hal yang mudah karena tantangan yang dihadapi oleh Nabi Nuh, ancaman dan hinaan dari kaum Nabi Nuh ditanggapi dengan sabar dan tawakkal. Sehingga Allah memberi gelar Ulul Azmi karena ketabahan dan kesabaran beliau. 

Allah memberi anugerah kepada Nabi Nuh sebagai Nabiullah yaitu, fasih dan tegas dalam berbicara, bijaksana dalam memimpin, sabar serta santun dalam menghadapi kaumnya.

Dengan kesabaran dan keuletannya dalam berdakwah hanya sedikit saja hasilnya yaitu dalam 500 tahun hanya 70 sampai 80 orang saja yang mau mengikuti ajakan Nabi Nuh, itupun hanya orang-orang yang lemah dan miskin sedang orang-orang yang dianggap kaya dan kuat menentang Nabi Nuh termasuk putranya Nabi Nuh yang bernama Kan’an. Sampai akhirnya Nabi Nuh berdoa agar Allah menurunkan azab untuk kaumnya yang tidak juga mau patuh terhadap ajaran Allah. Maka Allah memberitahukan Nabi Nuh untuk bersiap-siap karena Allah akan menurunkan banjir yang sangat besar dan akan memusnahkan siapa saja yang ingkar terhadap ajaran Allah.

Maka Nabi Nuh beserta kaumnya menyerukan kembali ajakan untuk meninggalkan berhala dan memberitahukan kepada meraka bahwa Allah akan menurunkan Azab kepada siapa saja yang mengingkarinya. Dan ketika Nabi Nuh beserta kaumnya mempersiapkan dengan membuat kapal yang cukup besar, mereka menertawakan serta mengejeknya, akan tetapi dengan kesabarannya Nabi Nuh menerimanya.

Sampai suatu saat janji Allah tiba yaitu hujan yang cukup besar sehingga banjir terjadi, akan tetapi mereka dengan kesombogannya mereka tidak juga sadar termasuk Kan’an, mereka lari ke gunung untuk menghindari banjir akan tetapi tidak bisa mereka menghindar karena air mengikuti mereka sampai pada akhirnya mereka tenggelam dan mati karena kebodohan dan kesombongannya. Selamatlah Nabi Nuh beserta kaumnya yang patuh dan mengikuti ajarannya.

Kisah Nabi Idris AS (Cerita Untuk Anak)

Nabi Idris adalah keturunan Nabi Adam yang ke 6, beliau diutus Allah untuk meluruskan kembali keturunan Qobil yang melenceng jauh dari ajaran Allah SWT.

Dalam Surat Maryam ayat 56-57:
“Ceritakanlah kisah Idris di dalam AI-Qur’an, sesungguhnya Ia seorang yang sangat sabar dan seorang nabi. Kami naikkan dia ketempat yang lebih tinggi.” (QS. Maryam: 56-57)

Beliau adalah Nabi pertama yang mendapatkan wahyu lewat Malaikat Jibril, beliau juga adalah orang yang pertama bisa membaca dan menulis, juga orang yang pertama mempraktekkan menjahit pakalan, pandai menunggang kuda padahal pada saat itu belum ada orang yang bisa memanfaatkan kuda sebagai tunggangan, juga menguasai ilmu astronomi atau ilmu perbintangan untuk mengetahui musim, beliau diberi julukan Asadul Usad yang artinya singa, karena beliau pemberani dan tidak pernah berputus asa dalam melaksanakan tugasnya sebagai nabi dan rasul Akan tetapi usia beliau tidak panjang seperti Nabi Adam, beliau wafat pada usia 82 tahun. Nabi Adam sebagai manusia pertama di muka bumi adalah bapak seluruh manusia, seluruh bangsa, dan juga manusia pertama yang menanamkan kebaikan dan persaudaraan. Dan Allah menganugerahkan usia yang panjang yaitu sekitar 936 tahun.

Pengertian, Dasar Hukum Dan Tata Cara Sujud Tilawah

Tanya : Saya pernah mendengar sujud itu bermacam-macam. Salah satunya adaiah sujud tilawah. Mohon jelaskan ihwal tentang sujud tilawah itu.

Jawab : Kita semua kaum muslimin sudah sangat akrab dengan kata sujud. Paling tidak, sujud kita pahami sebagai salah satu rukun shalat, yang paling tidak dikerjakan lima kali sehari semalam. Yaitu dengan cara meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi ke tanah atau alas tertentu. Sebenarnya sujud itu seperti dikatakan penanya, banyak macamnya. Paling tidak ada tiga di samping sujud sebagai rukun shalat. Ketiganya adalah sujud sahwi. sujud syukur dan titawah.

Sujud sahwi lebih dikenal dan lebih banyak dipraktikkan daripada sujud syukur dan tilawah. Pada zaman ini, sangat jarang kita temui kaum muslimin yang mengamalkan sujud syukur dan tilawah. Penyebab utamanya adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang keduanya.

Dalam kesempatan ini kita akan mengkhususkan pembahasan pada sujud tilawah saja sesuai dengan pertanyaan penanya. Pembahasan tentang sujud tilawah meliputi status hukum serta tata cara pelaksanaannya. Tulisan ini sepenuhnya didasarkan pada kitab At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, karya Imam Nawawi. Hal itu kami lakukan karena dalam kitab tersebut telah memberikan uraian yang sangat memadai mengenai sujud tilawah dalam satu pasal khusus.

Semua ulama sepakat. sujud tilawah diperintahkan oleh agama. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat. Kesepakatan semua ulama mujtahid tentang suatu masalah semacam ini, dalam ushul fikih dinamakan ijma’. Perbedaan timbul dalam menentukan jenis atau kadar perintah tersebut. Pendapat mayoritas ulama, menyatakan perintah sujud tilawah bersifat mandub atau sunah. Pendapat ini disokong oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Auza’i, Ishaq, Dawud, dan lain-lain.

Pendapat ini disimpulkan dari pernyataan Umar Ibn Khaththab pada sebuah penyelenggaraan shalat Jumat. Beliau berseru: “Wahai manusia! Kita melewati ayat sajdah. Barangsiapa melakukan sujud tilawah maka Ia benar. Barangsiapa tidak mengerjakan maka tiada dosa baginya.” Sayyidina Umar sendiri pada saat itu, termasuk orang yang tidak melakukan sujud tilawah. (Shahih Bukhari, II: 260-261). Perkataan Umar tadi dapat dijadikan sandaran hukum karena para sahabat pada saat itu tidak ada yang menyangkal. Sementara itu, Imam Abu Hanifah dengan merujuk pada Al Quran surat Al-Insyiqaq, 20-21 menyatakan perintah tersebut bersifat wajib.

Sujud tilawah dilakukan ketika selesai membaca ayat-ayat sajdah. Hal itu juga dianjurkan ketika mendengar bacaan orang lain baik dalam keadaan shalat ataupun tidak. Jarak antara bacaan ayat sajdah dan sujud tilawah tidak boleh terlalu lama.

Menurut Imam Syafii dan kebanyakan ulama,ayat sajdah ada empat belas. Keempat belas ayat itu adalah A1-A’raf, 206, Ar-Ra’d, 15, An-Nahi, 50, Al-Isra’, 109, Maryam, 58, A1-Haj, 18, 77, Al-Furqan, 60, An-Naini, 26, As-Sajdah, 15, Shaad, 24, Fushilat, 38, An-Najm, 62, A1-Insyiqaq, 21, dan A1-Alaq, 19.

Persyaratan-persyaratari yang harus dipenuhi dalam mengerjakan shalat, juga berlaku untuk sujud tilawah. Orang yang mengerjakan sujud tilawah harus suci dari hadas dan najis, menghadap kiblat dan menutup auratnya.

Seperti saya sebutkan di atas, sujud tilawah dianjurkan bagi orang yang sedang shalat atau tidak. Bagi orang yang tidak sedang mengerjakan shalat, caranya adalah berdiri, kemudian takbiratul ihram seraya fiat dalam hati mengerjakan sujud tilawah dengan mengangkat kedua tangan sampai di atas pundak seperti halnya takbiratul ihram kala shalat. Setelah itu lalu turun untuk sujud dengan meletakkan kedua telapak tangan, kaki, lutut dan dahi di tanah atau alas tertentu. Ada baiknya, pada saat turun diiringi bacaan takbir.

Pada waktu sujud membaca bacaan yang biasa dibaca dalam shalat, yaitu “Subhaana rabiyal a ‘Ia” sebanyak tiga kali. Lalu disambung dengan membaca :


Dan diteruskan dengan “Subbuhun qudusun rabbul malakati warruh.”

Setelah itu, bangun dari sujud kemudian duduk dan diakhiri dengan salam tanpa membaca tasyahud terlebih dahulu.

Adapun ketika seseorang sedang menjalankan shalat, maka ketika berdiri langsung sujud sambil membaca takbir tanpa mengangkat kedua tangan. Dan setelah membaca “subhana rabiyal a‘la” tiga kali dan seterusnya, kemudian berdiri kembali meneruskan shalatnya. Intinya dari segi persyaratan, sujud tilawah tidak berbeda dengan shalat. Dan dari segi pelaksanaan sama dengan sujud yang menjadi rukun shalat.

Sunday, 6 September 2015

Hukum Meragukan Sperma Sesudah Shalat

Tanya : Kala dua hari yang lalu saya shalat seperti biasa, tetapi kemudian saya melihat di sarung yang saya pakai ada sperma yang sudah kering, setelah saya ingat-ingat saya masih ragu apakah memang sperma saya waktu tidur atau bukan. Sebab, ada juga teman di sebelah saya, bagaimana hukum shalat saya? (Salim, Kudus)

Jawab : Perlu ditelusuri terlebih dahulu siapa pemilik dari sperma yang menempel di sarung itu. Mungkin memang sperma Anda, mungkin teman tidur Anda yang spermanya menempel di sarung Anda. Sehingga Anda ragu dan mungkin benar-benar sperma orang lain. Kalau memang tidak ada yang memakai sarung dimaksud kecuali Anda dan Anda tidur sendirian sehingga tidak memungkinkan sperma orang lain menempel, maka yakinkanlah bahwa itu adalah sperma Anda.

Jika sudah ada kepastian dan benar adanya bahwa itu sperma Anda maka wajib bagi Anda untuk mandi kemudian i’adah atau mengulangi shalatnya. ini berarti shalat dua hari yang telah dilaksanakan itu tidak sah karena ternyata Anda berhadas besar.

Dalam kaidah fikih dinyatakan la‘ibrata bidzanni al bayyznu khata’uhu, tidak dianggap atau tidak sah sebuah anggapan (dzan) yang sudah jelas salahnya. Sebaliknya, kalau Anda yakin bahwa itu adalah sperma orang lain, maka Anda tidak wajib mandi atau i’adah shalat. Adapun kalau Anda tidak yakin itu sperma Anda -maka untuk kehati-hatian- Anda disunahkan untuk mandi dan i’adah shalat. (I’anah Ath-Thalibin: I, 71).

Apakah Menyentuh Istri Batalkan Wudhu, Apa Dasar Hukumnya ?

Tanya : Apakah suami jika menyentuh istrinya dapat membatalkan wudhu? Saya pernah melihat seorang suami menyentuli istrinya, lalu shalat tanpa berwudhu lebth dahulu. (Ny. Tin Farina)

Jawab : Seperti kita makiumi bersama bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas dan najis. Untuk menghilangkan hadas kecil, kita diwajibkan berwudhu, dan untuk menyucikan diri dari hadas besar kita diharuskan mandi.

(baca juga postingan Hal Yang Membatalkan Wudhu)

Ketika kita menanggung hadas kecil dan hendak mengerjakan shalat diharuskan berwudhu terlebih dahulu. Sebaliknya dalam keadaan suci yang perlu kita perhatikan adalah mempertahankan atau menjaga status kesucian itu dengan cara menghindari semua perkara yang dapat membatalkan wudhu. Atau hal ini secara populer dinamakan mubthilatal-wudhu atau asbab al-hadats.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah menyentuh istri oleh suami termasuk perkara yang dapat membatalkan wudhu? Permasalahan ini diajukan penanya setelah dalam satu kesempatan melihat seorang lelaki menyentuh istrinya langsung shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.

Kebimbangan penanya sangat wajar sekali karena dalam banyak hal istri itu secara hukum dibedakan dari perempuan lain. Perlu kita ketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu akibat persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan secara umum.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: II, 30 menjelaskan paling tidak ada 7 pendapat dalam masalah tersebut.

Pertama, persentuhan kulit antara lelaki dan perempuan bukan mahram secara langsung (tanpa penghalang) dapat membatalkan wudhu baik dengan atau tanpa sengaja disertai atau tanpa sahwat.

Ini merupakan pendapat Madzhab Syafi’i. Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Umar demikian halnya Makhul Asy-Sya’bi, Al-Nakhai dan lain-lain.

Kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Pendapat ini kebalikan dari pendapat pertama. Para pelopornya antara lain lbn Abbas, Atho, Masruq, dan Abu Hanifah termasuk beberapa tokoh yang mendukung pendapat kedua ini.

Ketiga, persentuhan tersebut membatalkan bila disertai sahwat. Dengan demikian, persentuhan itu tidak batal kalau terjadi tanpa dengan sahwat.

Keempat, membatalkan jika dilakukan dengan sengaja.

Kelima, membatalkan kalau menyentuhnya dengan anggota wudhu.

Keenam, membatalkan jika disertai sahwat walaupun terdapat penghalang yang tipis.

Ketujuh, kalau menyentuh perempuan yang halal (istri) tidak batal. (Lihat pula Al-nzan Al-Kubra: I, 120).

Dan keterangan Imam Nawawi tampak jelas bahwa menurut madzhab Syafi’i yang selama ini kita amalkan menyentuh perempuan membatalkan wudhu. Tentu saja yang dimaskud di sini adalah perempuan yang sudah cukup dewasa dalam arti sudah dapat menarik lawan jenisnya, secara tidak tergolong mahram, yakni perempuan yang haram dinikah akibat hubungan nasab, hubungan perkawinan dan susuan.

Adapun istri, karena tidak termasuk mahram, menyentuhnya tetap membatalkan wudhu.

Kalau ditelusuri lebih dalam, salah satu penyebab timbul perbedaan di atas adalah ketidaksamaan dalam memakai kata lamastun pada ayat 43 surat An-Nisa’sebagai berikut:
Artinya: “Hal orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berialu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.“ (QS. An-Nisa’: 43)

Terhadap ayat ini, sebagian ulama mengartikannya dengan “menyentuh”. Sedangkan sebagian yang lain menginterpretasikannya dengan “bersetubuh”. Keduanya dari segi bahasa memang dimungkinkan. Keterangan lebih lanjut misalnya dapat dilihat pada kitab Rawa’i A1-Bayan  I, 477-490.

Dengan denkian, kalau penanya pernah melihat suami menyentuh istrinya langsung shalat ada beberapa kemungkinan untuk menjelaskannya.

Fertama, persentuhan tersebut tidak secara langsung, dalam arti terdapat penghalang antara kulit suam dan istri berupa kain, plastik, dan lain sebagainya.

Kedua, dia mengikuti madzhab yang tidak menganggap kejadian tersebut membatalkan wudhu, misalnya pendapat kedua.

Ketiga, orang tersebut lupa bahwa dia menyentuh istrinya.

Keempat, suami tersebut tidak mengetahui tindakannya dapat membatalkan wudhu.

Kalau dirasa sulit menghindari persentuhan kulit dengan istri khususnya atau perempuan pada umumnya, dapat saja kita berpindah madzhab dengan mengikuti madzhab Hanafi yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.

Sudah barang tentu mengikutinya harus secara total dalam satu qadhiyah, dalam hal in meliputi tata cara berwudhu dan hal-hal yang bersangkutan dengannya secara komplit, yang meliputi rukun, syarat, dan perkara yang membatalkan.

Rukun wudhu menurut Mazhab Hanafi ada empat, yakni membasuh muka, kedua tangan dan kaki, dan mengusap seperempat kepala. Sedangkan perkara yang membatalkan meliputi keluarnya sesuatu dari jalan depan dan belakang, hilangnya kesadaran, tertawanya orang shalat dengan terbahak-bahak, bersetubuh, mengalirnya najis seperti darah dan nanah dari badan, muntah-muntah sampai memenuhi mulut. (Khulashah Al-Kalam fi Arkan Al-Islam, 33-34).

Apakah Berbicara Membatalkan Wudhu ?

Tanya : Bagaimana hukumnya jika sedang wudhu menyahuti panggilan orang lain. Apakah itu membatalkan wudhu yang sedang dilakukan?

Jawab : Memang dalam kenyataan sehari-hari, kita sering menjumpai sebagian kaum muslinn berbicara dengan orang lain di tengah-tengah melaksanakan wudhu. Kenyataan tersebut tidak hanya terjadi pada anak-anak kecil yang masih sulit melepaskan diri dari kebiasaan guyonan, tapi orang dewasa pun ada yang melakukannya, meski sangat jarang.

(Baca juga postingan Hal Yang Membatalkan Wudhu)

Mengingat keabsahan wudhu berkaitan langsung dengan keabsahan shalat yang hendak dikerjakan, sudah sepatutnya fenomena yang kurang layak tersebut tidak dipertahankan. Sejauh manakah dampaknya? Apakah dapat membatalkan wudhu? Ataukah sekadar mengurangi kesempurnaan wudhu itu sendiri?

Kalau kita kembali ke literatur-literatur fikih, khususnya kitab I’anah Ath-Thalibin dijumpai keterangan bahwa di tengah mangerjakan wudhu disunahkan untuk tidak berbicara tanpa ada keperluan. Jika terdapat keperluan yang mendesak, berbicara malah bisa berubah menjadi wajib. misalnya saat berwudhu kita melihat orang buta berjalan sendirian, padahal di depannya terdapat lubang yang membahayakan dirinya. Dalam kondisi seperti itu tentu kita wajib bicara seraya berteriak memberikan peringatan kepadanya. Menyelamatka orang buta jelas lebih diutamakan daripada memenuhi anjuran untuk diam saat mengerjakan wudhu. Anjuran diam tersebut sangatlah beralasan. Bagaimanapun wudhu merupakan ibadah yang sedapat mungkin kita laksanakan dengan penuh kekhusyu’an dan konsentrasi agar terlaksana sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan syariat sebagaimana terumus dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana dimaklumi, membasuh kaki, tangan, dan muka harus betul-betul merata. Jangan sampai ada bagian yang tidak tersentuh air, karena termasuk perbuatan dosa. Melakukan aktivitas tersebut tentu membutuhkan ketenangan, kehati-hatian dan konsentrasi secukupnya.

Dan keterangan tersebut dapat ditarik kesimpulan, berbicara saat berwudhu, meski kurang layak, tidak sampai membatalkan. Lain halnya dengan shalat. Berbicara pada saat mengerjakannya bisa membatalkan.

Bagaimana Hukum Shalat Jenazah Menghadap Kiblat ?

Tanya : Ketika shalat jenazah, sebaiknya menghadap ke arah mana? (Saruniharja, Cilacap)

Jawab : Seperti dimaklumi, orang meninggal menurut ajaran Islam harus dishalati (shalat jenazah), setelah dimandikan dan dikafani sebelum di kubur. Hukum shalat ini adalah fardhu kifayah.

Tujuan shalat jenazah agak berbeda dengan shalat fardhu, meski sama-sama diwajibkan dan tentu merupakan ibadah yang berpahala.

Perbedaan itu terletak pada tujuan. Shalat fardhu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) dan berdzikir (mengingat) kepada Allah. Sedangkan shalat jenazah lebih dimaksudkan untuk mendoakan orang yang telah meninggal agar mendapatkan ampunan dan kehidupan yang berbahagia di alam kubur dan akhirat.

Karena itu, mendoakan mayat menjadi salah satu rukunnya. Perbedaan tujuan menimbulkan perbedaan cara pelaksanaan.

Dalam shalat jenazah tidak ada ruku’, sujud, i’tidal, dan lain-lain. Shalat jenazah kadang-kadang dikerjakan tanpa kehadiran mayat, yang biasa disebut shalat gaib.

Rasulullah Saw. pernah melaksanakannya (shalat gaib) tatkala Raja Najjasyi dan Habsyah (Afrika) meninggal. Hal itu kemudian diteladani kaum muslimin. Shalat ini biasanya dilaksanakan menjelang mereka shalat Jumat di beberapa masjid. Jika ada kerabat jauh yang meninggal, shalat gaib dapat menjadi pilihan kita. bila berhalangan hadir.

Shalat gaib tidak terikat kepada tempat, itu kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua, mayatnya ada di tempat kita shalat. Di sini berlaku ketentuan, orang yang menyalati tidak boleh berada di depan jenazah, tetapi harus dibelakangnya seraya menghadap ke arah kiblat.

Sebaiknya imam atau munfarid (shalat jenazah sendirian) menghadap kepala jenazah kalau laki-laki, dan menghadap pantatnya jika si mayat adalah perempuan.

Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Para makmum sudah barang tentu berada di belakang imam.

Shalat jenazah sebaiknya dilaksanakan secara berjamaah (lihat Mahally Tanbih pada pembahasan shalat jenazah.

Tabir Wanita