Tuesday, 1 September 2015

Latar Belakang Timbulnya Aliran (Firqah) Dalam Islam

Banyak hal yang melatar belakangi timbulnya aliran-aliran dalam Islam, baik pada masa lalu maupun pada masa Jahiliyah modern saat ini. Ada yang dilatar belakangi oleh kepentingan politik, pribadi, kelompok atau golongan atau bahkan juga oleh agen-agen zionis yang ingin menghancurkan Islam baik secara langsung atau tidak langsung.

Indikasi tersebut dapat dilihat dari ajaran yang mereka ajarkan kepada Jama’ah atau pengikutnya, dimana diantara aliran-aliran tersebut ada yang ajarannya menyimpang jauh dari ajaran Islam, bahkan justru ada yang membuat ajaran sendiri, menghina, merongrong, merobah, memalsu dan mencampur adukkan ajaran Islam dengan ajaran syetan. Sebagian diantara mereka menggunakan Islam hanya sebagai kedok dan A1-Qur’an serta hadits sebagai tameng belaka, sebab diantara aliran-aliran tersebut ada yang mempunyai kitab suci sendiri, mempunyai nabi dan bahkan mempertuhankan selain Allah SWT, diantara mereka ada yang meyakini bahwa Amir atau Imamnya mempunyai otoritas kenabian dan bahkan ketuhanan.

Secara garis besar yang melatar belakangi timbulnya aliran-aliran dalam islam dari dulu hingga kini yang terus diwanisi secara turun temurun diantaranya adalah:

KEPENTINGAN KELOMPOK ATAU GOLONGAN

Kepentingan kelompok atau golongan pada umunya mendominasi sebab timbuinya suatu alairan, sebagai contoh timbulnya firqah semacam syi’ah dan khawarij penyebabnya sangat jelas, yaitu karena kepentingan kelompok atau golongan serta kepentingan diantara mereka, dimana syi’ah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuja Ali bin Abi Thalib , sedang khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya, yang semuanya itu bermuara dan kepentingan kelompok atau golongan, begitu pula aliran yang timbul dewasa mi.

PENGARUH DARI LUAR ISLAM.

Ada pula penyebab timbunya perpecahan ditubuh umat Islam yaitu pengaruh dari luar Islam, seperti syi’ah, golongan ini muncul karena propaganda salah seorang Yahudi tulen yang mengaku Islam yaitu Abdullah bin Saba’.

Akhirnya Yahudi ini mampu mengendalikan sebagian umat Islam yang masuk dalam perangkapnya dengan bertendensi Islam guna untuk merusak Islam dari dalam. Aliran Syi”ah Al-Itsna Asyariyyah atau Syi ‘ah imamiyah pada waktu itu adalah salah satu contoh Aliran yang dibidani oleh Yahudi yang mengadopsi dan bertendensi Islam. mereka punya kitab suci sendiri dan mengakui Ali bin Abu Thalib sebagai imamnya dan bahkan ada yang menganggap sebagai nabi dan bahkan tuhannya.

MENGEDEPANKAN AKAL

Akibat dari mempertuhankan akal dalam memahami Islam, dapat memmbulkan perpecahan dikalangan umat Islam, seperti munculnya Mu’tazilah yaltu aliran DEWA AKAL yang selalu mengedepankan akal dalam memahami Islam. Paham mu’tazilah sering diadopsi oleh komunitas pemikir primitif kota, yang tujuan utamanya hanya untuk mencari populanitas.

Dan juga menjadi komunitas awwam yang baru kenal Islam, yang diantara pahamnya adalah bahwa Isra’ Mi’raj nabi, hanyalah melalui mimpi, sebab menurutnya tidak masuk akal manusia bisa menembus langit sampai langit ke tujuh dalam waktu yang singkat, sihir tidak ada kenyataannya hanya hayalan belaka, nabi tidak tersihir, Al-Qur’an diturunkan hanya untuk syari’at dan haram untuk mengobati orang sakit, AI-Qur’an tidak mengandung mu’jiz at, orang mati sudah tidak mendapat manfaat dari yang hidup karena sudah jadi tanah, jin tidak dapat menyurup pada diri manusia, qodlo’ dan qodar tidak ada dan lain-lain.

Paham Liberal juga merupakan poto copy dan paham Mu’tazilah dengan mengadopsi paham Jahiliyah, Yahudiah, Orientalis dan sekulanis yang merupakan Madzhab mereka, sebagai penerus dan pewaris para penghancur Islam dengan kedok Modernisasi dan pembaharuan Islam. Hal itu dapat dilihat dan kopian-kopian pendapat mereka dan para pendahulunya yang menghujat Islam habis-habisan, Al-Qur’an diacak-acak, begitu pula Hadits nabi, mereka menanamkan doktrin bahwa banyak Ayat al-Qur’an yang sudah tidak relevan lagi, tafsir Al-Qur’an dinilainya tidak berguna, padahal ilmu warisan dari nabi . Hadits nabi diingkarinya, kitab-kitab Fiqih karya Ulama dihujat, dihina dan dianggap remeh, padahal mereka menulis satu baris saja yang senilai dengan hasil karya Ulama terdahulu tidak mampu, dan itu bisa dilihat dari hasil tulisan mereka.

PENGARUH BUKU TERJEMAHAN FILSAFAT YUNANI.


Di terjemahkannya buku-buku karya para filosuf Yunai disamping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila ditangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang aqidah dan syari’at Islam. Seperti faham Mu’ta.zilah banyak dipengaruhi oleh faham filsafat Yunani.

Masyarakat awam tidak tahu dari mana sumbernya, sejauh mana kebenarannya, mana yang perlu diikuti dan mana yang tidak, sehingga kadang-kadang menjadi korban doktrin-doktrjn sesat yang ada didalam buku tersebut atau yang sengaja ditanamkan oleh orang-orang yang sengaja mengambil kesempatan dalam kebodohan.

Mayoritas masyarakat tidak tahu apa itu filsafat, paham sekuler, orientalis, liberalis, zionis dan sejenisnya, juga tidak tahu mana faham yang salah dan yang benar, namun terkadang karena yang menyampaikan paham tersebut kepalanya botak mereka ikutan saja, karena mereka berasumsi bahwa orang berkepala botak pintar, padahal tidak demikian, Justru dewasa ini bayak orang brondol rambutnya atau botak kepalanya bodoh, bebal otaknya, mereka berondol rambutnya karena kebanyakan korupsi, menilep uang rakyat, menerima suap dan sejenisnya. Seringnya menghitung uang hasil korupsi dan akibat kejahatannya telah membuat berondol rambutnya alias botak kepalanya, dan bukan kebanyakan ilmu, tapi karena stress dan kebanyakan dosa.

Terkadang sebagian masyarakat terlalu percaya kepada orang yang kepalanya botak, apa yang dikatakan oleh orang yang kepalanya botak diikuti saja, tanpa dicerna terlebih dahulu, apa lagi bila terdapat embel-embel panjang dibelakang dari depan namanya, padahal tidak semua orang yang punya titel kesarjanaan itu orang pandai, betapa banyak dewasa ini orang yang punya titel kesarjanaan seperti Drs, MA, DR. dan lain-lain, mereka pun bangga dengan titel kesarjanaannya itu, namun dungu dan bodoh, sebab titel kesarjanaannya itu hasil beli ditukang lowak atau di kaki lima, maka bertitel Doktor namun Doktor Abu jahal yaitu ebahnya orang bodoh. Ironisnya sebagian kalangan juga ada yang mendewakan Doktor Abu jahal, setiap yang dikatakanya diikuti saja, tanpa melihat apa yang disampaikan benar atau tidak, bila itu benar tidak mengapa, namun bila sesat sangatlah berbahaya, dan banyak juga masyarakat yang mendewakan orang nyeleneh atau bahasa kerennya pemikir strees, apa saja yang dikatakan para pemikir stress diikuti, seperti mereka mengatakan. Wanita sah menikahkan dirinya, wanita sah menikahkan wanita lain, nikah antar agama sah, pernikahan bukan ibadah namun hubungan sosial kemasyarakatan biasa, antar agama sah saling mewarisi dan lain-lain. {Syarh Usulu A1-I’tiqad Ahlus sunnah wal-jama’ah I/37-43}.

KEMASUKAN DOKTRIN FAHAM ORIENTALISME.


Syaikh Ghalib bin Ali iwaji menambahkan beberapa hal yang melatarbelakangi timbulnya Firqah-firqah dalam Islam diantaranya adalah:
  1. Adanya orang yang mengaku Ulama, namun beraqidah menyimpang dan Aqidah Islam.
  2. Kebodohan yang merajalela yang timbul dikalangan ummat Islam.
  3. Tidak memiliki standar pemahaman yang benar dalam memahami Islam.
  4. Adanya perbedaan pendapat yang didasari oleh hawa nafsu, seperti demi kepentingan politik, golongan, organisasj, pribadi atau aliran tertentu.
  5. Timbulnya fanatik golongan, organisasi dan Madzhab secara berlebihan.
  6. Adanya kedengkian terhadap sesama Muslim.
  7. Adanya kecenderungan untuk mempertahan hal-hal yang Bid’ah.
  8. Adanya sikap mempertuhankan akal dan menomor duakan A1-Qur’an dan Sunnah
  9. Akibat adanya pengaruh internal yang mengakibat dan memicu timbulnya aliran. {Firaqun Mu’ashjrah 1/47-48).

Awal Mula Timbulnya Aliran-Aliran Dalam Islam

Perselisihan tercela yang dilakukan oleh pemuka islam sepeninggal Rosulallah, yang mengakibatkan timbulnya perpecahan dikalangan ummat Islam pada mulanya terjadi karena sebab yang sederhana, namun  karena pelakunya lebih mengedepankan hawa nafsu dan kepentingan kelompok, organisasi atau golongan maka berubah menjadi suatu yang besar yang berakibat pada perpecahan, bahkan mereka ada yang saling mengkafirkan satu sama lain.

Terkadang masyarakat terimbas oleh kepentingan mereka, hingga saling menyalahkan padahal belum tentu salah, lain dari itu masyarakat awwam tidak tahu permasalahnnya, mereka hanya ikut-ikutan belaka. Dan ini yang memperuncing masalah. Mulai ada gejala timbulnya Aliran-aliran dalam Islam adalah sejak pucuk pimpinan kekhalifahan dipegang Utsman Ibnu Affan yaitu khalifah ke tiga setelah wafatnya Rasulullah .

Pada masa khalifah ke tiga ini suasana politik mulai diwarnai oleh kepentingan kelompok, yang mengarah pada teijadinya perpecahan ditubuh ummat islam, yang terus meruncing sampai terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan , akhimya tampuk pimpinan kekhalifahan digantikan oleh All bin Abu Thalib .

Pada masa pemerintahan khalifah All bin Abu Thalib perpecahan ditubuh ummat Islam terus berlanjut dan sangat sulit dicarikan solusinya, dimana ummat Islam pada saat itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abu Thalib yang menamakan dirinya kelompok Syi‘ah dan ada yang kontra yang menamakan dirinya kelompok Khawarij. Akhirnya perpecahan itu meletus diantara kedua kubu dan terjadilah peperanga yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan perang Sffin dan perang Jamal.

Bermula dari situlah akhirnya timbul berbagai aliran dikalangan Ummat Islam, masing-masing kelompok juga berpecah belah, sehingga akhirnya jumlah aliran dikalangan Ummat Islam sangat banyak. Aliran Syi’ah misalnya pecah menjadi beberapa aliran diantaranya adalah: Syi‘ah Imamiyah, Syi‘ah Al-mukhlashiin, Syi‘ah Tafdiliyyah, Syi‘ah Bathinzyah, Syi‘ah Mufadliliyah, Syi‘ah Sarighiyah, Syi‘ah Bazi‘iyah, Syi‘ah Kamiliyah, Syi‘ah Mughayyirijyah, Syi‘ah Jinahiyah, Syi‘ah Ghamamiyyah dan lain-lain.

Apakah Hukum Memakai Campuran Alkohol Saat Shalat ?

Tanya: Dalam keseharian kita sering memakai bahan-bahan yang mengandung campuran alkohol. Najiskah hukumnya? Bagaimana jika kita memakainya bersama wewangian untuk shalat? (Ayu, Jakarta)

Jawab: Alkohol mnurut ahli kesehatan adalah zat cair yang dihasilkan dan proses fermentasi atau diproduksi secara kimiawi, berwarna bening seperti air, mempunyai bau khusus, dan memiliki efek pati rasa atau mengurangi pengaruh syaraf tertentu (memabukkan) bila digunakan pada bagian tubuh secara berlebihan. Karena efek pati rasa itu alkohol memiliki potensi madharat (negatif) yang tidak kecil bagi kehidupan manusia bila disaiah gunakan, sekaligus manfaat yang sangat besar bila digunakan secara benar.

Sisi madharat alkohol yang biasa kita tahu adalah manakala ia dijadikan unsur dasar minuman keras yang memabukkan. Karena memabukkan itu, para ulama sepakat bahwa alkohol najis hukumnya sehingga dengan sendirinya haram dikonsumsi. (Hal ini pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-23 di Solo, lihat Ahkam Al-Fuqaha, 245). Dan karena alkohol najis, maka tidak boleh digunakan dalam ibadah-ibadah yang dalam pelaksanaannya membutuhkan kesucian. 

Namun demikian, Syafi’iyah berpendapat bahwa campuran sedikit zat cair yang najis dalam hal ini alkohol terhadap obat-obatan atau minyak wangi untuk sekedar menjaga kebaikannya hukumnya ma’fu atau dimaafkan. Jadi, meskipun najis boleh digunakan untuk shalat. (Madzahib Al-A rba ‘ah I, 15)

Terlepas dari pendapat di atas, sebenarnya hukum alkohol masih menjadi perselisihan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran surat Al-Maidah, 90: 

“Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. “(QS., A1-Maidah: 90)

Sebagian ulama memaknai kata rijs dengan najis dan sebagian yang lain (ulama ahli hadis atau al-muhadditsin) berpendapat bahwa khamer meskipun diharamkan hukumnya suci karena najis yang dimaksud adalah najis maknawi. Hal iin sebagaimana Al-Quran menyebut orang musyrik sebagai najis. ini bukan berarti orang musyrik najis dalam pengertian najis yang membatalkan shalat tetapi karena perbuatan syirik merupakan perbuatan paling buruk menurut akal sehat.

Pendapat kedua itu juga ditegaskan lagi oleh Lembaga Fiqh Islam Dunia pada Muktamar ke delapan di Brunai Darussalam, (21-27 Juni 1993 M atau 1-7 Muharram 1414 H) yang memutuskan bahwa akohol hukumnya tidak najis. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih “al-ashlu fi al-asyyaai at-thaharah.”Alasanya sama karena kenajisan khamer dan semua yang memabukan itu bersifat maknawi bukannya hissi atau kenyataan.

Di samping sisi rnadharat, disadari maupun tidak sebenarnya kita telah banyak memanfaatkan alkohol yang memang penting itu. Dalam bidang kesehatan misalnya, alkohol biasanya digunakan untuk membersihkan luka, membunuh kuman penyakit, bius dan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari alkohol dijumpai sebagai campuran minyak wangi ataĆ¼ makanan dan minuman baik sebagai pengawet ataupun unsur pengurai. Menurut keputusan lembaga fikih Islam dunia, penggunaan alkohol untuk kepentingan-kepentingan semacam itu tidak termasuk khamer. Jadi, minyak wangi yang menggunakan sedikit campuran dan alkohol atau makanan minuman ataupun obat yang dalam pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk menguraikan bahan-bahan yang tidak bisa diuraikan dengan air atau untuk sekedar mengawetkan, boleh dikonsumsi atau digunakan karena dirasa sulit untuk menghindarinya (li‘umum al-balwa). (A1-Fiqh Al-Islami, VII, 5264-5265).

Apakah Hukum Dan Bagaimana Cara Meng Qadha Shalat Untuk Orang Yang Meninggal ?

Tanya: Saya punya seorang ibu yang baru saja meninggal dunia karena sakit. Selama beliau sakit, tidak melaksanakan shalat. Bagaimana hukumnya jika shalat yang ditinggal tersebut di-qadha’ oleh anak? Kalau memang boleh, bagaimana caranya? (Supranto, Purbalingga)

Jawab: Kasus pengabaian shalat oleh orang-orang yang sedang mendapat cobaan dari Allah berupa sakit memang sering terjadi. Apalagi dalam keadaan sakit. Dalam keadaan sehat saja tidak jarang kaum Muslimin melalaikannya, baik karena alasan kesibukan ataupun lebih disebabkan pengetahuan agama kurang, yang berakibat pada kelemahan keimanan dan ketakwaan seseorang.

Padahal, shalat merupakan salah satu rukun Islam dan tiang agama (‘imad ad-din), barang siapa yang menegakkannya (melaksanakannya) berarti menegakkan agama. Sebaliknya, barangsiapa merobohkannya (meninggalkan) secara tidak langsung dia telah merobohkan agamanya sendiri. 

Kalau kita cermati, tindak kejahatan yang merebak akhir-akhir ini merupakan bukti paling kongkrit terjadi dekadensi moral di tengah masyarakat. Tidaklah terlalu mengada-ada bila kejadian salah satu faktor yang dominan adalah karena orang-orang mulai mengabaikan perintah shalat.

Perlu diketahui, jika ibadah shalat dilakukan dengan benar dan dihayati secara mendalam, maka ibadah ini memiliki potensi besar untuk dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Hal ini terjadi karena tertanamnya kesadaran bahwa semua tindakan yang dilakukan seseorang selalu dimonitor oleh Allah Swt. Perhatikan ayat berikut mi: 

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya) dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. “(QS. A1-’Ankabut: 45)

Dalam kenyataan sehari-hari, dimensi spiritual seperti itulah yang sering dilupakan orang dalam memecahkan masalah, sehingga solusmya kurang aktif.

Pada dasarnya waktu shalat telah ditentukan (muaqqatah). Shalat yang satu, tidak boleh diletakkan pada pada waktu yang lain kecuali karena alasan men-jama (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) yang memang diperkenankan ketika seseorang sedang melakukan perjalanan (bepergian).

Dalam praktiknya, ada saja di antara kita yang melanggar ketentuan tersebut, dalam artian melaksanakan shalat di luar waktunya, atau yang biasa disebut qadha. Hal itu, jika dilakukan dengan sengaja, tanpa udzur syar’i (lupa atau tertidur). Padahal melalaikan perintah shalat adalah termasuk al-kabair atau dosa besar.

Mereka yang dengan sengaja atau tanpa ada udzur syar’i seperti itulah yang kemudian dimaksudkan dengan kelompok orang yang melalaikan shalat. Dalam Al-Quran khususnya surat Al-Ma’un orang seperti itu diancam dengan al-wail (mendapat celaka atau siksa). Kelengkapan ayat dimaksud adalah sebagai berikut: 

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS. A1-Maa’un: 4-5)

Yang cukup disayangkan, kadang-kadang shalat dianggap rutinitas belaka, dan meninggalkannya sama sekali atau melakukan bukan waktunya dianggap masalah sepele. Ironisnya, ada beberapa orang yang memiliki “hobi” shalat tertentu, misalnya Maghrib, sementara shalat-shalat yang lain tidak pernah diperhatikan. Padahal.. semuanya sama-sama diwajibkan, dan sama-sama rukun Islam. Orang demikian bisa dikatan ber-Islam tidak secara kaffah (paripurna).

Namun kepada orang-orang yang meninggalkan shalat baik dengan maupun tanpa sengaja diwajibkan untuk meng-qadha

Dan hal yang perlu diperhatikan bahwa meng-qadha shalat dalam konteks ini tidak secara otomatis akan menghapus dosa seperti yang dipersepsikan banyak orang. Dosa tersebut hanya bisa terhapus dengan bertobat, berupa rasa penyesalan yang mendalam disertai niat tidak akan mengulangi.

Lazimnya, yang meng-qadha’ shalat adalah pihak yang meninggalkan shalat.

Permasalahannya, jika yang bersangkutan telah meninggal apakah bisa digantikan oleh pihak lain, semisal anaknya?

Berdasarkan keterangan kitab Fath Al-Mu’in, dalam menanggapi masalah itu ada dua pendapat. Menurut qaul mu’tamad, orang yang masih hidup tidak bisa mengganti orang yang telah meninggal, untuk meng-qadha’ shalat. Lain halnya pendapat Imam Al-’Ubbadi dan Imam As-Subki, keduanya menyatakan boleh.

Cara meng-qadha’ shalat adalah sama dengan shalat yang kita lakukan sehari-hari. Hanya yang membedakannya adalah niatnya, mengingat statusnya sebagai pengganti, misalnya “ushalli fard azh-zh uhri arba‘a raka‘atin ‘an fulan “(saya shalat fardhu Zhuhur empat rakaat atas nama si Polan).

Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, dilakukan secara berurutan, sesuai dengan aslinya. Pertama Dhuhur, lalu Ashar, Maghrib dan seterusnya. Tidak diharuskan menentukan kapan hari, bulan, dan tahunnya. Pokoknya shalat yang ditinggalkan Si mayat.

Apakah Menyemir Atau Mewarnai Rambut Membatalkan Shalat ?

Tanya: Apakah dengan menyemir rambut dapat membatalkan shalat?
(M. Adiatma Noer, Ciledug Tangerang)

Jawab: Menyemir (memberi warna) rambut bukanlah fenomena baru zaman sekarang yang disebut modern. Di kalangan umat Islam, kebiasaan menyemir rambut sudah ada pada masa Rasulullah. Menurut keterangan .beberapa hadis, Khalifah Abu Bakar dan Umar Ibn A1-Khaththab pemah menyemir rambutnya. Begitu juga pada periode tabi’in dan sesudahnya.

Ulama salaf generasi shahabat dan tabi’in berbeda pendapat. Sebagian menyatakan menyemir rabut lebih utama. Sebagian yang lain berpendirian sebaliknya. Pendapat pertama berdasarkan pada kenyataan adanya sekelompok shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka yang menyemir rambut sebagaimana diinfomiasikan beberapa hadis. Sedangkan pendapat kedua merujuk pada sunah Rasulullah yang memang tidak pernah menyemir rambut.

Khilaf juga terjadi pada pemilihan warna semir. Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat memperbolehkan warna selain hitam. Khusus semir warna hitam, menurut Syafi’iyah hukumnya haram. Selain Syafi’iyah hanya menghukumi makruh. Perbedaan pendapat ini dirunut dari sebuah hadis yang menceritakan peristiwa pada masa penaklukan Mekkah. Waktu itu, Abu Quhafah, orang tua Sayidina Abu Bakar dibawa menghadap kepada Rasulullah, dalam keadaan kepalanya disemir dengan warna putih  (tsughamah). Melihat hal itu, Rasulullah berkata kepada para shahabat, “Bawalah dia kepada salah satu istrinya, agar mengubah warna rambutnya, dan hindarilah warna hitam.”

Dalam hadis ini, Rasulullah memerintahkan agar menghindari warna hitam. Dalam ushul fikih, perintah bisa bersifat wajib (li al-wujub) dan sunah (li an-nadb). Yang menyatakan wajib, mengharamkan warna hitam. Sebaliknya, yang menganggap sunah, memakruhkan. (Ghayah Al-Wushul: Al-Fiqh Al-Islam, IV, 2679-2680, kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba‘ah: II 46-47).

Penyemiran tidak mempunyai kaitan langsung dengan keabsahan atau batalnya shalat. Ia tidak termasuk perkara yang membatalkan shalat, sehingga harus ditinggalkan. Bukan pula syarat dan rukunnya, yang harus dilakukan.

Penyemiran hanya berhubungan dengan salah satu persyaratan shalat. Keabsahan shalat mensyaratkan kesucian dan hadas dan najis. Hadas dihilangkan dengan mandi dan wudhu. Salah satu syarat mandi dan wudhu adalah tiadanya benda atau zat penghalang yang mencegah sampainya air ke seluruh tubuh, termasuk rambut kepala. Dari sisi ini, semir rambut yang menghalangi sampainya air ke rambut dapat menjadi penyebab ketidak absahan shalat, karena wudhu atau mandinya tidak sah. Dari sisi lain, menyemir rambut dapat mencegah keabsahan shalat bila semir yang dipakai berasal dan bahan yang najis.

Dengan demikian, asal semir terbuat dari bahan yang suci, serta tidak menghalangi air sampai ke rambut, maka shalatnya tetap sah.

Bagaimana Cara Dan Sah Kah Shalat Dengan Luka Yang Berdarah ?

Tanya: Bagaimana cara dan hukum shalat orang yang mempunyai luka berdarah?
(Lilik Muzda, Jepara)

Jawab: Keabsahan shalat tergantung pada terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagal perwujudan sikap ta‘addub kita kepada Allah Swt. Dalam surat Al-Mudattsir: 4, Ia berfirman:

“Dan pakaianmu sucikanlah.” (QS. M-Mudattsir 4)

Pengertian najis sebagai dijelaskan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang bisa mencegah sahnya shalat (kullu mustaqdzar yamna‘shihhah as shalat).
Berangkat dari definisi ini, tidak semua yang nampak kotor secara otomatis dihukumi najis seperti debu. Dalam menentukan benda yang najis dan suci tidak bisa dengan akal dan perasaan semata. Tetapi harus berpegang pada dali naqil.

Para ulama sepakat (ijma’atau konsensus) bahwa darah termasuk barang najis. Pendapat tersebut didasarkan dan Al Quran surat A1-An’am, 145 sebagai berikut: 

“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah ,“ (QS. A1-An’am: 145)

Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.

Seperti telah sering saya jelaskan pada postingan sebelurnnya, bahwa salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah untuk dilaksanakan dan tidak memberatkan (al yusr wa ‘adam al-haraj as-samhah wa as-sahlah). Karakteristik ini juga terlihat pada masalah najis, kaitannnya dengan keabsahan shalat.

Dengan alasan kesulitan dihindari (li masyaqqah al-ihtiraz), para ulama dalam kitab-kitab fikih mengklasifikasikan najis menjadi dua: yaitu najis yang diampuni atau dimaafkan (alma‘fu) dan tidak diampuni (ghair al-ma‘fu). Najis kategori pertama tidak mencegah sahnya shalat.

Darah, salah satu benda najis, juga ada yang diampuni dan tidak. Dalam hal ini fuqaha secara kuantitatif membagi darah menjadi dua: sedikit dan banyak. Darah dalam jumlah sedikit dengan alasan susah dihindari, diampuni oleh syara.

Terdapat beberapa pendapat menyangkut ukuran yang dipakai untuk menentukan banyak sedikitnya darah. Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa masalah tersehut dikembalikan pada anggapan masyarakat (aI-’urt), artinya apabila masyarakat menganggap bahwa darah tersehut sedikit maka dihukumi sedikit, sebaliknya jika menganggap banyak maka dihukumi banyak.

Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.

Sebagian ulama lain membuat standar yang jelas, misalnya satu hasta (adz-dzira), satu tapak tangan, seukuran kuku dan lain-lain. Jika melebihi ukuran kuku, menurut pendapat yang disebut terakhir, termasuk kategori banyak. Kalau kurang berarti sedikit. Semua pendapat ini boleh diikuti. (Fath Al-Ja wad, 13)

Darah yang berasal dari badan kita sendiri akibat menderita luka, bisul, atau penyakit kulit yang lain diampuni meskipun jumlahnya banyak (AI-Iqna 78), tetapi dengan tiga persyaratan.

Pertama, bukan karena ulah kita sendiri (tidak disengaja). Kedua, tidak melampaui tempatnya, dalam artian tidak melewati anggota tubuh dimana luka tersebut berada. Maksudnya, jika luka terdapat dalam betis, maka jangan sampai melampaui betis sampai paha. Kalau luka di tangan, tidak sampai ke pundak. Ketiga, darah tersebut tidak bercampur dengan benda lain.

Karena diampuni, maka darah yang keluar dari luka tidak mencegah sahnya shalat. Dan orang yang mempunyai luka bisa melakukan shalat seperti pada umumnya.

Bagaimana Hukum Serta Cara Tayamum Dan Sholat Dipesawat ?

Tanya: Di pesawat terbang, kami dianjurkan bertayamum dengan debu yang (mungkin) melekat di sandaran kursi depan tempat duduk kita. Lalu kami diajak shalat berjamaah dengan imam yang hanya kami dengar suaranya tapi tidak kami lihat sosoknya. Sahkah shalat itu ? Sebab menrut Kiai saya, tayamum seperti itu tidak sah. Shalat sambil duduk seperti itu juga tidak dibolehkan karena kita orang yang mampu berdiri. Apalagi shalat jamaah seperti itu, tidak sah pula, katanya. Mana yang benar ?

Jawab: Dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap terkena kewajiban menunaikan shalat lima waktu pada waktunya secara sempuma. Namun dalam kondisi tertentu seperti sakit, sedang berada di peijalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk bersuci atau karena faktor yang lain, seseorang diperkenankan menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu. ini sebagaimana firman Allah dalam A1-Qur’an: 

“Allah tidak akan memberikan beban kewajihan kepada seseorang kecuali herdasarkan kemampuannva.” (QS. A1-Baqarah: 286)

Salah satu praktiknya seperti yang dialami oleh jamaah haji di dalam pesawat ketika sudah masuk waktu shalat.

Salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas -besar dan kecil- serta najis. Untuk menjaga dari hadas besar dan najis, barangkali banyak orang bisa melakukannya, tapi sebaliknya sedikit orang yang bisa menjaga diri tetap suci dari hadas kecil sehingga untuk menjalankan shalat mereka harus berwudhu dengan air yang mensucikan atau tayamum dengan debu terlebih dahulu.

Melihat fasilitas air di pesawat dengan kapasitas penumpangnya, rasanya tidak mungkin para jamaah haji mendapatkan air wudhu, begitu pula ketika akan tayamum, sulit mendapatkan debu -meski disandaran kursi sekalipun- sesulit mendapatkan debu di pesawat.

Dengan demikian tayamum di pesawat memang belum memenuhi syarat, dengan kata lain tidak sah karena tidak terdapat debu yang bisa digunakan untuk bersuci.

Kondisi semacam itu dimana seseorang tidak bisa mendapatkan alat untuk bersuci (air dan debu) dalam terminologi fikih disebut faqidu at-thahurain. Dalam kondisi ini seseorang tetap wajib menjalankan shalatnya sendiri-sendiri karena hurmatu al-wakti bukan li’ada;I al-fardhi. Oleh karena itu mereka diwajibkan i’adah (mengulangi shalatnya) ketika sudah memungkinkan bersuci.

Adapun masalah berjamaah di pesawat bisa dibuat dua asumsi. Asumsi pertama, semua penumpang baik yang menjadi imam atau makmum dalam keadaan faqidu at-thahurain. Jamaah dengan imam yang faqidu ath-thahurain tidak sah karena shalatnya wajib i’adah.

Asumsi kedua, dalam pesawat penumpang masih dalam keadaan suci karena masih memiliki wudhu, mereka dapat menjalankan shalat sendiri atau berjamaah. Bolehkah menjalankannya dengan duduk? Menurut Syafi’iyah apabila tidak mungkin shalat dengan berdiri kerena kesulitan atau kepayahan (‘ajzu) atau kemungkman mabuk udara maka boleh shalat dengan duduk. (Al-Fiqhu Al-Isami II, 826).

Kalau diteliti lebih lanjut, ‘ajzu itu tidak bisa dilihat dan faktor internal individu ansich, tapi juga faktor eksternal meliputi ruang dan jalannya tumpangan, dalam hal ini pesawat yang tidak memungkinkan seseorang shalat dengan berdiri.

Jadi, jamaah dengan duduk bagi penumpang pesawat boleh-boleh saja sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya yang meliputi, Pertama, niat makmum bagi makmum. Kedua, shalat yang dijalankan antara imam dan makmum adalah shalat yang sama. Ketiga, makmum tidak berada di depan imam, yang dalam praktiknya yang menjadi standar adalah pantat imam (makmum tidak maju melebthi pantat imam). Keempat, jamaah berada di satu tempat sehingga makmum bisa melihat dan mendengarkan suara imam. Melihat dan mendengar imam tidak harus secara langsung karena syarat itu bisa terpenuhi dengan melihat makmum di depan atau sampingnya yang secara bersambungan dapat melihat imam. Dan yang kelima, makmum mengikuti shalatnya imam. (A1-Fiqhu A1-Is1ami I, 124O-1252).

Imam Batal, Bagaimana Dengan Yang Makmum ?

Tanya: Jika shalat imam batal (seperti karena kentut) bagaimanakah shaiat para makmum?
(Nikmah, Jepara)

Jawab: Seperti kita maklumi bersama, shalat dapat dikerjakan secara berjamaah dan sendirian (munfarid). Shalat berjamaah paling tidak terdiri dari dua orang, imam dan makmum. Jumlah maksimal makmum tidak ada batasnya. Yang membatasi adalah tempat yang tersedia.

Seperti kita maklumi bersama pula, shalat dianggap sah jika memenuhi sejumlah persyaratan (syurut as-shihah), rukun (al-arkan), dan terhindar/bebas dari hal-hal yang membatalkan (al-mubthilat), seperti menanggung hadas, terkena najis, dan lain-lain.

Jika seseorang di tengah-tengah shalatnya melakukan perkara yang membatalkan shalat, maka shalatnya menjadi batal. Kalau dia shalat sendirian atau menjadi makmum harus mengulangi lagi dari awal. Dalam hal in tidak timbul masalah. Masalah akan timbul jika orang tersebut kebetulan sedang menjadi imam dalam shalat jamaah.

Lalu muncullah beberapa pertanyaan. Apabila shalat imam batal, apakah makmum juga ikut batal? Kalau tidak, langkah apakah yang perlu diambil oleh para makmum? Apakah meneruskan secara munfarid? Ataukah tetap berjamaah dengan menunjuk imam baru untuk menggantikan imam yang pertama?

Shalat makmum tidak otomatis menjadi batal dengan batalnya shalat imam. Oleh karenanya makmum tidak dibenarkan membatalkan shalatnya. Dan sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fikih, kedua langkah tersebut dapat dibenarkan. Dengan demikian jika imam batal, makmum memiliki dua alternatif. Pertama, meneruskan shalat secara munfarid (sendirian) dengan niat mufarraqah (memisahkan diri) dan imam yang telah batal shalatnya. Kedua, menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjamaah. Kalau alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf (Bughyah Al-Mustarsyidin, 85).

Istikhlaf adalah penunjukan pengganti imam dengan imam lain, yang karena satu sebab ia (imam pertama) tidak bisa menyempurnakan shalatnya. Istikhlaf pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab hadis (Mausu’ah A1-Islami VI, 120).

Proses terjadinya istikhlal mempunyai 2 (dua) kemungkinan: Imam meƱunjuk pengganti (khalifah), atau para makmum menunjuk pengganti. Dapat pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam batal.

Istikhlaf sebaiknya dilakukan pada makmum. Jika imam menunjuk pengganti, dan makmum menunjuk pengganti yang lain, maka pilihan makmum lebih diutamakan. Istikhlaf merupakan hak makmum. Bukankah rakyat yang paling berhak menentukan siapa pemimpinnya? Lagi-lagi di sini nilai-nilai demokrasi ditanamkan. (Mausu’ah A1-IsJarni VI, 148).

Istikhlaf selain shalat Jumat hukumnya sunah. Karena shalat secara berjamaah lebih utama daripada sendirian.

Dalam shalat Jumat, jika batalnya imam terjadi pada rakaat pertama, istikhiaf wajib hukumnya, mengingat shalat Jumat pada rakaat pertama harus dilaksanakan secara berjamaah. Shalat Jumat secara munfarid tidak sah (Mazhahib A]-Arba ‘air. I, 447)

Pertanyaan selanjutnya adalab siapakah yang layak menjadi khalifah, atau pengganti imam pertama?

Dalam menjawab masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha Syafi’iyah (ahli fikih Madzhab Syafi’i). Semua sepakat, orang yang sah menjadi khalifah adalah orang yang sah menjadi imam shalat yang dikerjakan. Apabila makmumnya laki-laki, khalifah tidak boleh perempuan. Karena perempuan tidak sah menjadi imam dan makmum laki-laki. Mereka juga menyepakati makmum dapat menjadi khalifah.

Perbedaan pendapat muncul ketika yang ditunjuk sebagai khalifah dari luar makmum (al-ajnaby). Sebagian besar ulama memperbolehkan khalifah selain makmum, asal penggantian terjadi pada rakaat pertama atau ketiga pada saat ruba’iyah (jumlah rakaatnya empat). Sebagian hanya memperbolehkan pada rakaat pertama. Adapula yang melarang sama sekali, seperti Imam Haramain. Menurut beliau, kalaupun toh imam pertama menunjuk khalifah selain makmum, boleh saja para makmum mengikutinya dengan niat berjamaah. Tetapi dalam hal ini, orang tadi tidak menjadi khalifah imam pertama. (Mausu’ah Al-Islami VI, 137).

Yang perlu diingat adalah, karena kedudukan khalifah adalah sebagai pengganti imam, maka ia harus menyesuaikan diri dengan shalat makmum. Atau dengan kata lain, harus bertindak seperti layaknya imam yang digantikan. Sebagai misal, sekelompok orang shalat Shubuh secara berjamaah. Ketika telah berlangsung satu rakaat, Zaid baru datang lalu ikut berjamaah. Tidak beberapa lama, imam batal dan menunjuk Zaid sebagai pengganti. Setelah i’tidal Zaid membaca qunut dan setelah sujud kedua membaca tasyahud, Zaid meneruskan shalatnya dengan mengulangi lagi membaca doa qunut setelah i’tidal dan tasyahud sebelum salam. Adapun makmum dapat memisahkan diri dan Zaid (mufaraqah) lalu salam, atau menunggu Zaid menyelesaikan shalatnya, lalu salam secara beriringan. (Mausu’ah AJ-Islanii VI, 137).

Di samping shalat, istikhlaf dapat pula terjadi dalam khotbah. Jika khotib berhalangan meneruskan khotbah dapat diambil alih oleh atau diteruskan orang lain yang memenuhi persyaratan menjadi khotib. (Mausu’ah AJ-Islamr VI, 135).

Tabir Wanita