Tuesday 1 September 2015

Imam Batal, Bagaimana Dengan Yang Makmum ?

Tanya: Jika shalat imam batal (seperti karena kentut) bagaimanakah shaiat para makmum?
(Nikmah, Jepara)

Jawab: Seperti kita maklumi bersama, shalat dapat dikerjakan secara berjamaah dan sendirian (munfarid). Shalat berjamaah paling tidak terdiri dari dua orang, imam dan makmum. Jumlah maksimal makmum tidak ada batasnya. Yang membatasi adalah tempat yang tersedia.

Seperti kita maklumi bersama pula, shalat dianggap sah jika memenuhi sejumlah persyaratan (syurut as-shihah), rukun (al-arkan), dan terhindar/bebas dari hal-hal yang membatalkan (al-mubthilat), seperti menanggung hadas, terkena najis, dan lain-lain.

Jika seseorang di tengah-tengah shalatnya melakukan perkara yang membatalkan shalat, maka shalatnya menjadi batal. Kalau dia shalat sendirian atau menjadi makmum harus mengulangi lagi dari awal. Dalam hal in tidak timbul masalah. Masalah akan timbul jika orang tersebut kebetulan sedang menjadi imam dalam shalat jamaah.

Lalu muncullah beberapa pertanyaan. Apabila shalat imam batal, apakah makmum juga ikut batal? Kalau tidak, langkah apakah yang perlu diambil oleh para makmum? Apakah meneruskan secara munfarid? Ataukah tetap berjamaah dengan menunjuk imam baru untuk menggantikan imam yang pertama?

Shalat makmum tidak otomatis menjadi batal dengan batalnya shalat imam. Oleh karenanya makmum tidak dibenarkan membatalkan shalatnya. Dan sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fikih, kedua langkah tersebut dapat dibenarkan. Dengan demikian jika imam batal, makmum memiliki dua alternatif. Pertama, meneruskan shalat secara munfarid (sendirian) dengan niat mufarraqah (memisahkan diri) dan imam yang telah batal shalatnya. Kedua, menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjamaah. Kalau alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf (Bughyah Al-Mustarsyidin, 85).

Istikhlaf adalah penunjukan pengganti imam dengan imam lain, yang karena satu sebab ia (imam pertama) tidak bisa menyempurnakan shalatnya. Istikhlaf pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab hadis (Mausu’ah A1-Islami VI, 120).

Proses terjadinya istikhlal mempunyai 2 (dua) kemungkinan: Imam meƱunjuk pengganti (khalifah), atau para makmum menunjuk pengganti. Dapat pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam batal.

Istikhlaf sebaiknya dilakukan pada makmum. Jika imam menunjuk pengganti, dan makmum menunjuk pengganti yang lain, maka pilihan makmum lebih diutamakan. Istikhlaf merupakan hak makmum. Bukankah rakyat yang paling berhak menentukan siapa pemimpinnya? Lagi-lagi di sini nilai-nilai demokrasi ditanamkan. (Mausu’ah A1-IsJarni VI, 148).

Istikhlaf selain shalat Jumat hukumnya sunah. Karena shalat secara berjamaah lebih utama daripada sendirian.

Dalam shalat Jumat, jika batalnya imam terjadi pada rakaat pertama, istikhiaf wajib hukumnya, mengingat shalat Jumat pada rakaat pertama harus dilaksanakan secara berjamaah. Shalat Jumat secara munfarid tidak sah (Mazhahib A]-Arba ‘air. I, 447)

Pertanyaan selanjutnya adalab siapakah yang layak menjadi khalifah, atau pengganti imam pertama?

Dalam menjawab masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha Syafi’iyah (ahli fikih Madzhab Syafi’i). Semua sepakat, orang yang sah menjadi khalifah adalah orang yang sah menjadi imam shalat yang dikerjakan. Apabila makmumnya laki-laki, khalifah tidak boleh perempuan. Karena perempuan tidak sah menjadi imam dan makmum laki-laki. Mereka juga menyepakati makmum dapat menjadi khalifah.

Perbedaan pendapat muncul ketika yang ditunjuk sebagai khalifah dari luar makmum (al-ajnaby). Sebagian besar ulama memperbolehkan khalifah selain makmum, asal penggantian terjadi pada rakaat pertama atau ketiga pada saat ruba’iyah (jumlah rakaatnya empat). Sebagian hanya memperbolehkan pada rakaat pertama. Adapula yang melarang sama sekali, seperti Imam Haramain. Menurut beliau, kalaupun toh imam pertama menunjuk khalifah selain makmum, boleh saja para makmum mengikutinya dengan niat berjamaah. Tetapi dalam hal ini, orang tadi tidak menjadi khalifah imam pertama. (Mausu’ah Al-Islami VI, 137).

Yang perlu diingat adalah, karena kedudukan khalifah adalah sebagai pengganti imam, maka ia harus menyesuaikan diri dengan shalat makmum. Atau dengan kata lain, harus bertindak seperti layaknya imam yang digantikan. Sebagai misal, sekelompok orang shalat Shubuh secara berjamaah. Ketika telah berlangsung satu rakaat, Zaid baru datang lalu ikut berjamaah. Tidak beberapa lama, imam batal dan menunjuk Zaid sebagai pengganti. Setelah i’tidal Zaid membaca qunut dan setelah sujud kedua membaca tasyahud, Zaid meneruskan shalatnya dengan mengulangi lagi membaca doa qunut setelah i’tidal dan tasyahud sebelum salam. Adapun makmum dapat memisahkan diri dan Zaid (mufaraqah) lalu salam, atau menunggu Zaid menyelesaikan shalatnya, lalu salam secara beriringan. (Mausu’ah AJ-Islanii VI, 137).

Di samping shalat, istikhlaf dapat pula terjadi dalam khotbah. Jika khotib berhalangan meneruskan khotbah dapat diambil alih oleh atau diteruskan orang lain yang memenuhi persyaratan menjadi khotib. (Mausu’ah AJ-Islamr VI, 135).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita